Kata Nabi, ada orang yang mengerti ayat Allah, fasih tetapi agama tak ada
dalam dirinya. Menurut Hamka, mereka ditamsilkan ibarat "anjing".
“Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan
kepadanya ayat-ayat Kami, kemudian dia melepaskan diri dari ayat-ayat itu, maka
syaitanpun menjadikan dia pengikutnya, lalu jadilah dia daripada orang-orang
yang tersesat. Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan
(derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan
menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing, jika
kamu menghalaunya maka dia menjulurkan lidahnya dan jika kamu membiarkannya, dia
mengulurkan lidahnya (juga).
Demikian itulah perumpamaan orang-orang
yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah kisah-kisah itu agar mereka
berfikir.” (QS al-A’raf:175-176)
Menarik untuk merenungkan ayat Al-Quran
tersebut. Ayat 175 surat al-A’raf ini menceritakan tentang orang-orang yang
telah didatangkan ayat-ayat Allah kepada mereka, tetapi dia kemudian melepaskan
diri dari ayat-ayat itu.
Dalam Tafsir Al-Azhar, Prof. Dr. Hamka
menjelaskan, bahwa orang-orang ini sudah terhitung pakar atau ahli dalam
mengenal ayat-ayat Allah. Tetapi, rupanya, semata-mata mengenal ayat Allah saja,
kalau tidak pandai mengendalikan hawa nafsu, maka pengetahuannya tentang
ayat-ayat Allah itu satu waktu bisa tidak memberi faedah apa-apa, bahkan dia
terlepas dari ayat-ayat itu. Ayat-ayat itu tanggal atau copot dari dirinya.
Dalam ayat ini, kata digunakan lafazh ‘insalakha’, arti asalnya ialah
‘menyilih’ (ganti kulit. Bahasa Jawa: mlungsungi untuk ular). Atau, ketika orang
menyembelih kambing, maka dia kuliti dan dia tanggalkan kulit kambing, sehingga
tinggal badannya saja. Ini juga disebut ‘insalakha’.
Masih tulis Hamka
dalam tafsirnya: “Nabi disuruh menceritakan keadaan orang yang telah mengerti
ayat-ayat Allah, fasih menyebut, tahu hukum halal dan hukum haram, tahu fiqih
dan tahu tafsir, tetapi agama itu tidak ada dalam dirinya lagi. Allahu Akbar!
Sebab akhlaknya telah rusak.”
“Maka syaitanpun menjadikan dia
pengikutnya, lalu jadilah dia daripada orang-orang yang tersesat.”
Kata
Buya Hamka, rupanya karena hawa nafsu, maka ayat-ayat yang telah diketahui itu
tidak lagi membawa terang ke dalam jiwanya, melainkan membuat jadi
gelap.
Akhirnya dia pun menjadi anak buah pengikut syaitan, sehingga
ayat-ayat yang dia kenal dan dia hafal itu bisa disalahgunakan. Dia pun
bertambah lama bertambah sesat.
Seumpama ada seorang yang lama berdiam
di Makkah dan telah disangka alim besar, tetapi karena disesatkan oleh syaitan,
dia menjadi seorang pemabuk, dan tidak pernah bersembahyang lagi.
“Maka,
karena dia telah sesat, dipakainyalah ayat Al-Quran yang dia hafal itu untuk
mempertahankan kesesatannya, dengan jalan yang salah. Dia masih hafal ayat-ayat
dan hadits itu, tetapi ayat dan hadits sudah lama copot dari jiwanya, dan dia
tinggal dalam keadaan telanjang. Na’udzubillah min dzalik,” demikian tulis Hamka
dalam tafsir terkenalnya.
Terhadap manusia jenis ini, al-Quran
menggunakan perumpamaan dan sebutan yang sangat buruk, yaitu mereka diumpakan
sebagai anjing. Hamka memberi uraian terhadap tamsil orang yang menukar
kebenaran dengan kekufuran ini: “Laksana anjing, selalu kehausan saja, selalu
lidahnya terulur karena tidak puas-puas karena tamaknya.
Walaupun dia
sudah dihalaukan pergi, lidahnya masih terulur, karena masih haus, karena masih
merasa belum kenyang, dan walaupun dibiarkan saja, lidahnya diulurkannya juga.
Cobalah pelajari dengan seksama, mengapa maka binatang yang satu itu,
anjing, selalu mengulurkan lidah? Sebabnya ialah karena tidak pernah merasa
puas. Lebih-lebih pada siang hari, di kala panas mendenting-denting.
Anjing mengulurkan lidah terus, karena selalu merasa belum kenyang,
karena hawanafsunya belum juga terpenuhi.”
Tamsil Al-Quran tentang
anjing untuk orang-orang yang membuang kebenaran dan mengikuti kebatilan ini
sangat penting untuk kita renungkan, mengingat kita melihat satu fenomena aneh
di Indonesia, banyaknya orang-orang yang dulunya belajar agama di
institusi-institusi pendidikan Islam, mengerti ayat-ayat Allah, tetapi akhirnya
justru menjadi garda terdepan dalam melawan dan melecehkan ayat-ayat Allah
sendiri.
Ini tidak bisa disalahkan pada lembaga pendidikannya begitu
saja, tetapi perlu ditanyakan, mengapa ada manusia yang menjual kebenaran,
membuang kebenaran yang telah diketahuinya, dan kemudian memilih menjadi
‘anjing’ sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran.
Peringatan Allah SWT
tersebut sangat penting untuk direnungkan oleh siapa saja. Oleh kita semua. Agar
kita tidak masuk ke dalam kategori ‘anjing’ yang menjulur-julurkan
lidahnya.
Kita mengingatkan saudara-saudara kita, yang mungkin lupa akan
peringatan Allah tersebut. Agar kita tidak mudah menjual ayat-ayat Allah,
membuangnya, bahkan tak segan-segan menjadi garda terdepan dalam menghujat dan
memutarbalikkan kebenaran.
Kita, misalnya, berkewajiban mengingatkan
orang yang mengerti ayat-ayat Allah, malah menjadi penghujat ayat-ayat Allah itu
sendiri, hanya karena terpesona dan terkagum-kagum oleh satu atau dua tulisan
kaum orientalis yang melakukan studi Al-Quran.
Belum lama ini (5 Juli
2005), seorang yang mengaku Islam Liberal yang berasal dari satu pelosok kampung
di wilayah Bekasi meluncurkan tulisan yang memuji-muji habis-habisan orientalis
dalam studi Al-Quran. Tulisan itu dia beri judul “AI-Qur'an dan Orientalisme”.
Bagi yang mengikuti studi Al-Quran dengan cermat, tulisan ini sebenarnya
berkualitas sampah, tidak ada data-data ilmiah yang ditampilkan, tetapi hanya
berupa puji-pujian tanpa bukti terhadap kaum orientalis.
Tulisan ini
sebenarnya sangat memalukan, bagi seorang yang pernah mengenyam pendidikan
tinggi di Timur Tengah. Tapi, tampak, bahwa rasa malu itu sudah hilang dari
dirinya.
Tentang studi para orientalis terhadap Al-Quran, si penulis itu
menyatakan:
”Studi mereka tentang sejarah Alquran misalnya, sangat padat
dan kaya dengan rujukan sumber-sumber Islam klasik. Penguasaan mereka akan
bahasa Arab dan peradaban Mediterania membantu kita dalam mengeksplorasi hal-hal
yang selama ini tercecer dalam tumpukan kitab-kitab klasik.
Dengan
bantuan para orientalis, kita dapat melihat secara lebih komprehensif lagi
sejarah pembentukan Alquran.
Satu hal yang kerap diabaikan (atau sengaja
diabaikan) kaum muslim adalah bahwa para orientalis itu juga merujuk buku-buku
klasik yang bisa ditelusuri dan dibuktikan.
Saya pernah mengecek
sebagian sumber-sumber kitab klasik yang dirujuk Arthur Jeffrey, Theodor
Noldeke, dan John Wansbrough dalam studi mereka tentang sejarah Alquran.
Sejauh menyangkut data, tak ada satupun kekeliruan yang mereka perbuat.
Semuanya tepat dan mengagumkan.”
Cobalah kita simak kata-kata penulis
yang juga dosen pemikiran Islam di Universitas Paramadinamulya ini. Begitu
tinggi dia menghargai orientalis dan sebaliknya mencurigai para ulama Islam.
Padahal, kita sudah diajarkan oleh Rasulullah saw untuk bersikap kritis
terhadap sumber-sumber dari kaum Yahudi dan Kristen. Kita tidak boleh menolak
atau menerima begitu saja.
Tetapi, bukti-bukti menunjukkan, banyak
orientalis yang memang melakukan studinya dengan tidak jujur.
Justru
orientalis yang disebut oleh penulis itu termasuk ke dalam daftar orientalis
yang licik dalam
studi Al-Quran. Bahkan, sebagian orientalis sudah mengritik
kajian mereka.
Sebutlah contoh John Wansbrough. Seorang orientalis
bernama Juynboll secara mendasar telah mengkritik Wansbrough karena terlalu
selektif dalam memilih sumber-sumber rujukan yang sesuai dengan pra-anggapan
penelitiannya.
Wansbrough berpendapat, bahwa tidak ada teks Al-Quran
yang fixed sebelum akhir abad ke-2 Hijriah atau awal abad ke-3 Hijriah. Tetapi,
Juynboll membuktikan, bahwa Wansbrough berlaku curang karena tidak memasukkan
literatur Islam sebelum abad ke-2 yang dapat menggoyahkan teorinya, seperti
Kitab Al- ’Alim wa al-Muta’allim and Risala ila Utsman al-Baitti yang keduanya
ditulis oleh Abu Hanifah (150 H.).
