oleh : Henri Salahuddin, M. A.
Wacana tentang pluralisme agama terus bergulir di Indonesia. Wacana ini dikait-kaitkan dengan soal "kerukunan antar-umat beragama". Seolah-olah, dengan dianutnya paham itu oleh umat beragama, maka kerukunan antar umat beragama akan terwujud. Benarkah demikian? Apakah sebenarnya wacana pluralisme agama itu? Berkenaan dengan itu, peneliti INSIST, Henri Shalahuddin -- pada Rabu, 26 Maret 2003 -- mewawancarai cendekiawan Muslim, Dr. Anis Malik Thoha, yang kini menjadi dosen bidang perbandingan agama di International Islamic University Malaysia (IIUM). Dr. Anis memiliki kompetensi untuk menjelaskan masalah ini, karena alumnus International Islamic University Islamabad, Pakistan ini, memang menulis disertasi berjudul Ittijaahat al-Ta'addudiyyah al-Diniyyah wa al-Mauqif al-Islamiy minha.
Setelah mencermati wacana ini, Dr. Anis sampai pada kesimpulan, bahwa gagasan ini sebenarnya merupakan "agama baru" dan jika ide ini dikembangkan di negara yang mayoritas penduduknya adalah Islam, maka "sangat menguntungkan sekali bagi proses Kristenisasi".
Henri Shalahuddin (HS): Bagaimana sebenarnya latar belakang munculnya gagasan pluralisme agama? Dan kapan pemikiran ini mulai merebak?
Dr. Anis Malik Thoha (AMT): Pada awal abad ke-20 seorang teolog Kristen Jerman bernama Ernst Troeltsch menggulirkan perlunya bersikap pluralis di tengah-tengah berkembangnya konflik intern antar aliran-aliran dalam agama Kristen maupun antar agama. Dia berpendapat dalam sebuah artikelnya yang berjudul "The Place of Christianity among the World Religions", bahwa umat Kristiani tidak berhak mengklaim paling benar sendiri. Pendapat senada ternyata juga banyak dilontarkan oleh sejumlah pemikir dan teolog lainnya seperti sejarawan terkenal Arnold Toynbee dan tokoh Protestan liberal Friedrich Schleiermacher.
Pada dasarnya munculnya ide pluralisme agama ini dilatarbelakangi oleh menghebatnya pertikaian antara madzhab-madzhab dalam agama Kristen yang terjadi pada akhir abad ke-19 hingga sampai pada tingkatan mutual exclusion (saling mengkafirkan), sehingga mendorong presiden Amerika Serikat pada waktu itu, Grover Cleveland, turun tangan untuk mengakhiri perang antar madzhab tersebut. Hal ini bisa dipahami, mengingat pada awal-awal abad ke-20 telah bermunculan bermacam-macam aliran fundamentalis di Amerika Serikat.
Selain konflik antar aliran madzhab dalam Kristen, faktor politik juga terkait rapat dengan latar belakang gagasan ini. Pluralisme agama adalah respon terhadap political pluralism yang telah cukup lama digulirkan (sebagai wacana) oleh para peletak dasar-dasar demokrasi pada awal-awal abad modern, dan yang secara nyata dipraktikkan oleh USA. Kecenderungan umum dunia Barat waktu itu tengah berusaha menuju modernasasi di segala bidang. Dan salah satu ciri dari modern adalah demokrasi, globalisasi dan HAM. Maka dari sinilah lahir political pluralism. Jika dilihat dari konteks ini, maka religious pluralism pada hakekatnya adalah gerakan politik dan bukan gerakan agama.
HS: Apakah sebenarnya ide dari political pluralism?
AMT: Setiap manusia adalah sama by virtue of being human, tidak ada ras, suku, bangsa atau agama yang berhak mengklaim bahwa dirinya paling unggul.
HS: Bagaimana reaksi pihak gereja atas munculnya ide pluralisme agama ini?
AMT: Mereka sangat menentang keras dengan kemunculan ide ini, baik dari pihak Katolik, Protestan ataupun aliran lainnya.
HS: Apakah indikasi dari penentangan mereka ini?
AMT: Diantara indikasinya adalah; Pertama: pengiriman misionaris Kristen ke seluruh penjuru dunia - khususnya dunia Islam yang terus berlangsung sampai sekarang ini. Kedua: John Hick (salah seorang tokoh pluralisme Internasional saat ini) banyak ditentang oleh para teolog Kristen dan pihak gereja, bahkan dia diusir dari posisi penting yang dia pegang di gereja Presbyterian. Perdebatan sengit yang kemudian dibukukan dalam sebuah buku berjudul: Problems in the Philosophy of Religion, merupakan salah satu bukti kuat tentang sanggahan dan penentangan terhadap pemikiran pluralisme agama, khususnya yang dikembangkan oleh John Hick dari kalangan pastur dan teolog Kristen.
HS: Bagaimana anda melihat pluralisme dalam konteks Indonesia?
