Tulisan Ulil Abshar-Abdalla, Koordinator Jaringan Islam Liberal (JIL), Jakarta : “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam” yang dimuat di Kompas pada tanggal 18 November 2002 mengandung banyak kekeliruan yang mendasar.
Di situ Ulil menganggap bahwa Islam adalah satu agama yang dapat dirubah oleh manusia sesuai dengan perkembangan zaman. Ulil juga mengatakan bahwa ajaran-ajaran Islam seperti jilbab, potong tangan, qishas, dan lain-lain tak lebih dari budaya Arab yang tak perlu diikuti. Ulil menyatakan bahwa seorang perempuan muslim boleh menikahi pria non muslim serta semua agama adalah benar.
Semua pernyataan Ulil di atas, bertentangan dengan perintah Allah yang tercantum dalam kitab suci Al Qur’an.
Sesungguhnya pedoman ummat Islam adalah Al Qur’an:
"Kitab al-Qur'an ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa." (QS.Al-Baqarah:2).
Karena itu, saya mengajak ummat Islam untuk mengkaji ayat-ayat Al Qur’an untuk mengetahui apakah pernyataan Ulil selaras atau bertentangan dengan Al Qur’an.
Ulil:
> SAYA meletakkan Islam pertama-tama sebagai sebuah "organisme" yang hidup;
> sebuah agama yang berkembang sesuai dengan denyut nadi perkembangan manusia.
> Islam bukan sebuah monumen mati yang dipahat pada abad ke-7 Masehi, lalu
> dianggap sebagai "patung" indah yang tak boleh disentuh tangan sejarah.
> …
> Pertama, penafsiran Islam yang non-literal, substansial, kontekstual, dan sesuai
> denyut nadi peradaban manusia yang sedang dan terus berubah.
Pernyataan Ulil di atas bertentangan dengan ayat berikut:
"…Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmut-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu…" (Al Maidah 3).
Jika agama Islam harus disesuaikan dengan hawa nafsu manusia, maka agama Islam harus disesuaikan dengan manusia yang mana? Sekarang ada sekitar 7 milyar manusia dengan ribuan paham dan aliran yang berbeda bahkan ada yang saling bertentangan satu sama lain, misalnya Kapitalisme, Liberalisme, Sosialisme, Komunisme, dan lain-lain. Agama Islam harus disesuaikan ke paham buatan manusia yang mana?
Pada zaman Ibrahim, Raja Namrudz beserta ummatnya menyembah berhala, sementara pada zaman Fir’aun, Fir’aun mengaku sebagai Tuhan. Pada zaman jahiliyyah, membunuh anak perempuan adalah hal yang wajar, sementara pada kepercayaan tertentu, mengorbankan manusia untuk sesajen adalah hal yang sah dan berlaku umum. Apakah ajaran Islam harus disesuaikan dengan perkembangan zaman dan manusia dan menganggap hal itu adalah benar?
Seharusnya, ajaran Islam menjadi petunjuk bagi manusia. Bukan manusia yang jadi “petunjuk” bagi ajaran Islam, sehingga ajaran Islam dirubah-rubah seperti patung sesuai dengan hawa nafsu manusia:
Memang dalam Islam dikenal ijtihad. Tapi ijtihad ini baru dilakukan jika ada masalah baru yang tidak diatur secara jelas dalam Al Qur’an dan Hadits. Misalnya apakah narkoba itu haram atau halal. Meski demikian, keputusan ijtihad itu biasanya selalu berdasarkan Al Qur’an dan Hadits melalui metode Qiyas. Contohnya, meski Narkoba tidak dilarang (karena waktu itu belum ada), tapi dengan ayat Al Qur’an yang melarang manusia berbuat kerusakan atau merusak dirinya serta tidak boleh mubazir, maka Narkoba otomatis dilarang karenanya.
Begitu pula dengan musyawarah. Untuk satu masalah yang tidak diatur secara detail oleh Al Qur’an dan Hadits, misalnya mencari bisnis apa yang baik atau bagaimana mengatur strategi peperangan, maka Nabi dan para sahabat biasa bermusyawarah:
Orang-orang yang mematuhi seruan Tuhan mereka, melaksanakan shalat (dengan sempurna), serta urusan mereka diputuskan dengan musyawarah antar mereka, dan mereka menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka. (Al-Syura: 38)
Tapi jika di Al Qur’an dan Hadits sudah jelas disebutkan, tidak boleh manusia melanggarnya (misalnya perempuan muslim menikah dengan pria non muslim)
Ulil menganggap jilbab, potong tangan, qishash, dan lain-lain adalah budaya Arab yang tak perlu diikuti, padahal hal tersebut merupakan perintah Allah yang tercantum dalam Al Qur’an:
> Aspek-aspek Islam yang merupakan cerminan kebudayaan Arab,
misalnya, tidak usah
> diikuti. Contoh, soal jilbab, potong tangan, qishash, rajam, jenggot, jubah, tidak wajib
> diikuti, karena itu hanya ekspresi lokal partikular Islam di Arab.
> diikuti. Contoh, soal jilbab, potong tangan, qishash, rajam, jenggot, jubah, tidak wajib
> diikuti, karena itu hanya ekspresi lokal partikular Islam di Arab.
Pernyataan Ulil bahwa jilbab adalah kebudayaan Arab dan bukan ajaran Islam yang harus dituruti bertentangan dengan Al Qur’an dan sejarah yang ada.
Pada zaman Jahiliyyah, kaum perempuannya biasa mengenakan pakaian tipis, ketat dan mengumbar aurat. Contohnya masih terdapat pada para penari perut Mesir yang cuma mengenakan BH serta cawat yang mengumbar aurat.
Oleh karena itulah Allah menurunkan ayat agar ummat Islam mengenakan jilbab agar tidak mengumbar aurat seperti yang dilakukan oleh perempuan jahiliyyah:
“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang-orang mukmin: ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal dan oleh karenanya mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Ahzab: 59)
"Katakanlah kepada wanita yang beriman : "Hendaklah mereka menahan pandangan mereka dan memelihara kemaluan mereka dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari mereka. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada mereka…" (An Nuur:31)
"Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu melakukan tabarruj sebagaimana tabarrujnya orang-orang jahiliyyah dahulu...." (Al-Ahzab: 33).
Tabarruj adalah perilaku mengumbar aurat atau tidak menutup bagian tubuh yang wajib untuk ditutup yang dilakukan perempuan jahiliyyah.
Perintah mengenakan jilbab, maksudnya untuk menjauhkan manusia dari perbuatan zina serta menjaga agar para remaja maupun anak-anak tidak rusak moralnya karena melihat para wanita yang berpakaian mini dan merangsang.
Qishash juga merupakan aturan yang diturunkah oleh Allah dalam Al Qur’an:
"Sesungguhnya pada hukum qishash ada kehidupan bagi kalian wahai orang yang cerdas, semoga kalian bertakwa." (Al-Baqarah: 179)
Hukum Qishash diturunkan Allah SWT agar manusia bisa hidup tenang dari ancaman pembunuh.
Demikian pula hukum potong tangan bagi pencuri, meski jika tak mencapai nisab (jumlah curian minimal) atau pada kondisi tertentu (terpaksa) seorang pencuri bisa terhindar, jelas tercantum dalam Al Qur’an. Ini bukan “budaya Arab” seperti yang dikatakan Ulil:
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (Al Maa-dah:38)
Jika perintah potong tangan bagi pencuri ini diterapkan, tentu para ibu-ibu yang belanja di pasar akan aman dari para copet atau pun para penodong.
Ulil mengatakan jilbab itu adalah pakaian menurut standar kepantasan umum, tak perlu mengikuti aturan Al Qur’an:
> Yang harus diikuti adalah nilai-nilai universal yang
melandasi praktik-praktik itu.
> Jilbab intinya adalah mengenakan pakaian yang memenuhi standar kepantasan umum
> (public decency). Kepantasan umum tentu sifatnya fleksibel dan berkembang sesuai
> perkembangan kebudayaan manusia. Begitu seterusnya.
> Jilbab intinya adalah mengenakan pakaian yang memenuhi standar kepantasan umum
> (public decency). Kepantasan umum tentu sifatnya fleksibel dan berkembang sesuai
> perkembangan kebudayaan manusia. Begitu seterusnya.
Tulisan Ulil di atas sangat relatif dan membingungkan. Di Barat, wanita memakai celana hipster dan terlihat pusarnya atau memakai rok mini sehingga pahanya terlihat itu pantas saja. Di pantai-pantai, perempuan memakai bikini atau cawat dan BH juga adalah hal yang pantas menurut manusia, sehingga para Miss Universe pun mengenakan hal itu. Bahkan di satu pemandian umum di Bali, laki dan perempuan berenang telanjang bulat adalah hal yang pantas di sana menurut manusia. Di Irian Jaya, pria pakai Koteka atau wanita telanjang dada memenuhi standar kepantasan umum di sana. Jika menurut pernyataan Ulil, maka hal di atas adalah hal yang wajar-wajar saja…
Adakah ajaran Islam yang telah memerintahkan para perempuan untuk mengenakan jilbab (satu pakaian yang menutupi seluruh aurat tubuh, tidak tipis, tidak ketat, dan tidak berlebihan) tidak perlu diikuti, tapi kita harus mengikuti “perintah” Ulil di atas?
Jika yang harus diikuti adalah “kepantasan umum” yang berubah-rubah sesuai keinginan manusia, bukan ajaran Islam yang berdasarkan Al Qur’an dan hadits, maka praktek homoseksual, lesbianisme, sex bebas, pelacuran, perjudian dan sebagainya adalah halal dan sesuai dengan ajaran “Islam.” Padahal Allah SWT di Alkitab maupun di Al Qur’an disebutkan menghancurkan kota Sodom karena mereka melakukan praktek homoseksual.
Masyarakat (terutama di Negara-negara Barat), menganggap pelacur bukanlah pekerjaan yang hina. Bahkan di sini pun para pelacur sekarang disebut sebagai “Pekerja Seks,” tak berbeda dengan pekerja lain seperti Dokter, Karyawan, Guru, dan lain-lain. Padahal dalam Al Qur’an Allah melarang manusia untuk mendekati zina, apalagi melakukannya!
Ulil mengatakan wanita Muslim boleh menikah dengan pria Non Muslim, padahal di Al Qur’an hal itu jelas dilarang:
> Larangan kawin beda agama, dalam hal ini antara perempuan
Islam dengan lelaki
> non-Islam, sudah tidak relevan lagi. Quran sendiri tidak pernah dengan tegas
> melarang itu, karena Quran menganut pandangan universal tentang martabat manusia
> yang sederajat, tanpa melihat perbedaan agama. Segala produk hukum Islam klasik
> yang membedakan antara kedudukan orang Islam dan non-Islam harus diamandemen
> berdasarkan prinsip kesederajatan universal dalam tataran kemanusiaan ini.
> non-Islam, sudah tidak relevan lagi. Quran sendiri tidak pernah dengan tegas
> melarang itu, karena Quran menganut pandangan universal tentang martabat manusia
> yang sederajat, tanpa melihat perbedaan agama. Segala produk hukum Islam klasik
> yang membedakan antara kedudukan orang Islam dan non-Islam harus diamandemen
> berdasarkan prinsip kesederajatan universal dalam tataran kemanusiaan ini.
Pernyataan Ulil yang mengatakan bahwa perempuan Muslim boleh menikah dengan lelaki Non Muslim jelas bertentangan dengan Al Qur’an:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka, maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir, mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka.” (Al Mumtahanah: 10)
"Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebe-lum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke Neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izinNya. Dan Allah menerangkan ayat-ayatNya (perintah-perintahNya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran. (Al-Baqarah: 221).
Ulil mengatakan bahwa hukum Allah itu tidak ada, padahal dalam Al Qur’an ditegaskan yang tidak mau mengikuti hukum Allah adalah kafir, fasik, dan sebagainya, apalagi yang tidak mengakui keberadaannya:
> Menurut saya, tidak ada yang disebut "hukum Tuhan" dalam pengertian seperti
> dipahami kebanyakan orang Islam. Misalnya, hukum Tuhan tentang pencurian, jual
> beli, pernikahan, pemerintahan, dan sebagainya. Yang ada adalah prinsip-prinsip
> umum yang universal yang dalam tradisi pengkajian hukum Islam klasik disebut
> sebagai maqashidusy syari'ah, atau tujuan umum syariat Islam.
> …
> Agama adalah suatu kebaikan buat umat manusia; dan karena manusia adalah
> organisme yang terus berkembang, baik secara kuantitatif dan kualitatif, maka agama
> juga harus bisa mengembangkan diri sesuai kebutuhan manusia itu sendiri. Yang ada
> adalah hukum manusia, bukan hukum Tuhan, karena manusialah stake holder yang
> berkepentingan dalam semua perbincangan soal agama ini.
Pernyataan Ulil yang yang mengatakan bahwa tidak ada Hukum Tuhan atau Hukum Allah serta yang ada dan harus diikuti adalah hukum manusia, jelas bertentangan dengan firman Allah SWT dalam Al Qur’an yang telah saya sebut di atas. Padahal Allah SWT menegaskan, bahwa mereka yang tidak memutuskan menurut hukum Allah adalah kafir:
" Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat didalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir." (QS. Al Maidah: 44)
"Dan telah kami tetapkan terhadap mereka didalamnya (Taurat) bahwasannya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-lukapun ada qisasnya., maka melepaskan hak itu menjadi penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah oraang-orang yang zhalim." (QS. Al Maidah: 45)
"Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka ingin berhukum kepada thagut (hukum buatan manusia), padahal mereka telah diperintahkan untuk mengingkari thagut itu. Dan syaitan ingin menyesatkan mereka dengan penyesatan yang sejauh-jauhnya. Apabila dikatakan kepada mereka: 'Marilah kamu tunduk kepada (hukum) yang allah turunkan dan kepada (hukum) Rasul', niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dari (mengikuti) kamu dengan sekuat-kuatnya." (An-Nisaa: 60-61)
Pada pernyataannya di bawah, Ulil meragukan Rasul Muhammad SAW sebagai contoh, karena banyak juga kekurangannya, serta Islam yang diwujudkan oleh Nabi hanyalah histories, particular dan kontekstual. Selanjutnnya Ulil malah mengajak untuk mencari kebenaran di ajaran Kristen, Hindu, Budha, Kong Hu Cu, Yahudi, Tao, bahkan Marxisme!
Bayangkan, belajar agama Islam secara menyeluruh saja, ummat Islam banyak yang tidak sanggup, apalagi kalau harus mempelajari semua agama atau isme seperti yang “disabdakan” Ulil!
Ulil:
> BAGAIMANA meletakkan kedudukan Rasul Muhammad SAW dalam konteks pemikiran
> semacam ini? Menurut saya, Rasul Muhammad SAW adalah tokoh historis yang harus
> dikaji dengan kritis, (sehingga tidak hanya menjadi mitos yang dikagumi saja, tanpa
> memandang aspek-aspek beliau sebagai manusia yang juga banyak kekurangannya),
> sekaligus panutan yang harus diikuti (qudwah hasanah).
>
> Bagaimana mengikuti Rasul? Di sini, saya mempunyai perbedaan dengan pandangan
> dominan. Dalam usaha menerjemahkan Islam dalam konteks sosial-politik di Madinah,
> Rasul tentu menghadapi banyak keterbatasan. Rasul memang berhasil menerjemahkan
> cita-cita sosial dan spiritual Islam di Madinah, tetapi Islam sebagaimana diwujudkan
> di sana adalah Islam historis, partikular, dan kontekstual.
>
> Saya berpandangan lebih jauh lagi: setiap nilai kebaikan, di mana pun tempatnya,
> sejatinya adalah nilai Islami juga. Islam-seperti pernah dikemukakan Cak Nur dan
> sejumlah pemikir lain-adalah "nilai generis" yang bisa ada di Kristen, Hindu, Buddha,
> Konghucu, Yahudi, Taoisme, agama dan kepercayaan lokal, dan sebagainya. Bisa jadi,
> kebenaran "Islam" bisa ada dalam filsafat Marxisme.
> BAGAIMANA meletakkan kedudukan Rasul Muhammad SAW dalam konteks pemikiran
> semacam ini? Menurut saya, Rasul Muhammad SAW adalah tokoh historis yang harus
> dikaji dengan kritis, (sehingga tidak hanya menjadi mitos yang dikagumi saja, tanpa
> memandang aspek-aspek beliau sebagai manusia yang juga banyak kekurangannya),
> sekaligus panutan yang harus diikuti (qudwah hasanah).
>
> Bagaimana mengikuti Rasul? Di sini, saya mempunyai perbedaan dengan pandangan
> dominan. Dalam usaha menerjemahkan Islam dalam konteks sosial-politik di Madinah,
> Rasul tentu menghadapi banyak keterbatasan. Rasul memang berhasil menerjemahkan
> cita-cita sosial dan spiritual Islam di Madinah, tetapi Islam sebagaimana diwujudkan
> di sana adalah Islam historis, partikular, dan kontekstual.
>
> Saya berpandangan lebih jauh lagi: setiap nilai kebaikan, di mana pun tempatnya,
> sejatinya adalah nilai Islami juga. Islam-seperti pernah dikemukakan Cak Nur dan
> sejumlah pemikir lain-adalah "nilai generis" yang bisa ada di Kristen, Hindu, Buddha,
> Konghucu, Yahudi, Taoisme, agama dan kepercayaan lokal, dan sebagainya. Bisa jadi,
> kebenaran "Islam" bisa ada dalam filsafat Marxisme.
Allah telah menegaskan bahwa pada Rasulullah itu adalah teladan bagi ummat Islam:
“Sungguh telah ada pada diri Rosulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari akhir dan dia banyak ingat kepada Allah”, Qs al-Ahzab,33:21.
Pada akhirnya, Ulil mengatakan semua agama sama benarnya:
> Oleh karena itu, Islam sebetulnya lebih tepat disebut sebagai sebuah "proses" yang tak
> pernah selesai, ketimbang sebuah "lembaga agama" yang sudah mati, baku, beku,
> jumud, dan mengungkung kebebasan. Ayat Innaddina 'indal Lahil Islam (QS 3:19),
> lebih tepat diterjemahkan sebagai, "Sesungguhnya jalan religiusitas yang benar
> adalah proses-yang-tak-pernah-selesai menuju ketundukan (kepada Yang Maha
> Benar)."
>
> Dengan tanpa rasa sungkan dan kikuk, saya mengatakan, semua agama adalah tepat
> berada pada jalan seperti itu, jalan panjang menuju Yang Mahabenar. Semua agama,
> dengan demikian, adalah benar, dengan variasi, tingkat dan kadar kedalaman yang
> berbeda-beda dalam menghayati jalan religiusitas itu. Semua agama ada dalam satu
> keluarga besar yang sama: yaitu keluarga pencinta jalan menuju kebenaran yang tak
> pernah ada ujungnya.
> Oleh karena itu, Islam sebetulnya lebih tepat disebut sebagai sebuah "proses" yang tak
> pernah selesai, ketimbang sebuah "lembaga agama" yang sudah mati, baku, beku,
> jumud, dan mengungkung kebebasan. Ayat Innaddina 'indal Lahil Islam (QS 3:19),
> lebih tepat diterjemahkan sebagai, "Sesungguhnya jalan religiusitas yang benar
> adalah proses-yang-tak-pernah-selesai menuju ketundukan (kepada Yang Maha
> Benar)."
>
> Dengan tanpa rasa sungkan dan kikuk, saya mengatakan, semua agama adalah tepat
> berada pada jalan seperti itu, jalan panjang menuju Yang Mahabenar. Semua agama,
> dengan demikian, adalah benar, dengan variasi, tingkat dan kadar kedalaman yang
> berbeda-beda dalam menghayati jalan religiusitas itu. Semua agama ada dalam satu
> keluarga besar yang sama: yaitu keluarga pencinta jalan menuju kebenaran yang tak
> pernah ada ujungnya.
Hal ini jelas bertentangan dengan firman Allah yang menyatakan bahwa agama yang diridhai Allah adalah Islam:
"Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam…" (Al-Imran 19).
"Barang siapa mencari agama selain agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi." (Al-Imran 85).
Jika Allah SWT berfirman agama yang diridhai Allah hanyalah Islam, kemudian Ulil bilang semua agama sama benarnya, manakah yang harus kita ikuti: Allah SWT Tuhan semesta Alam, atau Ulil, Koordinator Jaringan Islam Liberal (JIL)…???
Bahkan dalam ayat An Nisaa:171, Allah menegur Ahli Kitab karena menyembah Isa sebagai Tuhan atau anak Tuhan:
“Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya Al Masih, `Isa putera Maryam itu, adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya. Maka berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dan janganlah kamu mengatakan: "(Tuhan itu) tiga", berhentilah (dari ucapan itu). (Itu) lebih baik bagimu. Sesungguhnya Allah Tuhan Yang Maha Esa, Maha Suci Allah dari mempunyai anak, segala yang di langit dan di bumi adalah kepunyaan-Nya. Cukuplah Allah sebagai Pemelihara.” (An Nisaa:171)
“Telah dila`nati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan `Isa putera Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas.” (QS 5:78)
Ayat Al Bayyinah 1-6 menjelaskan bahwa Ahli Kitab (kaum Yahudi dan Nasrani) yang mengingkari Nabi Muhammad dan Al Qur’an sebagai orang yang kafir dan akan masuk neraka, bukan surga sebagaimana pendapat segelintir orang:
“Orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata, (yaitu) seorang Rasul dari Allah (Muhammad) yang membacakan lembaran-lembaran yang disucikan (Al Qur'an), di dalamnya terdapat (isi) kitab-kitab yang lurus. Dan tidaklah berpecah belah orang-orang yang didatangkan Al Kitab (kepada mereka) melainkan sesudah datang kepada mereka bukti yang nyata. Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta`atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang
demikian itulah agama yang lurus. Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.” (Al Bayyinah:1-6)
Toleransi antar ummat beragama memang harus dijalankan, karena Allah SWT berfirman bahwa tidak ada paksaan dalam beragama.
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat?.? (Al Baqoroh:256)
Tapi itu tak berarti semua agama adalah benar. Yang betul adalah, setiap agama benar menurut keyakinan masing-masing pemeluknya. Dalam surat Al Kafiruun dikatakan “Bagimu agamamu dan bagiku agamaku”
Pemeluk agama Budha tentu yakin agama Budha lah yang paling benar. Pemeluk agama Kristen tentu yakin agama Kristen lah yang paling benar. Pemeluk agama Islam tentu yakin agama Islam lah yang paling benar. Jika kita tidak menganggap agama kita paling benar, tentu kita pindah ke agama lain yang lebih benar bukan? Atau jika semua agama sama benar, tentu kita bisa berpindah-pindah agama setiap saat.
Jika semua agama beranggapan semua agama adalah benar, untuk apa ada lembaga dakwah atau missionaries Kristen yang mengajak setiap orang untuk ke agamanya masing-masing? Jika benar semua agama adalah benar, kenapa Ulil tidak masuk agama lain saja, misalnya agama Kristen dan bikin aliran Kristen Liberal? Jadi para ulama tidak perlu memberi fatwa mati bagi Ulil.
Meski harus ada toleransi dan saling menghargai antar ummat beragama, tapi tetap ada batas yang harus kita hormati.
0 komentar:
Posting Komentar