Oleh: Adian Husaini
Pengikut setia Nurcholish Madjid
‘mengamuk’ gara-gara membaca Catatan Akhir Pekan (CAP) saya tentang Nurcholish
Madjid. Ia menulis “Adian Husaini: dendam tiada ujung”.
Seorang pengikut
setia Nurcholish Madjid ‘mengamuk’ gara-gara membaca Catatan Akhir Pekan (CAP)
saya tentang Nurcholish Madjid. Orang yang mengaku bernama Elza Peldi
Taher ini menulis sebuah email dan disebarluaskan kemana-mana, dengan judul
“Adian Husaini: dendam tiada ujung”.
Berikut ini kutipan isi tulisan
pendukung Nurcholish Madjid tersebut:
“Meninggalnya Cak Nur rupanya membuat
iri dan jengkel Adian Husaini. Iri karena Cak Nur pergi dengan “husnul
Khatimah”, dimakamkan di Taman Pahlawan Kalibata, mendapat simpati yang luar
biasa dari masyarakat dan liputan yang luar biasa dari semua
media.
Ketika jenazah Cak Nur sudah sampai di tempat pemakaman
Kalibata, hampir separuh pengiringnya belum beranjak dari Universitas
Paramadina, tempat jenazah Cak Nur disemayamkan. Hal ini menunjukkan pengakuan
besarnya simpati pada Cak Nur. Adian juga amat jengkel karena sampai akhir
hayatnya Cak Nur yang dimatanya sesat dan antek zionis itu tetap konsisten, tak
mau mencabut pernyataannya yang sesat dan menganggu iman umat Islam itu, meski
menjelang kematiannya mereka mengirim utusan meminta Cak Nur untuk bertobat.
Adalah wajar, sebagai pengiritik Cak Nur paling konsisten, Adian dan kelompoknya
tidak rela melihat orang yang mereka benci dipuji banyak orang. Adian bagaikan
hakim yang geram melihat Cak Nur--terpidana dan penghianat—meninggal dengan
“husnul Khatimah” sementara ia belum mengakui kesalahannya, belum mendapat
hukumannya di dunia.”
Membaca tulisan emosional seperti itu kita
sungguh merasa kasihan. Seorang yang dicitrakan sebagai cendekiawan besar justru
dikultuskan dan dimitoskan oleh pendukungnya, tanpa dasar-dasar ilmiah yang
kuat.
Dalam mengkritik pemikiran-pemikiran Nurcholish Madjid kita tidak
ada urusan dengan masalah dendam dan iri hati. Banyak tokoh Islam menolak
dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, dan berpesan kepada
keluarganya agar – jika meninggal – ia dimakamkan di pemakaman biasa bersama
jenazah kaum Muslim yang lainnya. Dimakamkan di TMP bukan jaminan sebagai orang
bersih dan terhormat secara hakiki. Ada koruptor dan penindas umat Islam
Indonesia juga dimakamkan di situ. Jadi, tidak perlu iri dan dendam soal tempat
pemakaman tersebut.
Lagi pula, mengapa kritik dan perbedaan pendapat
dicap sebagai “dendam tiada ujung”? Soal banyaknya orang yang bersimpati dengan
Nurcholish Madjid, itu sudah hal yang wajar. Sebab, dia adalah figur publik. Ia
tokoh terkenal.
Ketika Elvis Presley dan John Lennon meninggal juga
berjuta orang meratapi kepergiannya. Lady Di pun begitu. Jutaan orang di seluruh
menaruh simpati. Malah banyak yang histeris, seperti kehilangan tokoh hebat. Ini
semua adalah bagian dari arus budaya global yang tidak lepas dari peran media
massa. Jadi, banyaknya publik yang bersimpati tidak dapat dijadikan ukuran
apakah seseorang “khusnul khatimah” atau tidak. Masalah “khusnul khatimah” atau
tidak ini kita serahkan kepada Allah SWT.
Banyak para pejuang Islam,
para Ustad yang gigih mengajar mengaji di pesolok-pelosok pedalaman, meninggal
tanpa banyak orang tahu. Hanya dia, keluarganya, dan beberapa orang saja yang
tahu dan menguburkannya. Tidak ada sorotan kamera, tidak ada penghargaan dari
pemerintah.
Tetapi, bukan berarti para guru ngaji yang ikhlas itu
nilainya lebih rendah daripada John Lennon yang terkenal. Sekali lagi, dalam
memberikan kritik-kritik terhadap pemikiran Nurcholish Madjid, kita tidak
menaruh dendam atau iri hati.
Kita ingin menyadarkan para pengagum
pemikiran-pemikiran keagamaan Nurcholish Madjid, bahwa banyak diantara
pemikirannya yang tidak benar, keliru, dan bahkan berbahaya. Tidak semua
pemikirannya baik dan membawa maslahat.
Pemikiran Nurcholish Madjid
tentang sekularisasi dan pluralisme agama bukanlah pemikiran yang membawa
maslahat, tetapi justru membawa kerusakan. Itu kita sampaikan dengan
hujjah-hujjah dan bukti-bukti yang jelas, agar para pemuja Nurcholish sadar dan
bertobat. Sebab, ada usaha-usaha serius untuk menjadikan pemikiran keagamaan
Nurcholish Madjid sebagai pedoman hidup umat Islam.
Kita paham, ketika
kita sampaikan hal tersebut, banyak orang yang terperanjat. Mengapa orang yang
meninggal dibongkar-bongkar kesalahannya.
Bahkan ada yang menyatakan,
kuburnya saja belum kering, kok kesalahannya dibongkar-bongkar. Cara berpikir
seperti ini sungguh aneh. Sebab, pemikiran tidak mengenal waktu. Tokoh-tokoh
sekular-liberal dalam sejarah Islam, seperti Musthafa Kemal Attaturk, adalah
orang-orang yang sudah meninggal. Pemikiran tidak mengenal hidup atau mati,
karena pemikiran disebarkan terus tanpa batas lokasi dan waktu.
Si
penulis surat itu juga mengatakan bahwa Nurcholish Madjid memang tidak perlu
menganggapi kritik-kritik terhadapnya, karena Nurcholish terlalu tinggi levelnya
dibandingkan para pengritiknya. Ia mengaku sudah membaca buku saya yang
mengkritik Nurcholish Madjid, yaitu buku “Islam Liberal: Sejarah, Konsepsi,
Penyimpangan, dan Jawabannya.” (2002).
Ia menulis: “Saya sudah membaca
buku itu (Islam Liberal.pen) dan saya berkesimpulan buku itu hanya seonggokan
sampah yang tak perlu dibaca oleh siapa pun, karena isinya penuh dengan fitnah
dan kebencian.”
Si penulis itu adalah salah satu contoh pemuja
Nurcholish Madjid yang kehilangan nalar sehatnya. Ia gelap mata, karena ada yang
berani mengkritik Nurcholish Madjid, tempatnya bergantung secara pemikiran.
Pada bab-2 buku “Islam Liberal” itu, saya menulis satu bab khusus
berjudul: “Nurcholish Madjid: Lokomotif Yang Nyaris Dikultuskan”.
Buku
ini saya tulis setelah saya berkesempatan berbicara dalam satu panel dengan
Nurcholish Madjid dalam acara diskusi di Yayasan Aksara Jakarta, pada 31 Januari
2002. Pembicara lain ialah Syafii Maarif, Ja’far Umar Thalib, dan Ulil Abshar
Abdalla. Banyak lontaran-lontaran pendapat Nurcholish yang kemudian memicu saya
untuk mengecek langsung ke sumber-sumber yang ditunjuknya.
Di bab inilah
saya paparkan banyak kesalahan, kelemahan, dan ketidakjujuran beberapa tulisan
Nurcholish Madjid dalam berbagai bukunya.
Semua kutipan tulisan
Nurcholish Madjid saya cantumkan rujukannya. Jelas. Gamblang. Buku ini pun saya
kirimkan ke Nurcholish Madjid. Beberapa bulan kemudian, saya juga datang ke
Paramadina memenuhi undangan dari Fakultas Agama dan Filsafat. Tidak ada fitnah
dan tidak ada kebencian di situ.
Si penulis surat elektronik itu lupa,
bahwa pada tahun 1972, penerbit Bulan Bintang Jakarta sudah menerbitkan buku
Prof. HM Rasjidi berjudul Koreksi terhadap Drs. Nurcholis Madjid tentang
Sekularisasi.
Buku Rasjidi ini sangat menarik dan ilmiah, meskipun
Rasjidi mengakui sebenarnya enggan memberikan tanggapan secara terbuka kepada
Nurcholish.
Dalam pengantar bukunya, ia semula merasa tidak perlu ikut
berpolemik, karena lebih suka mengutamakan pendekatan secara personal dan
persaudaraan serta dalam kalangan terbatas, sehingga dapat menghasilkan konklusi
yang tepat dengan tidak menghebohkan masyarakat yang sebagian besar tidak dapat
mengikuti argumentasi serta menyelami bidang perbedaan pendapat. Ia mengaku
telah tiga kali menyampaikan pesan itu kepada Nurcholish, melalui
teman-temannya. Namun, harapan Prof. Rasjidi tidak mendapat tanggapan.
Ia menulis dalam bukunya dengan nada prihatin terhadap ulah anak muda
itu: “Soal yang begitu prinsipil tidak sepatutnya dilancarkan kepada umum
sebelum ada diskusi yang matang di kalangan orang-orang yang merasa bertanggung
jawab.”
Itulah sepenggal kisah sosok Nurcholish Madjid saat diberi
nasehat oleh seorang ilmuwan besar seperti Prof. Rasjidi. Ketika itu, Nurcholish
bukanlah “apa-apa” dibanding Rasjidi. Tetapi, nasehat Rasjidi tidak digubris dan
dibiarkan saja berlalu. Sebenarnya bisa dipahami jika harapan Rasjidi untuk
mengerem laju sekularisasi Nurcholish akan sia-sia, sebab kemunculan Nurcholish
Madjid bukanlah satu fenomena tunggal.
Ia bisa dikatakan sebagai bagian
dari rekayasa besar upaya proses sekularisasi dunia Islam. Dalam proyek besar
ini, Nurcholish bukanlah “sutradara”, ia memang pemain yang telah dipilih untuk
menjalankan perannya sebagai aktor dan agen yang handal untuk melakukan apa yang
disebut sebagai “sekularisasi” atau “pembaruan Islam”, agar Islam sesuai dan
sejalan dengan semangat kemodernan.
Karena itu, wajar, jika Nurcholish
dan “sutradara” di belakangnya tidak terlalu mempedulikan kritik. Justru, kritik
dan kecaman diolah menjadi bahan pemacu melesatkan namanya sebagai “tokoh besar”
dalam tataran opini di media massa, baik dalam tataran nasional maupun global.
Soal istilah “sekularisasi” itu sendiri, misalnya, telah menimbulkan
polemik keras sejak diluncurkan oleh Nurcholish Madjid pada 2 Januari 1970.
Ketika itu, dalam diskusi yang diadakan oleh HMI, PII, GPI, dan Persami, di
Menteng Raya 58, Nurcholish Madjid Nurcholish Madjid menyatakan: “… dengan
sekularisasi tidaklah dimaksudkan penerapan sekularisme dan merobah kaum
muslimin menjadi kaum sekularis. Tapi dimaksudkan untuk menduniakan nilai-nilai
yang sudah semestinya bersifat duniawi dan melepaskan ummat Islam dari
kecenderungan untuk mengukhrowikannya.”
Dalam bukunya, Prof. HM Rasjidi
mengritik keras cara-cara Nurcholish dalam menggunakan istilah yang dapat
menimbulkan pengertian yang menyesatkan di kalangan muslim. Dengan
mengampanyekan “sekularisasi”, Menurut Rasjidi, Nurcholish Madjid melukiskan
seolah-olah Islam memerintahkan sekularisasi dalam arti Tauhid.
Kata
Prof. Rasjidi: “Kalau soalnya seperti yang dituturkan Saudara Nurcholish, maka
segala sesuatu telah menjadi arbitrair atau semau gue. Secara ekstrim boleh saja
kata sekularisasi tersebut diganti dengan pisang goreng, atau kopi jahe atau es
jahe dan sebagainya dengan tidak ada konsekuensi apa-apa. Kalau saya berkata,
yang saya maksud dengan pisang goreng adalah sikap manusia yang mengesakan Tuhan
dan menganggap benda-benda lain tidak layak dipuja, maka tak seorang pun berhak
melarang saya berbuat demikian. Mereka hanya ketawa dalam hati mereka, karena
keanehan istilah tersebut.”
Rasjidi juga menjelaskan sejarah pertumbuhan
paham sekularisme dan proses sekularisasi di Barat. Sebagai ilmuwan sejati,
Rasjidi berusaha berdisiplin dalam menggunakan istilah. Bahkan, ia mengutip
pendapat Alan Richardson dalam bukunya “Religion in Contemporary Debate”, yang
menyatakan, bahwa “Saya lebih suka mengatakan bahwa tujuan agama Kristen adalah
untuk menghilangkan bidang sekuler, sehingga tak ada bidang kehidupan yang
berada di luar kuasa Kristus.” (dalam bukunya, Rasjidi menerjemahkan frasa “The
Sovereign lordship of Christ” dengan “kuasa (Nabi) Isa”).
Bagi para
ilmuwan, kedisiplinan dalam penggunaan istilah adalah hal yang prinsip. Sebab,
satu istilah yang sudah dikenal secara luas di kalangan ilmuwan, tidak mudah
begitu saja diubah, tanpa ada teori baru yang kuat.
Istilah sekularisasi
merupakan istilah yang ‘mapan’ dan tidak bisa begitu saja digunakan secara
serampangan. Apalagi, istilah yang muncul dalam latar belakang tradisi
Kristen-Barat itu kemudian dicangkokkan begitu saja ke dalam khazanah tradisi
Islam. Cangkok mencangkok satu istilah – tanpa melalui proses adopsi dan adapsi
yang tepat – akan menimbulkan dampak yang fatal.
Masing-masing peradaban
memiliki konsep-konsep khas yang disimbolkan dalam istilah-istilah yang khas
pula. Istilah “syahadat”, “taqwa”, “sholeh”, “salaf”, “tajdid”, dan sebagainya
merupakan istilah yang khas dalam khazanah peradaban Islam. Seorang yang masuk
agama Kristen tidak bisa dikatakan telah “disyahadatkan” secara Kristen.
George W. Bush yang disebut-sebut sebagai seorang Kristen puritan dan
taat, tidak bisa dikatakan sebagai seorang Kristen salafi dan sholeh.
Begitu juga sebaliknya, masuknya istilah-istilah asing yang aneh dalam
tradisi Islam bisa menjadi satu upaya pencangkokan yang sembrono, yang dapat
mengacak-acak bangunan pemikiran Islam. Misalnya, sebutan “sekularisasi Islam”,
“liberalisasi Islam”, “Islam fundamentalis”, “reformasi Islam”, dan sebagainya.
Pencangkokan istilah “sekularisasi” oleh Nurcholish Madjid untuk Islam
itulah yang sejak tahun 1970-an dulu sudah dikritik oleh Prof. Rasjidi. Dan
Nurcholish tidak mempedulikan nasehat para tokoh dan orang tua ketika itu.
Wallahu a’lam. (Jakarta, 23 September 2005).
Catatan Akhir Pekan (CAP)
Adian Husaini berkat kerjasama Radio Dakta 107 FM dan http://www.hidayatullah.com/ Catatan ini disiarkan di radio
Dakta dan dimuat di http://www.hidayatullah.com/
Jumat, 16 Maret 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar