Baca : Melacak Jejak Liberal di IAIN
Upaya ‘merongrong’ Al-Qur’an terus terjadi. Jika dahulu banyak dilakukan kalangan orientalis yang benci Islam, kini, justru dilakukan para ‘santri’ pondok pesantren setelah mengaji di kalangan orentalis
“Usaha ‘Utsman bin Affan r.a. mengumpul-susun al-Qur’an akan senantiasa dijunjung tinggi, karena hal itu merupakan sumbangannya yang paling besar. Memang di kalangan orang-orang yang menyeleweng ada yang mencelanya, namun justru malah kecacatan mereka yang tersingkap.” (Abu ‘Ubayd)
Kata-kata Abu ‘Ubayd (224 H/ 838 M) ini muncul lebih dari seribu tahun yang lalu dalam rangka menanggapi usaha sia-sia para perongrong kewibawaan Al-Quran Mushaf Uthmani ketika itu. Ulama yang mempunyai otoritas ilmiah dalam berbagai disiplin ilmu Islam ini, termasuk ‘Ulum al-Qur’an, mengisyaratkan bahwa setiap bantahan terhadap Mushaf Utsmani akan senantiasa dijawab-balas oleh para ulama Islam, dan dibongkar kecacatan serta kelemahannya.
Satu abad kemudian, seorang sarjana Al-Quran yang bernama Abu Bakr al-Anbar (328 H/ 939 M), dalam pembelaannya terhadap Mushaf Utsmani pernah menulis buku, al-Radd ‘ala Man Khalafa Mushaf ‘Utsman(Sanggahan Terhadap Orang yang Menyangkal Mushaf Utsmani). Begitu juga di abad ke tujuh Hijriyah , al-Qurthubi (671 H/ 1272 M), seorang ahli tafsir yang berwibawa dan masyhur, dalam mukadimah kitab tafsirnya menyediakan satu bab khusus mengenai hujah-hujah untuk membalas dakwaan bahwa dalam Mushaf Utsmani terdapat penambahan dan pengurangan.
Perbedaan Riwayat Mengapa ada yang berupaya menyangkal kebenaran Mushaf Utsmani? Jawabannya terdapat pada sejarah Al-Quran itu sendiri, dimana terdapat riwayat ataupun berita-berita mengenai proses penyusunannya yang mengandung perbedaan. Di antaranya adalah berita mengenai adanya beberapa mushaf yang dimiliki Sahabat yang tidak sama dengan Mushaf Utsmani, seperti Mushaf Ubay bin Ka‘ab dan Mushaf Ibnu Mas‘ud yang satu sama lain agak berbeda dari segi susunannya. Begitu pula dari segi kelengkapan surah-surahnya. Misalnya pada Mushaf Ibnu Mas‘ud tidak terdapat surat an-Nas dan al-Falaq. Sementara pada Mushaf Ubay bin Ka‘ab ada sejumlah kecil tambahan. Ada juga yang menyusunnya berdasarkan tanggal penurunannya. Misalnya Mushaf Sayidina ‘Ali, yang diriwayatkan berawal dengan “iqra’ bismi rabbika” yaitu awal surah al-‘Alaq.
Walau bagaimanapun semua itu hanyalah riwayat yang bersifat ahad atau berita-berita yang disampaikan oleh segelintir orang yang disebutkan dalam kitab-kitab tertentu, seperti kitab Tafsir, Lughah, dan Qiraat. Sejauh mana kebenaran riwayat itu memang dapat ditelusuri dari Ulum al-Hadits dan hal itu sudah diperkirakan oleh para ulama Islam. Oleh karena itu mereka tetap melayani kritikan-kritikan yang ditujukan kepada Mushaf Utsmani, selagi ada dasar periwayatannya.
Sebagai contoh, menurut Ibnu Hajar riwayat yang mengatakan bahwa Mushaf Ibnu Mas’ud itu tidak mengandungi Surat al-Falaq dan Surat an-Nas adalah sah. Sementara bagi Fakhruddin ar-Razi dan an-Nawawi, riwayat itu batil. Ar-Razi diantaranya berhujah bahwa jika benar bahwa di dalam Mushaf Ibnu Mas’ud itu tidak terdapat kedua surah tersebut, maka hanya ada dua kemungkinan. Pertama, jika periwayatan Al-Quran secara mutawatir telah tercapai di zaman Sahabat, maka pengurangan itu membawa kepada kekufuran dan tidak mungkin Ibnu Mas’ud berbuat kufur seperti itu. Kedua, jika periwayatan secara mutawatir belum tercapai di zaman Sahabat, ini bermakna al-Qur’an tidak diriwayatkan secara mutawatir sejak awalnya, maka hal ini juga tidak dapat diterima. Oleh karena itu bagi ar-Razi hanya ada satu jawaban yang mungkin, yaitu riwayat yang mengatakan bahwa Mushaf Ibnu Mas’ud itu tidak mengandung al-mu‘awwidzatain itu adalah riwayat yang tidak sah.
