Tanggapan Terhadap Tulisan H. Ahmad Budiyanto Jaringan Islam Liberal
Menggagas Fikih yang Manusiawi
oleh : Muhammad Iqbal, LcHumanisme dalam Islam (judul sebuah buku) tidak ditulis sekadar karena rasa simpati terhadap umat Islam, akan tetapi juga karena bukti-bukti sejarah; peradaban Islam adalah peradaban yang pertama dalam memberikan ketentuan yang jelas untuk melindungi nasib manusia dan masyarakat, juga untuk mengatur hubungan antara-bangsa.
Buku ini bertujuan agar orang-orang Barat yang ethonocentrisme (rasa bahwa mereka itu yang terpenting di dunia ini) lebih memahami legitime bangsa-bangsa Islam pada masa sekarang. Buku ini juga bertujuan untuk menghilangkan purbasangka-purbasangka tentang Islam dan membuktikan bahwa "hukum Islam" yang telah menimbulkan kesadaran hukum di Eropa pada abad pertengahan sudah memberikan sumbangan penting bagi pembaharuan hukum intenasional, berkat ketentuan-ketentuan yang melindungi hak-hak manusia, serta kecenderungan kepada perdamaian yang dinamis yang berdasarkan atas dasar keadilan. (Professor Marcel A. Boisard). Pengantar di atas saya kutip dari sampul belakang sebuah buku yang ditulis oleh Prof. Dr. Marcel A. Boisard yang dialihbahasakan oleh Prof. Dr. H.M. Rasyidi.
Sebuah tulisan di situs Jaringan Islam Liberal (JIL) yang berjudul Menggagas Fikih yang Manusiawi, sebuah judul yang cukup mengganggu perasaan saya sebagai seorang yang banyak berkecimpung dalam persoalan seperti itu. Hati kecil saya bertanya-tanya, apa benar semua bagian fikih yang ada dan 'sudah mapan' itu tidak manusiawi? Sejauh mana ketidakmanusiawiannya? Lalu, bagaimana dengan ajaran agama lain, apakah ajaran mereka cukup manusiawi? Konsep tentang hidup sendiri bagi orang-orang gereja adalah contoh yang sangat nyata, bisakah disebut manusiawi yang sesuai fitrah manusia? Pertanyaan-pertanyaan serupa memang mengiang di telinga saya.
Haji Ahmad Budiyanto tidak pernah ada dalam benak para fuqaha bahwa fikih adalah suatu produk hukum yang final, paling tidak hal itu untuk level para ulama mujtahid yang dianggap kapabel untuk berijtihad. Keputusan hukum yang diambil para ulama mujtahid dari zaman ke zaman adalah hasil interpretasi terhadap berbagai nas yang ada, terutama teks-teks primer: Alquran dan hadis. Bukan mustahil pemahaman yang satu benar yang lain salah, karena memang mereka juga adalah manusia biasa. Tapi jangan lupa, ijtihad yang mereka lakukan tidak pernah lepas dari koridor kedua sumber primer tersebut. Dan, tidak berdasarkan akal semata, apalagi berdasarkan ucapan-ucapan dari luar Islam. Oleh karena itu, mayoritas umat Islam tidak pernah rela kalau ada orang yang mengaku beragama Islam, tetapi ingin menggugat kedua sumber tersebut, kitab suci Alquran dan dan sunah yang sahih. Karena 'dosa' seperti itulah yang mengakibatkan Fazlur Rahman harus meninggalkan Pakistan. Tulisannya di dalam buku, "Islam", yang menyinggung tentang Nabi Muhammad saw. dan Alquran, menyebabkan kemarahan umat Islam Pakistan. Sehingga, hal itu menyebabkannya harus hengkang dari tanah kelahirannya untuk menjadi guru besar di Amerika Serikat. Tempat yang pas untuk orang-orang seperti dia. Demikian pula halnya dengan Nash Hamid Abu Zayd yang harus meninggalkan Mesir karena terkait hal yang tidak jauh berbeda: melecehkan Alquran, kitab suci umat Islam.
Jadi, tragedi yang dialami keduanya bukan karena begitu kokohnya posisi fikih dalam benak umat Islam, tetapi lebih dikarenakan penghinaan dan pelecehan terhadap sumber utama fikih tersebut.
Memang benar, boleh dikatakan semua umat Islam memahami dan meyakini bahwa fikih adalah sebuah hasil penafsiran terhadap teks-teks primer: Alquran dan hadis, serta dilengkapi dengan sumber-sumber sekunder yang sudah makruf dalam tradisi fikih Islam. Tetapi, kalau ada sebagian kalangan awam yang memberikan sikap berlebihan, bahkan sampai ke tingkat kultus, janganlah Anda menyalahkan 'fikih'nya, tetapi kesalahpahamahan itulah yang mesti diluruskan. Hingga Anda, para penulis buku tersebut dan orang-orang yang sepikiran dengan Anda, tidak perlu mencurigai fikih, sebagaimana kecurigaan Anda terhadap sumber utama dari Islam itu sendiri.
Muhammad Arkoun bisa saja beranggapan bahwa sejak semula usaha-usaha penafsiran atas teks Alquran dan hadis Nabi tidak pernah lepas dari campur tangan politik praktis, dan nampaknya Anda sangat mendukung pendapat tersebut. Namun, sikap dia yang menggeneralkan semuanya jelas merupakan pengkaburan terhadap Islam yang sebenarnya, mungkir sekabur iman yang ada di hatinya.
Imam Nawawi rhm. adalah salah seorang ulama besar yang dilahirkan di Nawa, sekitar 90 km dari kota Damaskus pada tahun 631 H dan wafat di tempat yang sama pada tahun 676 H. Ia menghasilkan karya yang tidak sedikit, meski usianya tidak lebih dari 45 tahun. Karya tulisnya adalah karya-karya yang menomental dalam berbagai disiplin ilmu. Namun, tahukah Anda bahwa dia tidak pernah terkait sedikit pun dengan segala hal yang berhubungan dengan kekuasaan. Bahkan, dia menentang beberapa perintah penguasa pada masa itu yang sangat bertentangan dengan ajaran Islam. Akibat nahi mungkar yang dilakukannya tersebut, beliau harus pulang kampung dan tidak diizinkan lagi mengajar di madrasah tempat mengabdikan ilmunya.
Ini hanyalah salah contoh kasus yang dialami para ulama di masa itu. Bagaimana mungkin penafsiran terhadap Alquran dan hadis yang dilakukan oleh beliau tidak terlepas dari campur tangan politik praktis. Suatu hal yang sangat aneh bin ajaib. Nawawi tidak pernah sedikit pun terlibat dalam pemerintahan dan menentang keras berbagai tindakan pemerintah yang bertentangan dengan agama. Bagaimana mungkin hasil ijtihad Imam Nawawi bisa terkait dengan politik praktis? Sebuah tindakan pengkaburan terhadap realita dan kebohongan terhadap kenyataan sejarah yang terjadi serta deviasi dari kebenaran Islam yang disampaikan olehnya. Orang-orang bodoh yang tidak mengerti Islam dan sejarah para ulama mungkin hanya akan termanggut-manggut mendengar keterangan Arkoun, tetapi muslim yang mengerti sejarah dan perjalanan hidup para ulama tidak akan pernah bisa dibohongi oleh Arkoun. Saya khawatir kalau Anda yang menulis artikel ini juga termasuk di antara orang yang dikelabui oleh Arkoun.
Bagaimana mungkin seorang Imam Ahmad, yang mendapatkan penyiksaan yang luar biasa dari penguasa karena masalah fitnah Alquran, dapat bekerja sama dengan penguasa untuk menghasilkan penafsiran atas teks yang sesuai dengan keinginan penguasa untuk menghasilkan kontrol terhadap umat. Mustahil dan tidak mungkin adanya kerja sama di antara kedua belah pihak.
Dua sosok ulama legendaris di atas hanyalah salah satu dari sekian banyak ulama yang tidak mempunyai kepentingan apa-apa dengan kekuasaan. Bagaimana Arkoun bisa mengambil kesimpulan seperti yang dijelaskan oleh H. Ahmad Budiyanto. Kalau kita amati sekilas, tindakan Arkoun tersebut tidak terlepas dari dua indikasi: ketidaktahuannya terhadap biografi para ulama atau pura-pura tidak tahu terhadap biografi mereka. Nampaknya yang kedua inilah yang benar, karena orang "sepintar" dia mana mungkin tidak tahu tentang sejarah. Dan, tindakannya besar kemungkinan karena adanya pesan dari "luar" untuk menghancurkan agama Islam dari dalam. "Dari mereka (umat Islam) berawalnya fitnah dan kepada merekalah akan kembali." Wallahu a'lam.
Pada saat kaum formalis (baca: Ahlus Sunnah) mendapatkan kemenangan demi kemenangan dalam sejarah pemikiran Islam, kenyataan itu tidak bisa dijadikan alasan adanya kerja sama di antara kedua belah pihak. Apakah Anda lupa--atau lebih tepat berpura-pura lupa--pada saat kalangan Ahlus Sunnah yang dimotori oleh Imam Ahmad mendapat penderitaan yang luar biasa karena pemerkosaan pemikiran yang dipaksakan oleh penguasa yang ditunggangi oleh kaum pemikir (baca: Muktazilah)? Hanya keberuntunganlah yang tidak membawanya kepada kematian. Ketika pasukan kerajaan mendapat perintah untuk membunuh Imam Ahmad bersama salah seorang temannya, para algojo tersebut bersiap untuk melaksanakan eksekusi, dan temannya lebih dulu dibunuh. Ketika eksekusi akan dilaksanakan kepada beliau, datang berita bahwa sang khalifah telah wafat, hingga terhindarlah Imam Ahmad dari kematian karena mempertahankan akidahnya. Apakah Anda lupa terhadap kasus dan cerita seperti ini--atau yang seperti yang saya katakan: Anda berpura-pura tidak tahu terhadap sejarah--hingga Anda bisa mengatakan bahwa Ahmad bersekongkol dengan penguasa untuk menghasilkan pengontrolan terhadap umat. Subhanallah! kebohongan apa lagi yang ingin Anda sampaikan setelah kebohongan seperti ini?
Kejadian sebenarnya adalah manifestasi dari firman Allah SWT (yang artinya), "Dan katakanlah: 'Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap.' Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap." (Al-Israa: 81).
Yang menyingkirkan rasionalisme pemikiran dan kritisme adalah kebenaran yang dianut oleh mayoritas umat Islam kala itu. Tidak pernah ada yang namanya perselingkuhan aktivitas penafsiran dan kekuasaan.
Lakukanlah penafsiran ulang terhadap fikih, karena memang pintu ijtihad tidak pernah tertutup, kalau Anda memang mempunyai otoritas dan kapabelitas untuk itu, dan Anda benar-benar tidak terkontrol oleh keadaan atau kekuasaan atau uang yang selalu membayanginya. Saya tidak yakin Anda bisa seperti itu. Tetapi, Anda jangan coba-coba meminta penafsiran ulang terhadap keberadaan Alquran dan hadis yang menjadi sumber utama setiap kajian fikih tersebut. Kalau Anda tidak ingin mengalami tragedi seperti yang dialami mendiang Fazlur Rahman dan Nash Hamid. Kalau tidak di dunia, Anda akan mendapatkannya di "alam yang lain". Percayalah, karena saya yakin bahwa Anda pasti mempercayai datangnya kematian.
Fikih, sebagai hasil karya manusia, merupakan interpretasi para ulama terhadap Alquran dan sunah yang sahih. Apa yang mereka lakukan bisa jadi benar dan bisa pula salah. Namun, kedua sumber primer tersebut tidak pernah salah, dan yang terjadi adalah kekurangmampuan akal kita dalam memahami keduanya.
Kalau buku tersebut, yang memiliki 166 halaman, adalah buku yang bermutu, mestinya ia harus proporsional dalam menempatkan segala sesuatu. Mengapa ia hanya melihat dengan sebelah mata terhadap syariat Islam hingga yang dilihatnya hanyalah kelemahan syariat tersebut yang mungkin saja disebabkan "kekeliruan" sebagian fuqaha dalam mengambil sebuah kesimpulan.
Saya melihat bahwa tulisan tersebut lebih didominasi oleh faktor subjek daripada obyek yang dikaji. Padahal, kalau para penulis mau berlapang dada, sudahkah mereka memiliki kemampuan seperti yang dimiliki para fuqaha? Siapa yang bisa menjamin bahwa hasil karya Anda semua lebih baik dari yang telah mereka lakukan?
Siapa saja boleh melakukan penelitian emperik pada beberapa wilayah dan negara yang memberlakukan syariat Islam, tetapi objektifitas harus dikedepankan dari segala-segalanya. Juga, tidak mengapa untuk melakukan pemahaman kembali atas fikih dan teks-teks dasar Islam, asal Anda--wahai para penulis-- sudah memiliki syarat-syarat untuk melakukan semua. Kalau Anda ingin melakukannya berdasarkan akal, itu hanyalah kesimpulan kalian saja yang sudah pasti menyimpan banyak pertanyaan yang susah terjawab. Pertanyaan saya kepada Anda semua, mengapa Anda tidak melakukan hal serupa kepada wilayah dan negara, seperti Indonesia misalnya, yang memberlakukan hukum yang merupakan peninggalan para penjajah. Apakah hukum di sini sudah manusiawi? Mengapa Anda tidak berusaha melakukan penelitian emperik terhadap hukum dan pelaksanaannya di Indonesia, misalnya, yang sudah berlangsung lebih dari setengah abad sejak kemerdekaan tahun 1945? Apakah sudah menusiawi? Berikanlah alternatif-alternatif yang relevan terhadap hukum yang ada di negara kita, agar lebih bersifat humanis yang terbatasi oleh ruang historis dan rasionalitas.
Para penulis mengawali tulisannya dengan model penafsiran yang konstektual dalam memahami teks-teks keagamaan, untuk menggantikan model penafsiran yang formalistis-simbolis yang ada selama ini.
Penggunaan istilah formalistis-simbolis diartikan oleh penulis sebagai model penafsiran yang leteral, sesuai dengan makna lahir-fisik-gramatikal, dan (juga) sesuai dengan pesanan kekuasaan. Istilah formalistis-simbolis di atas diperuntukkan atas berbagai pemahaman terhadap ajaran Islam yang sudah ada dan dipahami oleh umat Islam sejak zaman Nabi saw. dan diteruskan oleh pada salafus saleh. Istilah seperti itu dibuat sebagai bentuk pelecehan terhadap apa yang ada pada umat Islam pada saat ini, karena ajaran agama Islam yang berpegang pada peraturan dan tata-cara yang sudah berlaku digambarkan hanya sebagai simbol (lambang). Padahal, pemahaman seperti itu adalah pemahaman yang bukan hanya dipelajari, tetapi juga diamalkan oleh umat Islam. Kalau sekadar simbol, berarti hal itu tidak berbeda dengan ajaran yang dibawa oleh penulis yang menganggap Islam hanya sebagai ilmu, bukan untuk diamalkan. Hal ini sangat kontras dengan kondisi umat secara umum, para ulama Ahli Sunnah secara khusus. Ilmu yang dipelajari hendaknyalah untuk diamalkan dan bukan sekadar omongan bahan diskusi belaka.
Lalu, penulis menjelaskan bahwa maksud istilah itu adalah penafsiran literal dan seterusnya. Pemaknaan ini perlu dikritisi dari berbagai sisi: pertama, Alquran diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. dalam bahasa Arab, demikian pula sunah-sunah Rasulullah saw., juga dengan bahasa Arab. Dalam bahasa Arab, penafsiran literal adalah yang signifikan dalam pemakaian bahasa, sedangkan nonliteral hanya digunakan dalam kondisi tertentu.
Nas Alquran wajib dipahami berdasarkan zahirnya, masalah ini sudah badihi (aksiomatis), dipahami oleh setiap muslim tanpa kecuali, apalagi Alquran adalah kitab yang diturunkan sebagai petunjuk, cahaya, dan mizan, maka mustahil bahasa Alquran susah dimengerti seperti mantra, bahasa dukun atau teka-teki.
Ibn Qayyim rhm. menjelaskan, "Kata majaz (metafora) atau takwil (alegoris) tidak masuk ke dalam al-manshush, tetapi masuk dalam lafazh zhahir muhtamal (mengandung ambignuitas). Seseorang tidak boleh memalingkan lafaz dari maknanya yang dahir kepada makna majaz, kecuali setelah melampaui empat anak tangga. Pertama, menjelaskan kemustahilan makna dahir. Kedua, menjelaskan relevansi ayat-ayat tersebut terhadap makna yang ia tunjuk, karena jika tidak, berarti ia telah berbuat dusta atas bahasa dan atas pembicara. Ketiga, menjelaskan argumentasi ditentukannya makna yang mujmal itu bila ia memiliki beberapa majaz. Keempat, menjawab dengan benar dalil-dalil yang mengharuskan ditetapkannya makna dahir (literal)."
Siapa yang tidak memenuhi keempat syarat ini, maka klaim bahwa nas-nas Alquran perlu ditafsir ulang sesuai dengan konteks kekinian, kontekstual, itu adalah klaim batil, mengikuti jejak bangsa yang dimurkai Allah SWT karena telah melakukan tahrif (deviasi) terhadap firman Allah SWT.
"Apakah kamu masih mengharapkan mereka akan percaya kepadamu, padahal segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahya setelah mereka memahaminya, sedang mereka mengetahui?" (Al-Baqarah: 75).
"(Tetapi) karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuk mereka, dan kami jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka mengubah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya, dan kamu (Muhammad) senantiasa akan melihat kekhianatan dari mereka, kecuali sedikit di antara mereka (yang tidak berkhianat), maka maafkanlah mereka dan biarkanlah mereka, sesungguhya Allah menyukai orang-orang berbuat baik." (Al-Maidah: 13).
Kemudian penulis menjelaskan bahwa sebagai penggantinya adalah penafsiran kontekstual yang mengacu pada kenyataan bahwa teks-teks dasar Islam tidak lebih dari sekadar peristiwa bahasa yang didalamnya melibatkan proses kultural dan seterusnya.
Pertanyataan seperti ini sudah pernah diungkapkan oleh Ulil, Hasan Hanafi, juga Muhammad Arkoun (lahir di Aljazair 1928). Agus Hasan Bashari menyatakan dalam bukunya Mewaspadai Kontekstualisasi Al-Qur'an, "Kesesatan pernyataan ini melebihi kesesatan Muktazilah yang mengatakan bahwa Alquran bukan wahyu Allah dan kalam Allah, tetapi ia makhluk. Uraian berikut bisa meluruskan pemahaman yang salah ini."
"Konteks tidak diturunkan oleh Allah, melainkan diciptakan. Sementara wahyu adalah diturunkan, diucapkan, tidak diciptakan."
"Konteks bersifat relatif, karena terus-menerus berubah, tidak menentu dan dinamis. Sedangkan wahyu adalah tertentu, pasti dan statis, berakhir turunnya dengan wafatnya Nabi Muhammad saw."
"Wahyu adalah petunjuk Allah yang berisi perintah dan kabar berita. Sedangkan konteks adalah tempat dan waktu di mana wahyu itu turun. Jadi konteks wahyu bukan bagian dari wahyu."
"Allah SWT memerintahkan agar wahyu yang diturunkan itu wajib diikuti, bukan konteksnya. Allah SWT berfirman kepada Rasul-Nya yang diutus kepada seluruh umat manusia di mana pun dan sampai kapan pun. 'Dan, Alquran ini diwahyukan kepadaku supaya dengannya aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Alquran (kepadanya).' (Al-An'am: 19). 'Ikutilah apa yang telah diwahyukan kepadamu dari Rabmu.' (Al-An'am: 106)."
"Jarak antara Nabi Ibrahim dengan Nabi Muhammad saw. adalah ribuan tahun, 'konteknya' tentu berbeda. Meskipun demikian, Allah memerintahkah kepada Nabi Muhammad saw. untuk mengikuti Nabi Ibrahim. 'Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): 'Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif.' Dan, bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Rab.' (An-Nahl: 123). 'Katakanlah: 'Benarlah (apa yang difirmankan) Allah.' Maka, ikutilah agama Ibrahim yang lurus.' (Ali Imrah: 95). Dan, di antara agama Ibrahum yang harus diikuti oleh Nabi Muhammad saw. adalah wala' dan bara', yaitu dalam firman-Nya, 'Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: 'Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja. Kecuali perkataan Ibrahim kepada bapaknya: 'Sesungguhnya aku akan memohonkan ampunan bagi kamu dan aku tiada dapat menolak sesuatu pun dari kamu (siksaan) Allah.' (Ibrahim berkata): 'Ya Rab kami, hanya kepada Engkaulah kami bertawakal dan hanya kepada Engkaulah kami bertobat dan hanya kepada Engkaulah kami kembali.' (Al-Mumtahinan: 4)."
"Seluruh sunah Nabi dan sunah khulafa rasyidin adalah model beragama yang harus dicontoh oleh setiap muslim. (lihat Al-Ahzab: 21)."
"Apa pun yang menyalahi Alquran, apakah itu dinamakan rasio, pemikiran, pendapat, atau konteks, maka hakikatnya adalah satu, yaitu zhan dan hawa nafsu. (Lihat Al-Qashah: 50 dan Al-An'am: 116)."
Jelas sekali bahwa apa yang disampaikan oleh penulis bahwa proposisi seperti itu tidak akan diterima oleh umat Islam yang diberi iman oleh Allah SWT, karena hal itu sudah keluar dari jalur Islam. Alquran adalah kitab suci umat Islam yang merupakan kalam Allah SWT. Kalau Alquran sudah dipersoalkan, berarti yang mempersoalkan sudah bukan penganut Islam lagi.
Karena ketidaktahuan para penulis tentang Islam secara menyeluruh--atau berpura-pura tidak tahu--ia menganggap bahwa Islam tidak memberikan terhadap urusan-urursan kemanusiaan yang terus berkembang. Pernyataan ini jelas hanya karena ia melihat Islam hanya dengan sebelah mata. Kalau mereka mau mengkaji tentang Islam lebih dalam lagi, atau dengan mempelajari Islam secara objektif, niscaya akan bertambah iman dan semakin kuat keyakinannya. Hal ini sudah terbukti dengan begitu banyaknya para peneliti tentang Islam (islamologi) yang pada akhirnya justru memeluk agama Islam, seperti apa adanya dan bukan Islam ngambang, kabur, tidak jelas, tanpa pijakan seperti yang disemboyankan oleh JIL c.s. Erina Handoko adalah contoh yang sangat nyata. Mantan biarawati yang mempelajari Islam dengan tujuan mencari kelemahannya, karena ia meneliti dengan sikap objektif, justru akhirnya ia menganut agama Islam dengan keyakinan yang sangat mantap. (Muhammad Iqbal, Lc. PP Al-Irsyad Al-Islamiyyah )
0 komentar:
Posting Komentar