Menurut Azyumardi Azra, “Kebangkitan Islam'' ditandai dengan toleransi dan gagasan pluralisme. Islam gaya Timur Tengah justru 'ancaman Islam'. Sikap “cari muka” terhadap Barat?.
Pada tanggal 2 Desember 2004, Prof. Azyumardi Azra, Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, menulis satu di kolom Resonansi, di Harian Republika, berjudul “Memahami Kebangkitan Islam.” Kolom ini perlu kita cermati karena memuat banyak hal yang perlu diklarifikasi. Sejumlah istilah yang digunakan Azyumardi memiliki makna yang rancu dan menunjukkan kuatnya hegemoni Barat dalam kajian tentang Islam, umat Islam, dan dunia Islam. Sehingga, ilmuwan sekaliber Prof. Azyumardi Azra (AA) harus “menelan mentah-mentah” istilah dan sekaligus wacana yang dijejalkan oleh Barat ke dunia Islam. Karena itu, muncul paradoks, bahwa sesuatu yang mestinya diprihatinkan, justru dibangga-banggakan.
Tulisan AA diawali dengan cerita, bahwa pada Hari Selasa (30/11/2004) ia didatangi setidaknya oleh tiga kalangan pejabat tinggi dari negara-negara Barat. Seperti banyak tamu lainnya, mereka mengajak AA berdiskusi sejak dari perkembangan dan dinamika Islam, politik Indonesia pascapilpres dan terbentuknya pemerintah baru, sampai pada kemungkinan keterlibatan NGO dalam persidangan CGI yang akan datang di Jakarta. Berikut ini kutipan tulisan AA lebih lengkapnya:
Seperti biasa juga, pertanyaan-pertanyaan paling rinci dari mereka adalah tentang dinamika Islam, baik dalam bidang politik maupun sosial-keagamaan. Misalnya saja, apakah pemerintahan Presiden SBY dan Wapres Jusuf Kalla mampu bersikap lebih tegas terhadap kelompok-kelompok radikal; atau, pada segi lain, bisa mendapat tekanan-tekanan tertentu dari kekuatan-kekuatan politik Islam mainstream yang, pada gilirannya, dapat mengubah lanskap politik di negeri ini.
Tentu saja sangat sulit menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti itu, yang sering didasari kerangka hipotetis belaka daripada gejala aktual yang terjadi. Pada segi sosial keagamaan, pertanyaan yang mereka ajukan, juga masih seperti dulu; apakah gejala ''kebangkitan Islam'' yang berlangsung dalam satu atau dua dasawarsa terakhir ini akan mengubah lanskap sosial-keagamaan dan politik di Indonesia. Apa yang mereka sebut sebagai ''kebangkitan Islam'' adalah meningkatnya pemakaian jilbab di kalangan wanita, adanya suara-suara dan aspirasi di kalangan Muslim untuk penegakan ''syariah'', dan bertahannya lembaga-lembaga pendidikan Islam, khususnya madrasah dan pesantren. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan seperti ini juga tidak mudah. Tetapi, biasanya saya menjawab, tidak ada yang perlu dikhawatirkan dengan semua gejala yang disebut sebagai ''Islamic revival'' tersebut. Memang, semakin banyak Muslim yang kian rajin beribadah, dan juga semakin banyak wanita yang menggunakan jilbab. Tetapi, parpol-parpol Islam tetap gagal meraih suara terbanyak dalam pemilu. Jadi, peningkatan kesalehan keagamaan tidak merupakan garis lurus.
Karena itulah pendapat Giora Eliraz, guru besar Hebrew University Yerusalem dan dosen tamu pada Australian National University, dalam buku yang baru saja beredar dan selesai saya baca, Islam in Indonesia: Modernism, Radicalism, and the Middle East Dimension (Brighton: Sussex Academic Press, 2004) menjadi sangat menarik. Menurut Eliraz, watak kebangkitan Islam di Indonesia adalah unik, terutama jika dibandingkan dengan Islam di Timur Tengah. Jika di Timur Tengah umumnya ''kebangkitan Islam'' itu ditandai dengan peningkatan kesalehan dan konservatisme berbarengan dengan penguatan Islam politik dengan ideologi fundamentalis dan bahkan militansi dan radikalisme-- maka ''kebangkitan Islam'' di Indonesia ditandai dengan peningkatan toleransi dan penerimaan yang kian meluas atas gagasan-gagasan dasar tentang pluralisme keagamaan.”
Demikian kutipan tulisan AA dalam Harian Republika tersebut.
Dari tulisan itu, kita bisa menangkap cerita faktual, bahwa mitos tentang “ancaman Islam” (Islamic Threat) di kalangan pemimpin-pemimpin dan tokoh-tokoh Kristen-Yahudi masih hidup subur. Meskipun negara-negara Barat saat ini memiliki kekuatan yang dahsyat dalam berbagai bidang kehidupan – politik, ekonomi, militer, informasi, pemikiran, pendidikan, dan sebagainya – ternyata mental “ketakutan” itu masih saja hidup subur. Akar-akar ketakutan terhadap Islam memang sangat mendalam di Barat. Edward Gibbon, misalnya, dalam buku terkenalnya, The Decline and Fall of The Roman Empire, (New York: The Modern Library, 1974, III:56) membuat mitos populer tentang ancaman Islam, bahwa Nabi Muhammad – dengan masing-masing tangannya memegang al-Quran dan pedang mendirikan kekuasaannya di atas reruntuhan Kristen. (Mohammed, with the sword in one hand and the Koran in the other, erected his throne on the ruins of Christianity and of Rome).
Buku John L. Esposito, The Islamic Threat, Myth or Reality, (New York: Oxford University Press, 1993), menggambarkan fenomena ketakutan itu di kalangan masyarakat Barat. Dalam sejarahnya yang panjang, mitos tentang ancaman Islam di kalangan masyarakat Kristen juga sudah digambarkan dengan baik oleh Norman Daniel, Islam and The West: The Making of an Image, (Oxford:Oneworld Publications, 1997). David R. Blank, dalam sebuah tulisannya berjudul “Western Views of Islam in the Premodern Period” mencatat bahwa meskipun secara keseluruhan tidak ada bukti kuat antara sikap “prejudis” terhadap Islam antara zaman pra-modern dengan zaman modern, namun ada garis-garis pemikiran tertentu yang terus berlanjut, yang mencitrakan Islam sebagai “kafir raksasa” (gigantic heresy), seperti garis pemikiran Peter the Vunerable – Raymund Lull-Martin Luther—Samuel Zwemmer.
Zwemmer adalah misionaris Kristen terkenal. Martin Luther, sebagaimana banyak pendeta Kristen di zaman itu, percaya bahwa kaum Muslim (yang disebut dengan istilah “Turks”) adalah masyarakat yang dikutuk oleh Tuhan (The Turks are the people of the wrath of God).
Kita masih ingat, bahwa Paus Urbanus II, ketika memprovokasi Perang Salib juga menyatakan, bahwa kaum Muslim adalah monster jahat yang tidak bertuhan. Membunuh makhluk semacam itu merupakan tindakan suci dan kewajiban kaum Kristen. (Killing these godless monsters was a holy act).
Di masa lalu, ketakutan terhadap kekuatan Islam memang beralasan, sebab memang hanya peradaban Islam yang mampu menaklukkan Kristen Eropa selama ratusan tahun. Tetapi, sekarang? Jelas-jelas kaum Muslim terpecah belah, dan terus-menerus dalam kondisi dilemahkan. Namun, toh, orang-orang Barat, seperti yang datang ke AA itu, tetap saja melihat Islam sebagai “momok”. Bagaimana menghadapi kaum yang “hidup dalam mitos” atau “paranoid” semacam ini?
Pada satu sisi, ketakutan Barat itu menunjukkan, bahwa memang Islam – bagaimana pun kondisinya – tidak dipandang sebelah mata. Kaum Muslim tetap diperhitungkan. Seyogyanya, kaum Muslim melakukan instrospeksi atas kondisinya dan tidak terlalu menunjukkan sikap “cari muka” terhadap Barat.
Dalam beberapa aspek, nuansa “cari muka” itu tampak pada tulisan AA. Misalnya, karena begitu takutnya Barat pada “Islam politik”, maka banyak cendekiawan yang ikut-ikutan membenci Islam politik. Menurut mereka, Islam harus dijauhkan dari kekuasaan. Penguasa kolonial Belanda dulu -- atas nasehat Snouck Hurgronje – membagi masalah Islam ke dalam tiga ketegori: (1) bidang agama murni dan ibadah, (2) bidang sosial kemasyarakatan, (3) bidang politik. Masing-masing bidang mendapat perlakuan yang berbeda. Resep Snouck Hurgronje inilah yang dikenal sebagai “Islam Politiek”, atau kebijakan pemerintah kolonial untuk menangani masalah Islam di Indonesia.
Dalam bidang agama murni atau ibadah, pemerintah kolonial pada dasarnya memberikan kemerdekaan kepada umat Islam untuk melaksanakan ajaran agamanya, sepanjang tidak mengganggu kekuasaan pemerintah Belanda. Dalam bidang kemasyarakatan, pemerintah memanfaatkan adat kebiasaan yang berlaku dengan cara menggalakkan rakyat agar mendekati Belanda, dan bahkan membantu rakyat menempuh jalan tersebut. Dan dalam bidang politik, pemerintah harus mencegah setiap usaha yang akan membawa rakyat kepada fanatisme dan Pan-Islam.
Jawaban AA terhadap orang-orang Barat, “Tetapi, biasanya saya menjawab, tidak ada yang perlu dikhawatirkan dengan semua gejala yang disebut sebagai ''Islamic revival'' tersebut. Memang, semakin banyak Muslim yang kian rajin beribadah, dan juga semakin banyak wanita yang menggunakan jilbab. Tetapi, parpol-parpol Islam tetap gagal meraih suara terbanyak dalam pemilu. Jadi, peningkatan kesalehan keagamaan tidak merupakan garis lurus.”
Cara pandang seperti itu sebenarnya aneh, untuk seorang ilmuwan yang sering berbicara tentang demokrasi seperti AA. Seolah-olah kekalahan parpol Islam atas Golkar dan PDIP patut disyukuri demi untuk menghibur dan menyenangkan hati (cari muka) terhadap Barat. Lebih aneh lagi, jika kita telaah pandangan AA terhadap sebuah buku yang ditulis Giora Eliraz, guru besar Hebrew University Yerusalem dan dosen tamu pada Australian National University. Buku itu berjudul “Islam in Indonesia: Modernism, Radicalism, and the Middle East Dimension (Brighton: Sussex Academic Press, 2004).”
Menurut Eliraz, watak kebangkitan Islam di Indonesia adalah unik, terutama jika dibandingkan dengan Islam di Timur Tengah. Jika di Timur Tengah umumnya ''kebangkitan Islam'' itu ditandai dengan peningkatan kesalehan dan konservatisme berbarengan dengan penguatan Islam politik dengan ideologi fundamentalis dan bahkan militansi dan radikalisme-- maka ''kebangkitan Islam'' di Indonesia ditandai dengan peningkatan toleransi dan penerimaan yang kian meluas atas gagasan-gagasan dasar tentang pluralisme keagamaan.
Jika dicermati, pendapat ilmuwan dari Hebrew University yang dipuji oleh AA itu mengandung sejumlah kerancuan ilmiah dan “racun pembunuh” pemikiran. Dengan bahasa yang halus, umat Islam di Indonesia dipuji-puji, lebih hebat, lebih bagus, dan lebih menyenangkan Barat, karena tidak “radikal”, tidak “militan”, tidak “fundamentalis”. Tanpa sadar, dengan ungkapan semacam itu, sebenarnya kita telah dipecah belah, masuk dalam “politik belah bambu”, satu diinjak, satu diangkat. Dengan bahasa yang sederhana, menurut ilmuwan dari Israel itu, kebangkitan Islam di Timur Tengah jelek dan jahat, berbeda dengan kebangkitan Islam di Indonesia. Dengan memberikan stigma negatif terhadap wajah Islam “Timur Tengah” semacam itu, dampak berikutnya adalah munculnya sikap negatif terhadap saudara-saudara kita Muslim di Timur Tengah, sehingga memudahkan untuk memindahkan kiblat pemikiran Islam ke Barat.
Deskripsi ilmuwan dari Israel itu juga memberi gambaran yang mengerikan tentang “Islam politik”, seperti Snouck Hurgronje dulu. Ironisnya, ketakutan semacam ini disebarluaskan oleh sebagian ilmuwan di kalangan Muslim. Hal lain yang ditelan mentah-mentah oleh AA adalah istilah dan wacana tentang “fundamentalisme” dan “radikalisme” yang juga tidak lepas dari agenda Barat dalam mencitrakan Islam sebagai “momok” dan musuh baru pasca Perang Dingin. Buku-buku tentang masalah ini sangat melimpah ruah, bagaimana wacana ini terus digulirkan untuk mengacaukan persepsi kaum Muslim dan dunia internasional. Apalagi ketika wacana fundamentalisme, radikalisme, militan, dikaitkan dengan terorisme.
Kita patut mencermati ungkapan ilmuwan dari Israel tentang kebangkitan Islam di Indonesia yang juga dipuji oleh AA. Bahwa ''kebangkitan Islam'' di Indonesia ditandai dengan peningkatan toleransi dan penerimaan yang kian meluas atas gagasan-gagasan dasar tentang pluralisme keagamaan.”
Pendapat inilah yang sebenarnya merupakan “racun pembunuh”. Sebab, kebangkitan Islam dikaitkan dengan penyebaran paham “pluralisme agama” yang memang merupakan mesin pembunuh agama-agama, sebagaimana kita bahas beberapa kali dalam catatan ini. AA tidak membedakan antara pluralitas, yang mengakui keragaman, dengan pluralisme agama, yang merupakan paham tentang realitas. Paham pluralisme agama berupaya membentuk satu ‘teologi baru’ yang berbeda dengan teologi agama-agama yang ada. Biasanya mereka sebut semacam ‘universal theology of religion’. Karena itu tidak berlebihan jika dikatakan, pluralisme agama sebenarnya merupakan ‘jenis agama baru’, yang menciptakan ‘kitab suci’ dan ‘nabi’-nya sendiri.
Tokoh paham ini adalah pendiri Islamic Studies di McGill University, Wilfred Cantwell Smith. Ia mengaku dirinya merupakan pendukung gagasan “a universal theology of religion”. Satu lagi, tokoh paham ini adalah John Hick. Jika ditelaah, perjalanan intelektual John Hick, akan tampak ia sampai pada paham ini setelah melakukan penghancuran secara mendasar terhadap teologi Kristen. John Hick, seorang profesor teologi Kristen, melakukan pembongkaran terhadap konsep dasar teologi Kristen melalui bukunya “The Myth of God Incarnate” (1977). Buku ini memuat tiga tema utama: (1) Yesus tidak pernah mengajarkan bahwa dia adalah ‘inkarnasi Tuhan’. (2) Adalah mustahil melacak perkembangan doktrin inkarnasi dalam Bible yang yang sebenarnya dirumuskan dalam Konsili Nicea dan Chalcedon. (3) Bahasa yang digunakan Bible dalam soal ‘inkarnasi ketuhanan’ adalah bersifat metaforis, bukan literal. Buku Hick memunculkan kehebohan besar di kalangan kaum Kristen Berminggu-minggu media massa keagamaan mendikusikan masalah ini. Hick memang melakukan kritik tajam terhadap doktrin trinitas. Ia menyatakan, bahwa doktrin Trinitas bukanlah bagian dari ajaran Yesus tentang Tuhan. Yesus sendiri, katanya, mengajarkan Tuhan dalam persepsi monoteistik Yahudi ketika itu. (Lihat, Adnan Aslan, Religious Pluralism in Christian and Islamic Philosophy: The Thought of John Hick and Seyyed Hossein Nasr, (Richmond Surrey: Curzon Press, 1998).
Paham “Pluralisme Agama” adalah produk sejarah perjalanan peradaban Barat yang traumatik terhadap “teologi eksklusif Gereja”, problema teologis Kristen, dan realitas teks Bible. Seyogyanya adopsi paham ini ke dalam Islam perlu dikaji dengan mendalam dan dibandingkan dengan cermat dengan sejarah, tradisi, konsep teologis Islam, dan realitas teks al-Quran. Masing-masing peradaban memiliki pandangan hidup (worldview) yang khas. Disamping WC Smith dan John Hick, sejarah perjalanan Kristen Barat juga telah melahirkan seorang filosof terkenal bernama Bertrand Russell yang menulis sebuah buku “Why I am not A Christian” (Mengapa Saya bukan Seorang kristen?) Ia menjelaskan dua hal: mengapa dia tidak percaya kepada Tuhan dan kepada keabadian (immortality). Kedua, mengapa dia tidak memandang bahwa Christ (Kristus) adalah manusia terbaik dan paling bijaksana. Bahkan Russell juga menjelaskan mengapa ia keluar dari Kristen, dengan menyatakan, bahwa agama Kristen, sebagaimana yang diatur dalam Gereja-gerejanya, merupakan musuh mendasar dari kemajuan moral di dunia. (I say quite deliberately that the Christian Religion, as organized in its Churches, has been and still is the principal enemy of moral progress in the world).
Karena itu, adalah sangat memprihatinkan, jika penyebaran paham “pluralisme agama” dikatakan sebagai “kebangkitan Islam”, sebagaimana dikatakan Prof. Giora Eliraz, ilmuwan dari Israel tersebut. Lebih ajaib lagi, ada ilmuwan Muslim yang menelan begitu saja pendapat itu. Penyebaran paham pluralisme agama di kalangan kaum Muslim sama sekali tidak bisa dikatakan sebagai satu “kebangkitan Islam”, tetapi justru “kebangkrutan Islam”. Wallahu a’lam. (KL, 2 Desember 2004/Hidayatullah.com).
0 komentar:
Posting Komentar