Ibnu Hazm juga mengatakan bahwa riwayat itu dusta. Ia mengemukakan riwayat lain dari Ibnu Mas’ud sendiri bahwa dalam mushaf beliau terdapat kedua surah tersebut. Al-Bazzar juga menambahkan bahwa tidak ada seorang Sahabat pun yang mengikuti Ibnu Mas’ud jika benar mushafnya begitu. Sedangkan telah sah riwayat yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW membaca kedua surah itu dalam shalat.
Ibnu Hajar walau bagaimanapun tetap mempertahankan bahwa riwayat ketiadaan dua surah itu sah. Dan bagi beliau, mereka yang mencela riwayat yang sah tanpa sandaran yang kukuh adalah tertolak. Walaupun begitu, demi mempertahankan Mushaf Utsmani beliau menerima takwil. Ibnu Hajar, yang mengambil takwil Ibnu al-Abbas, mengakui bahwa riwayat kedua surah sebagai bagian dari al-Qur’an memang telah tercapai secara mutawatir dikalangan Sahabat. Tetapi ia sendiri menganggapnya tidak mutawatir, sehingga beliau tidak memasukkannya dalam mushafnya. Begitulah contoh hujah-hujah para ulama Islam yang mempertahankan Mushaf Utsmani.
Mushaf Utsmani, yaitu mushaf yang digunakan oleh seluruh umat Islam sampai hari ini, baik Ahlu Sunnah di kebanyakan negeri-negeri Islam ataupun Syiah di Iran. Ia merupakan mushaf yang disandarkan kepada riwayat yang mutawatir, yaitu suatu jalan periwayatan dari generasi umat Islam terawal kepada generasi umat Islam yang lain yang tiada terputus dari semenjak zaman Khalifah ‘Utsman sampai hari ini. Namun perlu juga disebutkan di sini bahwa Mushaf Utsmani ini pun bukan hanya yang terdiri dari satu mushaf saja, tetapi ada beberapa mushaf yang disebut sebagai al-Masahif al-‘Utsmaniyah.
Sejarah mengatakan bahwa Khalifah Utsman telah menghantar beberapa naskah mushaf itu ke seluruh kota-kota besar Islam pada ketika itu, yaitu ke Mekah, Syam, Yaman, Bahrain, Basrah, Kufah dan satu disimpan di Madinah sendiri. Walaupun ada perbedaan kecil pada mushaf-mushaf tersebut, seperti kebeadaan dan ketiadaan huruf-huruf tertentu pada masing-masing mushaf itu, para ulama tetap menerima perbedaan itu, dan tetap mengakuinya sebagai Mushaf Utsmani.
Mengapa pula perbedaan-perbedaan itu muncul? Jawabannya ada pada tafsiran mengenai sabda Rasulullah SAW yang mengatakan bahwa Al-Quran itu diturunkan di atas tujuh huruf. Para ulama memang berbeda pendapat mengenai tafsir ayat itu. Imam as-Suyuti, misalnya menyebutkan sekitar empat puluh tafsiran. Pada pokoknya, Rasulullah (s.a.w.) sendiri memberi kebenaran dan kelonggaran akan adanya perbedaan bacaan untuk memudahkan umatnya dalam membaca al-Qur’an. Perkataan ‘tujuh’ pada ‘tujuh huruf’ itu menurut para ulama tidak menunjukkan bilangan tertentu, tetapi menunjukkan banyaknya perbedaan itu sendiri. Walaupun begitu perbedaan-perbedaan itu tetap mempunyai batas tertentu yang dibincangkan oleh para ulama.
Berpegang pada tafsiran ‘tujuh huruf’ tersebut, sebagian mereka berpendapat bahwa ketujuh huruf itu telah terkandung di dalam Mushaf Utsmani, dan sebahagian yang lain pula mengatakan bahwa mushaf itu merupakan satu diantara tujuh huruf tersebut. Namun mereka sepakat bahwa Mushaf Utsmani itu bersandarkan kepada bacaan terakhir yang dikemukakan Jibril kepada Rasulullah sebelum beliau wafat.
