Pages

Senin, 13 Februari 2012

Islam Liberal : Hawa Nafsu Berkedok Ilmu


Allah menciptakan malaikat dengan menyertakan akal tanpa hawa nafsu. Dan menciptakan binatang dengan menyertakan hawa nafsu tanpa akal. Sedangkan Allah menciptakan manusia dengan menyertakan akal dan hawa nafsu sekaligus. Maka barangsiapa yang ilmunya menguasai hawa nafsu maka dia lebih baik dari malaikat dan barangsiapa hawa nafsunya mengalahkan ilmunya maka dia lebih buruk dari binatang." Demikian Malik bin Dinar t mendudukkan manusia.

Jika malaikat senantiasa taat, itu karena mereka diciptakan tanpa disertai hawa nafsu yang menentangnya, tetapi manusia yang dititahkan disertai hawa nafsu lalu dia mampu menundukkan nafsu dengan ilmunya, maka dia manusia istimewa. Demikian pula halnya, menjadi kewajaran jika binatang hanya makan dan menuruti syahwatnya, karena memang mereka diciptakan tanpa diberi akal.

Tetapi manusia yang diberi akal lalu hanya memperturutkan hawa nafsunya maka binatang lebih baik darinya. Allah berfirman:

"Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi." (al-A’raf: 179)


Ilmu VS Hawa Nafsu


Allah menghendaki agar manusia mau mengendalikan hawa nafsu dengan ilmunya, namun setan berusaha menggiring manusia untuk memperturutkan hawa nafsunya. Ilmu dan hawa nafsu senantiasa berebut untuk meraih hegemoni, selalu bertarung untuk dapat mendominasi jiwa manusia. Yang paling celaka adalah ketika hawa nafsu yang bertahta dalam jiwa manusia, menjadi raja yang menjadi sesembahannya:

"Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun." (al-Qashash: 50)

Pertarungan tersebut bukan saja terjadi pada masing-masing jiwa manusia, namun juga membumi. Jika hawa nafsu banyak menguasai mayoritas manusia di bumi, maka bisa jadi hawa nafsu yang memegang kendali dan merajai.

Ibnu Mas’ud pernah berkata di hadapan sahabat dan tabi’in: "Sesungguhnya kalian hidup di suatu zaman di mana kebanaran yang menguasai hawa nafsu, namun kelak akan ada suatu zaman di mana hawa nafsu yang merajai kebenaran."

Rupanya zaman itu sudah sampai. Lihat saja, setiap kali terjadi perang opini, maka pemuja hawa nafsu lebih banyak pendukungnya, para pengumbar nafsu paling banyak dijadikan idola.

Hawa Nafsu Dikemas dengan Ilmu


Proyek meng’hawa-nafsu’kan dunia ditempuh setan dengan banyak cara sekaligus menunjuk arsitek dan para pekerjanya. Di antara cara tersebut adalah membungkus hawa nafsu dengan kedok ilmu. Tugas ini diemban oleh ‘syaithan nathiq’ (setan bicara) yang melegalkan hawa nafsu atas nama ilmu. Dengan kemasan ini, kampanye setan untuk menggolkan hawa nafsu sebagai penguasa sukses dengan kemenangan telak.

Kasus pornografi misalnya. Definisi dan batasan istilah ini diperdebatkan, namun hanya satu tujuan setan, memenangkan opini bahwa ‘tidak ada yang layak dikatakan porno’. Statemen yang paling efektif untuk ini adalah pernyataan bahwa ‘batasan pornorafi itu relatif.’

Cermatilah, bagaimana setan mengajari murid-muridnya untuk berargumen. Ketika seorang model yang suka tampil vulgar ditanya tentang sikap masyarakat yang memandang tabu dan mem’porno’kan gayanya, dia menjawab: "Terserah mereka, tinggal dari sisi mana mereka menilai. Kalau mereka ‘positif thinking’ (husnudzhon) ya mereka menganggapnya baik, tapi kalau sudah ‘negatif thinking’ (su’udzhon) duluan, ya...apa-apa dikatakan jelek." Inilah hawa nafsu yang dikemas dengan ‘ilmu’. Mereka hanya ingin berkelit dari hukum manusia, tetapi mereka tak mungkin bisa lari dari hukuman Allah.

Tidak jarang pula bahkan, orang-orang yang se-tipe dengannya menganggap masyarakat yang anti pornografi sebagai kaum munafik, ‘toh sebenarnya mereka juga demen’, katanya. Tetapi, munafik yang sebenarnya adalah mereka yang tidak mau taat kepada norma yang telah digariskan oleh Allah dan Rasul-Nya, bahkan menghalangi orang-orang darinya, firman Allah:

"Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul", niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu." (an-Nisa’: 61)

Dilegalkan Para Cendekiawan


Wajar jika pernyataan-pernyataan sumbang seperti beberapa contoh di atas muncul dari orang-orang yang notabene memang jauh dari bangku pondok pesantren, atau jarang mencicipi pengetahuan agama. Yang aneh adalah orang-orang yang ditokohkan dalam hal agama ikut-ikutan pula mempromosikan hawa nafsu berkedok ilmu. Tentunya dengan gaya yang lebih Islami, bumbu-bumbu dalil, ramuan ushul fikih plus argumentasi yang runtut.

Terutama mereka yang berada dalam jajaran Islam liberal. Untuk menghalalkan segala hal, mengkampanyekan budaya serba boleh dan ‘anti haram’, banyak ungkapan nyleneh yang dikuatkan dalil-dalil. Seperti pernyataan ‘Fikih islam tidak cukup untuk memahami seni’, atau ‘akal adalah rasul Allah di muka bumi’ atau menggunakan kebebasan dalam menafsirkan Al-Qur’an. Namun yang dituju hanya satu ‘tidak ada yang haram’, karena menurut mereka keharaman itupun juga relatif, tinggal dari sisi mana orang melihat.

Al-Qur’an Sesuai di Setiap Waktu dan Tempat


"Kalimatul haq uriida biha al-bathil’, pernyataan yang benar namun dipakai untuk maksud yang bathil. Ungkapan ini sepertinya pas ditujukan untuk orang-orang Islam Liberal yang memiliki ‘track record’ menghalalkan yang sudah jelas haram dengan dalih Al-Qur’an sanggup menjawab persoalan di setiap zaman, atau Islam bisa sesuai dengan kondisi kapanpun.

Ungkapan ini benar, namun tuan-tuannya penganut JIL terbalik dalam terapannya. Mereka merubah alat ukur sebagai yang diukur, sedangkan yang mestinya diukur malah dijadikan alat ukur. Mereka justru memaksa Al-Qur’an untuk membolehkan sesuatu yang haram karena sudah terlanjur mengakar dan mengkondisi di masyarakat. Seakan mereka berkata ‘karena zaman sudah seperti ini, maka ini dan itu diperbolehkan’. Dalilnya? Islam cocok untuk setiap kondisi dan zaman, katanya.

Padahal posisi yang tepat untuk ungkapan tersebut adalah bahwa dalam kondisi apapun syari’at Islam secara komprehensip sesuai untuk diterapkan. Umat akan baik selagi mereka mau mengambil petunjuk darinya dalam setiap perkataan dan perbuatan. Inilah maksud hadits Nabi:

"Aku tinggalkan untuk kalian dua perkara, kalian tidak akan sesat selama, selagi berpe-gang dengan keduanya, yakni kitabullah dan sunnah Nabi-Nya." (HR Malik)

Ilmu yang Sebenarnya


Gaya bicara dan retorika berargumen jubir pemuja hawa nafsu memang membuat kita silau. Terkesan cerdas, logis dan ilmiah. Apalagi jika dalil Al-Qur’an sesekali menjadai alat legitimasi dari pendapatnya, gelaran cendikiawan muslim serta merta melekat di jidatnya. Fenomena ini telah digambarkan juga oleh Ibnu Mas’ud sekaligus solusi untuk menghadapinya. Beliau katakan: "Sesungguhnya kalian nanti akan mendapatkan suatu kaum yang mengaku menyeru kalian kepada Kitabullah padahal sesungguhnya mereka membuang Al-Qur’an di belakang punggung mereka, maka hendaknya kalian berpegang kepada ilmu…dan hendaknya kalian mengikuti para salaf (sahabat hingga tabi’ut tabi’in)."

Dengan ilmu, kita mengenali kecurangan orang yang hanya menjadikan Al-Qur’an sebagai alat legitimasi untuk melegalkan hawa nafsu sebagaiman kita mengenali kebenaran. Ilmu yang dimaksud di sini adalah ‘ulumus syar’i al-muruts ‘anin Nabi’, ilmu syar’i yang diwariskan oleh Nabi saw. Sedangkan yang paling paham tentangnya adalah para sahabat Nabi, kemudian tabi’in, kemudian tabi’ut tabi’in dan ulama-ulama berikutnya yang setia dengan jalan yang telah ditempuh oleh mereka. Iniah jalan selamat dari tipu daya para ‘jurkam’ hawa nafsu, wallahul musta’an (Abu Umar Abdillah/ Majalah Ar-risalah)

0 komentar:

Posting Komentar