(Tanggapan Atas Said Aqiel Siradj) Kegalauan dan suasana mencekam yang dirasakan sebagian kalangan akibat tindakan main hakim sendiri menyusul fatwa MUI mengenai aliran sesat Ahmadiyah, Islam liberal, dan pluralisme, terkesan agak didramatisasi. Dalam artikel berjudul ''Beragama dan Pembelajaran Atas Pluralitas'' (Republika, 12 September 2005) yang ditulis Said Aqiel Siradj dikatakan bahwa sikap toleransi di negeri ini masih menjadi angan-angan.
Karena masyarakat masih gampang terpanggang oleh doktrinasi sempit keagamaan. Sungguh tidak lah layak, bila umat Islam berbuat penindasan, baik terhadap sesama Muslim maupun non-Muslim dengan menggunakan dalih-dalih agama. Tindakan ini justru hanya akan merusak ajaran spiritualitas dan humanitas agama serta keharmonisan tatanan sosial. Karena itu, diusulkan perlunya sosialisasi mengenai pemahaman dan sikap keagamaan yang terbuka (hanafiah al-samhah).
Sebagai ulama ahli tafsir, reputasi Said Aqiel Siradj, tentu tidak diragukan. Dan sebagai ketua PBNU, dia dianggap ikon akademisi yang memiliki otoritas untuk membahas masalah agama. Tetapi, dalam merespons aneka peristiwa menyangkut sikap Muslim terhadap aliran sesat maupun sikap non-Muslim terhadap Muslim, pandangannya perlu diklarifikasi dan dicermati secara ilmiah, dengan mengacu pada praktik penerapannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.
Klarifikasi diperlukan, agar penilaian terhadap sikap maupun tindakan saudara seagama tidak berdasarkan asumsi, sekadar memuaskan pihak tertentu. Hal ini penting, mengingat pemikiran serta pandangan keagamaannya akan memiliki pengaruh cukup signifikan, terutama di lingkungan nahdliyin khususnya dan umat Islam pada umumnya.
Tindak kekerasan
Sikap Muslim terhadap non-Muslim, dan lebih spesifik, tindakan keras terhadap aliran sesat Ahmadiyah, JIL, dan kaum liberal --terutama amuk massa di Kantor Pusat Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI), Bogor, dan penutupan rumah yang dialihfungsikan sebagai gereja di Bandung dan Tangerang-- telah mendorong sejumlah tokoh agama menyikapinya. Antara lain Franz Magnis Suseno dan Abdurrahman Wahid yang secara provokatif menolak fatwa MUI dan menuntut dihapuskannya SKB No 1/1969.
Seiring dengan itu, muncul opini yang menggambarkan, bahwa jemaah Ahmadiyah seolah-olah minoritas Muslim yang dizalimi. Sementara mereka yang berseberangan pendapat dengannya, dikecam sebagai orang-orang yang sempit wawasan, berpikir posivistik, melanggar HAM, dan antidemokrasi. Stigmatisasi demikian, kerap menipu dan bersifat fitnah. Tidak selalu tindakan keras adalah pelanggaran. Sebaliknya pelanggaran tidak selalu berbentuk kekerasan.
Fakta sebenarnya, kekerasan yang dilakukan terhadap Ahmadiyah --termasuk pembakaran
gereja tanpa izin di perkampungan Muslim-- bukan disebabkan perbedaan paham atau menyangkut keyakinan agama. Semua agama, aliran pemikiran, bahkan yang tidak beragama sekalipun, selama ini aman-aman saja hidup di Indonesia. Sejauh menyangkut keyakinan, kaum Muslim belum pernah melakukan tindakan anarki terhadap komunitas lain.
Menghadapi kebatilan atau pun aliran sesat, menurut Islam, tidak boleh dilakukan dengan kekerasan selama objek yang dihadapi tidak melakukan tindakan kekerasan lebih dahulu. Berbeda halnya ketika sikap hidup, cara bertindak, dan pemahaman komunitas lain itu mengganggu keharmonisan sosial, tidak mengindahkan pola kerukunan bermasyarakat, melecehkan keimanan, menghasut dan melanggar kesepakatan untuk hidup berdampingan.
SK Menteri Agama No 70/1978, tentang Penyiaran Agama dan Pendirian Rumah Ibadah, dimaksudkan untuk mengatur hubungan lintas agama, demi terciptanya kerukunan beragama serta kelangsungan pembangunan nasional. Namun, ketika tuntutan pencabutan SK tersebut begitu gencar, umat Islam merasa dikhianati. Sikap khianat ini lah sesungguhnya yang mendorong kaum Muslim --seperti ungkapan seorang aktivis dalam suatu forum pengajian-- ''Jika SKB dihapuskan, inilah saatnya kita berjihad melawan pemurtadan dan aliran sesat.''Dapat dibayangkan, apa yang bakal terjadi, bila genderang jihad mulai dikumandangkan sebagai respons kekerasan sikap non-Islam itu?
Hanafiatus Samhah
Dalam sebuah artikel yang dipublikasikan jurnal Ulumul Qur'an, 1993, seorang Indonesianis, R William Liddle, meramalkan masa depan kaum substansialis yang dimotori mendiang Nurcholish Madjid. Kaum substansialis, katanya, muncul ke permukaan, mendapatkan liputan media yang luas, karena punya aspirasi politik yang dekat dengan pemerintah. Mereka banyak mendapatkan keuntungan dari dan bergantung pada politisi-politisi otoritarian di Indonesia. Jika iklim politik pasca-Soeharto nanti lebih terbuka dan demokratis, tidak tertutup kemungkinan kaum substansialis akan menjadi kuat.
Sekalipun belum terbukti seluruhnya, ramalan William Liddle ada benarnya dan mendapat momentum di masa reformasi ini. Pada tahun 80-an Soeharto mencanangkan asas tunggal pancasila sebagai ideologi nasional. Sejalan dengan gagasan Soeharto, istilah asas tunggal kemudian diterjemahkan Nurcholish Madjid ke dalam bahasa agama menjadi hanafiah as-samhah, untuk menjelaskan tentang keberagaman dalam keberagamaan.
Kemudian, Said Aqiel Siradj mencoba mengaktualkan kembali moto yang menjadi ciri khas pemahaman keagamaan Cak Nur itu dalam bingkai pluralitas, dengan asumsi dapat meredam tindakan main hakim sendiri terhadap aliran yang berbeda itu. Namun, untuk menjaga orisinalitas ajaran, dan objektifitas pemahaman, makna hanafiah as-samhah semestinya merujuk pada praktik penerapan yang dilakukan pembawa istilah itu sendiri, yaitu Nabi Ibrahim As.
Pengamalan ajaran agama yang dipraktikkan oleh sang pembawa risalah, itu lah agama yang dikategorikan sebagai hanafiatus samhah. Sedangkan upaya mencari pemaknaan lain dari itu, merupakan perilaku tahriful kalimati an mawadi'ihi (membelokkan makna istilah dari keadaan sebenarnya). Sikap dan perilaku Nabi Ibrahim yang hanif, terdokumentasi detail di dalam Alquran, sehingga Allah SWT merekomendasikan kepada Nabi Muhammad supaya mengikuti agama Ibrahim. ''Katakanlah: 'Sesungguhnya aku telah ditunjuki oleh Tuhanku kepada jalan yang lurus, (yaitu) agama yang benar; agama Ibrahim yang hanif; dan Ibrahim itu tidak lah termasuk orang-orang musyrik'.''(QS Alan'am: 161).
Di dalam ayat ini, hanafiah berarti sirathal mustaqim (jalan lurus).
Mengajak manusia ke jalan lurus, yaitu tauhid (mengesakan) Allah SWT, adalah misi kenabian Ibrahim As. Sedangkan samhah, berarti berlapang dada dalam menyampaikan kebenaran, termasuk bersabar menerima ancaman dari kaum yang menolak aqidah Tauhid. Adapun hanafiah as-samhah dalam pengertian pluralisme, yaitu semua agama sama, sehingga harus berlapang dada dalam menerima ajaran batil atau aliran sesat yang bertentangan dengan tauhid, bukan lah yang dimaksudkan oleh Nabi Ibrahim yang senantiasa mengajak mentauhidkan Allah, sekali pun beliau menderita karenanya.
Kesetaraan agama yang diusung kaum pluralis, merupakan pemutarbalikan agama sebagai upaya menyebarkan paham anti-agama. Di negeri kita, para muharrif (orang yang membelokkan istilah agama yang berbeda dari makna sebenarnya), semakin banyak jumlahnya dan sebagian besar muncul dari komunitas intelektual dan tokoh agama. Maka, mustahil hubungan yang harmonis di antara umat beragama dapat diciptakan jika sikap yang ditampakkan bersifat negatif, provokatif, dan destruktif terhadap umat agama lain. Hal ini lah yang dirasakan umat Islam, yang terus menerus mengalami penistaan, penindasan, dan pelecehan baik secara fisik, mental, politik, pendidikan, ekonomi dan hampir di segala bidang kehidupan.
Selama ini umat Islam hanya disuguhi wacana indah tentang kerukunan, perdamaian, dan toleransi. Namun, sikap dan perilaku para penganut agama tertentu tidak menunjukkan adanya perilaku yang menentramkan hati. Umat Islam menantikan kesungguhan umat non-Islam untuk menunjukkan iktikad baiknya dalam bentuk tindakan konkret. Berbeda-bedanya paham dan keyakinan agama, tidak berarti harus bermusuhan.
Tunduk dan berserah diri di bawah naungan syari'at Allah, dan mengikuti petunjuk para utusan Allah adalah sikap hanif yang semestinya dimiliki oleh semua elite agama; bukan malah menjauhkan umatnya dari sistem hidup yang diajarkan agamanya.Bersediakah para tokoh agama untuk memelopori pentingnya hidup di bawah sistem yang diatur agama, setelah terbukti semua ideologi gagal menciptakan kemaslahatan bagi manusia dan kemanusiaan?
*Ketua Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin
Catatan redaksi swaramuslim:
Istilah muharrif dalam perspektif dunia sepakbola adalah ibarat seseorang yang gemar memasukkan bola ke gawangnya sendiri ketimbang menjaga gawangnya dari kebobolan goal.
0 komentar:
Posting Komentar