AMT: Sebenarnya menilik sejarah perkembangan dan tanggapan atau reaksi mereka sendiri terhadap ide pluralisme ini, kita tidak perlu susah-susah menghabiskan energi untuk mencari kelemahan ide ini, sebab di kalangan mereka sendiri menentang habis-habisan - termasuk dari para romo dan pendeta taat Kristen di Indonesia. Padahal ide ini kalau dikembangkan di negara yang mayoritas penduduknya adalah Islam, maka sangat menguntungkan sekali bagi proses Kristenisasi.
HS: Menurut anda, dimanakah kelemahan mendasar ide pluralisme ini?
AMT: Pertama: Kaum pluralis mengklaim bahwa pluralisme menjunjung tinggi dan mengajarkan toleransi, tapi justru mereka sendiri tidak toleran karena menafikan kebenaran ekslusif sebuah agama. Mereka menafikan klaim "paling benar sendiri" dalam suatu agama tertentu, tapi justru pada kenyataannya kelompok pluralis-lah yang mengklaim dirinya paling benar sendiri dalam membuat dan memahami statement keagamaan (religious statement). Jadi misalnya dalam pertandingan sepak bola, mereka ini ibaratnya sebagai wasit, tapi dalam waktu yang sama wasit yang seharusnya memimpin pertandingan kok malah ikut main. Dan ini kan repot jadinya. Mereka mestinya tahu aturan dan batasan-batasan main yang benar, kalau memilih jadi wasit, jadilah wasit yang adil, dan kalau memilih jadi pemain, ya jadilah pemain yang benar. Dan perlu diingat bahwa: any statement about religion is religious statement. Dan ini mereka tidak sadar. Kedua: adanya "pemaksaan" nilai-nilai dan budaya barat (westernisasi) terhadap negara-negara di belahan dunia bagian timur, dengan berbagai bentuk dan cara, dari embargo ekonomi sampai penggunaan senjata dan pengerahan militer secara besar-besaran seperti yang tengah menimpa Irak saat ini.
HS: Bisa anda elaborasi lagi bagaimana mereka menjadi tidak toleran?
AMT: Mereka merelatifkan tuhan-tuhan yang dianggap absolute oleh kelompok-kelompok lain seperti Allah, Trinitas, Yahweh, Trimurti, dan lain sebagainya. Selain itu, mereka juga mengklaim bahwa hanya tuhan mereka sendiri yang absolute. Tuhan yang absolute menurut mereka ini namanya, seperti yang diusulkan John Hick, adalah "The Real" yang kebetulan ia dapatkan padanan katanya dalam Islam sebagai "Al-Haq". Nah menurutnya, nama-nama Tuhan dalam berbagai agama hanyalah sebagai manifestasi dari "The Real" ini. Oleh karena itu, semua orang harus mengimani tuhannya John Hick ini. Jadi pada hakikatnya, tanpa sadar mereka telah membangun absolutisme-nya sendiri. Di sinilah saya katakan, alih-alih jadi wasit tapi terseret jadi pemain, sehingga menambah jumlah pemain yang saling berkompetisi di lapangan. Jadi pemikiran pluralisme agama itu sangat sarat dengan self-inconsistent.
Selain ide the Real-nya John Hick, William James juga idenya republican banquet. Setiap pluralisme selalu mengandaikan adanya a host culture atau tuan rumah budaya yang menerima dan menjamu semua budaya yang datang (visiting cultures). Jadi, posisi pluralisme bagaikan tuan rumah yang menyajikan hidangan kepada para tamunya yang berasal dari berbagai macam agama, ras dan suku yang berbeda. Sebagai tuan rumah dia (pluralisme) harus memperlakukan tamunya dengan ramah, adil dan tidak boleh mengecewakan tetamunya. Tapi nyatanya mereka malah bertindak tidak adil, tidak ramah dan seringkali memaksakan kehendaknya pada para tamunya.
HS: Jadi pada intinya, bagaimana sebenarnya anda menyikapi ide pluralisme agama ini?
AMT: Pluralisme agama adalah agama baru, dimana sebagai agama dia punya tuhan sendiri, nabi, kitab suci dan ritual keagamaan sendiri. Sebagaimana humanisme juga merupakan agama, dan tuhannya adalah nilai-nilai kemanusiaan, seperti yang dikatakan August Comte. Dan dalam hal ini John Dewey (seorang filosof Amerika) mengatakan demokrasi adalah agama dan tuhannya adalah nilai-nilai demokrasi.
HS: Bisa anda perjelas bahwa pluralisme agama adalah agama baru?
AMT: Dalam hal ini saya ingin mengaitkannya dengan teori civil religion yang dikembangkan oleh seorang sosiolog modern yang berkebangsaan Amerika, yaitu Robert N. Bellah. Dalam studi kasusnya, Bellah menjadikan Amerika Serikat, sebuah Negara yang pluralis dan demokratis sebagai prototype atau model dasar dari teorinya dalam sebuah artikelnya yang berjudul "Civil Religion in America". Dalam pengamatannya yang berkembang di Amerika adalah agama civil, yaitu agama yang tidak berpihak pada agama-agama tradisional apa pun yang dipeluk oleh warga Negara Amerika. Buktinya, menurut dia, adalah tidak seorang pun presiden Amerika hingga saat ini yang tidak menyebut nama God dalam pidato resmi kenegaraannya, dan tidak seorang pun dari presiden Amerika yang menyebut nama tuhan agamanya, atau agama tradisional tertentu (seperti Jesus Christ, dll). Dari sini ia menyimpulkan bahwa God di sini adalah tuhannya rakyat Amerika keseluruhan tanpa memandang ras dan agama yang dianutnya.
Kitab sucinya terdiri dari teks-teks yang disucikan secara nasional, seperti the text of the declaration of independence, pidato-pidato kenegaraan pendiri Amerika dan presiden-presidennya (George Washington, Benyamin Franklin, Abraham Lyncoln dll). Dan nabi mereka adalah ya para pendiri dan presiden Amerika. Sedangkan ritual keagamaannya adalah hari kemerdekaan, hari-hari besar nasional dimana mereka mengadakan upacara dan membaca 'kitab suci' mereka. Simbol-simbol yang disucikan adalah bendera dan simbol-simbol kepresidenan. Syuhada' (orang yang mati sahid) menurut mereka adalah mereka yang gugur membela negara Amerika.
HS: Bagaimana perkembangan agama civil selanjutnya?
AMT: Paham civil religion tidak diamalkan di Amerika saja, tapi mereka berusaha menyebarkan ke berbagai negara termasuk Indonesia. Robert N. Bellah dan Philiph E. Hammond memaparkan dalam bukunya yang berjudul Varieties of Civil Religion bahwa agama civil tidak berhenti di Amerika saja tapi varian-variannya terjadi di seluruh negara di dunia yang mengamalkan prinsip demokrasi, termasuk di Indonesia. Tentu saja bentuk-bentuk civil religion ini bervariasi sesuai dengan corak dan budaya local setempat.
HS: Anda menyebut agama civil dalam kontek Indonesia, bisa diperjelas?
AMT: Tidak ada penyebutan nama tuhan tertentu menurut agama tertentu dalam Pancasila dan pidato kepresidenan khususnya di era Suharto, tapi yang disebut adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, jadi Tuhan Yang Maha Esa adalah tuhannya seluruh rakyat Indonesia. Kemudian adanya pembacaan 'kitab suci' teks Proklamasi, Pembukaan UUD 45 dan Pancasila sebagai bacaan wajib dalam upacara kenegaraan atau hari besar nasional. Nah nilai-nilai dan budaya Pancasila ini dalam koteks Indonesia adalah the host culture sementara budaya atau nilai-nilai agama lain adalah visiting cultures.
HS: Dari konsep The Republican Banquet atau a host culcure, dimanakah letak ketidakramahan dan pemaksaan kehendak yang dilakukan pluralisme agama kepada para tamunya?
AMT: Ide ini tidak membenarkan penganut atau pemeluk agama lain untuk menjadi dirinya sendiri, atau mengekspresikan jati-dirinya secara utuh, seperti mengenakan simbul-simbul keagamaan tradisional -khususnya agama Islam, yang sebetulnya secara teori sangat dibenarkan dan bahkan dijunjung tinggi. Contoh kasus pengingkaran ini banyak terjadi di Amerika, yang notabene adalah negara yang mengklaim paling pluralis, demokratis dan menjunjung HAM, ternyata dalam kasus sehari-hari, misalnya adanya larangan berbusana muslimah diterapkan oleh suatu perusahaan tertentu bagi warga AS yang ingin bekerja di sana dan ketika kasus ini diangkat di pengadilan, justru yang dimenangkan adalah perusahaan tersebut. Lebih lanjut tentang berbagai ketimpangan sosial ini baca: Muslims on the Americanization Path? Edited by Yvonne Yazbeck Haddad & John L. Esposito.
Maka sebetulnya yang layak menjadi tuan rumah (a host culture) yang baik hanyalah Islam, dimana agama ini selalu tetap mengakui the otherness of the other dan menghargai adanya agama lain sebagaimana adanya, tanpa memaksakan keseragaman istilah ketuhanan, ritual dll.
HS: Sebagai penutup perbincangan kita, kira-kira apa tujuan yang hendak mereka capai dengan menggulirkan ide pluralisme agama di awal-awal perkembangan ide ini?
AMT: Upaya menuju keseragaman (uniformity) atau menyeragamkan segala perbedaan dan keberagaman agama. Dan ini bertentangan dengan sunnatullah yang pada gilirannya akan mengancam eksistensi manusia itu sendiri. (INSIST)
0 komentar:
Posting Komentar