Ir. Muhammad Umar Alkatiri
Sebagian besar penganut Islam di Indonesia, mengikuti ‘madzhab’ Islam Liberal. Setidaknya bila dilihat dari dua hal. Pertama, mereka yang mampu menampung energi keshalihan dan energi kemaksiatan sekaligus. Kedua, mereka yang menolak formalisasi syari’at Islam.
Para petinggi negara, sejak zaman Soekarno hingga anaknya, adalah penganut ‘madzhab’ Islam Liberal yang sejati. Mereka menampung energi keshalihan, dan menyalurkannya melalui aktivitas shalat Jum’at, shalat Ied, menunaikan ibadah haji. Pada saat bersamaan, mereka menampung dan menyalurkan energi kemaksiatan, dengan melakukan korupsi, berzinah, pergi ke dukun dan sebagainya.
Sudah tentu mereka menolak syari’at Islam, karena bila syari’at Islam diterapkan, mereka tidak bisa lagi mempraktekkan motto “shalat jalan terus, korupsi, zinah dan pergi ke dukun juga jalan…
Lucunya, ketika mereka menolak syari’at Islam, pada saat bersamaan mereka menjalankan syari’at-syari’at agama lain, seperti syari’at agama Yahudi yang membolehkan mengambil riba (bunga bank) terhadap non Yahudi. Padahal, mereka semua tidak beragama Yahudi.
Dengan mudah, kita dapat bertemu dengan para penganut ‘madzhab’ Islam Liberal. Di kantor-kantor (pemerintah dan swasta), di terminal-terminal (termasuk bandara dan pelabuhan), di rumah sakit, di pesantren, di berbagai lembaga keagamaan, kepemudaan, sosial, bahkan di tempat pelacuran.
Ada sebuah ‘kisah’, tentang seorang pelacur kelas bawah yang setelah semalaman melayani tamunya, ketika adzan shubuh menggema dari sebuah mesjid yang tak jauh dari tempatnya berpraktek, ia minta izin kepada tamunya, “… kang, apakah urusan kita sudah selesai? Kalau sudah, saya mau mandi junub untuk menunaikan shalat shubuh…”
Sang pelacur adalah representasi dari pengikut ‘madzhab’ Islam Liberal. Ia dengan sempurna mampu menampung energi keshalihan dan energi kemaksiatan sekaligus, di dalam satu tubuh.
Ir. Muhammad Umar Alkatiri
0 komentar:
Posting Komentar