Adian Husaini Kritik & tanggapan atas tulisan Ahmad Fuad Fanani JIMM: “Menghindari Kejumudan Penafsiran Islam”. Dunia intelektual Indonesia, sejak beberapa
waktu lalu, dikenalkan dengan munculnya sebuah kelompok bernama “Jaringan
Intelektual Muda Muhammadiyah”, disingkat JIMM. Adalah sesuatu yang
menggembirakan, bahwa di kalangan organisasi Islam, muncul semangat ilmiah,
semangat untuk mengkaji ilmu dan menyebarkan ilmu ke tengah masyarakat. Termasuk
di lingkungan Muhammadiyah. Sebab, kita tahu, masalah ilmu sangatlah mendasar
dalam pandangan Islam. Banyak ayat al-Quran dan hadith Nabi Muhammad saw yang
menekankan pentingnya peran ilmu dalam kehidupan manusia.
Karena itu,
kaum Muslim diwajibkan untuk menuntut ilmu sepanjang hayat. Orang-orang yang
berilmu, yang disebut ulama, sangat dihormati posisinya. Ulama bukan hanya orang
yang pintar tetapi yang juga bertaqwa kepada Allah. (QS 35:28). Ulama-ulama yang
jahat (ulamaa’ al-suu’), sangatlah berbahaya bagi masyarakat. Baik ulama yang
ilmunya salah, maupun ulama yang perilakunya jahat.
Sebab itu, orang
yang ingin menyebut atau disebut dirinya ulama, cendekiawan, intelektual, dan
sebagainya, yang ingin pendapat-pendapatnya didengar dan dituruti masyarakat,
perlu sangat berhati-hati, senantiasa bersikap cermat, teliti, dan tidak mudah
menyebarkan pendapatnya kepada masyarakat. Apalagi, ada hadits Nabi SAW yang
diriwayatkan Imam Ad Darimy, yang menyatakan "Orang yang terlalu mudah berfatwa
(ceroboh) dalam berfatwa diantara kamu, akan masuk neraka.” (Lihat al-Faidhul
Qadir, Jld 1, hadith no.183).
Diceritakan dalam buku Biografi Empat Imam
Mazhab, karya Munawar Khalil, bawa Imam Malik -- guru Imam Syafii -- dikenal
sangat berhati-hati dalam berpendapat dan bahkan lebih banyak menjawab "saya
belum tahu" ketika ditanya pendapatnya tentang berbagai hal. Imam Syafii
menceritakan, "Sungguh aku telah menyaksikan pada Imam Malik, bahwa beliau
pernah ditanya masalah-masalah sebanyak 48 masalah. Beliau menjawab 32 masalah
dengan perkataan, "Saya belum tahu".
Imam Abu Mash'ab juga menceritakan,
"Aku belum pernah memberi fatwa tentang satu masalah, sehingga aku mengambil
saksi dengan 70 orang ulama, bahwa aku memang ahli dalam soal yang demikian
itu." Imam Abu Musa juga menceritakan, bahwa ketika berkunjung ke Iraq, Imam
Malik ditanya 40 masalah, dan hanya 5 yang dijawabnya. "Tidak ada perkara yang
lebih berat atas diriku, selain daripada ditanya tentang hukum-hukum halal dan
haram," kata Imam Malik. Terkadang, untuk menemukan jawaban atas sesuatu, Imam
Malik sampai tidak dapat makan dan tidur pulas. Kehati-hatian para imam besar
itu, sangat perlu menjadi pelajaran. Sebab, jika seseorang salah dalam
menyebarkan pendapat, maka ia akan bertanggungjawab terhadap kesalahan yang
timbul akibat perbuatannya.
Karena itu, pada satu sisi kita gembira
dengan bersemangatnya kaum muda muslim melakukan kajian-kajian keislaman. Namun,
pada sisi lain, kita juga perlu prihatin jika kajian-kajian itu dilakukan dengan
tidak serius dan sepintas tanpa mendalami akar persoalannya. Sebagai contoh,
adalah tulisan yang dibuat oleh Ketua Program Kajian Jaringan Intelektual Muda
Muhammadiyah (JIMM), pada 21 Mei 2004, di Republika, yang berjudul “Menghindari Kejumudan Penafsiran Islam”.
Kita bisa menyimak berbagai kecerobohan dan kekeliruan fakta
dan pendapat yang cukup fatal dalam tulisan tersebut:
1.
Ditulis: “Banyak yang mengganggap dan mempercayai, bahwa Islam yang otentik dan
paling benar adalah Islam yang dipraktikkan oleh Nabi Muhammad semasa hidup.”
Kita bertanya: “Apakah ada orang lain, termasuk di lingkungan Muhammadiyah, yang
memahami dan mempraktikkan Islam lebih baik dari apa yang dicontohkan oleh Nabi
Muhammad saw? Bukankah kuam Muslim pasti meyakini, bahwa Nabi saw adalah uswatun
hasanah; contoh yang baik?”
Kita sungguh sulit memahami, jika ada yang
menyebut dirinya intelektual Muslim, tetapi berani melakukan gugatan terhadap
keislaman Nabi Muhammad saw, dengan alasan apa pun, termasuk dengan menyatakan,
bahwa “pemahaman dan pelaksanaan Islam di masa Nabi SAW itu, hanya cocok untuk
zaman dan tempatnya saja. ”Nabi hidup di zaman onta, kita hidup di zaman pesawat
terbang," katanya.
Simaklah sebuah tulisan karya seorang dosen pemikiran
Islam di Universitas Paramadina Mulya, di website islam liberal, 17 Mei 2004,
yang menyatakan sebagai berikut: “Beranikah kita, misalnya, menggunakan
pemahaman kita sendiri terhadap persoalan-persoalan keagamaan yang kita hadapai
sekarang? Beranikah kita menggunakan hasil pemahaman kita sendiri berhadapan
dengan pandangan-pandangan di luar kita? Misalnya berhadapan dengan Sayyid Qutb,
al-Banna, Qardawi, Nabhani, Rashid Ridha, Muhammad bin Abd al-Wahab, Ibn
Taymiyyah, al-Ghazali, Imam Syafii, al-Bukhari, para sahabat, dan bahkan bisa
juga Nabi Muhammad sendiri.”
Begitulah kata-kata calon doktor yang
merupakan alumnus pesantren terkenal di Bekasi. Bayangkan, ada dosen pemikiran
Islam, yang tetap mengaku Muslim, yang berani mengkategorikan,
pemikiran-pemikiran Ibn Taimiyah, al-Ghazali, Imam al-Syafii, para sahabat,
bahkan pemikiran Nabi Muhammad SAW, dan mengajak kita untuk berani mengkritik
mereka. Sementara, di tulisan yang sama, dia mengutip pendapat seorang Immanuel
Kant, tanpa kritik apa pun!
Sebagai Muslim kita wajib beriman bahwa
Nabi Muhammad adalah ma’shum, terjaga dari kesalahan. Jika ada meragukan akan
hal ini, konsekuensinya, jelas akan meragukan al-Quran dan hadits Nabi sebagai
sumber kebenaran. Jika hal itu terjadi, maka apakah lagi yang tersisa dari
Islam? Padahal, Allah SWT berfirman: “Dan dia (Muhammad SAW) tidak menyampaikan
sesuatu, kecuali (dari) wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (QS, Al-Najm: 3).
Nabi Muhammad SAW memang seorang manusia biasa, tetapi beliau
berbeda dengan manusia lainnya, karena beliau menerima al-wahyu. (QS
Fushilat:6). Bahkan, dalam surat al-Haaqqah ayat 44-46, Allah memberikan ancaman
kepada Nabi Muhammad SAW: “Seandainya dia (Muhammad) mengada-adakan sebagian
perkataan atas (nama) Kami, niscaya Kami pegang dia pada tangan kanannya,
kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya.”
Jadi, Nabi
Muhammad SAW adalah penerima wahyu, dan beliau adalah yang paling memahami makna
yang terkandung dalam wahyu tersebut. Kita sungguh sulit memahami, jika ada
manusia yang merasa lebih pandai dari Nabi SAW dalam menafsirkan al-Quran.
2. Ditulis: “Bila kita lihat ke belakang, hal itu berawal dari
intensnya persentuhan umat Islam dengan politik dan perebutan kekuasaan pada
masa dan pasca dinasti Abbasiyah dan Umayyah. Secara simbolik, mungkin saat itu
bisa dikatakan Islam mencapai zaman keagungan. Namun, perkembangan Islam secara
substansial sebetulnya menjadi stagnan. Terlebih lagi, setelah daerah kekuasaan
Islam banyak yang jatuh ke tangan bangsa kolonial lewat Perang Salib ataupun
perang saudara. Sebab, saat itu para ulama menyerukan agar ijtihad dihentikan.
Alasannya, jika perbedaaan pemahaman keagamaan dibiarkan terus berlanjut, umat
Islam semakin terpuruk karena terjadi perang saudara.
Pada akhirnya,
fikih boleh berkembang dibatasi hanya pada 4 (empat) mazhab; Hambali, Maliki,
Hanafi, dan Syafii. Sedangkan kalam (teologi) yang banyak dianut adalah teologi
Asy'ariah. Dan tasawuf serta filsafat yang dijadikan rujukan adalah paham yang
dibawa oleh Al-Ghazali.” Begitulah kutipan dari penulis artikel tersebut.
Kita sebenarnya sulit memahami logika penulis dari kelompok intelektual
yang mengusung nama Muhammadiyah ini. Sejak berdirinya daulah Madinah, dengan
Konstitusi Madinah-nya, yang sangat terkenal dan diakui sebagai “Konstitusi
tertulis pertama di dunia”, maka sejak itu pula umat Islam sudah intens dengan
politik. Nabi Muhammad SAW adalah kepala negara. Begitu juga para
khulafaurrasyidin. Jadi, apa yang aneh dengan persentuhan yang intens antara
umat Islam dengan politik? Apakah karena itu, kemudian terjadi penyimpangan
dalam penafsiran ajaran Islam? Logika ini hanya muncul, jika kata “politik”
dipahami dalam kerangka pikir Machiavelis.
Kita bertanya kepada penulis
artikel itu: “Siapakah ulama yang menyerukan ijtihad dihentikan? Ketika Perang
Salib bermula, tahun 1095, dan mulai menduduki sebagian wilayah Suria, tahun
1097, umat Islam masih mengalami zaman kegemilangan secara peradaban, termasuk
dalam bidang intelektual. Hanya sebagian kecil wilayah Islam yang jatuh ke
tangan pasukan Salib. Literatur tentang masalah ini melimpah ruah.
Pada
saat-saat itu pula, al-Ghazali menulis karya besarnya, Ihya’ Ulum al-Diin.
Berabad-abad kemudian, masih bermunculan ulama-ulama besar, seperti Ibn
Taimiyah, Imam Fakhruddin al-Razi, dan sebagainya, dengan karya-karya agung
mereka, yang hingga kini masih dijadikan bahan kajian para intelektual –-muslim
dan non-muslim-– di berbagai dunia. Pintu Ijtihad tidak pernah tertutup. Tidak
ada yang bisa menutup pintu ijtihad itu. Hanya saja, seseorang mestilah “berkaca
diri”, apakah dirinya memang layak mengaku mujtahid, padahal belum memahami
al-Quran, hadith, serta berbagai perangkat ijtihad lainnya. Imam dan pemikir
besar seperti al-Ghazali, al-Bukhari, dan sebagainya, tetaplah mengakui
mengikuti Imam al-Syafii dalam bidang ushul fiqih. Jika Imam al-Bukhari saja mau
mengakui keagungan Imam al-Syafii, apakah ada intelektual dari Muhammadiyah yang
bisa menyusun hadith sendiri, tanpa mengikuti koleksi hadith al-Bukhari? Bahkan,
tokoh Mu’tazilah, Qadhi Abdul Jabbar pun juga bermazhab al-Syafii. Imam Ibn
Taimiyah yang telah menulis ratusan Kitab juga mengikuti mazhab Imam Ahmad bin
Hanbal.
Imam al-Ghazali, meskipun beliau menulis kitab Ushul Fiqih,
tetapi beliau pun tetap mengakui otoritas al-Syafii. Itulah sikap para ilmuwan
Muslim, tahu adab, tahu diri, tawadhu’, mengakui otoritas ilmuwan lain, yang
diakuinya lebih hebat dari dirinya.
Jika penulis artikel dari
intelektual Muhammadiyah itu lebih mau bersikap cermat, maka akan paham, bahwa
mazhab fiqih dalam Islam tidak hanya empat itu saja. Ada mazhab Ja’fary, Dawud
al-Dhahiry, dan sebagainya. Sudah banyak kajian, mengapa empat mazhab itu yang
kemudian lebih berkembang di dunia Islam. Tidak ada yang membatasi bahwa mazhab
fiqih yang boleh berkembang hanya empat mazhab itu saja.
3.
Ditulis juga: “Pembakuan penafsiran dan corak keber-Islam-an itu, sebetulnya
justru malah membuat umat Islam tidak kreatif, apologetis, serta senantiasa
memuja masa lalu. Mereka seringkali tidak berusaha untuk mencari makna agama
dengan berpikir mandiri dan kritis, soalnya semua urusan senantiasa dikembalikan
ke otoritas teks dan masa lalu. Padahal, menurut Nasr Hamid Abu Zaid (2003),
antara Islam dan pemahaman Islam haruslah dibedakan. Artinya, Islam sebagai
wahyu Tuhan adalah bersifat universal dan berlaku sepanjang masa. Akan tetapi,
untuk mewujudkan wahyu Islam yang universal itu dalam tatanan kehidupan yang
nyata, membutuhkan sebuah pemahaman. Dan pemahaman itu, tentu sangat berkaitan
dengan situasi geografis dan perkembangan zaman yang terjadi.”
Mencermati tulisan intelelektual muda Muhammadiyah ini, kita patut
prihatin, karena pada akhirnya, ia pun merujuk dan memuja masa lalu, dengan
menokohkan Nasr Hamid Abu Zaid, yang banyak memuji aliran Mu’tazilah. Padahal,
jika kita telaah buku Mafhum al-Nash, dan karya-karya Nasr Hamid yang lain,
banyak masalah yang bisa kita kritisi. Dr. Anis Malik Toha, dosen di Universitas
Islam Internasional Malaysia, dalam kajiannya terhadap buku Nasr Hamid yang
berjudul “Naqd al-Khitab al-Diiniy”, membuktikan, bahwa adanya dominasi pola
pikir sekulerisme dalam diri Nasr Hamid. Karena itu, sebelum seseorang menolak
dan membuang karya-karya besar ulama Islam terdahulu, dan mengadopsi pemikir
modern seperti Nasr Hamid, mestinya dilakukan kajian yang serius dulu. Jika
tidak, maka yang akan terjadi adalah berbagai berbagai ironi.
Bisa-bisa
muncul apa yang disebut sebagai “mujtahidun jahilun”, mujtahid bodoh, yang ingin
disebut mujtahid, tetapi sejatinya tidak tahu apa-apa.
Jika kita
melakukan kajian peradaban dengan serius, maka kita akan menjumpai, bahwa Umat
Islam mencapai kegemilangan selama ratusan tahun, dengan menggunakan pola
pendekatan yang dicontohkan Rasulullah, para sahabat, tabi’in, para ulama besar,
seperti Maliki, al-Syafii, al-Asy’ari, al-Ghazali, dan sebagainya. Contoh yang
jelas, adalah bagaimana keberhasilan Shalahuddin al-Ayyubi dalam mengembalikan
kejayaan Islam dan mengalahkan Pasukan Salib, serta merebut Jerusalem pada tahun
1187. Buku yang ditulis Carole Hillenbrand, berjudul “The Crusades: Islamic
Perspectives” ( Edinburgh University Press, 1999), menggambarkan bagaimana
pengaruh pemikiran Islam mazhab Asy’ari, Syafii, dan peran para ulama Ahlus
Sunnah lainnya, dalam kebangkitan para pemimpin Muslim ketika itu, termasuk
dalam diri Shalahuddin al-Ayyubi.
Tentang masalah geografi dan waktu,
sebenarnya juga hal yang sangat jelas dalam Islam. Kita bisa melihat, bahwa
dalam banyak aspek, ajaran Islam bersifat universal, tidak melihat tempat dan
waktu. Kapanpun, di mana pun, kaum Muslim akan sholat dalam bahasa Arab, Azan
dalam bahasa Arab, meskipun masyarakat tidak mengerti makna azan itu. Tidak
boleh diubah. Apakah terpikir, jika di kalangan JIMM ada yang tidak mengerti
bahasa Arab lalu mengubah azan dalam bahasa Jawa, agar Islam cocok untuk setiap
tempat? Tentu tidak, sampai kapan pun!
Sebab itu, kita sebenarnya sangat
prihatin, jika pikiran-pikiran yang sebenarnya tidak cermat, ceroboh, keliru,
dan tidak mendalam, disebarkan ke tengah masyarakat dengan mengatasnamakan
“intelektual” dari organisasi Islam tertentu. Masalah kekeliruan pemikiran ini
sangat penting, tidak kalah pentingnya dengan pemilihan Presiden. Sebab, jika
Presiden yang kita pilih berpikir salah tentang Islam atau dikelilingi oleh
orang-orang yang berpikir salah, maka dampaknya akan sangat besar buat Islam,
umat Islam, dan bangsa Indonesia. Wallahu a’lam. (KL, 26 Mei 2004/Hidayatullah).
|
|
0 komentar:
Posting Komentar