Pages

Jumat, 16 Maret 2012

Agama Baru itu Bernama Pluralisme

Fatwa MUI tentang Pluralisme Agama sudah tepat meskipun terlambat. Sebab, paham ini sudah sedemikian lama dikembangkan - dengan dukungan dana dan fasilitas yang luar biasa – sehingga penyebarannya juga bersifat massif dan infiltratif. Meskipun segelintir pihak menentang fatwa MUI sebagai kekonyolan dan ketoloian, MUI tetap kukuh dan mustahil mencabut fatwanya kembali.

Alhamdulillah, akhirnya fatwa MUI tentang paham Pluralisme Agama dikeluarkan. Fatwa tersebut dengan tegas menyatakan bahwa Pluralisme Agama haram dan bertentangan dengan ajaran Islam. Meskipun sudah agak terlambat, ketetapan MUI tersebut sangat patut disyukuri. Fatwa MUI tentang Pluralisme Agama ini merupakan suatu keberanian, karena paham yang disebarkan oleh ke-kuatan global ini bukan main besar dukungan politis dan biayanya. Karena itu, wajar jika MUI terus-menerus dihujat dan dicaci karena berani mengeluarkan fatwa tersebut."

Hal itu dikatakan oleh Dosen Perban-dingan Agama Universitas Islam International Malaysia, Anis Malik Thoha, PhD dalam Diskusi Panel: "Fatwa MUI tentang Sekularisme, Liberalisme dan Pluralisme Agama" yang diselenggarakan Dewan Dakwah Islamiyyah Indonesia (DDII) beberapa waktu lalu di Jakarta. Dalam diskusi tersebut, juga hadir Dr. Ugi Suharto (Direktur Eksekutif INSIST), Adian Husaini (Kandidat Doktor IsTAC-IIUM Kuala Lumpur), KH. Cholil Ridwan (Ketua MUI), dan Husein Umar (Ketua DDII).

Menurut Anis Malik Thoha yang juga Rois Syuriah NU Cabang Istimewa Malaysia, untuk memahami wacana Pluralisme Agama, perlu ditelusuri sejarahnya, paling kurang, sejak awal abad ke-20. Ketika itu, seorang teolog Kristen Jerman bernama Ernst Troeltsch mengungkap perlunya bersikap pluralis di tengah berkembangnya konflik internal agama Kristen maupun antar-agama. Dalam artikelnya yang berjudul "The Place of Christianity among the World Religions", Ernst Troeltsch mengatakan, umat Kristiani tidak berhak mengklaim paling benar sendiri.

Pendapat senada banyak dilontarkan sejumlah pemikir dan teolog Kristen lainnya seperti William E. Hocking dan sejarawan terkenal Arnold Toyribee. Oleh karena itu, gerakan ini dapat dikatakan sebagai "liberalisasi agama Kristen" yang telah dirintis dan diasaskan oleh tokoh Protestan Liberal, Friedrich Schleiermacher, pada sekitar perte-ngahan abad ke-19 lewat pergerakannya yang dikenal dengan "Liberal Protestantism".

Konflik internal Kristen yang hebat ketika itu telah mendorong Presiden AS, Grover Cleveland, turun tangan untuk mengakhiri perang antar aliran tersebut. Pada awal-awal abad ke-20 juga mulai bermunculan ber-macam-macam aliran fundamentals Kristen di AS. Jadi, selain konflik antar aliran Kristen, ternyata faktor politik juga sangat terkait dengan latar belakang gagasan ini.

Lebih lanjut, Anis Malik Thoha menje-laskan, sebagai suatu bentuk liberalisasi agama, Pluralisme Agama adalah respon teologis terhadap political pluralism yang telah cukup lama digulirkan sebagai wacana oleh para peletak dasar-dasar demokrasi pada awal-awal abad modern, yang secara nyata dipraktikkan oleh AS. Kecenderungan umumdunia Barat waktu itu tengah berusaha menuju modernisasi di segala bidang. Dan salah satu cirri dan modern yang dihembus-kan adalah demokrasi, globalisasi dan HAM. 'Jika dilihat dari konteks ini, maka Pluralisme Agama pada hakekatnya adalah gerakan politik dan bukan gerakan agama. Setiap manusia dipandang sama, tidak ada ras, suku, bangsa atau agama yang berhak mengklaim bahwa dirinya paling unggul," paparAnis.


Pembela Sipilis


Seperti diberitakan sebelumnya, pada 29 Juli 2005 lalu, MUI menetapkan fatwa, bahwa sekularisme, liberalisme, dan pluralisme agama adalah paham yang bertentangan dengan ajaran Islam dan haram bagi umat Islam memeluknya. Ada yang menyingkat ketiga paham itu sebagai "sipilis" (sekularisme, pluralisme, dan liberalisme). Berbagai komentar sudah muncul terhadap fatwa tersebut. Sayangnya, pengkritis fatwa MUI yang tidak jujur dan tidak paham dengan hakekat paham ini.

Saat ulang tahun Abdurrahman Wahid alias Gus Dur yang ke-65, yang dirayakan pada Kamis (4 Agustus 2005) lalu, berulang kali terdengar pekik "Hidup Pluralisme" dan "Tolak Fatwa MUI". Perayaan ulang tahun Gus Dur juga sekaligus mengusung tema "Merayakan Pluralisme". Acara Ultah tersebut adalah contoh bagaimana kerasnya penolakan terhadap fatwa MUI tersebut.

MUI sendiri mendefinisikan Pluralisme Agama (PA) sebagai suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama, dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar, sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan disurga."

Definisi MUI itulah yang kemudian dikritik beberapa pemeluk dan penyebar paham pluralis dan liberalisme ini. Direktur International Centre for I slam and Pluralism Syafi'i Awar menilai, fatwa-fatwa MUI itu adalah sebuah kemunduran yang luar biasa. Bahkan dedengkot JIL (Jaringan Islam Liberal) Ulil Absar Abdalla mencela fatwa MUI sebagai kekonyolan dan ketololan.

Dalam disertasinya, Greb Barton menjelaskan beberapa prinsip gagasan Islam liberal yang dikembangkan di Indonesia: (a) Pentingnya kontekstualisasi ijtihad, (b) Komitmen terhadap rasionalitas dan pembaruan, (c) Penerimaan terhadap pluralisme sosial dan pluralisme agama-agama, (d) Pemisahan agama dari partai politik dan adanya posisi non-sektarian negara.

Menurut Barton, ada empat tokoh Islam Liberal di Indonesia, yaitu Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Nurcholish Madjid (Cak Nur), Ahmad Wahib, dan Djohan Effendi (sumber: "Gagasan Islam Liberal di Indonesia, Penerbitan Paramidana, Jakarta, 1999).

Karena itu, menjadi tidak sinkron dan jauh melenceng bila mendengar pernyataan Syafi'I Anwar dalam mendefinisikan pluralisme agama, dengan mengatakan, bukan menyamakan semua agama, melainkan saling menghormati.

Pluralisme agama itu sendiri adalah istilah khas dalam teologi. Nurcholish Madjid menyatakan, ada tiga sikap dialog agama yang dapat diambil. Yaitu, pertama, sikap eksklusif dalam melihat agama lain (agama-agama lain adalah jalan yang salah, yang menyesatkan bagi pengikutnya). Kedua, sikap inklusif (agama-agama lain adalah ntuk implisit agama kita). Ketiga, sikap pluralis (agama-agama lain adalah jalan yang sama-sama sah untuk mencapai kebenaran yang sama atau setiap agama mengekspresikan bagian penting sebuah kebenaran).

Di dalam bukunya, pernah menulis buku berjudul "Samakah Semua Agama?, Dr. J. Verkuil menceritakan sebuah hikayat Nathan der Weise (Nathan yang bijaksana). Nathan adalah seorang Yahudi yang ditanya oleh Sultan Saladin tentang agama manakah yang terbaik, apakah Islam, Yahudi atau Nasrani. Lalu dijawab Nathan, semua agama itu intinya sama saja. Perlu diketahui, hikayat Nathan itu ditulis oleh Lessing (1729-1781), seorang Kristen yang mempercayai bahwa intisari agama Kristen adalah Tuhan, kebajikan, dan kehidupan kekal. Intisari itu, menurutnya, juga terdapat pada Islam, Yahudi dan agama lainnya.

Dalam Konferensi Parlemen Agama-agama di Chicago tahun 1893, diserukan bahwa tembok pemisah antara berbagai agama di dunia ini sudah runtuh. Konferensi itu akhirnya menyerukan persamaan antara Kong Hu Tsu, Budha, Islam dan agama-agama lain. Mereka juga berkesimpulan bahwa berita yang disampaikan oleh para nabi itu sama saja.

Vatikan Menolak


Sangatlah aneh bila Ulil cs telah menyamakan semua agama. Padahal tokoh Kristen sendiri, seperti Frans Magnis Suseno telah menolak keras Pluralisme Agama. Menurut Magnis. Pluraslisme Agama, sebagaimana diperjuangkan di kalangan Kristen oleh teolog-teolog seperti John Hich, Paul F. Knitter (Protestan) dan Raimundo Panikkar (Katolik), adalah paham yang menolak eksklusivisme kebenaran. Bagi mereka, anggapan bahwa hanya agamanya sendiri yang benar merupakan kesombongan.

Paham-paham Pluralisme Agama, menurutnya, jelas-jelas ditolak oleh Gereja Katolik. Pada tahun 2001, Vatikan menerbitkan penjelasan "Dominus Jesus". Penjelasan ini, selain menolak paham Pluralisme Agama, juga menegaskan kembali bahwa Yesus Kristus adalah satu-satunya pengantar keselamatan ilahi dan tidak ada orang yang bisa ke Bapa selain melalui Yesus. Di kalangan Katolik sendiri, Dominus Jesus menimbulkan reaksi keras. "Toleransi tidak menuntut agar kita semua menjadi sama. Toleransi.yang sebenarnya adalah menerima orang lain, kelompok lain, keberadaan agama lain, dengan baik, mengakui dan menghormati keberadaan mereka dalam keberlainan mereka! Toleransi justru bukan asimilasi, melainkan menghormati penuh identitas masing-masing yang tidak sama," ujar Frans Magnis Suseno.

Dikatakan Adian Husaini, fatwa MUI tentang Pluralisme Agama sudah tepat, meskipun sebenarnya terlambat. Sebab, paham ini sudah sedemikian lama dikembangkan - dengan dukungan dana dan fasilitas yang luar biasa - sehingga penyebarannya juga bersifat massif dan infiltratif. "Lihat saja, meskipun MUI sudah mengharamkan paham ini, tetap saja ada tokoh yang menyebarkannya. Misal-nya, artikel Tarmizi Taher di Dialog Jumat Republika (5/8/2005), yang berjudul 'Agama dan Konflik’ secara terang-terangan mengimbau kaum Muslim untuk memeluk paham syirikini."

Ditulis Tarmizi, pluralisme agama sebagai salah satu unsurterpenting demokrasi harus menjadi fokus utama semua orang. Jika selama ini pluralisme belum terpahamkan lewat dialog, maka harus ada sosialisasi lewat media publik, seperti kampanye, pemutaran film, penerbitan bulletin ke pedesaan, kelompok kajian, partai politik, dan lain-lain.

"Mungkin Tarmizi Tahir sendiri tidak paham dan tidak sadar akan makna Pluralisme Agama," kata Adian sweraya menambahkan, "Yang jelas, tulisan Tarmizi Tahir dapat diambil sebagai kasus, yang menggambarkan, bagaimana orang yang selama ini dikenal sebagai 'bukan tokoh Liberal' pun turut menyebarkan paham yang destruktif terhadap akidah Islamiyah ini, meskipun sudah ada fatwa MUI yang mengharamkannya." (amanahonline)

0 komentar:

Posting Komentar