Pages

Jumat, 16 Maret 2012

Mengkritisi Kembali Makna "Tuhan"

Oleh: Hizbullah Mahmud *)
Saya cukup tercenggang takkala membuka website islamlib.com, ketika akan memasuki website tersebut menemukan terjemahan Bismillahirrohmanirrohim diterjemahkan menjadi "Dengan nama Allah Tuhan pengasih Tuhan penyayang Tuhan segala agama. Hanya saja 3 kata terakhirnya tidak termasuk dalam terjemahan kata Basmallah diatas (Tuhan segala agama).

Secara sekilas kita dapat menyimpulkan bahwa makna Allah disamakan dengan makna tuhan. yang membedakan antara tuhan-tuhan yang lain dengan Allah hanyalah huruf T besar diawalnya. Bila T nya huruf besar maka itu maknanya sama dengan Allah dan bila t nya kecil maka itu maknanya tuhan-tuhan selain Allah.
Dalam penulisan mungkin bisa dilihat perbedaannya tapi dalam pengucapan nyaris tak ada beda.

Pencetus makna Allah juga dimaknai dengan Tuhan, adalah Almarhum Prof. Dr Nurcholis Majid . Pada waktu itu beliau menterjemahkan kalimat "la ilahaillallah" dengan tidak ada tuhan selain Tuhan atau dalam Bahasa Inggrisnya there is not any god but the God.

Terjemah seperti ini selain tidak benar, juga membuat kekacauan, membuat kebingungan, mendangkalkan aqidah dan menghancurkan tauhid. Terjemah tersebut seperti yang dilakukan oleh kaum orientalis dan ahli injil.

Terjemah ala Prof. Dr Nurcholis Majid tersebut mengundang perhatian para pakar muslim dan ulama, selain janggal dan aneh juga menunjukkan adanya berbagai kelemahan dari berbagai segi yang berarti banyak kesalahannya. Khususnya dilihat dari segi bahasa dan Aqidah Islamiyah.

Pakar dan ulama besar dari Pakistan Abul A'la Maududi menyebut ma'rifah (definite article) dari kata ilah yang berarti tuhan dengan al ilah jadi bukan dengan sebutan Allah tegasnya. Ma'rifah dari ilah itu al illah dan bukan Allah. hal ini banyak ditemukan dalam kitab Musthalahatul Fil Qur'an.

Kata Allah dalam Alqur'an disebut ulang oleh Allah sebanyak 2679 kali semuanya dalam bentuk tunggal, karena memang tidak memiliki bentuk tatsniyah dan jama' sesuai dengan firman-Nya "Allahu ahad" yang berarti Allah maha Tunggal/Esa. Hal ini akan berbeda dengan kata ilah yang berarti tuhan. Didalam Al-Qur'an oleh Allah kata ilah disebut ulang sebanyak 111 kali dalam bentuk mufrod, ilahaini dalam bentuk tatsniyah 2 kali dan aalihah dalam bentuk jama' disebut ulang sebanyak 34 kali.

Berdasarkan disiplin ilmu dalam bahasa Arab, apabila isim nakiroh (indefinite article) dapat ditatsniyahkan dan dijama'kan, maka isim ma'rifaah (definite article) juga demikian.

Kita telah mengetahui bahwa dalam Alqur'an tatsniyah dan jama' dari kata ilah masing-masing disebut 2 kali dan 34 kali. Tetapi tidak ditemukan satupun tatsniyah dan jama' dari kata Allah.

Berdasarkan pengertian tersebut maka kelemahan Prof. Dr Nurkholis dari segi bahasa diantaranya, menterjemahkan Allah diartikan Tuhan, menyamakan arti ilah dengan Allah, memandang alif dan lam pada kata Allah ma'rifah dari isim nakiroh ilah, terjemah hanya memperhatikan etimologinya, standar terjemah menggunakan bahasa inggris.

Sebagai akibat dari terjemah yang hanya memperhatikan dari segi etimologinya dan adanya kesalahan Allah diartikan yang sama dengan ilah yang berarti tuhan, maka dari segi makna nilai tauhid menjadi kabur dan hancur.

Karena Allah yang Maha Esa dengan terjemah tersebut menjadi tidak diakui keesaannya lagi. Sebab setiap kata ilah yang berarti tuhan dapat dijadikan Allah dengan menambah al sebagai ma'rifahnya. Hal ini jelas akan merusak dan bertentangan dengan firman Allah.

Untuk itu dalam memahami kalimat tauhid tersebut harus diperhatikan empat kata yang diterjemahkan, berikut disiplin ilmu dan berbagai dalil yang terkait. Agar hasil terjemahnya tidak ada kesan merusak dan dalam memahami kalimat tauhid tersebut dapat tepat. Selain karena tidak akan bertentangan dengan dalil lain, juga akan selalu mendukung dengan dalil lain yang terkait.

Para ulama dalam memahami Al-Qur'an dan Assunnah yang menegakkan displin ilmu, hasilnya selalu dikontrol. Hal itu dilakukan agar kemungkinan terjadi kesalahan segera dapat diralat dan dibetulkan.

Standar nilai benar yang dijadikan tolak ukur adalah dalilAl-Qur'an dan Assunnah juga khususnya dalil yang sejenis. Apakah dari berbagai dalil sejenis tersebut sesuai dan memberi dukungan, ataukah bertentangan yang beararti tidak benar.

Untuk itu dalam melakukan kontrol terhadap terjemahan tersebut, perlu dihadirkan beberapa dalil sejenis yang terkait dengan Tuhan Allah. Mana yang mendapat dukungan atau sesuai dengan dalil lain itulah yang benar, sedang yang menunjukkan adanya pertentangan dengan berbagai dalil tersebut maka itulah yang salah.

Dalam konteks pemikiran islam liberal persoalan-persoalan ilahiyyat masih dapat diijtihadi. Ajaran islam yang sudah mapan mereka otak-atik.

Hukum waris yang jelas-jelas dalam Al-Qur'an bahwa bagian laki-laki dua kali lipat bagian wanita atau 2:1 dirombaknya dengan alasan hal ini sudah tidak sesuai dengan kemajuan jaman lagi dan keadaan wanita pada jaman dahulu tidak sama dengan sekarang karena perempuan juga bekerja sebagaimana laki-laki. begitu juga ucapan salam "Assalamualaikum" diganti dengan selamat pagi, selamat sore atau yang sejenisnya.

Begitulah bila kebenaran yang pasti dan mutlak, wahyu ditinggalkan, sedang kebenaran semu dan relative dari berbagai teori dan sistem justru malah diterima.

Wujud kongkritnya sekularisme dan berbagai sistem yang bertentangan dengan wahyu dijadikan pegangan, sedang kebenaran Alqur'an Dan Assunnah ditolak dan diingkari.

Demi tegaknya ajaran islam yang bersumber dari Al-Qur'an dan Assunnah, dijaman moderen ini sangat diharapkan kehadiran para ulama dan pakar muslim yang ideal dan berjiwa besar, memiliki pikiran jernih dan pandangan jauh kedepan, dalam memahami islam yang bersumber dari keduanya secara utuh. (Hidayatullah.com)

*) Penulis adalah pengelola website al-ukhuwah.com dan Mahasiswa Universitas Al Azhar Kairo Fakultas Syari'ah Islamiyah. Tulisan disarikan dari buku "Meluruskan Pemikiran Pakar Muslim" karangan Ust Ahmad Husnan Lc.

0 komentar:

Posting Komentar