Perlu juga dijelaskan di sini bahwa Mushaf Utsmani mengandung keseluruhan bacaan yang disepakati, karena mushaf ini ditulis mengikut bacaan yang mutawatir. Walau begitu ada pula bacaan-bacaan yang kurang disepakati, bergantung pada cara periwayatannya. Para ulama telah membagi bacaan Al-Quran kepada bacaan mutawatir (tidak mungkin salah), bacaan masyhur (terkenal), bacaan ahad (segelintir perawi), bacaan syadz (cacat), bacaan mawdhu’ (palsu), dan bacaan mudraj. Bacaan masyhur dan ahad yang sah periwayatannya pada umumnya diterima oleh para ulama sebagai sebahagian dari makna tujuh huruf. Adapun bacaan syadh, mawdhu’, dan mudraj tidak dianggap sebagai bacaan yang sah dan tidak termasuk bagian dari tujuh huruf al-Qur’an.
Para perongrong al-Quran selalu mengemukakan riwayat yang syadz, mawdhu’ atau mudraj, tetapi umat Islam tidak mempedulikan riwayat tersebut, sehingga tinggallah riwayat itu dalam lipatan buku-buku yang hanya dibaca oleh para sarjana yang memang tahu bagaimana menyikapinya. Berbeda dengan dahulu, dimana para pengkritik itu terdiri dari orang-orang Islam sendiri, kini golongan perongrong ini didukung pula oleh para pengkaji dari Barat (orientalis) yang telah berputus asa terhadap keaslian kitab suci mereka sendiri.
Golongan orientalis itu, baik yang berpegang teguh dengan agama mereka ataupun yang hanya semata-mata bersimpati tetapi tidak teguh dengan ajaran agama mereka, memang menginginkan agar nasib al-Quran itu sama dengan nasib kitab suci mereka (banyak cacat). Selain menggunakan riwayat dan berita-berita yang telah kita sebutkan di atas, mereka juga mencari dan menggunakan manuskrip-manuskrip al-Quran yang mereka temukan. Kajian dan olahan mereka inilah yang digunakan oleh pengkritik Mushaf Utsmani dari golongan orang Islam untuk menguatkan lagi riwayat dan dakwaan mereka. Karena itu peperangan ilmiah ini masih akan berlanjut sampai hari ini.
Namun ada perbedaan, bila dahulu para ulama kita tinggi kedudukannya dan banyak jumlahnya serta peradaban Islam begitu menguasai kehidupan untuk menghadapi para pengacau, hari ini kita kekurangan para ulama yang berwibawa untuk menghadapi para penentang moden yang kini semakin banyak. Lebih-lebih mereka juga disokong oleh para orientalis dengan kekuatan peradaban Barat yang mendominasi dunia. Kondisi itu membuat kaum muslimin makin rendah diri dengan Islam.
Diantara orang-orang Islam yang lemah imannya dan dangkal ilmunya ada yang keluar dari Islam dan dengan serta merta melancarkan serangan terhadap Islam sambil menyerang al-Quran. Misalnya seseorang yang menggunakan nama samaran Ibnu Warraq, yang konon asalnya seorang muslim, menulis sebuah buku Why I am not a Muslim serta mengkritik Al-Quran dengan mengumpulkan kajian-kajian orientalis yang telah lapuk dalam bukunya The Origins of the Koran.
Dikalangan pemikir muslim ada Mohammed Arkoun, yang berasal dari Algeria dan mendapat Ph.D. dari Universitas Sorbonne. Ia mengkritik, menghakimi dan mencanangkan pembaharuan (tajdid) terhadap Mushaf Utsmani, dan dengan bantuan faham deconstruction Derrida, salah seorang pemikir post-modernism. Arkoun berusaha membongkar (deconstruct) al-Quran.
Taufik Adnan Amal, dari Indonesia juga berusaha mengeluarkan Al-Qur’an Edisi Kritis. Usaha itu sebenarnya terpengaruh dan meniru-niru para orientalis tua yang dahulunya pernah mempunyai ambitious project yang sesungguhnya gagal.
Kini dari Moroko di Afrika Utara hingga ke Merauke di Indonesia kita menyaksikan secara langsung kemunculan penentang Mushaf Utsmani di kalangan orang-orang Islam sendiri. Mudah-mudahan kata-kata keramat Abu ‘Ubayd di awal tulisan ini sekali lagi akan menjadi kenyataan pada hari ini, sebagaimana pada masa-masa yang lalu.
Dr. Ugi Suharto, Asisten Profesor Universitas Islam Antarbangsa (UIA), Malaysia (dari majalah Hidayatullah, edisi April 2004)
0 komentar:
Posting Komentar