Berikut ini hasil rangkuman materi & transkrip Debat Publik dalam bentuk HTML
antara Majelis Mujahidin Indonesia versus tim Paramida yang berlangsung tanggal 15 Januari 2004 di UIN (Universitas Islam Negeri) Jakarta atas kontroversial buku "Fiqih Lintas Agama".
TIM PENULIS PARAMADINA:
Nurcholish Madjid, Kautsar Azhari Noer, Komarudin Hidayat, Masdar F. Mas'udi, Zainun Kamal, Zuhairi Misrawi, Budhy Munawar-Rahman, Ahmad Gaus AF dan Mun'im A. Sirry.
DI DALAM BUKU: FIKIH LINTAS AGAMA
Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis (Cet. I September 2003
Materi ini merupakan Kata Sambutan Irfan S. Awwas dalam kapasitasnya sebagai Ketua Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin Indonesia, pada acara Debat Publik "Fiqih Lintas Agama" yang berlangsung tanggal 15 Januari 2004 di UIN (Universitas Islam Negeri) Jakarta
Fikih Pluralis yang dikembangkan oleh Tim Penulis Paramadina dan dikemas dalam sebuah buku berjudul, "Fikih Lintas Agama" yang diterbitkan bersama oleh Yayasan Wakaf Paramadina dan The Asia Foundation, merupakan salah satu bentuk kekafiran berfikir. Menyimak isinya yang dengan enteng mengorbankan prinsip-prinsip Islam untuk kepentingan "berhala kemanusiaan" jelas amat berbahaya. Kerangka berfikir liberal yang mendasari opini para penulis, syarat dengan fitnah serta pelecehan terhadap Syari'at Islam. Selain itu juga mengandung unsur penghinaan terhadap keyakinan umat beragama. Berdasarkan hal itu, maka pada tanggal 12 Dzulqa'dah 1424 H (4 Januari 2004 M), Majelis Mujahidin, sebuah institusi tansiq untuk Penegakan Syari'at Islam, menantang melakukan debat publik dengan tim penulis buku Fiqih Lintas Agama. Para penulis harus bertanggung jawab secara intelektual dan juga moral terhadap kandungan isi buku tersebut. Melalui debat publik, Majelis Mujahidin sebenarnya ingin melestarikan tradisi para ulama, ketika menghadapi persoalan yang masih diperselisihkan, siap diajak ber-munadharah.
Debat publik yang diusulkan Majelis Mujahidin, secara spesifik dimotivasi oleh beberapa alasan, antara lain: Pertama, pada akhir kata pengantarnya, editor buku mengajak masyarakat luas untuk menguji berbagai gagasan dalam buku ini. Kedua, gagasan dalam buku dimaksud ternyata mengandung distorsi pemikiran yang berbahaya serta pelecehan terhadap aqidah Islam. Para penulisnya telah melakukan manipulasi, misalnya dengan mengutip pendapat Imam As-Syatibi dalam kitab Al Muwafaqod mengenai Maqasidus Syari'ah, yang ternyata tujuan yang dimaksudkan penulis buku berlawanan dengan penjelasan di dalam buku aslinya.
Alasan Ketiga, pluralisme agama yang dikembangkan dalam buku ini merupakan kerangka berfikir "Talbisul Iblis", yaitu memoles kebathilan dengan menggunakan dalil-dalil agama atau argumentasi al-haq untuk tujuan kesesatan, seperti prilaku para pendeta Yahudi dan Nasrani. Ringkas kata, mereka menggunakan dalil-dalil kebenaran untuk tujuan kebathilan. Agama diorientasikan kepada kepentingan manusia, sehingga ketika manusia merasa kepentingannya tidak terwakili, maka mereka merasa bebas untuk pindah agama atau bahkan tidak beragama sama sekali. Keempat, buku ini dapat mengundang salah paham terhadap syari'at Islam seperti yang umum dilakukan para orientalis dan kaki tangannya. Sebagaimana yang dilakukan Ahmad Amin dan Qasim Amin di Mesir yang menulis tentang Islam, Aqidah dan Syari'ah, kritik terhadap fiqih yang dilakukan tim penulis Paramadina di dalam Fikih Lintas Agama, memposisikan mereka yang berbeda pendapat dengan gagasan sesatnya ini sebagai orang "yang ingin menjadikan fikih bukan sebagai cara atau alat memahami doktrin agama, melainkan sebagai dogma yang kaku, rigid yang ujung-ujungnya adalah formalisasi Syari'ah Islam" (hal. 4 alinea 3). Dan formalisasi Syari'ah Islam dipandang sebagai kecenderungan orang yang kurang wawasan, dan tidak berfikir dalam kerangka kemanusiaan. Mereka curiga,"Fikih, secara implisit ataupun eksplisit telah menebarkan kebencian dan kecurigaan terhadap agama lain. Ada beberapa istilah yang selalu dianggap musuh dalam fikih klasik, yaitu "musyrik", "murtad", dan "kafir". Apakah Islam memang benar-benar sebagai agama yang menebarkan permusuhan dan kekerasan...? (hal. 2 alinea 2 dan 3). yang ujung-ujungnya kata mereka, formalisasi syari'at Islam.
Oleh karena itu, untuk membuktikan betapa berbahayanya buku ini dalam hal menyesatkan manusia serta fitnah terhadap Islam, kami akan meminta penjelasan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara konfrehensif sebagai upaya klarifikasi terhadap penulis mengenai gagasan yang, dalam pandangan Majelis Mujahidin merupakan kekafiran berfikir.
Pada bagian keempat buku ini terdapat pernyataan yang cukup menarik, tentang perlunya dialog agama dalam upaya menjalin kerjasama lintas agama. Dan juga dinyatakan, tidak ada kerjasama tanpa didahului dialog, dan dialog yang tidak berlanjut pada kerjasama merupakan dialog setengah hati, bahkan verbalisme. Apabila pernyataan ini berlaku untuk debat kita hari ini, sudah semestinya Anda tidak mampu mengalahkan argumentasi yang kami kemukakan, maka kerjasama kita adalah: Harus ada keberanian untuk mohon maaf dan menyatakan taubatan nasuha terhadap kekafiran berfikir yang Anda tunjukkan dalam buku ini.
A. MUQADDIMAH[
1. Di dalam buku ini dinyatakan perlunya menjadikan Kemanusiaan sebagai pijakan di dalam membuat FIQIH.
Bagaimana Anda berbicara tentang fiqih lintas agama, sementara dalam realitas manusia tidak seluruhnya beragama, bahkan ada yang menentang agama dan tidak beragama sama sekali, berarti Anda masih berada dalam kerangka berfikir eksklusifisme. Apabila orang-orang yang tidak beragama dan menentang agama kepentingan mereka tidak tersentuh sama sekali, bukankah hal ini bertentangan dengan semboyan "Kemanusiaan"yang anda jadikan pijakan.
2. Apabila Anda berbicara soal agama, anda harus menjelaskan apa yang menjadi rukun-rukun atau unsur dasar dari agama yaitu:
a. Al Ma'bud (Siapa yang menjadi fokus sesembahan).
b. Syari'ah (Bagaimana cara sesembahan itu dilakukan).
c. Al 'Abid (Penyembah-Nya).
Kaitannya dengan gagasan Anda tentang fikih lintas agama, maka Anda harus menjelaskan sesembahannya siapa, cara yang ditempuhnya bagaimana. Jika Anda mengatakan, bahwa masing-masing umat beragama menyembah menurut kepercayaannya sendiri-sendiri, jelas suatu pernyataan yang kontradiktif, karena masing-masing menurut caranya sendiri-sendiri. Disini tidak ada lintasnya, karena di dalam lintasan itu bertemu dalam satu titik sehingga warna perbedaan masing-masing ditinggalkan. Kalau Anda jawab, bahwa yang dimaksudkan dalam pergaulan sehari-hari itu aspeknya sangat luas. Maukah orang Hindu meninggalkan doktrin ke-Kastaan, orang Kristen meninggalkan doktrin penyaliban dan penebusan dosa, orang Budha meninggalkan doktrin vegetarian, orang Yahudi meninggalkan doktrin riba boleh diambil dari non Yahudi, dan Anda sendiri, maukah para penulis meninggalkan sikap pemberontakan Anda terhadap syari'ah Islam?
3. Anda menyebut kata-kata "Musyrik", "Kafir", dan "Murtad" sebagai istilah fiqih (hal 2 alinea 2), padahal istilah tersebut jelas terdapat di dalam al-Qur'an. Misalnya kata-kata Musyrik terdapat antara lain di dalam:
Qs. At-Taubah, 9: 28 artinya, kaum musyrik itu najis.
Qs. At-Taubah, 9: 34 artinya, kaum musyrik itu membenci Islam.
Qs. Nuh, 71:120 artinya, Nabi Nuh bukan golongan musyrik
Qs. Rum, 30: 31 artinya, melarang kalian menjadi orang musyrik
Qs. At-Taubah 9: 3 artinya Allah berlepas diri dari kaum musyrik
Kafir:
Qs. Al-Baqarah, 2:6 artinya, orang kafir tidak bisa diajak kepada kebenaran.
Qs. Mukmin, 40:28 artinya, kaum kafir itu usaha dan rencananya sesat.
Qs. Mukmin 40:50 artinya, kaum kafir hanya menyeru kepada kesesatan.
Murtad:
Qs. Al-Maidah, 5:54 artinya, orang mukmin dilarang murtad.
Qs.Muhammad, 47:23 artinya, orang murtad dikendalikan oleh syetan
Apakah ayat-ayat al-Qur'an itu adalah fiqih? Apakah Anda tidak dapat membedakan antara fikih (pemahaman) dengan Qur'an (obyek pemahaman)? Jika ayat al-Qur'an itu fiqih berarti mengambil sumber dari yang lebih tinggi, karena fiqih itu adalah produk pemahaman manusia atas teks-teks agama. Seperti yang Anda katakan pada hal 5 alinea 3, "Hingga kini, rumusan Syafi'i itu diposisikan begitu agung, sehingga bukan saja tak tersentuh kritik, tapi juga lebih tinggi dari nash-nash Syar'i. Buktinya setiap bentuk penafsiran teks-teks selalu tunduk di bawah kerangka Syafi'i".
Fikih sebagai alat memahami teks, bagaimana bisa dianggap lebih tinggi dari Qur'an? Ini kerancuan berfikir yang keterlaluan. Konklusi logis apabila ayat al-Qur'an dianggap fiqih berarti Allah menjadi obyek hukum dari sesuatu yang dianggap lebih tinggi dari Allah, lalu Allah berfikir untuk memahami apa yang menjadi kehendak atau menjadi titah dari sesuatu yang lebih tinggi itu, sehingga keluar ayat-ayat al-Qur'an sebagai hasil pemahaman Allah tersebut. Apakah demikian yang Anda maksud?
4. Apabila Anda menyoal Fiqih Islam supaya membuka diri sehingga menerima fiqih-fiqih di luar Islam. Tunjukkan pada kami, apakah agama-agama selain Islam: Nasrani, Budha, Hindu, Khonghucu dllnya punya fiqih yang bisa dijadikan bahan untuk merumuskan fiqih lintas agama? Di dalam buku ini Anda tidak paparkan contoh-contohnya, tolong saudara beri contoh!
Sebagai perbandingan mengenai hukum pidana, ada hukum pidana Indonesia dan negara-negara lain. Jika kita bicara hukum pidana lintas negara, maka tentu ada parameter atau rumusan yang kita jadikan rujukan untuk menyusun hukum pidana lintas negara itu. Nah, yang Anda kemukakan di dalam buku ini, adalah keluhan mengenai persoalan-persoalan yang jawabannya sudah diterangkan di dalam fiqih Islam, tetapi kemudian dengan mengatasnamakan masyarakat non muslim Anda sebagai hal yang tidak dapat diterima.
Misalnya, haram bagi umat Islam mengadakan perayaan natal bersama, tidak boleh memberi salam atau mendo'akan umat non muslim. Dilarang orang kafir masuk masjid, dilarang wanita muslimah menikah dengan lelaki kafir. Semua ini sudah ada jawabannya di dalam fikih Islam, tetapi kemudian Anda ingin mengakomodir keberatan dengan melakukan sebaliknya. Maka hal ini tidak bisa disebut fiqih lintas agama, tetapi pembatalan terhadap Syari'ah Islam. Bila Anda punya hujjah yang lebih kuat yang sesuai dengan Qur'an dan Sunnah, silakan Anda kemukakan. Tetapi Anda tidak bisa membatalkan hukum haramnya menikahkan muslimah dengan lelaki kafir, hanya karena misalnya Nurcholish Madjid menikahkan puterinya dengan lelaki Yahudi. Atau ikut natal bersama, hanya karena Said Agil Siraj mencontohkan itu. Siapa pun dia, selain Nabi Saw. maka dia tidak bisa dianggap sebagai representasi dari ajaran Islam, juga tidak bisa diposisikan sebagai uswah hasanah sebagaimana Nabi Muhammad.
Jika benar Quraisy Sihab menyatakan Yahudi dan Nasrani tidak lagi memusuhi umat Islam, hal ini bertentangan dengan statemen Samuel Huntington yang menyakatan: Musuh terbesar barat pasca komunisme adalah Islam. Jika Anda menyeru untuk meninggalkan pendapat Imam Syafi'i tentang hal di atas, padahal dia berpendapat sesuai dengan Al Qur'an dan Sunnah Nabi, maka pendapat selainnya yang menyalahi Qur'an dan Sunnah Nabi lebih layak untuk ditinggalkan.
5. Pada hal 4 alia 3, Anda menolak formalisasi Syari'ah Islam dengan alasan, hal itu berpotensi menimbulkan perilaku diskriminatif atau pemaksaan kepada pihak lain. Apabila Anda konsistensi berpegang atas dasar berfikir semacam ini, maka kami bertanya kepada Anda: Apakah hukum-hukum sekuler yang digunakan oleh negara-negara sekuler dalam mengatur kehidupan warga negaranya tidak juga menggunakan pola formalistik dan fundamentalistik? Misalnya undang-undang pajak, undang-undang lalu lintas, undang-undang pidana dan lain sebagainya yang dalam penerapannya mendapat tentangan dari banyak pihak, tetapi tetap saja dipaksakan melalui kekuasaan.
Kalau saudara keberatan terhadap formalisasi syariat Islam dengan alasan akan memicu konflik antar umat beragama, maka demi keadilan, Anda harus menyatakan hal yang sama terhadap formalisme undang-undang sekuler. Kalau saudara menerima formalisme undang-undang hukum sekuler, tetapi menolak formalisasi syari'at Islam, maka Anda tidak saja telah meninggalkan prinsip berfikir ilmiyah, argumentasi obyektif serta berwawasan kemanusiaan, tetapi juga Islam dan umat Islam yang berpegang teguh pada aqidah Islam.
6. Berbicara agama Anda mesti menjelaskan apa tujuan hidup yang digariskan oleh agama, apa hubungan antara penyembah ('abid) dengan yang disembah (ma'bud), apakah hubungan bersifat setara sehingga menimbulkan tanggungjawab timbal balik atau bersifat vertikal sehingga hanya ada beban kepada sepihak dan pertanggunganjawab kepada pihak yang disembah. Sebab tanpa penjelasan semacam ini berarti tidak ada agama, karena agama yang tidak menjelaskan posisi penyembahnya terhadap otoritas Yang Disembahnya, maka itu hanyalah permainan hawa nafsu dan kebingungan orang yang tidak berakal. Maka dalam fiqih lintas agama yang Anda propagandakan harus jelas rumusan tentang tujuan hidup dan tanggungjawab pada orang-orang yang beragama. Apabila Anda tidak dapat menjelaskan berarti Anda berfikir antagonistic dan kontradiktif diametral karena mengunakan kata-kata fiqih dan agama yang mempunyai konotasi dan pemahaman mutlak tertentu tetapi ternyata batas-batas tujuan dan tanggungjawabnya tidak jelas.
Kalau saudara ingin membangun agama baru dengan nama "agama pluralisme", maka saudara harus menjelaskan tujuan sentral agama ini dan kepada siapa tempat manusia menyampaikan tanggungjawabnya nanti setelah mati, dan konsekuensi dari perbuatan-perbuatan orang yang menjalankan "agama pluralisme" itu. Apabila Anda tidak dapat menjelaskan secara benar, maka fikih lintas agama jelas merupakan sinkretisme yang dapat menjerumuskan pengikutnya kepada kemusyrikan dan murtad Dien.
0 komentar:
Posting Komentar