Estelle Whellan juga telah meruntuhkan
kesimpulan Wansbrough, dengan membuktikan bahwa teks Al Quran telah menjadi teks
yang tetap pada abad pertama Hijrah.
Karena itu, kita heran, bagaimana
si penulis artikel tersebut berani menyatakan bahwa “Sejauh menyangkut data, tak
ada satupun kekeliruan yang mereka perbuat.Semuanya tepat dan mengagumkan.”
Jelas kesimpulan yang ngawur.
Para orientalis sendiri tentu tertawa
melihat kesimpulan penulis yang ‘terlalu panjang dalam menjulurkan lidahnya’.
Apalagi, dia sendiri mengaku baru membaca sebagian karya para orientalis
tersebut.
Belum tamat membacanya sudah memuji setinggi langit, dan taklid
buta terhadap kajian orientalis.
Dalam film-film tentang zaman
penjajahan Belanda, kita menyaksikan kaum pribumi para kaki tangan Belanda
(londo ireng), tak jarang melakukan kekejaman melebihi orang Belanda sendiri
terhadap kaum pribumi.
Biasanya, para londo ireng itu ingin, agar
kesetiaanya kepada ‘sang tuan’ tidak diragukan.
Untuk itu, ia menguliti
dirinya sendiri, membuang seluruh identitas pribuminya, agar ia benar-benar
tampak lebih Belanda ketimbang orang Belanda sendiri.
Disamping rajin
memuji-muji tuannya, ia juga tak segan-segan memasok informasi tentang
orang-orang yang dianggap membahayakan kepentingan sang penjajah. Tentu saja,
semua itu ada imbalannya.
Tentang Arthur Jeffery, Adnin Armas, kandidat
doktor di ISTAC Kuala Lumpur, yang baru menerbitkan bukunya, “Metode Bibel dalam
Studi Al-Quran” membuktikan ketidakjujuran orientalis yang satu ini dalam
melakukan studi Al-Quran.
Misalnya, dikatakan Jeffery, bahwa ketika
Uthman r.a. mengirim teks standar ke Kufah dan memerintahkan supaya teks-teks
yang lain dibakar, Ibnu Mas’ud menolak menyerahkan mushafnya.
Dia marah
karena teks yang dibuat Zaid ibn Thabit yang lebih muda, lebih diprioritaskan
dibandingkan mushafnya.
Padahal ketika Ibn Mas’ud sudah menjadi Muslim,
Zaid masih berada dalam pelukan orang-orang kafir.
Di sini tampak jelas
kekeliruan atau ketidakjujuran Jeffery dalam menulis sejarah Al-Quran. Ia tidak
mengkaji secara menyeluruh sikap Abdullah ibn Mas’ud.
Padahal, Kitab
al-Mashaahif – yang diedit sendiri oleh Jeffery -- menunjukkan bahwa Ibn Mas’ud
meridhai kodifikasi yang dilakukan Uthman bin ‘Affan. Ibnu Mas’ud
mempertimbangkan kembali pendapatnya yang awal dan kembali kepada pendapat
Uthman dan para Sahabat lainnya.
Ibnu Mas‘ud menyesali dan malu dengan
apa yang telah dikatakannya. Jadi, pendapat Jeffery menjadi naïf karena justru
dari kedua buku yang diedit oleh Jeffery, Ibnu Mas‘ud pada akhirnya menyetujui
kebijakan Utsman, yang disokong oleh para Sahabat lainnya.
Bukti-bukti
kekeliruan orientalis dalam melakukan studi Islam sudah banyak ditunjukkan oleh
para cendekiawan Muslim atau oleh para orientalis sendiri.
Kaum Muslim
juga maklum, bahwa tidak semua hasil studi mereka ditolak begitu saja. Ada yang
bermanfaat untuk kaum Muslim. Tetapi, memuji mereka tanpa ilmu pengetahuan yang
memadai adalah sikap naif yang tidak perlu dilakukan.
Tamsil Al-Quran
tentang anjing yang menjulur-julurkan lidahnya perlu kita renungkan secara
mendalam. sebagai Muslim tentu kita tidak menginginkan diri kita sendiri
termasuk kategori ‘anjing’
sebagaimana digambarkan dalam surat al-A’raf
tersebut.
Jika kita sudah memahami ayat-ayat Allah SWT, seyogyanya kita
berusaha memahami dan mengamalkannya.
Dan sebagai orang yang berakal
sehat, kita tentu sangat khawatir jika diri kita sampai masuk kategori ‘anjing’.
Mudah-mudahan kita tidak termasuk orang yang bangga menduduki posisi 'anjing'.
Na'udzubillah min dzalika. (Jakarta, 8 Juli 2005)
Catatan Akhir Pekan
Adian Husaini ini bekerjasama dengan Radio Dakta 107 FM dan http://www.hidayatullah.com/
Sabtu, 10 Maret 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar