Jejak Liberalisme, Pluralisme, Inkusivisme di Muhammadiyah
Muhammadiyah didirikan dengan idealisme untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, yaitu Islam yang murni, bersumber dari Al-Qur‘an dan As-Sunnah, bersih dari segala hal yang mengotorinya: takhayyul, bid’ah dan khurafat (TBC).
Untuk menghadapi realitas tersebut, Muhammadiyah sebagai gerakan yang memiliki idealisme pemurnian ajaran Islam, menjalankan prinsip tajdid, yang bermakna: (1) Al-I’adah, yakni kembali kepada kemurnian Al-Quran dan as-Sunnah al-maqbulah sebagaimana dipahami Rasulullah dan sahabatnya (salaf al-shalih), (2) Al-Ihya, yakni menghidupkan ajaran-ajaran al-Quran dan al-Sunah yang sudah banyak terbengkelai di kalangan umat, dan (3) Al-ishlah wat-tajdid, yakni perbaikan dan pembaharuan pemahaman dalam konteks perkembangan peradaban umat manusia. (lihat putusan muktamar tarjih XXII di Malang, 1989).
Prinsip-prinsip pemikiran keislaman Muhammadiyah dalam menghadapi realitas umat Islam ini sejalan dengan pandangan Imam al-Syatibi dalam kitabnya Al-I’tisham, yang menyatakan bahwa tajdiduddin harus selalu dilakukan oleh umat Islam dalam rangka aktualitas dan fungsionalitas ajaran Islam. Prinsip ini sejalan dengan hadits Rasulullah dalam riwayat Abu Daud yang menyatakan bahwa Allah akan menurunkan dalam setiap kurun waktu seratus tahun seseorang yang akan mentajdid umat Islam dalam memahami dan mengamalkan Islam.
Tetapi, dalam perkembangannya, pergumulan pemikiran keislaman Muhammadiyah akhir-akhir ini mulai banyak dipengaruhi liberalisme pemikiran keislaman kontemporer. Memang, dalam batas-batas tertentu dinamika tersebut diperlukan oleh Muhammadiyah, akan tetapi ketika liberalisme tersebut terlalu dihegemoni oleh pemikiran Barat sekular, akhirnya menimbulkan ketegangan-ketegangan, yang sedikit banyak melelahkan dan merugikan perkembangan Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah.
Tetapi, pemikiran para liberalis kini semakin bebas dan kebablasan dalam mensosialisasikan berbagai tradisi aneh yang lahir dari rahim Kristen. Beberapa pemikiran liberalis yang diasong dari Kristen itu antara lain: faham pluralisme agama, inkusivisme, sekulerisme dan metode hermeneutika untuk menafsirkan Al-Qur‘an.
Untuk mengetahui orang-orang yang sudah terinfeksi virus liberal itu, dengan mudah dapat kita takar para pemikir dengan Al-Qur‘an dan Hadits Nabi, minimal dengan Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah, Matan & Keyakinan Cita-cita Hidup Muhammadiyah, dan Pedoman Hidup Islami Muhammadiyah.
Umumnya, para liberalis itu alergi dengan klaim kebenaran (truth claim) yang menyatakan bahwa Islamlah satu-satunya agama yang benar dan diridhai Allah SWT. Bahkan tidak segan-segan mereka mengkritik Islam secara terus-menerus.
Di kalangan tua, contohnya adalah Abdul Munir Mulkhan. Di harian Kompas dia menegaskan pentingnya pemeluk agama mengkritik doktrin agama yang dianutnya. Alasannya, menurutnya, melalui kritik itu akan terbuka ruang pengembangan kesalehan bagi semua orang yang berbeda agama. (baca: Para Pengibar Bendera Liberal).
Sementara di kalangan muda, tercatat nama Achmad Fuad Fanani, Sekretariat JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah). Pada pengajian Bulanan PP Muhammadiyah tanggal 26 Desember 2003 di PP Muhammadiyah Jakarta dengan tema: “JIMM: Apa dan Mau Ke Mana?” menyatakan cita-citanya untuk terus-menerus mengkritik Muhammadiyah dan agama Islam, bermitraan dengan JIL.
