Pages

Senin, 13 Februari 2012

“Kecerobohan Intelektual”


Adian Husaini
Kritik & tanggapan atas tulisan Ahmad Fuad Fanani JIMM: “Menghindari Kejumudan Penafsiran Islam”. Dunia intelektual Indonesia, sejak beberapa waktu lalu, dikenalkan dengan munculnya sebuah kelompok bernama “Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah”, disingkat JIMM. Adalah sesuatu yang menggembirakan, bahwa di kalangan organisasi Islam, muncul semangat ilmiah, semangat untuk mengkaji ilmu dan menyebarkan ilmu ke tengah masyarakat. Termasuk di lingkungan Muhammadiyah. Sebab, kita tahu, masalah ilmu sangatlah mendasar dalam pandangan Islam. Banyak ayat al-Quran dan hadith Nabi Muhammad saw yang menekankan pentingnya peran ilmu dalam kehidupan manusia.

Karena itu, kaum Muslim diwajibkan untuk menuntut ilmu sepanjang hayat. Orang-orang yang berilmu, yang disebut ulama, sangat dihormati posisinya. Ulama bukan hanya orang yang pintar tetapi yang juga bertaqwa kepada Allah. (QS 35:28). Ulama-ulama yang jahat (ulamaa’ al-suu’), sangatlah berbahaya bagi masyarakat. Baik ulama yang ilmunya salah, maupun ulama yang perilakunya jahat.

Sebab itu, orang yang ingin menyebut atau disebut dirinya ulama, cendekiawan, intelektual, dan sebagainya, yang ingin pendapat-pendapatnya didengar dan dituruti masyarakat, perlu sangat berhati-hati, senantiasa bersikap cermat, teliti, dan tidak mudah menyebarkan pendapatnya kepada masyarakat. Apalagi, ada hadits Nabi SAW yang diriwayatkan Imam Ad Darimy, yang menyatakan "Orang yang terlalu mudah berfatwa (ceroboh) dalam berfatwa diantara kamu, akan masuk neraka.” (Lihat al-Faidhul Qadir, Jld 1, hadith no.183).

Diceritakan dalam buku Biografi Empat Imam Mazhab, karya Munawar Khalil, bawa Imam Malik -- guru Imam Syafii -- dikenal sangat berhati-hati dalam berpendapat dan bahkan lebih banyak menjawab "saya belum tahu" ketika ditanya pendapatnya tentang berbagai hal. Imam Syafii menceritakan, "Sungguh aku telah menyaksikan pada Imam Malik, bahwa beliau pernah ditanya masalah-masalah sebanyak 48 masalah. Beliau menjawab 32 masalah dengan perkataan, "Saya belum tahu".

Imam Abu Mash'ab juga menceritakan, "Aku belum pernah memberi fatwa tentang satu masalah, sehingga aku mengambil saksi dengan 70 orang ulama, bahwa aku memang ahli dalam soal yang demikian itu." Imam Abu Musa juga menceritakan, bahwa ketika berkunjung ke Iraq, Imam Malik ditanya 40 masalah, dan hanya 5 yang dijawabnya. "Tidak ada perkara yang lebih berat atas diriku, selain daripada ditanya tentang hukum-hukum halal dan haram," kata Imam Malik. Terkadang, untuk menemukan jawaban atas sesuatu, Imam Malik sampai tidak dapat makan dan tidur pulas. Kehati-hatian para imam besar itu, sangat perlu menjadi pelajaran. Sebab, jika seseorang salah dalam menyebarkan pendapat, maka ia akan bertanggungjawab terhadap kesalahan yang timbul akibat perbuatannya.

Karena itu, pada satu sisi kita gembira dengan bersemangatnya kaum muda muslim melakukan kajian-kajian keislaman. Namun, pada sisi lain, kita juga perlu prihatin jika kajian-kajian itu dilakukan dengan tidak serius dan sepintas tanpa mendalami akar persoalannya. Sebagai contoh, adalah tulisan yang dibuat oleh Ketua Program Kajian Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM), pada 21 Mei 2004, di Republika, yang berjudul “Menghindari Kejumudan Penafsiran Islam”.

Kita bisa menyimak berbagai kecerobohan dan kekeliruan fakta dan pendapat yang cukup fatal dalam tulisan tersebut:

1. Ditulis: “Banyak yang mengganggap dan mempercayai, bahwa Islam yang otentik dan paling benar adalah Islam yang dipraktikkan oleh Nabi Muhammad semasa hidup.” Kita bertanya: “Apakah ada orang lain, termasuk di lingkungan Muhammadiyah, yang memahami dan mempraktikkan Islam lebih baik dari apa yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw? Bukankah kuam Muslim pasti meyakini, bahwa Nabi saw adalah uswatun hasanah; contoh yang baik?”

Kita sungguh sulit memahami, jika ada yang menyebut dirinya intelektual Muslim, tetapi berani melakukan gugatan terhadap keislaman Nabi Muhammad saw, dengan alasan apa pun, termasuk dengan menyatakan, bahwa “pemahaman dan pelaksanaan Islam di masa Nabi SAW itu, hanya cocok untuk zaman dan tempatnya saja. ”Nabi hidup di zaman onta, kita hidup di zaman pesawat terbang," katanya.

Simaklah sebuah tulisan karya seorang dosen pemikiran Islam di Universitas Paramadina Mulya, di website islam liberal, 17 Mei 2004, yang menyatakan sebagai berikut: “Beranikah kita, misalnya, menggunakan pemahaman kita sendiri terhadap persoalan-persoalan keagamaan yang kita hadapai sekarang? Beranikah kita menggunakan hasil pemahaman kita sendiri berhadapan dengan pandangan-pandangan di luar kita? Misalnya berhadapan dengan Sayyid Qutb, al-Banna, Qardawi, Nabhani, Rashid Ridha, Muhammad bin Abd al-Wahab, Ibn Taymiyyah, al-Ghazali, Imam Syafii, al-Bukhari, para sahabat, dan bahkan bisa juga Nabi Muhammad sendiri.”

Begitulah kata-kata calon doktor yang merupakan alumnus pesantren terkenal di Bekasi. Bayangkan, ada dosen pemikiran Islam, yang tetap mengaku Muslim, yang berani mengkategorikan, pemikiran-pemikiran Ibn Taimiyah, al-Ghazali, Imam al-Syafii, para sahabat, bahkan pemikiran Nabi Muhammad SAW, dan mengajak kita untuk berani mengkritik mereka. Sementara, di tulisan yang sama, dia mengutip pendapat seorang Immanuel Kant, tanpa kritik apa pun!

Sebagai Muslim kita wajib beriman bahwa Nabi Muhammad adalah ma’shum, terjaga dari kesalahan. Jika ada meragukan akan hal ini, konsekuensinya, jelas akan meragukan al-Quran dan hadits Nabi sebagai sumber kebenaran. Jika hal itu terjadi, maka apakah lagi yang tersisa dari Islam? Padahal, Allah SWT berfirman: “Dan dia (Muhammad SAW) tidak menyampaikan sesuatu, kecuali (dari) wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (QS, Al-Najm: 3).

Nabi Muhammad SAW memang seorang manusia biasa, tetapi beliau berbeda dengan manusia lainnya, karena beliau menerima al-wahyu. (QS Fushilat:6). Bahkan, dalam surat al-Haaqqah ayat 44-46, Allah memberikan ancaman kepada Nabi Muhammad SAW: “Seandainya dia (Muhammad) mengada-adakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, niscaya Kami pegang dia pada tangan kanannya, kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya.”

Jadi, Nabi Muhammad SAW adalah penerima wahyu, dan beliau adalah yang paling memahami makna yang terkandung dalam wahyu tersebut. Kita sungguh sulit memahami, jika ada manusia yang merasa lebih pandai dari Nabi SAW dalam menafsirkan al-Quran.

2. Ditulis: “Bila kita lihat ke belakang, hal itu berawal dari intensnya persentuhan umat Islam dengan politik dan perebutan kekuasaan pada masa dan pasca dinasti Abbasiyah dan Umayyah. Secara simbolik, mungkin saat itu bisa dikatakan Islam mencapai zaman keagungan. Namun, perkembangan Islam secara substansial sebetulnya menjadi stagnan. Terlebih lagi, setelah daerah kekuasaan Islam banyak yang jatuh ke tangan bangsa kolonial lewat Perang Salib ataupun perang saudara. Sebab, saat itu para ulama menyerukan agar ijtihad dihentikan. Alasannya, jika perbedaaan pemahaman keagamaan dibiarkan terus berlanjut, umat Islam semakin terpuruk karena terjadi perang saudara.

Pada akhirnya, fikih boleh berkembang dibatasi hanya pada 4 (empat) mazhab; Hambali, Maliki, Hanafi, dan Syafii. Sedangkan kalam (teologi) yang banyak dianut adalah teologi Asy'ariah. Dan tasawuf serta filsafat yang dijadikan rujukan adalah paham yang dibawa oleh Al-Ghazali.” Begitulah kutipan dari penulis artikel tersebut.

Kita sebenarnya sulit memahami logika penulis dari kelompok intelektual yang mengusung nama Muhammadiyah ini. Sejak berdirinya daulah Madinah, dengan Konstitusi Madinah-nya, yang sangat terkenal dan diakui sebagai “Konstitusi tertulis pertama di dunia”, maka sejak itu pula umat Islam sudah intens dengan politik. Nabi Muhammad SAW adalah kepala negara. Begitu juga para khulafaurrasyidin. Jadi, apa yang aneh dengan persentuhan yang intens antara umat Islam dengan politik? Apakah karena itu, kemudian terjadi penyimpangan dalam penafsiran ajaran Islam? Logika ini hanya muncul, jika kata “politik” dipahami dalam kerangka pikir Machiavelis.

Kita bertanya kepada penulis artikel itu: “Siapakah ulama yang menyerukan ijtihad dihentikan? Ketika Perang Salib bermula, tahun 1095, dan mulai menduduki sebagian wilayah Suria, tahun 1097, umat Islam masih mengalami zaman kegemilangan secara peradaban, termasuk dalam bidang intelektual. Hanya sebagian kecil wilayah Islam yang jatuh ke tangan pasukan Salib. Literatur tentang masalah ini melimpah ruah.

Pada saat-saat itu pula, al-Ghazali menulis karya besarnya, Ihya’ Ulum al-Diin. Berabad-abad kemudian, masih bermunculan ulama-ulama besar, seperti Ibn Taimiyah, Imam Fakhruddin al-Razi, dan sebagainya, dengan karya-karya agung mereka, yang hingga kini masih dijadikan bahan kajian para intelektual –-muslim dan non-muslim-– di berbagai dunia. Pintu Ijtihad tidak pernah tertutup. Tidak ada yang bisa menutup pintu ijtihad itu. Hanya saja, seseorang mestilah “berkaca diri”, apakah dirinya memang layak mengaku mujtahid, padahal belum memahami al-Quran, hadith, serta berbagai perangkat ijtihad lainnya. Imam dan pemikir besar seperti al-Ghazali, al-Bukhari, dan sebagainya, tetaplah mengakui mengikuti Imam al-Syafii dalam bidang ushul fiqih. Jika Imam al-Bukhari saja mau mengakui keagungan Imam al-Syafii, apakah ada intelektual dari Muhammadiyah yang bisa menyusun hadith sendiri, tanpa mengikuti koleksi hadith al-Bukhari? Bahkan, tokoh Mu’tazilah, Qadhi Abdul Jabbar pun juga bermazhab al-Syafii. Imam Ibn Taimiyah yang telah menulis ratusan Kitab juga mengikuti mazhab Imam Ahmad bin Hanbal.

Imam al-Ghazali, meskipun beliau menulis kitab Ushul Fiqih, tetapi beliau pun tetap mengakui otoritas al-Syafii. Itulah sikap para ilmuwan Muslim, tahu adab, tahu diri, tawadhu’, mengakui otoritas ilmuwan lain, yang diakuinya lebih hebat dari dirinya.

Jika penulis artikel dari intelektual Muhammadiyah itu lebih mau bersikap cermat, maka akan paham, bahwa mazhab fiqih dalam Islam tidak hanya empat itu saja. Ada mazhab Ja’fary, Dawud al-Dhahiry, dan sebagainya. Sudah banyak kajian, mengapa empat mazhab itu yang kemudian lebih berkembang di dunia Islam. Tidak ada yang membatasi bahwa mazhab fiqih yang boleh berkembang hanya empat mazhab itu saja.

3. Ditulis juga: “Pembakuan penafsiran dan corak keber-Islam-an itu, sebetulnya justru malah membuat umat Islam tidak kreatif, apologetis, serta senantiasa memuja masa lalu. Mereka seringkali tidak berusaha untuk mencari makna agama dengan berpikir mandiri dan kritis, soalnya semua urusan senantiasa dikembalikan ke otoritas teks dan masa lalu. Padahal, menurut Nasr Hamid Abu Zaid (2003), antara Islam dan pemahaman Islam haruslah dibedakan. Artinya, Islam sebagai wahyu Tuhan adalah bersifat universal dan berlaku sepanjang masa. Akan tetapi, untuk mewujudkan wahyu Islam yang universal itu dalam tatanan kehidupan yang nyata, membutuhkan sebuah pemahaman. Dan pemahaman itu, tentu sangat berkaitan dengan situasi geografis dan perkembangan zaman yang terjadi.”

Mencermati tulisan intelelektual muda Muhammadiyah ini, kita patut prihatin, karena pada akhirnya, ia pun merujuk dan memuja masa lalu, dengan menokohkan Nasr Hamid Abu Zaid, yang banyak memuji aliran Mu’tazilah. Padahal, jika kita telaah buku Mafhum al-Nash, dan karya-karya Nasr Hamid yang lain, banyak masalah yang bisa kita kritisi. Dr. Anis Malik Toha, dosen di Universitas Islam Internasional Malaysia, dalam kajiannya terhadap buku Nasr Hamid yang berjudul “Naqd al-Khitab al-Diiniy”, membuktikan, bahwa adanya dominasi pola pikir sekulerisme dalam diri Nasr Hamid. Karena itu, sebelum seseorang menolak dan membuang karya-karya besar ulama Islam terdahulu, dan mengadopsi pemikir modern seperti Nasr Hamid, mestinya dilakukan kajian yang serius dulu. Jika tidak, maka yang akan terjadi adalah berbagai berbagai ironi.

Bisa-bisa muncul apa yang disebut sebagai “mujtahidun jahilun”, mujtahid bodoh, yang ingin disebut mujtahid, tetapi sejatinya tidak tahu apa-apa.

Jika kita melakukan kajian peradaban dengan serius, maka kita akan menjumpai, bahwa Umat Islam mencapai kegemilangan selama ratusan tahun, dengan menggunakan pola pendekatan yang dicontohkan Rasulullah, para sahabat, tabi’in, para ulama besar, seperti Maliki, al-Syafii, al-Asy’ari, al-Ghazali, dan sebagainya. Contoh yang jelas, adalah bagaimana keberhasilan Shalahuddin al-Ayyubi dalam mengembalikan kejayaan Islam dan mengalahkan Pasukan Salib, serta merebut Jerusalem pada tahun 1187. Buku yang ditulis Carole Hillenbrand, berjudul “The Crusades: Islamic Perspectives” ( Edinburgh University Press, 1999), menggambarkan bagaimana pengaruh pemikiran Islam mazhab Asy’ari, Syafii, dan peran para ulama Ahlus Sunnah lainnya, dalam kebangkitan para pemimpin Muslim ketika itu, termasuk dalam diri Shalahuddin al-Ayyubi.

Tentang masalah geografi dan waktu, sebenarnya juga hal yang sangat jelas dalam Islam. Kita bisa melihat, bahwa dalam banyak aspek, ajaran Islam bersifat universal, tidak melihat tempat dan waktu. Kapanpun, di mana pun, kaum Muslim akan sholat dalam bahasa Arab, Azan dalam bahasa Arab, meskipun masyarakat tidak mengerti makna azan itu. Tidak boleh diubah. Apakah terpikir, jika di kalangan JIMM ada yang tidak mengerti bahasa Arab lalu mengubah azan dalam bahasa Jawa, agar Islam cocok untuk setiap tempat? Tentu tidak, sampai kapan pun!

Sebab itu, kita sebenarnya sangat prihatin, jika pikiran-pikiran yang sebenarnya tidak cermat, ceroboh, keliru, dan tidak mendalam, disebarkan ke tengah masyarakat dengan mengatasnamakan “intelektual” dari organisasi Islam tertentu. Masalah kekeliruan pemikiran ini sangat penting, tidak kalah pentingnya dengan pemilihan Presiden. Sebab, jika Presiden yang kita pilih berpikir salah tentang Islam atau dikelilingi oleh orang-orang yang berpikir salah, maka dampaknya akan sangat besar buat Islam, umat Islam, dan bangsa Indonesia. Wallahu a’lam. (KL, 26 Mei 2004/Hidayatullah).

0 komentar:

Posting Komentar