Pages

Jumat, 16 Maret 2012

Pendukung Nurcholish Madjid Mengamuk"

Oleh: Adian Husaini
Pengikut setia Nurcholish Madjid ‘mengamuk’ gara-gara membaca Catatan Akhir Pekan (CAP) saya tentang Nurcholish Madjid. Ia menulis “Adian Husaini: dendam tiada ujung”.

Seorang pengikut setia Nurcholish Madjid ‘mengamuk’ gara-gara membaca Catatan Akhir Pekan (CAP) saya tentang Nurcholish Madjid. Orang yang mengaku bernama Elza Peldi Taher ini menulis sebuah email dan disebarluaskan kemana-mana, dengan judul “Adian Husaini: dendam tiada ujung”.

Berikut ini kutipan isi tulisan pendukung Nurcholish Madjid tersebut:
“Meninggalnya Cak Nur rupanya membuat iri dan jengkel Adian Husaini. Iri karena Cak Nur pergi dengan “husnul Khatimah”, dimakamkan di Taman Pahlawan Kalibata, mendapat simpati yang luar biasa dari masyarakat dan liputan yang luar biasa dari semua media.


Ketika jenazah Cak Nur sudah sampai di tempat pemakaman Kalibata, hampir separuh pengiringnya belum beranjak dari Universitas Paramadina, tempat jenazah Cak Nur disemayamkan. Hal ini menunjukkan pengakuan besarnya simpati pada Cak Nur. Adian juga amat jengkel karena sampai akhir hayatnya Cak Nur yang dimatanya sesat dan antek zionis itu tetap konsisten, tak mau mencabut pernyataannya yang sesat dan menganggu iman umat Islam itu, meski menjelang kematiannya mereka mengirim utusan meminta Cak Nur untuk bertobat. Adalah wajar, sebagai pengiritik Cak Nur paling konsisten, Adian dan kelompoknya tidak rela melihat orang yang mereka benci dipuji banyak orang. Adian bagaikan hakim yang geram melihat Cak Nur--terpidana dan penghianat—meninggal dengan “husnul Khatimah” sementara ia belum mengakui kesalahannya, belum mendapat hukumannya di dunia.”

Membaca tulisan emosional seperti itu kita sungguh merasa kasihan. Seorang yang dicitrakan sebagai cendekiawan besar justru dikultuskan dan dimitoskan oleh pendukungnya, tanpa dasar-dasar ilmiah yang kuat.

Dalam mengkritik pemikiran-pemikiran Nurcholish Madjid kita tidak ada urusan dengan masalah dendam dan iri hati. Banyak tokoh Islam menolak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, dan berpesan kepada keluarganya agar – jika meninggal – ia dimakamkan di pemakaman biasa bersama jenazah kaum Muslim yang lainnya. Dimakamkan di TMP bukan jaminan sebagai orang bersih dan terhormat secara hakiki. Ada koruptor dan penindas umat Islam Indonesia juga dimakamkan di situ. Jadi, tidak perlu iri dan dendam soal tempat pemakaman tersebut.

Lagi pula, mengapa kritik dan perbedaan pendapat dicap sebagai “dendam tiada ujung”? Soal banyaknya orang yang bersimpati dengan Nurcholish Madjid, itu sudah hal yang wajar. Sebab, dia adalah figur publik. Ia tokoh terkenal.

Ketika Elvis Presley dan John Lennon meninggal juga berjuta orang meratapi kepergiannya. Lady Di pun begitu. Jutaan orang di seluruh menaruh simpati. Malah banyak yang histeris, seperti kehilangan tokoh hebat. Ini semua adalah bagian dari arus budaya global yang tidak lepas dari peran media massa. Jadi, banyaknya publik yang bersimpati tidak dapat dijadikan ukuran apakah seseorang “khusnul khatimah” atau tidak. Masalah “khusnul khatimah” atau tidak ini kita serahkan kepada Allah SWT.

Banyak para pejuang Islam, para Ustad yang gigih mengajar mengaji di pesolok-pelosok pedalaman, meninggal tanpa banyak orang tahu. Hanya dia, keluarganya, dan beberapa orang saja yang tahu dan menguburkannya. Tidak ada sorotan kamera, tidak ada penghargaan dari pemerintah.

Tetapi, bukan berarti para guru ngaji yang ikhlas itu nilainya lebih rendah daripada John Lennon yang terkenal. Sekali lagi, dalam memberikan kritik-kritik terhadap pemikiran Nurcholish Madjid, kita tidak menaruh dendam atau iri hati.

Kita ingin menyadarkan para pengagum pemikiran-pemikiran keagamaan Nurcholish Madjid, bahwa banyak diantara pemikirannya yang tidak benar, keliru, dan bahkan berbahaya. Tidak semua pemikirannya baik dan membawa maslahat.

Pemikiran Nurcholish Madjid tentang sekularisasi dan pluralisme agama bukanlah pemikiran yang membawa maslahat, tetapi justru membawa kerusakan. Itu kita sampaikan dengan hujjah-hujjah dan bukti-bukti yang jelas, agar para pemuja Nurcholish sadar dan bertobat. Sebab, ada usaha-usaha serius untuk menjadikan pemikiran keagamaan Nurcholish Madjid sebagai pedoman hidup umat Islam.

Kita paham, ketika kita sampaikan hal tersebut, banyak orang yang terperanjat. Mengapa orang yang meninggal dibongkar-bongkar kesalahannya.

Bahkan ada yang menyatakan, kuburnya saja belum kering, kok kesalahannya dibongkar-bongkar. Cara berpikir seperti ini sungguh aneh. Sebab, pemikiran tidak mengenal waktu. Tokoh-tokoh sekular-liberal dalam sejarah Islam, seperti Musthafa Kemal Attaturk, adalah orang-orang yang sudah meninggal. Pemikiran tidak mengenal hidup atau mati, karena pemikiran disebarkan terus tanpa batas lokasi dan waktu.

Si penulis surat itu juga mengatakan bahwa Nurcholish Madjid memang tidak perlu menganggapi kritik-kritik terhadapnya, karena Nurcholish terlalu tinggi levelnya dibandingkan para pengritiknya. Ia mengaku sudah membaca buku saya yang mengkritik Nurcholish Madjid, yaitu buku “Islam Liberal: Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan, dan Jawabannya.” (2002).

Ia menulis: “Saya sudah membaca buku itu (Islam Liberal.pen) dan saya berkesimpulan buku itu hanya seonggokan sampah yang tak perlu dibaca oleh siapa pun, karena isinya penuh dengan fitnah dan kebencian.”

Si penulis itu adalah salah satu contoh pemuja Nurcholish Madjid yang kehilangan nalar sehatnya. Ia gelap mata, karena ada yang berani mengkritik Nurcholish Madjid, tempatnya bergantung secara pemikiran.

Pada bab-2 buku “Islam Liberal” itu, saya menulis satu bab khusus berjudul: “Nurcholish Madjid: Lokomotif Yang Nyaris Dikultuskan”.

Buku ini saya tulis setelah saya berkesempatan berbicara dalam satu panel dengan Nurcholish Madjid dalam acara diskusi di Yayasan Aksara Jakarta, pada 31 Januari 2002. Pembicara lain ialah Syafii Maarif, Ja’far Umar Thalib, dan Ulil Abshar Abdalla. Banyak lontaran-lontaran pendapat Nurcholish yang kemudian memicu saya untuk mengecek langsung ke sumber-sumber yang ditunjuknya.

Di bab inilah saya paparkan banyak kesalahan, kelemahan, dan ketidakjujuran beberapa tulisan Nurcholish Madjid dalam berbagai bukunya.

Semua kutipan tulisan Nurcholish Madjid saya cantumkan rujukannya. Jelas. Gamblang. Buku ini pun saya kirimkan ke Nurcholish Madjid. Beberapa bulan kemudian, saya juga datang ke Paramadina memenuhi undangan dari Fakultas Agama dan Filsafat. Tidak ada fitnah dan tidak ada kebencian di situ.

Si penulis surat elektronik itu lupa, bahwa pada tahun 1972, penerbit Bulan Bintang Jakarta sudah menerbitkan buku Prof. HM Rasjidi berjudul Koreksi terhadap Drs. Nurcholis Madjid tentang Sekularisasi.

Buku Rasjidi ini sangat menarik dan ilmiah, meskipun Rasjidi mengakui sebenarnya enggan memberikan tanggapan secara terbuka kepada Nurcholish.

Dalam pengantar bukunya, ia semula merasa tidak perlu ikut berpolemik, karena lebih suka mengutamakan pendekatan secara personal dan persaudaraan serta dalam kalangan terbatas, sehingga dapat menghasilkan konklusi yang tepat dengan tidak menghebohkan masyarakat yang sebagian besar tidak dapat mengikuti argumentasi serta menyelami bidang perbedaan pendapat. Ia mengaku telah tiga kali menyampaikan pesan itu kepada Nurcholish, melalui teman-temannya. Namun, harapan Prof. Rasjidi tidak mendapat tanggapan.

Ia menulis dalam bukunya dengan nada prihatin terhadap ulah anak muda itu: “Soal yang begitu prinsipil tidak sepatutnya dilancarkan kepada umum sebelum ada diskusi yang matang di kalangan orang-orang yang merasa bertanggung jawab.”

Itulah sepenggal kisah sosok Nurcholish Madjid saat diberi nasehat oleh seorang ilmuwan besar seperti Prof. Rasjidi. Ketika itu, Nurcholish bukanlah “apa-apa” dibanding Rasjidi. Tetapi, nasehat Rasjidi tidak digubris dan dibiarkan saja berlalu. Sebenarnya bisa dipahami jika harapan Rasjidi untuk mengerem laju sekularisasi Nurcholish akan sia-sia, sebab kemunculan Nurcholish Madjid bukanlah satu fenomena tunggal.

Ia bisa dikatakan sebagai bagian dari rekayasa besar upaya proses sekularisasi dunia Islam. Dalam proyek besar ini, Nurcholish bukanlah “sutradara”, ia memang pemain yang telah dipilih untuk menjalankan perannya sebagai aktor dan agen yang handal untuk melakukan apa yang disebut sebagai “sekularisasi” atau “pembaruan Islam”, agar Islam sesuai dan sejalan dengan semangat kemodernan.

Karena itu, wajar, jika Nurcholish dan “sutradara” di belakangnya tidak terlalu mempedulikan kritik. Justru, kritik dan kecaman diolah menjadi bahan pemacu melesatkan namanya sebagai “tokoh besar” dalam tataran opini di media massa, baik dalam tataran nasional maupun global.

Soal istilah “sekularisasi” itu sendiri, misalnya, telah menimbulkan polemik keras sejak diluncurkan oleh Nurcholish Madjid pada 2 Januari 1970. Ketika itu, dalam diskusi yang diadakan oleh HMI, PII, GPI, dan Persami, di Menteng Raya 58, Nurcholish Madjid Nurcholish Madjid menyatakan: “… dengan sekularisasi tidaklah dimaksudkan penerapan sekularisme dan merobah kaum muslimin menjadi kaum sekularis. Tapi dimaksudkan untuk menduniakan nilai-nilai yang sudah semestinya bersifat duniawi dan melepaskan ummat Islam dari kecenderungan untuk mengukhrowikannya.”

Dalam bukunya, Prof. HM Rasjidi mengritik keras cara-cara Nurcholish dalam menggunakan istilah yang dapat menimbulkan pengertian yang menyesatkan di kalangan muslim. Dengan mengampanyekan “sekularisasi”, Menurut Rasjidi, Nurcholish Madjid melukiskan seolah-olah Islam memerintahkan sekularisasi dalam arti Tauhid.

Kata Prof. Rasjidi: “Kalau soalnya seperti yang dituturkan Saudara Nurcholish, maka segala sesuatu telah menjadi arbitrair atau semau gue. Secara ekstrim boleh saja kata sekularisasi tersebut diganti dengan pisang goreng, atau kopi jahe atau es jahe dan sebagainya dengan tidak ada konsekuensi apa-apa. Kalau saya berkata, yang saya maksud dengan pisang goreng adalah sikap manusia yang mengesakan Tuhan dan menganggap benda-benda lain tidak layak dipuja, maka tak seorang pun berhak melarang saya berbuat demikian. Mereka hanya ketawa dalam hati mereka, karena keanehan istilah tersebut.”

Rasjidi juga menjelaskan sejarah pertumbuhan paham sekularisme dan proses sekularisasi di Barat. Sebagai ilmuwan sejati, Rasjidi berusaha berdisiplin dalam menggunakan istilah. Bahkan, ia mengutip pendapat Alan Richardson dalam bukunya “Religion in Contemporary Debate”, yang menyatakan, bahwa “Saya lebih suka mengatakan bahwa tujuan agama Kristen adalah untuk menghilangkan bidang sekuler, sehingga tak ada bidang kehidupan yang berada di luar kuasa Kristus.” (dalam bukunya, Rasjidi menerjemahkan frasa “The Sovereign lordship of Christ” dengan “kuasa (Nabi) Isa”).

Bagi para ilmuwan, kedisiplinan dalam penggunaan istilah adalah hal yang prinsip. Sebab, satu istilah yang sudah dikenal secara luas di kalangan ilmuwan, tidak mudah begitu saja diubah, tanpa ada teori baru yang kuat.

Istilah sekularisasi merupakan istilah yang ‘mapan’ dan tidak bisa begitu saja digunakan secara serampangan. Apalagi, istilah yang muncul dalam latar belakang tradisi Kristen-Barat itu kemudian dicangkokkan begitu saja ke dalam khazanah tradisi Islam. Cangkok mencangkok satu istilah – tanpa melalui proses adopsi dan adapsi yang tepat – akan menimbulkan dampak yang fatal.

Masing-masing peradaban memiliki konsep-konsep khas yang disimbolkan dalam istilah-istilah yang khas pula. Istilah “syahadat”, “taqwa”, “sholeh”, “salaf”, “tajdid”, dan sebagainya merupakan istilah yang khas dalam khazanah peradaban Islam. Seorang yang masuk agama Kristen tidak bisa dikatakan telah “disyahadatkan” secara Kristen.

George W. Bush yang disebut-sebut sebagai seorang Kristen puritan dan taat, tidak bisa dikatakan sebagai seorang Kristen salafi dan sholeh.

Begitu juga sebaliknya, masuknya istilah-istilah asing yang aneh dalam tradisi Islam bisa menjadi satu upaya pencangkokan yang sembrono, yang dapat mengacak-acak bangunan pemikiran Islam. Misalnya, sebutan “sekularisasi Islam”, “liberalisasi Islam”, “Islam fundamentalis”, “reformasi Islam”, dan sebagainya.

Pencangkokan istilah “sekularisasi” oleh Nurcholish Madjid untuk Islam itulah yang sejak tahun 1970-an dulu sudah dikritik oleh Prof. Rasjidi. Dan Nurcholish tidak mempedulikan nasehat para tokoh dan orang tua ketika itu. Wallahu a’lam. (Jakarta, 23 September 2005).

Catatan Akhir Pekan (CAP) Adian Husaini berkat kerjasama Radio Dakta 107 FM dan http://www.hidayatullah.com/ Catatan ini disiarkan di radio Dakta dan dimuat di http://www.hidayatullah.com/

0 komentar:

Posting Komentar