“Kalau kita memiliki Muhammadiyah, itu berarti kita hanya bangga dengan Muhammadiyah saja. Tapi kalau kita ingin menjadi Muhammadiyah, kita melakukan kritik terus-menerus terhadap Muhammadiyah dan terhadap Islam itu sendiri... JIL, PSAP dan sebagainya itu adalah mitra-mitra JIMM yang nantinya bisa diajak bekerjasama untuk melakukan pembaharuan pemikiran Islam yang berdimensi praksis sosial juga.”
Pernyataan orang yang mengaku intelek ini sangatlah aneh. Bagaimana dia berani mengkritik Islam? Padahal Allah SWT telah menyatakan bahwa Islam adalah satu-satunya agama paripurna yang diridhai-Nya. Penegasan tentang kesempurnaan Islam yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, adalah firman Allah yang diterima Muhammad dalam Hajjatul Wada’, yang disepakati sebagai ayat terakhir turun kepada beliau:
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nimat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu” (Al-Ma`idah 3).
Nampaknya, para liberalis yang mengklaim “intelekual Muhammadiyah” ini harus membaca ulang identitas Muhammadiyah yang sudah mulai dilupakannya. Bukankah Muhammadiyah dengan tegas mengakui bahwa Islam adalah satu-satunya din yang diridhai Allah?
“Islam merupakan satu-satunya dinullah yang diridhai-Nya, juga satu-satunya petunjuk hidup yang akan membawa manusia kepada keselamatan dan kebahagiaan dunia dan akhirat” (lihat Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah, Kepribadian Muhammadiyah, MKCH).
Penegasan tersebut didasarkan kepada firman Allah: “Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al-Kitab, kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah, maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisabnya” (Ali Imran 19).
Juga firman Allah yang berbunyi: “Dan barangsiapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidak akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia termasuk orang-orang yang rugi” (Ali Imran 85).
Berawal dari keprihatinan dan keresahan warga Muhammadiyah itu, maka para pengawal Islam yang dimotori oleh MTDK PP Muhammadiyah Yogyakarta dan Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) mengadakan seminar nasional bertema: “Pemikiran Islam Muhammadiyah: Respon terhadap Fenomena Liberalisme Islam.” Acara yang dihadiri pula oleh para intelektual dari Malaysia tanggal 1-2 Maret ini sangat penting untuk mengawal dan mengamankan Islam dari virus liberal.
Din Syamsuddin, dalam sambutannya mengakui bahwa seminar ini sangat tepat waktu karena saat ini umat Islam berada dalam situasi pemikiran yang berbeda, termasuk di lingkungan Muhammadiyah menyangkut Islam dengan munculnya Islam Liberal. “Sekarang ada suara dari luar, bahwa di PP Muhammadiyah kantor Menteng Jakarta, terjadi pertarungan antara lantai 3 dengan lantai 4. Lantai 3 dimotori oleh Majlis Tabligh dan Dakwah Khusus (MTDK) yang menerbitkan majalah Tabligh, sedangkan lantai 4 dimotori oleh Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSAP) yang menerbitkan Jurnal Tanwir,” kata Din.
Menanggapi perseteruan pemikiran yang berbeda itu, Din memberikan solusi untuk kembali kepada faham keagamaan Muhammadiyah. “Faham keagamaan Muhammadiyah sudah ada dan sebaiknya dikutip dan dibacakan kutipannya, ada dalam Himpunan Putusan Tarjih, Pedoman Hidup Islami, Matan Kepribadian dan lain sebagainya. Dalam dokumen-dokumen resmi organisasi penuh dengan faham keagamaan, tapi sayangnya paham keagamaan Muhammadiyah yang ada di dalam berbagai dokumen organisasi itu kurang dipahami oleh warganya sendiri,” jelas Din.
Mengusung Teologi Kristen
Dalam makalah yang berjudul “Keresahan Warga Muhammadiyah,” Musthafa Kamal Pasha menyoroti berbagai wacana liberalisme Islam. Dengan menapaktilasi sejarah, terungkap bahwa ide pluralisme agama berasal dari produk Kristen pada awal abad ke-20 yang dipelopori oleh Ernst Troeltch.
Tokoh Muhammadiyah didikan Madrasah Muallimin Muhammadiyah –kawah Candradimukanya Muhammadiyah- yang pernah dibina langsung oleh KH. Kahar Muzakkir, KHR Hadjid, KHA Badawi, KH Wardan Diponingrat, KH Bakir Shaleh, KH AR Fakhrudin, KH Djindar Tamimy dan KH Ahmad Azhar Basyir ini mengungkapkan keresahan warga Muhammadiyah. Para pendahulu Muhammadiyah itu menekankan demikian kerasnya bahwa Islamlah satu-satunya agama yang haq (truth), menyelamatkan (salvation) dan sempurna. Tapi kini dengan ide liberal, Amin Abdullah menyatakan perlunya mengakui keselamatan dalam agama lain.
Seminar menjadi hangat ketika Prof Dr Yunan Yusuf menyampaikan makalah “Dinamika Penafsiran Al-Qur`an dan Pemaknaan As-Sunnah: Klasik dan Kontemporer.” Menurut Yunan, semua orang bebas menafsirkan Al-Qur‘an dan Hadits seliberal mungkin, asal tidak keluar dari 4 batasan. Maksudnya, Al-Qur‘an bisa ditafsirkan dan Hadits boleh disyarah apa saja, dengan syarat: 1) tidak menyimpulkan bahwa Allah itu tidak esa. 2) jangan menyimpulkan bahwa Muhammad bukan rasul. 3) jangan berkesimpulan Al-Qur‘an bukan wahyu. 4) jangan berkesimpulan hari kiamat tidak ada.
Hampir semua peserta yang mendapat kesempatan berbicara, terfokus menanggapi dan membantah pendapat Yunan.
Tanggapan yang cukup keras dilontarkan oleh Yadi Purwanto, Dekan Psikologi UMS dan Pimpinan Pesantren Islamadina Tawangmangu. Menurutnya, keempat batasan liberal itu masih membingungkan dan tidak tepat. Bahkan bisa membuka pintu kerusakan tafsir. Misalnya, definisi esa dalam ketuhanan. Sebab Kejawen, Kristen dan Yahudi masih mengatakan bahwa tuhan mereka esa, dengan kriteria masing-masing yang berbeda dengan akidah Islam.
Demikian pula dengan kriteria kedua, yang menyatakan bebas menafsirkan Al-Qur‘an asal tidak berkesimpulan bahwa Muhammad bukan nabi. Sebab kalangan liberalis pun mengakui kenabian Muhammad, tapi belum final dalam mengajarkan Islam. (baca: Batasan Liberal Membingungkan).
Sayangnya, Yunan tidak menanggapi pendapat Purwanto. Dia hanya berkilah, “Waktu yang diberikan untuk menjawab tidakmencukupi.” Pada bagian akhir seminar, Dr. Yunahar Ilyas Lc MA menyampaikan makalah “Pluralisme Agama dalam Perspektif Islam.” Ditegaskannya bahwa sebaiknya, seharusnya dan sebenarnya, Islam itu eksklusif. Alasannya, Allah sendiri telah menjelaskan bahwa Islam itu satu-satunya Agama yang benar, diridhai dan diterima Allah (Ali Imran 19, 85). (baca: Menyoal Pluralisme Agama).
Para pembicara lain dalam seminar yang berusaha menghadang pemikiran liberal adalah Adian Husaini MA Dr Anis Malik Toha, Doktor Ugi Suharto, Dr. Achmad Satori, Nirwan Syafrin MA, Dr Syamsul Anwar, Dr Ahmad Luthfi Fathullah dan Dr Saad Ibrahim MA.
Jika faham liberalisme, pluralisme, inklusivisme dan metode hermeneutika bukan dari Islam dan faham keagamaan Muhammadiyah, maka tidak ada kata yang tepat untuk mereka, selain “Laisa Minna” (bukan golongan kami).
Malajah Tabligh
0 komentar:
Posting Komentar