Virus menyerbu akidah, namun tak cukup vaksin untuk menangkalnya. Tak banyak
yang sadar telah ditulari dan tak berdaya.
Seorang santri dari pesantren
Al Amin, sebuah pondok di Parenduan, di ujung pulau Madura mempunyai pendapat
yang cukup menggetarkan. Menurutnya, al-Qur’an adalah kitab yang tak sempurna.
Dengan nada filosofis ia menyatakan, bahwa al-Qur’an adalah kitab yang sempurna
dalam ketidaksempurnaan.
Fakta menyedihkan ini terungkap dalam sebuah
workshop Sekulerisasi dan Liberalisasi dalam Pemikiran Islam. Workshop marathon
ini diprakarsai oleh beberapa mahasiswa program doktoral di International
Institute of Islamic Thought Civilization (ISTAC), Malaysia. Selain di Madura,
acara yang sama juga digelar di Surabaya, Solo, Jogjakarta dan Jakarta.
Satu di antara banyak tujuan workshop ini adalah berbagi pengetahuan
tentang gerakan sekulerisme dan liberalisme yang mengancam akidah umat
Islam.
Selain di Madura, di Solo acara ini mendapat kejutan yang kurang
lebih sama. Acara didemo oleh beberapa kalangan muda, salah satunya dari
Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM). Mereka tak sepakat dengan acara
workshop ini. Selidik punya selidik, protes barisan liberal dan sekuler ini
berawal, karena hasil workshop akan dijadikan bahan rujukan untuk menyikapi
pemikiran mereka.
Dua kasus di atas, adalah contoh kecil betapa
virus-virus perusak akidah terus merangsek atas nama pemikiran dan pembaruan
Islam. Nama gerakannya bisa macam-macam. Ada JIL, ada Islam Emansipatoris dan
berbagai sebutan lain. “Tapi kita jangan dikacaukan oleh terminologi, karena
yang bikin istilah sendiri juga pusing. Banyak nama yang mereka pakai, tapi
sesungguhnya sama saja pemikirannya,” ujar Adian Husaini, salah seorang pemateri
workshop.
Lebih lanjut Adian mengatakan, dunia Islam, khususnya pemikiran
saat ini memang sedang diserbu besar-besaran oleh paham-paham liberal dan
sekuler. “Orang-orang seperti Ulil, Masdar dan yang lainnya itu sebenarnya
kecil. Saya menyebut mereka pengasong saja, ada yang lebih besar, bahkan
sekarang sudah buka “pabrik” di Indonesia,” kata Adian yang tengah menyelesaikan
studinya di Kuala Lumpur.
Berbagai pemikiran sekuler dan liberal diekspor
masuk ke dunia Islam. Dan parahnya, ekspor virus tersebut justru digemari oleh
kalangam muda Muslim. Bahkan, menurut Adnin Armas, penulis buku Pengaruh
Kristen-Orientalis Terhadap Islam Liberal, liberalisasi di beberapa kalangan
justru dianggap sebagai gerakan tauhidisasi. “Itu karena gerakan ini dianggap
sebagai gerakan yang mencoba menghilangkan hal-hal mistis dan lebih
mengedepankan sikap rasional. Padahal liberalisasi dan sekulerisasi tak berhenti
sampai di situ, mereka juga akan terus maju menggusur nilai-nilai spiritual
dalam agama, politik, sosial, ekonomi dan sebagainya.”
Dari berbagai
pintu mereka masuk. Salah satu yang cukup gencar dijalankan adalah memasarkan
metode Hermeneutika sebagai pisau untuk membedah ayat-ayat suci al-Qur’an. Di
beberapa pergurauan tinggi negeri Islam, Hermeneutika telah dijadikan mata
kuliah wajib bagi para mahasiswanya. Tak hanya itu, malpraktik juga terjadi.
Tanpa menyebut nama universitas, beberapa dosen yang memprotes pemberlakuan
materi ini tak lagi dapat jam untuk mengajar para
mahasiswanya.
Hermeneutika terus menerus diajukan sebagai alternatif lain
yang seolah-olah lebih hebat dari tradisi tafsir para ulama Muslim. Padahal,
hermeneutika berawal dari tradisi para teolog Protestan Liberal untuk memahami
teks bible yang bermasalah. Kini malah langkah para teolog Kristen ini ditiru
oleh kalangan muda Muslim.
Menyadari bahaya itu pula, sebuah majalah
pemikiran dan peradaban Islam, ISLAMIA diluncurkan baru-baru ini di Jakarta.
Majalah ini sebetulnya adalah langkah dan strategi lanjutan melawan virus
liberalisasi dan sekulerisasi setelah workshop marathon. Islamia menurunkan
Hermeneutika sebagai laporan utama edisi perdanannya.
Menurut Hamid Fahmy
Zarkasyi, Pemimpin Redaksi Islamia, majalah dengan semangat membawa bayan yang
benar terhadap gejala liberalisasi dan sekulerisasi khususnya di kalangan muda
Islam.
Pemimpin Umum Islamia, Edy Setiawan mengatakan, majalah-majalah
seperti ini mutlak dibutuhkan dalam kondisi seperti sekarang. “Saya tidak bisa
membayangkan, anak-anak muda kita diserbu oleh gagasan sekulerisme dan
liberalisme. Mereka ini adalah calon pemimpin bangsa, apa jadinya Indonesia jika
calon pemimpinnya berpikir sekuler?” ujar Edy.
Namun berdasarkan
pengalaman, seringkali media-media serius seperti majalah ini tersendat dalam
perjalanannya. Tiras dan iklan kadang tak cukup menopang untuk bertahan. “Karena
itu, mau tidak mau harus ada subsidi silang untuk pembiayaan media seperti ini.
Harus ada dana jihad yang dianggarkan untuk bertarung dalam kancah pemikiran dan
intelektual,” ungkap Edy Setiawan.
Dana jihad, tampaknya memang harus
dipikirkan secara serius oleh kaum Muslimin. Terlebih dalam kancah pertarungan
pemikiran. Siapa mau jadi donatur jihad peradaban? Ditunggu sumbangsihnya.
(Sabili)
Herry Nurdi
|
|
0 komentar:
Posting Komentar