Oleh: Hizbullah Mahmud *)
Saya
cukup tercenggang takkala membuka website islamlib.com, ketika akan memasuki website tersebut
menemukan terjemahan Bismillahirrohmanirrohim diterjemahkan menjadi "Dengan
nama Allah Tuhan pengasih Tuhan penyayang Tuhan segala agama. Hanya saja 3
kata terakhirnya tidak termasuk dalam terjemahan kata Basmallah diatas (Tuhan
segala agama).
Secara sekilas kita dapat menyimpulkan bahwa makna Allah
disamakan dengan makna tuhan. yang membedakan antara tuhan-tuhan yang lain
dengan Allah hanyalah huruf T besar diawalnya. Bila T nya huruf besar maka itu
maknanya sama dengan Allah dan bila t nya kecil maka itu maknanya tuhan-tuhan
selain Allah.
Dalam penulisan mungkin bisa dilihat perbedaannya tapi dalam
pengucapan nyaris tak ada beda.
Pencetus makna Allah juga dimaknai dengan
Tuhan, adalah Almarhum Prof. Dr Nurcholis Majid . Pada waktu itu beliau
menterjemahkan kalimat "la ilahaillallah" dengan tidak ada tuhan selain Tuhan
atau dalam Bahasa Inggrisnya there is not any god but the God.
Terjemah
seperti ini selain tidak benar, juga membuat kekacauan, membuat kebingungan,
mendangkalkan aqidah dan menghancurkan tauhid. Terjemah tersebut seperti yang
dilakukan oleh kaum orientalis dan ahli injil.
Terjemah ala Prof. Dr
Nurcholis Majid tersebut mengundang perhatian para pakar muslim dan ulama,
selain janggal dan aneh juga menunjukkan adanya berbagai kelemahan dari berbagai
segi yang berarti banyak kesalahannya. Khususnya dilihat dari segi bahasa dan
Aqidah Islamiyah.
Pakar dan ulama besar dari Pakistan Abul A'la Maududi
menyebut ma'rifah (definite article) dari kata ilah yang berarti tuhan dengan al
ilah jadi bukan dengan sebutan Allah tegasnya. Ma'rifah dari ilah itu al illah
dan bukan Allah. hal ini banyak ditemukan dalam kitab Musthalahatul Fil
Qur'an.
Kata Allah dalam Alqur'an disebut ulang oleh Allah sebanyak 2679
kali semuanya dalam bentuk tunggal, karena memang tidak memiliki bentuk
tatsniyah dan jama' sesuai dengan firman-Nya "Allahu ahad" yang berarti Allah
maha Tunggal/Esa. Hal ini akan berbeda dengan kata ilah yang berarti tuhan.
Didalam Al-Qur'an oleh Allah kata ilah disebut ulang sebanyak 111 kali dalam
bentuk mufrod, ilahaini dalam bentuk tatsniyah 2 kali dan aalihah dalam bentuk
jama' disebut ulang sebanyak 34 kali.
Berdasarkan disiplin ilmu dalam
bahasa Arab, apabila isim nakiroh (indefinite article) dapat ditatsniyahkan dan
dijama'kan, maka isim ma'rifaah (definite article) juga demikian.
Kita
telah mengetahui bahwa dalam Alqur'an tatsniyah dan jama' dari kata ilah
masing-masing disebut 2 kali dan 34 kali. Tetapi tidak ditemukan satupun
tatsniyah dan jama' dari kata Allah.
Berdasarkan pengertian tersebut maka
kelemahan Prof. Dr Nurkholis dari segi bahasa diantaranya, menterjemahkan Allah
diartikan Tuhan, menyamakan arti ilah dengan Allah, memandang alif dan lam pada
kata Allah ma'rifah dari isim nakiroh ilah, terjemah hanya memperhatikan
etimologinya, standar terjemah menggunakan bahasa inggris.
Sebagai akibat
dari terjemah yang hanya memperhatikan dari segi etimologinya dan adanya
kesalahan Allah diartikan yang sama dengan ilah yang berarti tuhan, maka dari
segi makna nilai tauhid menjadi kabur dan hancur.
Karena Allah yang Maha
Esa dengan terjemah tersebut menjadi tidak diakui keesaannya lagi. Sebab setiap
kata ilah yang berarti tuhan dapat dijadikan Allah dengan menambah al sebagai
ma'rifahnya. Hal ini jelas akan merusak dan bertentangan dengan firman Allah.
Untuk itu dalam memahami kalimat tauhid tersebut harus diperhatikan
empat kata yang diterjemahkan, berikut disiplin ilmu dan berbagai dalil yang
terkait. Agar hasil terjemahnya tidak ada kesan merusak dan dalam memahami
kalimat tauhid tersebut dapat tepat. Selain karena tidak akan bertentangan
dengan dalil lain, juga akan selalu mendukung dengan dalil lain yang
terkait.
Para ulama dalam memahami Al-Qur'an dan Assunnah yang menegakkan
displin ilmu, hasilnya selalu dikontrol. Hal itu dilakukan agar kemungkinan
terjadi kesalahan segera dapat diralat dan dibetulkan.
Standar nilai
benar yang dijadikan tolak ukur adalah dalilAl-Qur'an dan Assunnah juga
khususnya dalil yang sejenis. Apakah dari berbagai dalil sejenis tersebut sesuai
dan memberi dukungan, ataukah bertentangan yang beararti tidak benar.
Untuk itu dalam melakukan kontrol terhadap terjemahan tersebut, perlu
dihadirkan beberapa dalil sejenis yang terkait dengan Tuhan Allah. Mana yang
mendapat dukungan atau sesuai dengan dalil lain itulah yang benar, sedang yang
menunjukkan adanya pertentangan dengan berbagai dalil tersebut maka itulah yang
salah.
Dalam konteks pemikiran islam liberal persoalan-persoalan
ilahiyyat masih dapat diijtihadi. Ajaran islam yang sudah mapan mereka
otak-atik.
Hukum waris yang jelas-jelas dalam Al-Qur'an bahwa bagian
laki-laki dua kali lipat bagian wanita atau 2:1 dirombaknya dengan alasan hal
ini sudah tidak sesuai dengan kemajuan jaman lagi dan keadaan wanita pada jaman
dahulu tidak sama dengan sekarang karena perempuan juga bekerja sebagaimana
laki-laki. begitu juga ucapan salam "Assalamualaikum" diganti dengan selamat
pagi, selamat sore atau yang sejenisnya.
Begitulah bila kebenaran yang
pasti dan mutlak, wahyu ditinggalkan, sedang kebenaran semu dan relative dari
berbagai teori dan sistem justru malah diterima.
Wujud kongkritnya
sekularisme dan berbagai sistem yang bertentangan dengan wahyu dijadikan
pegangan, sedang kebenaran Alqur'an Dan Assunnah ditolak dan
diingkari.
Demi tegaknya ajaran islam yang bersumber dari Al-Qur'an dan
Assunnah, dijaman moderen ini sangat diharapkan kehadiran para ulama dan pakar
muslim yang ideal dan berjiwa besar, memiliki pikiran jernih dan pandangan jauh
kedepan, dalam memahami islam yang bersumber dari keduanya secara utuh.
(Hidayatullah.com)
*) Penulis adalah pengelola website al-ukhuwah.com
dan Mahasiswa Universitas Al Azhar Kairo Fakultas Syari'ah Islamiyah. Tulisan
disarikan dari buku "Meluruskan Pemikiran Pakar Muslim" karangan Ust Ahmad
Husnan Lc.
Jumat, 16 Maret 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar