Oleh: Adian Husaini
Beberapa waktu lalu saya mendapatkan satuan mata kuliah bertajuk
“Kajian Orientalisme terhadap Al-Quran dan Hadits” di Program Studi Tafsir
Hadits Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Jakarta. Mata kuliah ini diberikan
untuk mahasiswa semester VIII.
Yang menarik untuk ditelaah adalah tujuan
diberikannya mata kuliah ini kepada mahasiswa, yakni, agar ‘’Mahasiswa dapat
menjelaskan dan menerapkan kajian orientalis terhadap Al-Quran dan
hadits.’’
Ada empat buku referensi yang dianjurkan untuk dibaca yaitu (1)
buku karya Mohammed Arkoun, Rethinking Islam; (2) buku Norman Calder berjudul
‘Studies in Early Muslim Jurisprudence’ (3) buku Kenneth Cragg, ‘The Event of
the Quran: Islam in Its Scripture’ ; (4) buku Farid Essac, berjudul Qur’an
Liberalism and Pluralism: an Islamic Perspective of Interreligious Solidarity
againts Oppression).
Kurikulum di sebuah perguruan Tinggi Islam terbesar
ini sangat penting untuk ditelaah, mengingat kurikulum adalah panduan untuk
mengarahkan jenis mahasiswa macam apakah yang diinginkan untuk dibentuk
pemikirannya, khususnya terhadap Al-Quran dan hadits. Apalagi, kurikulum ini
diberikan di jurusan tafsir dan hadits.
Dari tujuan dan daftar referensi
yang dianjurkan sudah terlihat dengan nyata, bahwa UIN Jakarta – khususnya
jurusan tafsir hadits – ingin membentuk sarjana agama yang berpikiran model
orientalis, khususnya dalam bidang Al-Quran dan hadits.
Tentu saja ini
sangat menyedihkan. Dari referensi yang dianjurkan, misalnya, tidak terdapat
karya-karya Edward Said yang dikenal sangat kritis terhadap orientalisme.
Mengutip pendapat Prof. Dr. Ali Husny al-Kharbuthly (Guru Besar di ‘Ain
Syams, Mesir), Prof. Hamka menyebutkan, bahwa ada tiga tujuan orientalisme di
dunia Islam, yaitu (1) Untuk penyebaran agama Kristen ke negeri-negeri Islam,
(2) Untuk kepentingan penjajahan, (3) Untuk kepentingan ilmu pengetahuan semata.
(Hamka, Studi Islam, 1985:12)
Sebuah kajian yang sangat kritis dan
serius tentang kajian orientalisme dalam studi Islam baru-baru ini dibahas dalam
Jurnal ISLAMIA Vol II/3. Dalam tulisannya, Hamid Fahmy Zarkasyi enunjukkan,
bahwa betapa pun halusnya, ada saja kekeliruan orientalis dalam melakukan studi
terhadap Islam. Montgomery Watt, misalnya, yang selama ini dianggap orientais
moderat, ketika menulis tentang Al-Quran dan hadits, ia juga meragukan
otentisitas ajaran Islam.
Ia mencoba membuktikan, bahwa bagian Al-Quran
dan hadits adalah dibuat-buat dan tidak konsisten, dan karena itu tidak dapat
dijadikan sebagai sumber pandangan hidup Islam.
Ia bahkan mencurigai
adanya “ayat-ayat setan” dalam Al-Quran. (Muhammad at Mecca, 1960,
103).
Dari referensi kurikulum Kajian Orientalisme di UIN Jakarta, ada
buku ‘Rethingking Islam’ karya Mohammed Arkoun. Buku Arkoun ini sudah lama
(1996) diterjemahkan dan beredar di Indonesia, dengan judul ‘Rethingking Islam’.
Penerjemahnya seorang dosen Fakultas Adab UIN Yogyakarta dan diterbitkan sebagai
realisasi program kerja ICMI Orsat Montreal, Ottawa, Kanada.
Dalam buku
ini, Arkoun jelas-jelas mengajak kaum Muslim untuk memikirkan kembali dan
membongkar-bongkar hal-hal yang sudah dianggap mapan oleh umat
Islam.
Misalnya, ia mengajak untuk mengkritisi Al-Quran. Bahkan, ia
secara terang-terangan menyayangkan, mengapa kaum Muslim tidak mau mengikuti
jejak kaum Yahudi-Kristen dalam mengkritik kitab sucinya. Arkoun, misalnya,
menyebut Mushaf Utsmani sebagai Corpus Resmi yang Tertutup, dan ia mendukung
upaya orientalis untuk meragukan keabsahan Mushaf Utsmani.
Kata Arkoun :
“Sejarawan-sejarawan modern telah mengkaji pertanyaan ini dengan semangat
kritik, yang secara prinsip dikarenakan Al-Quran dikumpulkan dalam suasana
politik yang sangat kacau. Seorang pakar Kearaban dari Jerman mengemukakan
kajian kritis pertama terhadap teks Al-Quran kira-kira pada tahun
1860.’’
Yang dimaksud oleh Arkoun dengan pakar Kearaban dari Jerman yang
mengkritisi teks al-Quran itu adalah Theodore Nöldeke, yang pada tahun 1860
menerbitkan bukunya, Geschichte des Qurans (Sejarah al-Quran).
Karya
Nöldeke ini terus dikembangkan bersama Schwally, Bergsträsser, dan Otto Pretzl,
dan ditulis selama 68 tahun sejak edisi pertama. Hasilnya, sampai saat ini,
Geschichte des Qorans menjadi karya standar bagi para orientalis khususnya dalam
sejarah kritis penyusunan Al-Quran.
Musthafa A’zhami, dalam bukunya, The
History of The Qur’anic Text, mengutip satu artikel di Encyclopedia Britannica
(1891), dimana Nöldeke menyebutkan banyaknya kekeliruan dalam Al-Quran karena,
kata Nöldeke, “Kejahilan Muhammad” tentang sejarah awal agama Yahudi –
kecerobohan nama-nama dan perincian yang lain yang ia curi dari sumber-sumber
Yahudi.’’
Dalam bukunya, A’zhami membuktikan sejumlah kesalahan fatal
kajian Noldeke tentang Al-Quran.
Itulah Theodore Nöldeke, orientalis
Jerman yang dibanggakan oleh Arkoun telah melakukan studi kritis terhadap teks
Al-Quran dan telah menuduh Nabi Muhammad sebagai penulis al-Quran dan orang
jahil.
Anehnya, bukannya mengkritisi pemikiran Nöldeke, Arkoun justru
menyesalkan, mengapa sarjana Muslim tidak mengikuti kaum orientalis dalam
mengkritik teks Al-Quran tersebut.
Ia menulis dalam bukunya : "Sayang
sekali bahwa kritik filosofis terhadap teks suci – yang telah
diterapkan pada
Bible berbahasa Hebrew dan Perjanjian Baru tetapi tidak menimbulkan
konsekuensi-konsekuensi negatif bagi konsep wahyu – terus ditolak oleh pendapat
ilmiah umat Islam.
Karya-karya aliran Jerman terus diabaikan, dan
ilmuwan-ilmuwan Muslim tidak berani melakukan penelitian semacam itu walaupun
penelitian ini akan memperkuat fondasi ilmiah sejarah mushaf dan teologi wahyu.
Alasan yang melatarbelakangi perlawanan ini bersifat politik dan
psikologis.’’
Saran Arkoun agar umat Islam melakukan kritik teks Al-Quran
sejak lama memang sudah dianjurkan oleh para orientalis.
Tahun 1927,
seorang pendeta Kristen asal Iraq, Prof. Alphonse Mingana, sudah menganjurkan,
agar menempatkan Al-Quran sebagai subjek kritisisme sebagaimana telah dilakukan
terhadap Bible. (The time has surely come to subject the text of the Qur’an to
the same criticism as that to which we subject the Hebrew and Aramaic of the
Jewish Bible, and the Greek of the Christian scriptures).
Para
orientalis Yahudi dan Kristen selama ini berusaha meruntuhkan keyakinan kaum
Muslim, bahwa Mushaf Al-Quran saat ini adalah benar-benar Firman Allah, lafdhan
wa ma’nan, dari Allah. Tidak ada unsur manusiawi di dalamnya. Bahkan, redaksi
al-Quran itu sendiri sama sekali tidak ada campur tangan Nabi Muhammad saw.
Dalam surat al-Haaqqah ayat 44-46, Allah memberikan ancaman kepada Nabi
Muhammad saw:
“Seandainya dia (Muhammad) mengada-adakan sebagian perkataan
atas (nama) Kami, niscaya Kami pegang dia pada tangan kanannya, kemudian
benar-benar Kami potong urat tali jantungnya.”
Konsep teks Al-Quran sebagai
firman Allah ini sangat berbeda dengan konsep teks Bible yang juga dikatakan
oleh kaum Kristen sebagai ‘firman Tuhan’. Sebab, Al-Quran adalah Kitab yang
tanzil, yang diturunkan melalui Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad saw.
Sedangkan Bible adalah kitab yang ditulis oleh para penulis Bible yang
dikatakan mendapat inspirasi dari Roh Kudus. Sehingga, bagaimana pun, ada unsur
manusiawi dalam konsep teks Bible. Dr. C. Groenen, penulis buku Pengantar ke
Dalam Perjanjian Baru, menyatakan, meskipun penulis Bible dikatakan mendapatkan
inspirasi dari Roh Kudus, tetapi “Konsili Vatikan II juga menggarisbawahi bahwa
inspirasi tidak mematikan aktivitas pribadi para penulis, sehingga betapa suci
pun Alkitab, ia tetap manusiawi.”
Memang, dalam dokumen Konsili Vatikan
II, dei verbum (13), yang menyebutkan: “For the words of God, expressed in human
language, have been made like human discourse, just as of old the Word of the
eternal Father, when he took to Himself the weak flesh of humanity, became like
other man.” (Terjemahan edisi Indonesia, oleh Dr. J. Riberu dari Dokpen MAWI,
1983, adalah: “Sebab sabda Allah, yang diungkapkan dengan bahasa manusia, telah
menjadi sama dengan bahasa manusia, sama seperti dahulu Sabda Bapa Abadi
mengambil daging manusia yang lemah dan menjadi sama dengan manusia.” )
Maka, sebagaimana pemahaman mereka terhadap Bible, sejumlah teolog
Katolik/Kristen mendesak umat Islam agar mengakui unsur-unsur manusiawi dalam
Al-Quran. Michel J. Scanlon, Professor of systematic theology di Washington
Theological Union dan president of the Catholic Theological Society of America,
menyatakan, “The absolute character of the Quran as the Word of God is a
traditional tenet of Islamic orthodoxy.”
(Bahwa karakter absolut
al-Quran sebagai Kata-kata Tuhan adalah doktrin ortodoks Islam). Ia mendukung
gagasan Al-Quran sebagai “resepsi wahyu” (reception of revelation). (Lihat,
Scanlon, Michel J., “Fidelity to Monotheism”, ins Ellis, Kail C. (ed), The
Vatican, Islam, and the Middle East, Syracuse University Press, Syracuse, 1987).
Dalam bukunya, Musthafa A’zhami juga mengutip pendapat teolog Katolik
terkenal, Hans Kung, yang mengusulkan agar kaum Muslimin mau mengakui elemen
kemanusiaan yang ikut bermain pada al-Quran. (Peter Ford, “The Quran as Sacred
Scripture”, dalam Muslim World, No 2, April 1993).
Diantara buku rujukan
“Kajian Orientalisme terhadap Al-Quran dan Hadits” di Program Studi Tafsir Hadis
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Jakarta, juga disebutkan buku Kenneth Cragg
berjudul ‘The Event of the Quran: Islam in Its Scripture’. A’zhami mencatat,
bahwa Cragg adalah seorang pemimpin Gereja Anglikan yang juga mengimbau agar
umat Islam memikirkan kembali konsep wahyu tradisional Islam dan mengusulkan
agar ayat-ayat Madaniah ditinggalkan.
Kasus kurikulum jurusan
Tafsir-Hadis di UIN Jakarta ini merupakan bukti nyata, bahwa
infiltrasi
Orientalisme dalam studi Islam di perguruan tinggi Islam, sudah
terlalu jauh mencengkeram para akademisi Muslim. Ini sangat ironis.
Padahal, betapa pun, para kajian orientalis dalam studi Al-Quran sudah
terbukti mengandung berbagai penyimpangan.
Adalah aneh, jika tujuan
kurikulum itu adalah mengarahkan agar mahasiswa jurusan tafsir-hadits di UIN
Jakarta dapat memahami dan menerapkan kajian orientalis terhadap Al-Quran dan
hadis. Ini aneh dan ajaib. Apakah dosen-dosen yang mengajarkan mata kuliah ini
menyadari dampak yang ditimbulkan dari kurikulum semacam ini?
Tahun 2004
lalu, Kompas menerbitkan buku seorang almunus Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta,
berjudul “Islam Mazhab Kritis”. Tetapi, anehnya, buku ini sama sekali tidak
kritis dalam mengutip pemikiran Arkoun dan pemikir liberal lainnya, seperti Nasr
Hamid Abu Zayd. Sarjana agama dari UIN Jakarta itu menulis:
“Al-Quran
sebagai sebuah teks, menurut Nasr Hamid Abu Zayd, pada dasarnya adalah produk
budaya. (Tekstualitas Al Quran, 2000). Hal ini dapat dibuktikan dengan rentang
waktu terkumpulnya teks Al-Quran dalam 20 tahun lebih yang terbentuk dalam
realitas sosial dan budaya.” (hal. 91).
“Di zaman modern ini, ada dua
mufassir terkemuka yang menggunakan metode hermeneutika yaitu Fazlur Rahman dan
Mohammed Arkoun… Mohammed Arkoen mungkin orang yang secara tuntas mencoba
menggunakan hermeneutika dalam penafsiran Al-Quran.
Untuk kepentingan
analisisnya, Arkoun meminjam teori hermeneutika dari Paul Ricour, dengan
memperkenalkan tiga level “perkataan Tuhan” atau tingkatan Wahyu.” (hal. 94).
Pemberian gelar “mufassir terkemuka” kepada Rahman dan Arkoun adalah
sesuatu pemujaan yang berlebihan dan sama sekali bukan sikap kritis, sebab kedua
orang itu, hingga kini, belum pernah menghasilkan sebuah kitab tafsir pun, dan
teori tafsirnya pun meminjam dari sejumlah pemikir Barat dalam hermeneutika.
Jika kurikulumnya saja seperti itu, bisa dimaklumi, jika ada sarjana
jurusan tafsir-hadis yang sama sekali tidak kritis terhadap kajian hasil
orientalis dan ‘pengikutnya’, tetapi pada saat yang sama, menjadi sangat kritis
terhadap para sahabat Nabi dan para ulama Islam terkemuka. Sikap itu bisa
disebabkan karena kebodohan, atau bisa juga karena penyakit dalam hatinya, yang
memang sudah condong kepada kebatilan.
Bahkan, ada seorang sarjana agama
dari IAIN Semarang, yang dengan ringannya menulis dalam sebuah jurnal: “Dengan
demikian, wahyu sebetulnya ada dua: “wahyu verbal” (“wahyu eksplisit” dalam
bentuk redaksional bikinan Muhammad) dan “wahyu non verbal” (“wahyu implisit”
berupa konteks sosial waktu itu). (Jurnal Justisia, edisi
27/2005).
Sarjana-sarjana agama yang dengan ringannya mengkritisi dan
menghujat Al-Quran semacam inikah yang ingin dihasilkan melalui pendidikan studi
Al-Quran ala orientalis di UIN Jakarta dan sejenisnya? Na’udzubillahi min
dzalika. (Jakarta, 13 Januari 2006/hidayatullah.com).
Catatan Akhir
Pekan Adian Husaini adalah hasil kerjasama Radio Dakta 107 FM dan http://www.hidayatullah.com/
Jumat, 16 Maret 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar