oleh : Fakhrurazi Reno Sutan
Penganut faham liberal di Muhammadiyah mulai menampakkan taring. Melalui berbagai pemikiran yang dituangkan di beberapa jurnal dan buku, mereka berusaha melibas sendi-sendi faham keagamaan Muhammadiyah.
Faham keagamaan Muhammadiyah yang merupakan hasil kesepakatan dan musyawarah setingkat Muktamar, Tanwir, dan persidangan lainnya itu, bagi mereka tidak ada artinya. Bahkan semua itu dianggap kolot, literal, dogmatis, dan sederetan penghinaan dan pelecehan lainnya.
Mereka mengklaim diri sebagai kelompok Liberal, sementara yang menentang dan menghalang-halangi mereka dituduh sebagai kelompok Literal. Mereka klaim dirinya Inklusif, sementara yang tidak setuju dengan pemikiran mereka dicap sebagai eksklusif. Mereka mengaku sebagai pemikir kontekstual, sedangkan yang lain diberi label dogmatis, dan sederetan label, symbol, dan cap yang mereka taburkan (baca “SM” no. 04 Februari 2004). Seakan merekalah pemilik kecerdasan, dan orang lain dianggap bodoh, dungu, dan jumud.
Kenapa Muhammadiyah tidak boleh melakukan interpretasi atau menafsirkan ajaran-ajaran Islam menurut yang diyakini warga Muhammadiyah? Mengapa Muhammadiyah tidak boleh membentuk kultur ala Muhammadiyah sendiri? dan kenapa Muhammadiyah dipaksa untuk berfaham Liberal? Mengapa mereka rusak kedamaian dan ketenangan yang selama ini telah dinikmati oleh warga Muhammadiyah?
Menanggapi realitas yang memilukan ini, Dr H M Hidayat Nur Wahid, anggota MTDK PP Muhammadiyah, di sela-sela acara International Congres of Islamic Scholars (23/02) di Jakarta, mengatakan bahwa menurut pandangan Barat, ada tiga tipikal umat Islam di Indonesia, yaitu Moderat, Fundamental dan Liberal. Dan selama ini, Muhammadiyah dan NU dikenal sebagai kelompok moderat.
Hidayat lalu mempertanyakan kenapa kelompok liberalis memaksakan kehendaknya untuk merubah Muhammadi-yah menjadi Liberal. “Apakah mereka menginginkan semua orang harus berfaham liberalis? Kalau ya, berarti mereka bukanlah Liberal benaran. Kalau mereka Liberal benaran, seharusnya membiarkan saja kalau ada orang yang ingin menjadi seorang Moderat atau seorang fundamental, terserah masing-masing saja. Janganlah terlalu su`uzhan pada orang lain, itu tidak baik”.
Lebih lanjut Hidayat Nur Wahid yang juga Presiden Partai Keadilan Sejahtera ini mengatakan, “Jika sekiranya ada warga Muhammadiyah yang merasa tidak cocok lagi dengan faham keagamaan yang telah diputuskan oleh organisasi terbesar di dunia ini sebagai kebijakan organisasi, ya silakan saja tidak mengobrak-abrik sendi-sendi keorganisa-sian Muhammadiyah. Kalau ingin mengibarkan bendera Liberalis, tentunya tidak cocok dikibarkan dalam Muhammadi-yah, ya tahu dirilah!” tegasnya.
Pandangan senada juga disampaikan oleh Drs H M Goodwill Zubir, Sekretaris PP Muhammadiyah. “Mereka yang ingin berkreasi dalam pemikiran dan ingin menjadi orang maju, boleh-boleh saja. Tapi, janganlah diganggu Akidah Tauhid umat ini, jangan dirusak rumah kita Muhammadiyah ini, dan jangan dipersulit umat dakwah ini dengan pikiran-pikiran yang membingungkan”.
Lebih lanjut Goodwill mengungkapkan bahwa menurut logika berpikir, orang-orang yang mau bergabung dengan sebuah organisasi adalah mereka yang memiliki kesamaan-kesamaan visi dan misi. Dan biasanya orang yang tidak setuju dengan visi dan misi sebuah organisasi, maka dia memilih tidak akan masuk ke organisasi tersebut. Muhammadiyah Sudah jelas tujuannya, yaitu untuk menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. “Masyarakat Islam yang benar itu adalah benar imannya, benar ibadahnya, benar akhlaknya dan benar cara hidupnya. Dan patokan benar menurut Muhammadiyah ialah Al-Qur`an dan As-Sunnah”, Demikian Goodwil Zubir.
Keberadaan kelompok liberal di Muhammadiyah nampaknya cukup mempriha-tinkan. Mereka sebenarnya hanya sedikit, tapi eksis di berbagai macam lembaga. Mereka aktif di PSAP (Pusat Studi Agama dan Peradaban) Muhammadiyah, pada waktu yang bersamaan mereka juga mendirikan Ma’arif Institute dan membentuk JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah). Tiga lembaga ini diurus sebagian besar oleh orang yang sama, dan membawa misi yang sama.
Untuk sekedar mengetahui bagaimana pola pikir yang mereka kampanyekan secara terus-menerus, di antaranya mereka menolak ‘Dakwah kepada keimanan Tauhid’.
Dalam buku Muhammadiyah Sebagai Tenda Kultural yang diterbitkan oleh Ideo Press & Ma’arif Institute, Moeslim Abdurrahman, Direktur Eksekutif Ma’arif Institute dalam pengantar editornya mengatakan, “menurut saya, “dosa” gerakan-gerakan purifikasi Islam, mungkin yang harus disesali tidak hanya karena sejarahnya yang ganas dan apriori terhadap seni dan budaya lokal. Tapi, yang lebih parah, kalau seperti Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid ternyata menjadi jumud, karena tidak mampu memperbarui kesadaran Islam yang lebih substansial dan terbuka untuk memaknai bahwa dakwah bukanlah identik dengan propaganda iman, melainkan, dakwah sesungguhnya adalah setiap kerja religius untuk peradaban dan kemanusiaan”.
Pemikiran tokoh liberalis yang juga “mentor” JIMM ini diperjelas lagi oleh anggota pasukannya sendiri, sebagaimana ditulis pada buku yang sama (hal. 3-4): “Agama seyogianya diajarkan secara kritis, objektif dan humanis. Karena penanaman dogma pada hakikatnya merupakan bentuk pemaksaan keyakinan yang tak sesuai dengan hak azasi manusia (HAM). Untuk itulah kiranya, tak perlu lagi adanya kegiatan pengajaran atau bahkan misi dogmatis agama dalam arti yang mengajak orang lain menuju jalan Tuhan tanpa pertimbangan-pertimbangan yang objektif dan kritis. Dengan demikian siapapun yang berusaha mengajak, menyerukan atau memobilisasi manusia ke dalam satu keyakinan agama, pada hakikatnya ia telah memisahkan atau mengeluarkan agama tersebut dari jiwa manusia”.
Betapa ngawurnya pemikiran ini, karena sudah jauh menyimpang dari Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah Islam amar ma’ruf nahi munkar. Pikiran Liberalis ini apabila disebarkan dalam Muhammadiyah, maka dia akan memecah belah jama’ah, merusak persatuan dan menghancurkan identitas Muhammadiyah. Dengan kata lain, Paham Liberalis saat ini bagaikan Virus yang mulai menggerogoti tubuh Muhammadiyah.
Coba kita bandingkan bagaimana konsep dakwah menurut Muhammadiyah. Tentang Keimanan, Muhammadiyah berkeyakinan: “Hendaklah iman ditablighkan, disiarkan seluas-luasnya, diberi riwayat dan dalil buktinya, dipengaruhkan dan digembirakan, hingga iman mendarah daging, masuk di tulang sumsum dan mendalam di hati sanubari pada anggota Muhammadiyah semuanya”. (Lihat putusan Muktamar Muhammadiyah 1940 dalam buku Muhammadiyah Jalan Lurus, yang sampai sekarang belum dihapuskan).
Inilah paham Muhammadiyah yang sebenarnya dan telah disepakati oleh Warga Muhammadiyah, melalui forum musyawarah. Jadi Insya Allah kita tidak akan berdosa kalau mengajak orang untuk beriman Kepada Allah SWT, bahkan merupakan suatu amalan baik yang dapat menyelamatkan manusia di dunia dan akhirat. (Majalah Tabligh)
______________________
Fakhrurazi Reno Sutan, Mantan Ketua DPP IMM dan Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Jakarta)
Penganut faham liberal di Muhammadiyah mulai menampakkan taring. Melalui berbagai pemikiran yang dituangkan di beberapa jurnal dan buku, mereka berusaha melibas sendi-sendi faham keagamaan Muhammadiyah.
Faham keagamaan Muhammadiyah yang merupakan hasil kesepakatan dan musyawarah setingkat Muktamar, Tanwir, dan persidangan lainnya itu, bagi mereka tidak ada artinya. Bahkan semua itu dianggap kolot, literal, dogmatis, dan sederetan penghinaan dan pelecehan lainnya.
Mereka mengklaim diri sebagai kelompok Liberal, sementara yang menentang dan menghalang-halangi mereka dituduh sebagai kelompok Literal. Mereka klaim dirinya Inklusif, sementara yang tidak setuju dengan pemikiran mereka dicap sebagai eksklusif. Mereka mengaku sebagai pemikir kontekstual, sedangkan yang lain diberi label dogmatis, dan sederetan label, symbol, dan cap yang mereka taburkan (baca “SM” no. 04 Februari 2004). Seakan merekalah pemilik kecerdasan, dan orang lain dianggap bodoh, dungu, dan jumud.
Kenapa Muhammadiyah tidak boleh melakukan interpretasi atau menafsirkan ajaran-ajaran Islam menurut yang diyakini warga Muhammadiyah? Mengapa Muhammadiyah tidak boleh membentuk kultur ala Muhammadiyah sendiri? dan kenapa Muhammadiyah dipaksa untuk berfaham Liberal? Mengapa mereka rusak kedamaian dan ketenangan yang selama ini telah dinikmati oleh warga Muhammadiyah?
Menanggapi realitas yang memilukan ini, Dr H M Hidayat Nur Wahid, anggota MTDK PP Muhammadiyah, di sela-sela acara International Congres of Islamic Scholars (23/02) di Jakarta, mengatakan bahwa menurut pandangan Barat, ada tiga tipikal umat Islam di Indonesia, yaitu Moderat, Fundamental dan Liberal. Dan selama ini, Muhammadiyah dan NU dikenal sebagai kelompok moderat.
Hidayat lalu mempertanyakan kenapa kelompok liberalis memaksakan kehendaknya untuk merubah Muhammadi-yah menjadi Liberal. “Apakah mereka menginginkan semua orang harus berfaham liberalis? Kalau ya, berarti mereka bukanlah Liberal benaran. Kalau mereka Liberal benaran, seharusnya membiarkan saja kalau ada orang yang ingin menjadi seorang Moderat atau seorang fundamental, terserah masing-masing saja. Janganlah terlalu su`uzhan pada orang lain, itu tidak baik”.
Lebih lanjut Hidayat Nur Wahid yang juga Presiden Partai Keadilan Sejahtera ini mengatakan, “Jika sekiranya ada warga Muhammadiyah yang merasa tidak cocok lagi dengan faham keagamaan yang telah diputuskan oleh organisasi terbesar di dunia ini sebagai kebijakan organisasi, ya silakan saja tidak mengobrak-abrik sendi-sendi keorganisa-sian Muhammadiyah. Kalau ingin mengibarkan bendera Liberalis, tentunya tidak cocok dikibarkan dalam Muhammadi-yah, ya tahu dirilah!” tegasnya.
Pandangan senada juga disampaikan oleh Drs H M Goodwill Zubir, Sekretaris PP Muhammadiyah. “Mereka yang ingin berkreasi dalam pemikiran dan ingin menjadi orang maju, boleh-boleh saja. Tapi, janganlah diganggu Akidah Tauhid umat ini, jangan dirusak rumah kita Muhammadiyah ini, dan jangan dipersulit umat dakwah ini dengan pikiran-pikiran yang membingungkan”.
Lebih lanjut Goodwill mengungkapkan bahwa menurut logika berpikir, orang-orang yang mau bergabung dengan sebuah organisasi adalah mereka yang memiliki kesamaan-kesamaan visi dan misi. Dan biasanya orang yang tidak setuju dengan visi dan misi sebuah organisasi, maka dia memilih tidak akan masuk ke organisasi tersebut. Muhammadiyah Sudah jelas tujuannya, yaitu untuk menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. “Masyarakat Islam yang benar itu adalah benar imannya, benar ibadahnya, benar akhlaknya dan benar cara hidupnya. Dan patokan benar menurut Muhammadiyah ialah Al-Qur`an dan As-Sunnah”, Demikian Goodwil Zubir.
Keberadaan kelompok liberal di Muhammadiyah nampaknya cukup mempriha-tinkan. Mereka sebenarnya hanya sedikit, tapi eksis di berbagai macam lembaga. Mereka aktif di PSAP (Pusat Studi Agama dan Peradaban) Muhammadiyah, pada waktu yang bersamaan mereka juga mendirikan Ma’arif Institute dan membentuk JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah). Tiga lembaga ini diurus sebagian besar oleh orang yang sama, dan membawa misi yang sama.
Untuk sekedar mengetahui bagaimana pola pikir yang mereka kampanyekan secara terus-menerus, di antaranya mereka menolak ‘Dakwah kepada keimanan Tauhid’.
Dalam buku Muhammadiyah Sebagai Tenda Kultural yang diterbitkan oleh Ideo Press & Ma’arif Institute, Moeslim Abdurrahman, Direktur Eksekutif Ma’arif Institute dalam pengantar editornya mengatakan, “menurut saya, “dosa” gerakan-gerakan purifikasi Islam, mungkin yang harus disesali tidak hanya karena sejarahnya yang ganas dan apriori terhadap seni dan budaya lokal. Tapi, yang lebih parah, kalau seperti Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid ternyata menjadi jumud, karena tidak mampu memperbarui kesadaran Islam yang lebih substansial dan terbuka untuk memaknai bahwa dakwah bukanlah identik dengan propaganda iman, melainkan, dakwah sesungguhnya adalah setiap kerja religius untuk peradaban dan kemanusiaan”.
Pemikiran tokoh liberalis yang juga “mentor” JIMM ini diperjelas lagi oleh anggota pasukannya sendiri, sebagaimana ditulis pada buku yang sama (hal. 3-4): “Agama seyogianya diajarkan secara kritis, objektif dan humanis. Karena penanaman dogma pada hakikatnya merupakan bentuk pemaksaan keyakinan yang tak sesuai dengan hak azasi manusia (HAM). Untuk itulah kiranya, tak perlu lagi adanya kegiatan pengajaran atau bahkan misi dogmatis agama dalam arti yang mengajak orang lain menuju jalan Tuhan tanpa pertimbangan-pertimbangan yang objektif dan kritis. Dengan demikian siapapun yang berusaha mengajak, menyerukan atau memobilisasi manusia ke dalam satu keyakinan agama, pada hakikatnya ia telah memisahkan atau mengeluarkan agama tersebut dari jiwa manusia”.
Betapa ngawurnya pemikiran ini, karena sudah jauh menyimpang dari Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah Islam amar ma’ruf nahi munkar. Pikiran Liberalis ini apabila disebarkan dalam Muhammadiyah, maka dia akan memecah belah jama’ah, merusak persatuan dan menghancurkan identitas Muhammadiyah. Dengan kata lain, Paham Liberalis saat ini bagaikan Virus yang mulai menggerogoti tubuh Muhammadiyah.
Coba kita bandingkan bagaimana konsep dakwah menurut Muhammadiyah. Tentang Keimanan, Muhammadiyah berkeyakinan: “Hendaklah iman ditablighkan, disiarkan seluas-luasnya, diberi riwayat dan dalil buktinya, dipengaruhkan dan digembirakan, hingga iman mendarah daging, masuk di tulang sumsum dan mendalam di hati sanubari pada anggota Muhammadiyah semuanya”. (Lihat putusan Muktamar Muhammadiyah 1940 dalam buku Muhammadiyah Jalan Lurus, yang sampai sekarang belum dihapuskan).
Inilah paham Muhammadiyah yang sebenarnya dan telah disepakati oleh Warga Muhammadiyah, melalui forum musyawarah. Jadi Insya Allah kita tidak akan berdosa kalau mengajak orang untuk beriman Kepada Allah SWT, bahkan merupakan suatu amalan baik yang dapat menyelamatkan manusia di dunia dan akhirat. (Majalah Tabligh)
______________________
Fakhrurazi Reno Sutan, Mantan Ketua DPP IMM dan Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Jakarta)
0 komentar:
Posting Komentar