Pages

Jumat, 16 Maret 2012

Wabah Paham Relativisme Kebenaran

Oleh: Adian Husaini *)
Pada Hari Kamis (29/12/2005), sejumlah mahasiswa Universitas Indonesia datang ke rumah saya. Kami mendiskusikan tentang perkembangan pemikiran Islam, khususnya di lingkungan kampus UI. Ada yang menarik dari cerita para mahasiswa UI itu, bahwa saat ini, di sebagian organisasi Islam dan sebagian fakultas di UI, diskusi tentang masalah relativisme kebenaran sudah sering dilakukan.

Pemikiran-pemikiran liberal dalam keagamaan juga mulai berkembang. Kadang-kadang mereka tidak bisa mencapai hasil yang memuaskan dan banyak yang tidak dapat menyimpulkan, bagaimana sebenarnya posisi akal manusia dalam menyikapi kebenaran.

Cerita para mahasiswa UI itu tidaklah terlalu mengejutkan, sebab di lingkungan pendidikan tinggi Islam, wacana kebenaran relatif sudah agak lama disebarkan. Mereka sering menyatakan, bahwa akal manusia bersifat relatif, sedangkan Tuhan itu bersifat mutlak atau absolut, sehingga tidak semua kebenaran Tuhan dapat dipahami oleh manusia.

Ujung dari penyebaran paham ini memang sangat mengkhawatirkan, yaitu ketidakyakinan atau keraguan umat beragama terhadap kebenaran agamanya sendiri. Inilah akar dari pemikiran Pluralisme Agama yang mengakui kebenaran relatif dari semua agama.

Paus Benediktus XVI sendiri mengingatkan, bahwa Eropa saat ini sedang dalam bahaya besar, karena paham relativisme iman yang mendalam. (Lihat, Libertus Jehani, Paus Benediktus XVI, Palang Pintu Iman Katolik, (Jakarta: Sinondang Media, 2005), hal. 32.).

Jauh sebelumnya, penyair besar Pakistan, Moh. Iqbal, sudah mengingatkan, bahaya pendidikan modern ala Barat yang juga menancapkan keraguan dan menghilangkan keyakinan dalam beragama.

Hilangnya keyakinan dalam diri seseorang, kata Iqbal, lebih buruk dari perbudakan. Itulah yang diingatkan Iqbal, berpuluh tahun lalu: “Conviction enabled Abraham to wade into the fire; conviction is an intoxicant which makes men self-sacrificing; Know you, oh victims of modern civilization! Lack of conviction is worse than slavery.”

Anehnya, di lingkungan pendidikan tinggi Islam sendiri, justru pemikiran ini disebarkan dan diajarkan kepada para mahasiswa.

Dari IAIN Bandung, misalnya, seorang dosen menulis buku untuk mahasiswanya, yang
mengajarkan paham relativisme kebenaran. Ia menulis dalam sebuah bukunya, bahwa “Agama adalah seperangkat doktrin, kepercayaan, atau sekumpulan norma dan ajaran Tuhan yang bersifat universal dan mutlak kebenarannya.

Adapun keberagamaan, adalah penyikapan atau pemahaman para penganut agama terhadap doktrin, kepercayaan, atau ajaran-ajaran Tuhan itu, yang tentu saja menjadi bersifat relatif, dan sudah pasti kebenarannya menjadi bernilai relatif.”

Dalam bukunya yang lain, ia menulis, bahwa bahwa kebenaran agama memiliki dua pengertian, yakni (1) kebenaran tekstual atau wahyu, yakni kebenaran-kebenaran yang ada dalam kitab-kitab suci, (2) kebenaran empirik, yakni keyakinan manusia beragama berdasarkan penyikapan, pemahaman, dan interpretasi kebenaran tekstual wahyu.

Kebenaran pertama bernilai mutlak, sedangkan kebenaran kedua bernilai relatif.

Buku ini diberi kata pengantar oleh Prof. Dr. H.A. Hidayat, Direktur Pascasarjana IAIN
Sunan Gunung Djati Bandung. Tampak dari penjelasan penulis buku ini, bahwa kebenaran akal bersifat relatif, sehingga manusia tentu saja tidak akan pernah sampai pada kebenaran mutlak.

Pemikiran ini sangat keliru. Jika begitu kesimpulannya, lalu kapan manusia, dengan pemahaman akalnya, akan sampai pada keyakinan yang disyaratkan pada iman?

Banyak jargon-jargon indah yang disebarkan untuk mengemas paham relativisme kebenaran, sehingga tampak logis dan menarik, seperti ungkapan “bedakan antara agama dan keberagamaan”, “jangan mensucikan pemikiran keagamaan”, “agama adalah mutlak, sedangkan pemikiran keagamaan adalah relatif”, “manusia adalah relatif, karena itu semua pemikiran produk akal manusia adalah relatif juga”, “tafsir adalah produk akal manusia, sehingga tidak bisa mutlak semutlak seperti wahyu itu sendiri”, “selama manusia masih berstatus manusia maka hasil pemikirannya tetap parsial, kontekstual, dan bisa saja keliru”, dan sebagainya.

Sepintas, kata-kata itu terasa logis, dan tampak indah. Jika tidak berhati-hati dan kurang ilmu, maka bukan tidak mungkin seseorang akan terpengaruh. Apalagi, jika yang mengatakannya adalah seorang doktor atau profesor di bidang studi agama.

Padahal, paham ini memang sangat destruktif terhadap pemikiran Islam, dan juga pada keyakinan iman. Berangkat dari paham relativisme ini, maka tidak ada lagi satu kebenaran yang bisa diterima semua pihak.

Bagaimana dengan Nabi, Ijma’ Sahabat? Imam Bukhari dan para ulama hadits lainnya banyak menyepakati tentang kesahihan dan kemutawatiran banyak hadits Nabi. Mereka menuangkan
pemikiran mereka ke dalam kitab-kitab hadits, hasil akal pikiran mereka. Dalam bidang tafsir, maka tidak ada lagi tafsir yang qath’iy, tidak ada yang pasti kebenarannya, semuanya relatif, semuanya zhanniy.

Seorang profesor yang banyak mengembangkan paham ini adalah M. Amin Abdullah. Dalam sebuah bukunya, ia menulis tentang masalah kebenaran (truth, al-haqq) dari agama-agama, yang dikataknnya ada tiga pilihan sikap dan keyakinan yang tersedia bagi umat beragama, yaitu:

Pertama, keyakinan bahwa memang ada kebenaran secara absolut mutlak. Untuk itu, seorang agamawan yang baik harus berupaya dan yakin betul bahwa dia suatu saat kelak dapat mencapai kebenaran yang absolut tersebut.

Cara yang ditempuh bermacam-macam. Yang paling agak mencolok adalah memandang rendah dan menegasikan keberadaan dan hidup orang lain. Inilah, kata Amin Abdullah, sikap dan keyakinan beragama yang bersifat absolut.

Para pengikut pendirian absolutis ini baik, tetapi akan menghadapi berbagai kendala psikologis, sosiologis, maupun filosofis, jika Kebenaran – dengan K besar – hanya dimaksudkan berlaku untuk ajaran agamanya sendiri. Radikalisme, fundamentalisme, dan ekstrimisme diperkirakan dengan dapat mudah muncul dari sikap ini.

Kedua, keyakinan bahwa kebenaran (truth) itu tidak ada. Jika pun ada, ia hanya ada pada benak diri seseorang, yang “kebetulan” membutuhkan dan memikirkannya, tetapi kebenaran dimaksud belum tentu ada dalam benak orang lain. Dengan begitu, tidak ada standar moral yang tegas yang dapat dipegang bersama-sama. Yang ada hanyalah “kebetulan” dan “ketidakteraturan” secara radikal.

Paham kedua inilah yang disebut-sebut sebagai pendukung relativisme radikal dan dapat dengan mudah mengarah ke nihilisme moral.

Ketiga, inilah pendapat yang dipilih oleh Amin Abdullah, yakni sikap dan keyakinan hidup ini
berasumsi, bahwa “Kebenaran” – dengan K besar – itu memang ada. Namun, sayang hanya “sebagian kecil” Kebenaran – dengan K besar – tersebut yang dapat dipahami, diperoleh, diraih dan dinikmati oleh umat manusia pada umumnya dan umat beragama khususnya.

Sebagian besar “Kebenaran” tersebut, tidak atau belum terjangkau oleh akal budi manusia karena keterbatasan “bahasa”, “akal pikiran”, “budaya”, “pendidikan”, dan sebagainya.

Sikap ketiga ini, menurut Amin Abdullah, paralel dengan makna terdalam dari ayat al-Quran dalam surah al-Kahfi: “Katakanlah: kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku (Kebenaran dengan K besar – penulis (Amin Abdullah)) sungguh habslah air lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan air laut sebanyak itu pula.”

Menurut Amin Abdullah, ‘’Ayat ini sungguh memberi inspirasi yang luar biasa dan yang tak kenal batas, sekaligus mendorong umat manusia untuk berbuat yang terbaik menurut ukuran periode sejarah dan tantangan pergumulan sosial yang dilaluinya. Jika ayat tersebut dapat memberi secercah ‘kebenaran’, maka kebenaran – dengan k kecil – tersebut harus dapat diuji oleh Community of Religious Studies, Community of Researchers pada umumnya.

Tidak ada klaim di situ karena semua “kebenaran” yang bisa dicapai oleh manusia hanyalah kebenaran-kebenaran yang bersifat “parsial”, “aspektual”, dan “fragmentaris”, yaitu kebenaran-kebenaran dengan k kecil. Dengan begitu kebenaran perlu terus digali, dibicarakan
ulang, didiskusikan, dikritisi, diuji dengan kepala dingin, serta dimengerti dan dipahami secara arif.” (Lihat, M. Amin Abdullah, Dinamika Islam Kultural, (Bandung: Mizan, 2000).

Meskipun pandangannya dirumuskan dengan bahasa yang agak ‘canggih’, tetapi dengan mudah dapat dipahami, bahwa pandangan Amin Abdullah seperti itu, akhirnya berujung pada pandangan dan sikap skeptis tentang kebenaran.

Jika kebenaran yang dipahami oleh manusia senantiasa ditempatkan pada posisi kebenaran dengan k kecil yang mungkin salah dan bisa dikritisi, maka manusia tidak akan pernah sampai pada tahap keyakinan akan satu kebenaran yang dipahaminya.

Padahal, Al-Quran diturunkan untuk dipahami manusia yang memang tidak diperintahkan untuk menjadi Tuhan. Manusia diperintahkan meyakini kebenaran yang mutlak, pada tataran manusia, bukan pada tataran Tuhan.

Sebab, itu memang tidak mungkin. Apakah kebenaran dengan K besar atau k kecil, yang terpenting adalah bahwa akal manusia bisa saja mencapai tahap kepastian dan keyakinan (‘ilm).

Para mufassir al-Quran, meskipun mereka berbeda dalam beberapa hal, menyangkut
penafsiran ayat-ayat yang memang zhanny al-dalalah, tetapi mereka juga banyak bersepakat dalam berbagai hal.

Pemahaman mereka untuk ayat-ayat tertentu, tidak berbeda, dan sampai pada tahap kepastian kebenaran.

Sebagai misal, pemahaman para mufassir bahwa Nabi Muhammad saw adalah Nabi terakhir, bahwa Allah adalah satu (ahad), Allah tidak punya anak, dan tidak diperanakkan, pemahaman bahwa salat lima waktu wajib, zakat wajib, haji wajib, puasa Ramadhan wajib, riba, babi, zina, judi adalah haram, dan sebagainya, adalah contoh-contoh pemahaman yang tidak ‘parsial-kontekstual’ dan ‘tidak mungkin keliru’.

Pemahaman mufassir tentang hal-hal yang pokok dan mendasar dalam Islam semacam itu, tidak pernah berbeda, dan pasti kebenarannya. Sampai hari kiamat, para ulama dan umat Islam pasti memahami bahwa salat lima wajtu itu wajib, bahwa puasa Ramadhan itu dilakukan di bulan Ramadhan, dan bukan di bulan Muharram. Umat Islam di mana pun, dan kapan pun, akan sama pikirannya dalam memahami hal itu. Tidak tergantung kepada tempat atau konteks sosial-historis tertentu.

Jika semua itu dibongkar, sehingga kebenaran pemahaman menjadi relatif, maka bukankah itu sama saja dengan mengatakan, bahwa semua ayat al-Quran itu zhanny ? Bukankah itu sama saja dengan membubarkan Islam?

Jadi, selain keliru, cara pandang tentang kebenaran yang relatif itu juga sangat naif. Ketika seseorang menyatakan, bahwa semua pemikiran manusia itu relatif dan parsial kontekstual, maka ucapan atau tulisan orang itu sendiri pun merupakan hal yang relatif, dan tidak perlu dijadikan pedoman, karena tidak pasti kebenarannya.

Dengan kata lain, jika seseorang sudah ragu-ragu dengan kebenaran ucapan atau pendapatnya sendiri, mengapa keraguan itu harus diikuti oleh orang lain.

Imam Nawawi, dalam hadits ke-11, Kitab al-Arbain Nawawiyah, menyebutkan satu hadits Rasulullah saw: “Tinggalkanlah hal yang meragukan, menuju kepada kepada hal yang tidak meragukan.” (HR. Tirmidzi dan Nasai).

Jadi, untuk hal-hal yang bersifat fi’liyyah saja, diperintahkan oleh Rasulullah saw, agar orang
Muslim memilih yang tidak meragukan. Apalagi dalam masalah keyakinan keimanan. Tentu saja, hal yang yakin, pasti (‘ilm) menjadi syarat keimanan, la rayba fiihi; tidak boleh ada keraguan di dalamnya.

Karena itu, kita sebagai Muslim, perlu berhati-hati dalam menyaring informasi yang masuk ke dalam benak kita, dengan cara meningkatkan keilmuan Islam kita, agar tidak keliru dan tersesat. (Jakarta, 30 Desember 2005/hidayatullah.com).

Catatan Akhir Pekan Adian Husaini ini bekerjasama dengan Radio Dakta 107 FM

0 komentar:

Posting Komentar