Oleh: Adian Husaini *)
Pada Hari Kamis (29/12/2005), sejumlah mahasiswa Universitas
Indonesia datang ke rumah saya. Kami mendiskusikan tentang perkembangan
pemikiran Islam, khususnya di lingkungan kampus UI. Ada yang menarik dari cerita
para mahasiswa UI itu, bahwa saat ini, di sebagian organisasi Islam dan sebagian
fakultas di UI, diskusi tentang masalah relativisme kebenaran sudah sering
dilakukan.
Pemikiran-pemikiran liberal dalam keagamaan juga mulai
berkembang. Kadang-kadang mereka tidak bisa mencapai hasil yang memuaskan dan
banyak yang tidak dapat menyimpulkan, bagaimana sebenarnya posisi akal manusia
dalam menyikapi kebenaran.
Cerita para mahasiswa UI itu tidaklah terlalu
mengejutkan, sebab di lingkungan pendidikan tinggi Islam, wacana kebenaran
relatif sudah agak lama disebarkan. Mereka sering menyatakan, bahwa akal manusia
bersifat relatif, sedangkan Tuhan itu bersifat mutlak atau absolut, sehingga
tidak semua kebenaran Tuhan dapat dipahami oleh manusia.
Ujung dari
penyebaran paham ini memang sangat mengkhawatirkan, yaitu ketidakyakinan atau
keraguan umat beragama terhadap kebenaran agamanya sendiri. Inilah akar dari
pemikiran Pluralisme Agama yang mengakui kebenaran relatif dari semua
agama.
Paus Benediktus XVI sendiri mengingatkan, bahwa Eropa saat ini
sedang dalam bahaya besar, karena paham relativisme iman yang mendalam. (Lihat,
Libertus Jehani, Paus Benediktus XVI, Palang Pintu Iman Katolik, (Jakarta:
Sinondang Media, 2005), hal. 32.).
Jauh sebelumnya, penyair besar
Pakistan, Moh. Iqbal, sudah mengingatkan, bahaya pendidikan modern ala Barat
yang juga menancapkan keraguan dan menghilangkan keyakinan dalam beragama.
Hilangnya keyakinan dalam diri seseorang, kata Iqbal, lebih buruk dari
perbudakan. Itulah yang diingatkan Iqbal, berpuluh tahun lalu: “Conviction
enabled Abraham to wade into the fire; conviction is an intoxicant which makes
men self-sacrificing; Know you, oh victims of modern civilization! Lack of
conviction is worse than slavery.”
Anehnya, di lingkungan pendidikan
tinggi Islam sendiri, justru pemikiran ini disebarkan dan diajarkan kepada para
mahasiswa.
Dari IAIN Bandung, misalnya, seorang dosen menulis buku untuk
mahasiswanya, yang
mengajarkan paham relativisme kebenaran. Ia menulis dalam
sebuah bukunya, bahwa “Agama adalah seperangkat doktrin, kepercayaan, atau
sekumpulan norma dan ajaran Tuhan yang bersifat universal dan mutlak
kebenarannya.
Adapun keberagamaan, adalah penyikapan atau pemahaman
para penganut agama terhadap doktrin, kepercayaan, atau ajaran-ajaran Tuhan itu,
yang tentu saja menjadi bersifat relatif, dan sudah pasti kebenarannya menjadi
bernilai relatif.”
Dalam bukunya yang lain, ia menulis, bahwa bahwa
kebenaran agama memiliki dua pengertian, yakni (1) kebenaran tekstual atau
wahyu, yakni kebenaran-kebenaran yang ada dalam kitab-kitab suci, (2) kebenaran
empirik, yakni keyakinan manusia beragama berdasarkan penyikapan, pemahaman, dan
interpretasi kebenaran tekstual wahyu.
Kebenaran pertama bernilai
mutlak, sedangkan kebenaran kedua bernilai relatif.
Buku ini diberi kata
pengantar oleh Prof. Dr. H.A. Hidayat, Direktur Pascasarjana IAIN
Sunan
Gunung Djati Bandung. Tampak dari penjelasan penulis buku ini, bahwa kebenaran
akal bersifat relatif, sehingga manusia tentu saja tidak akan pernah sampai pada
kebenaran mutlak.
Pemikiran ini sangat keliru. Jika begitu
kesimpulannya, lalu kapan manusia, dengan pemahaman akalnya, akan sampai pada
keyakinan yang disyaratkan pada iman?
Banyak jargon-jargon indah yang
disebarkan untuk mengemas paham relativisme kebenaran, sehingga tampak logis dan
menarik, seperti ungkapan “bedakan antara agama dan keberagamaan”,
“jangan mensucikan pemikiran keagamaan”, “agama adalah mutlak,
sedangkan pemikiran keagamaan adalah relatif”, “manusia adalah relatif,
karena itu semua pemikiran produk akal manusia adalah relatif juga”,
“tafsir adalah produk akal manusia, sehingga tidak bisa mutlak semutlak
seperti wahyu itu sendiri”, “selama manusia masih berstatus manusia maka
hasil pemikirannya tetap parsial, kontekstual, dan bisa saja keliru”, dan
sebagainya.
Sepintas, kata-kata itu terasa logis, dan tampak indah. Jika
tidak berhati-hati dan kurang ilmu, maka bukan tidak mungkin seseorang akan
terpengaruh. Apalagi, jika yang mengatakannya adalah seorang doktor atau
profesor di bidang studi agama.
Padahal, paham ini memang sangat
destruktif terhadap pemikiran Islam, dan juga pada keyakinan iman. Berangkat
dari paham relativisme ini, maka tidak ada lagi satu kebenaran yang bisa
diterima semua pihak.
Bagaimana dengan Nabi, Ijma’ Sahabat? Imam Bukhari
dan para ulama hadits lainnya banyak menyepakati tentang kesahihan dan
kemutawatiran banyak hadits Nabi. Mereka menuangkan
pemikiran mereka ke dalam
kitab-kitab hadits, hasil akal pikiran mereka. Dalam bidang tafsir, maka tidak
ada lagi tafsir yang qath’iy, tidak ada yang pasti kebenarannya, semuanya
relatif, semuanya zhanniy.
Seorang profesor yang banyak mengembangkan
paham ini adalah M. Amin Abdullah. Dalam sebuah bukunya, ia menulis tentang
masalah kebenaran (truth, al-haqq) dari agama-agama, yang dikataknnya ada tiga
pilihan sikap dan keyakinan yang tersedia bagi umat beragama, yaitu:
Pertama, keyakinan bahwa memang ada kebenaran secara absolut mutlak.
Untuk itu, seorang agamawan yang baik harus berupaya dan yakin betul bahwa dia
suatu saat kelak dapat mencapai kebenaran yang absolut tersebut.
Cara
yang ditempuh bermacam-macam. Yang paling agak mencolok adalah memandang rendah
dan menegasikan keberadaan dan hidup orang lain. Inilah, kata Amin Abdullah,
sikap dan keyakinan beragama yang bersifat absolut.
Para pengikut
pendirian absolutis ini baik, tetapi akan menghadapi berbagai kendala
psikologis, sosiologis, maupun filosofis, jika Kebenaran – dengan K besar
– hanya dimaksudkan berlaku untuk ajaran agamanya sendiri. Radikalisme,
fundamentalisme, dan ekstrimisme diperkirakan dengan dapat mudah muncul dari
sikap ini.
Kedua, keyakinan bahwa kebenaran (truth) itu tidak ada. Jika
pun ada, ia hanya ada pada benak diri seseorang, yang “kebetulan” membutuhkan
dan memikirkannya, tetapi kebenaran dimaksud belum tentu ada dalam benak orang
lain. Dengan begitu, tidak ada standar moral yang tegas yang dapat dipegang
bersama-sama. Yang ada hanyalah “kebetulan” dan “ketidakteraturan” secara
radikal.
Paham kedua inilah yang disebut-sebut sebagai pendukung
relativisme radikal dan dapat dengan mudah mengarah ke nihilisme moral.
Ketiga, inilah pendapat yang dipilih oleh Amin Abdullah, yakni sikap dan
keyakinan hidup ini
berasumsi, bahwa “Kebenaran” – dengan K besar – itu
memang ada. Namun, sayang hanya “sebagian kecil” Kebenaran – dengan K besar –
tersebut yang dapat dipahami, diperoleh, diraih dan dinikmati oleh umat manusia
pada umumnya dan umat beragama khususnya.
Sebagian besar “Kebenaran”
tersebut, tidak atau belum terjangkau oleh akal budi manusia karena keterbatasan
“bahasa”, “akal pikiran”, “budaya”, “pendidikan”, dan sebagainya.
Sikap
ketiga ini, menurut Amin Abdullah, paralel dengan makna terdalam dari ayat
al-Quran dalam surah al-Kahfi: “Katakanlah: kalau sekiranya lautan menjadi tinta
untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku (Kebenaran dengan K besar – penulis
(Amin Abdullah)) sungguh habslah air lautan itu sebelum habis (ditulis)
kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan air laut sebanyak itu
pula.”
Menurut Amin Abdullah, ‘’Ayat ini sungguh memberi inspirasi yang
luar biasa dan yang tak kenal batas, sekaligus mendorong umat manusia untuk
berbuat yang terbaik menurut ukuran periode sejarah dan tantangan pergumulan
sosial yang dilaluinya. Jika ayat tersebut dapat memberi secercah ‘kebenaran’,
maka kebenaran – dengan k kecil – tersebut harus dapat diuji oleh Community of
Religious Studies, Community of Researchers pada umumnya.
Tidak ada
klaim di situ karena semua “kebenaran” yang bisa dicapai oleh manusia hanyalah
kebenaran-kebenaran yang bersifat “parsial”, “aspektual”, dan “fragmentaris”,
yaitu kebenaran-kebenaran dengan k kecil. Dengan begitu kebenaran perlu terus
digali, dibicarakan
ulang, didiskusikan, dikritisi, diuji dengan kepala
dingin, serta dimengerti dan dipahami secara arif.” (Lihat, M. Amin Abdullah,
Dinamika Islam Kultural, (Bandung: Mizan, 2000).
Meskipun pandangannya
dirumuskan dengan bahasa yang agak ‘canggih’, tetapi dengan mudah dapat
dipahami, bahwa pandangan Amin Abdullah seperti itu, akhirnya berujung pada
pandangan dan sikap skeptis tentang kebenaran.
Jika kebenaran yang
dipahami oleh manusia senantiasa ditempatkan pada posisi kebenaran dengan k
kecil yang mungkin salah dan bisa dikritisi, maka manusia tidak akan pernah
sampai pada tahap keyakinan akan satu kebenaran yang dipahaminya.
Padahal, Al-Quran diturunkan untuk dipahami manusia yang memang tidak
diperintahkan untuk menjadi Tuhan. Manusia diperintahkan meyakini kebenaran yang
mutlak, pada tataran manusia, bukan pada tataran Tuhan.
Sebab, itu
memang tidak mungkin. Apakah kebenaran dengan K besar atau k kecil, yang
terpenting adalah bahwa akal manusia bisa saja mencapai tahap kepastian dan
keyakinan (‘ilm).
Para mufassir al-Quran, meskipun mereka berbeda dalam
beberapa hal, menyangkut
penafsiran ayat-ayat yang memang zhanny al-dalalah,
tetapi mereka juga banyak bersepakat dalam berbagai hal.
Pemahaman
mereka untuk ayat-ayat tertentu, tidak berbeda, dan sampai pada tahap kepastian
kebenaran.
Sebagai misal, pemahaman para mufassir bahwa Nabi Muhammad
saw adalah Nabi terakhir, bahwa Allah adalah satu (ahad), Allah tidak punya
anak, dan tidak diperanakkan, pemahaman bahwa salat lima waktu wajib, zakat
wajib, haji wajib, puasa Ramadhan wajib, riba, babi, zina, judi adalah haram,
dan sebagainya, adalah contoh-contoh pemahaman yang tidak ‘parsial-kontekstual’
dan ‘tidak mungkin keliru’.
Pemahaman mufassir tentang hal-hal yang
pokok dan mendasar dalam Islam semacam itu, tidak pernah berbeda, dan pasti
kebenarannya. Sampai hari kiamat, para ulama dan umat Islam pasti memahami bahwa
salat lima wajtu itu wajib, bahwa puasa Ramadhan itu dilakukan di bulan
Ramadhan, dan bukan di bulan Muharram. Umat Islam di mana pun, dan kapan pun,
akan sama pikirannya dalam memahami hal itu. Tidak tergantung kepada tempat atau
konteks sosial-historis tertentu.
Jika semua itu dibongkar, sehingga
kebenaran pemahaman menjadi relatif, maka bukankah itu sama saja dengan
mengatakan, bahwa semua ayat al-Quran itu zhanny ? Bukankah itu sama saja dengan
membubarkan Islam?
Jadi, selain keliru, cara pandang tentang kebenaran
yang relatif itu juga sangat naif. Ketika seseorang menyatakan, bahwa semua
pemikiran manusia itu relatif dan parsial kontekstual, maka ucapan atau tulisan
orang itu sendiri pun merupakan hal yang relatif, dan tidak perlu dijadikan
pedoman, karena tidak pasti kebenarannya.
Dengan kata lain, jika
seseorang sudah ragu-ragu dengan kebenaran ucapan atau pendapatnya sendiri,
mengapa keraguan itu harus diikuti oleh orang lain.
Imam Nawawi, dalam
hadits ke-11, Kitab al-Arbain Nawawiyah, menyebutkan satu hadits Rasulullah saw:
“Tinggalkanlah hal yang meragukan, menuju kepada kepada hal yang tidak
meragukan.” (HR. Tirmidzi dan Nasai).
Jadi, untuk hal-hal yang bersifat
fi’liyyah saja, diperintahkan oleh Rasulullah saw, agar orang
Muslim memilih
yang tidak meragukan. Apalagi dalam masalah keyakinan keimanan. Tentu saja, hal
yang yakin, pasti (‘ilm) menjadi syarat keimanan, la rayba fiihi; tidak boleh
ada keraguan di dalamnya.
Karena itu, kita sebagai Muslim, perlu
berhati-hati dalam menyaring informasi yang masuk ke dalam benak kita, dengan
cara meningkatkan keilmuan Islam kita, agar tidak keliru dan tersesat. (Jakarta,
30 Desember 2005/hidayatullah.com).
Catatan Akhir Pekan Adian Husaini ini
bekerjasama dengan Radio Dakta 107 FM
Jumat, 16 Maret 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar