Pages

Senin, 13 Februari 2012

LAISA MINNA : Mereka bukan golongan kami


Jejak Liberalisme, Pluralisme, Inkusivisme di Muhammadiyah
 Muhammadiyah didirikan dengan idealisme untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, yaitu Islam yang murni, bersumber dari Al-Qur‘an dan As-Sunnah, bersih dari segala hal yang mengotorinya: takhayyul, bid’ah dan khurafat (TBC).

Untuk menghadapi realitas tersebut, Muhammadiyah sebagai gerakan yang memiliki idealisme pemurnian ajaran Islam, menjalankan prinsip tajdid, yang bermakna: (1) Al-I’adah, yakni kembali kepada kemurnian Al-Quran dan as-Sunnah al-maqbulah sebagai­mana dipahami Rasu­lullah dan sahabatnya (salaf al-shalih), (2) Al-Ihya, yakni menghidupkan ajaran-ajaran al-Quran dan al-Sunah yang sudah banyak terbeng­kelai di kalangan umat, dan (3) Al-ishlah wat-tajdid, yakni perbai­kan dan pembaharuan pema­haman dalam konteks perkem­bangan peradaban umat manusia. (lihat putusan muk­tamar tarjih XXII di Malang, 1989).

Prinsip-prinsip pemikiran keislaman Muhammadiyah dalam menghadapi realitas umat Islam ini sejalan dengan pandangan Imam al-Syatibi dalam kitabnya Al-I’tisham, yang menyatakan bahwa tajdiduddin harus selalu dilakukan oleh umat Islam dalam rangka aktualitas dan fungsionalitas ajaran Islam. Prinsip ini sejalan dengan hadits Rasulullah dalam riwayat Abu Daud yang menya­takan bahwa Allah akan menu­run­kan dalam setiap kurun waktu seratus tahun seseorang yang akan mentajdid umat Islam dalam memahami dan mengamalkan Islam.

Tetapi, dalam perkem­bangan­nya, pergumulan pemi­kiran keislaman Muham­madiyah akhir-akhir ini mulai banyak dipengaruhi liberalis­me pemikiran keislaman kontemporer. Memang, dalam batas-batas tertentu dinamika tersebut diperlukan oleh Muham­madiyah, akan tetapi ketika liberalisme tersebut terlalu dihegemoni oleh pemikiran Barat sekular, akhirnya menimbulkan ketegangan-ketegangan, yang sedikit banyak melelahkan dan merugikan perkembangan Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah.

Tetapi, pemikiran para liberalis kini semakin bebas dan kebablasan dalam menso­sialisasikan berbagai tradisi aneh yang lahir dari rahim Kristen. Beberapa pemikiran liberalis yang diasong dari Kristen itu antara lain: faham pluralisme agama, inkusivis­me, sekulerisme dan metode hermeneutika untuk menafsir­kan Al-Qur‘an.

Untuk mengetahui orang-orang yang sudah terinfeksi virus liberal itu, dengan mudah dapat kita takar para pemikir dengan Al-Qur‘an dan Hadits Nabi, minimal dengan Muqad­dimah Anggaran Dasar Muham­madiyah, Matan & Keyakinan Cita-cita Hidup Muhammadiyah, dan Pedoman Hidup Islami Muhammadiyah.

Umumnya, para liberalis itu alergi dengan klaim kebenaran (truth claim) yang menyatakan bahwa Islamlah satu-satunya agama yang benar dan diridhai Allah SWT. Bahkan tidak segan-segan mereka mengkritik Islam secara terus-menerus.

Di kalangan tua, contohnya adalah Abdul Munir Mulkhan. Di harian Kompas dia mene­gaskan pentingnya pemeluk agama mengkritik doktrin agama yang dianutnya. Alasannya, menurutnya, melalui kritik itu akan terbuka ruang pengem­bangan kesa­lehan bagi semua orang yang berbeda agama. (baca: Para Pengibar Bendera Liberal).

Sementara di kalangan muda, tercatat nama Achmad Fuad Fanani, Sekretariat JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah). Pada pengajian Bulanan PP Muhammadiyah tanggal 26 Desember 2003 di PP Muham­madiyah Jakarta dengan tema: “JIMM: Apa dan Mau Ke Mana?” menyatakan cita-citanya untuk terus-menerus mengkritik Muhammadiyah dan agama Islam, bermitraan dengan JIL.

“Kalau kita memiliki Muhammadiyah, itu berarti kita hanya bangga dengan Muham­madiyah saja. Tapi kalau kita ingin menjadi Muhammadiyah, kita melakukan kritik terus-menerus terhadap Muham­madiyah dan terhadap Islam itu sendiri... JIL, PSAP dan sebagainya itu adalah mitra-mitra JIMM yang nantinya bisa diajak bekerjasama untuk melakukan pembaharuan pemikiran Islam yang berdi­mensi praksis sosial juga.”

Pernyataan orang yang mengaku intelek ini sangatlah aneh. Bagaimana dia berani mengkritik Islam? Padahal Allah SWT telah menyatakan bahwa Islam adalah satu-satunya agama paripurna yang diridhai-Nya. Penegasan tentang kesempurnaan Islam yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, adalah firman Allah yang diterima Muhammad dalam Hajjatul Wada’, yang disepakati sebagai ayat terakhir turun kepada beliau:

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukup­kan kepadamu nimat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu” (Al-Ma`idah 3).

Nampaknya, para liberalis yang mengklaim “intelekual Muhammadiyah” ini harus membaca ulang identitas Muhammadiyah yang sudah mulai dilupakannya. Bukankah Muhammadiyah dengan tegas mengakui bahwa Islam adalah satu-satunya din yang diridhai Allah?

“Islam merupakan satu-satunya dinullah yang diridhai-Nya, juga satu-satunya petunjuk hidup yang akan membawa manusia kepada keselamatan dan kebaha­giaan dunia dan akhirat” (lihat Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah, Kepribadian Muhammadiyah, MKCH).

Penegasan tersebut didasar­kan kepada firman ­Allah: “Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berse­lisih orang-orang yang telah diberi Al-Kitab, kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir ter­hadap ayat-ayat Allah, maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisabnya” (Ali Imran 19).

Juga firman Allah yang berbunyi: “Dan barangsiapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidak akan diterima (agama itu) dari­padanya, dan dia termasuk orang-orang yang rugi” (Ali Imran 85).

Berawal dari keprihatinan dan keresahan warga Muham­madiyah itu, maka para pengawal Islam yang dimotori oleh MTDK PP Muham­madiyah Yogyakarta dan Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) mengadakan seminar nasional bertema: “Pemikiran Islam Muham­madiyah: Respon terhadap Fenomena Liberalisme Islam.” Acara yang dihadiri pula oleh para intelektual dari Malaysia tanggal 1-2 Maret ini sangat penting untuk mengawal dan mengamankan Islam dari virus liberal.

Din Syam­suddin, dalam sambutannya mengakui bahwa seminar ini sangat tepat waktu karena saat ini umat Islam berada dalam situasi pemikiran yang berbeda, termasuk di lingkungan Muhammadiyah menyangkut Islam dengan munculnya Islam Liberal. “Sekarang ada suara dari luar, bahwa di PP Muham­madiyah kantor Menteng Jakarta, terjadi pertarungan antara lantai 3 dengan lantai 4. Lantai 3 dimotori oleh Majlis Tabligh dan Dakwah Khusus (MTDK) yang menerbitkan majalah Tabligh, sedangkan lantai 4 dimotori oleh Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSAP) yang menerbitkan Jurnal Tanwir,” kata Din.

Menanggapi perseteruan pemikiran yang berbeda itu, Din memberikan solusi untuk kembali kepada faham keaga­maan Muhammadiyah. “Faham keagamaan Muham­madiyah sudah ada dan sebaiknya dikutip dan dibacakan kutipannya, ada dalam Himpunan Putusan Tarjih, Pedoman Hidup Islami, Matan Kepribadian dan lain sebagainya. Dalam dokumen-dokumen resmi organisasi penuh dengan faham keagamaan, tapi sayangnya paham keagamaan Muham­madiyah yang ada di dalam berbagai dokumen organisasi itu kurang dipahami oleh warganya sendiri,” jelas Din.


Mengusung Teologi Kristen


Dalam makalah yang berjudul “Keresahan Warga Muhammadiyah,” Musthafa Kamal Pasha menyoroti ber­bagai wacana liberalisme Islam. Dengan menapaktilasi sejarah, terungkap bahwa ide pluralisme agama berasal dari produk Kristen pada awal abad ke-20 yang dipelopori oleh Ernst Troeltch.

Tokoh Muhammadiyah didikan Madrasah Muallimin Muhammadiyah –kawah Candra­dimukanya Muham­madiyah- yang pernah dibina langsung oleh KH. Kahar Muzakkir, KHR Hadjid, KHA Badawi, KH Wardan Dipo­ningrat, KH Bakir Shaleh, KH AR Fakhrudin, KH Djindar Tamimy dan KH Ahmad Azhar Basyir ini mengungkapkan keresahan warga Muham­madiyah. Para pendahulu Muhammadiyah itu menekan­kan demikian kerasnya bahwa Islamlah satu-satunya agama yang haq (truth), menyela­matkan (salvation) dan sem­purna. Tapi kini dengan ide liberal, Amin Abdullah menya­ta­kan perlunya meng­akui kesela­matan dalam agama lain.

Seminar menjadi hangat ketika Prof Dr Yunan Yusuf menyampaikan makalah “Dina­mika Penafsiran Al-Qur`an dan Pemaknaan As-Sunnah: Klasik dan Kontemporer.” Menurut Yunan, semua orang bebas menafsirkan Al-Qur‘an dan Hadits seliberal mungkin, asal tidak keluar dari 4 batasan. Maksudnya, Al-Qur‘an bisa ditafsirkan dan Hadits boleh disyarah apa saja, dengan syarat: 1) tidak menyimpulkan bahwa Allah itu tidak esa. 2) jangan menyim­pul­kan bahwa Muham­mad bukan rasul. 3) jangan berkesimpulan Al-Qur‘an bukan wahyu. 4) jangan berkesimpulan hari kiamat tidak ada.

Hampir semua peserta yang mendapat kesempatan berbicara, terfokus menang­gapi dan membantah pen­dapat Yunan.

Tanggapan yang cukup keras dilontarkan oleh Yadi Purwanto, Dekan Psikologi UMS dan Pimpinan Pesantren Islamadina Tawangmangu. Menurutnya, keempat batasan liberal itu masih membingung­kan dan tidak tepat. Bahkan bisa membuka pintu kerusa­kan tafsir. Misalnya, definisi esa dalam ketuhanan. Sebab Kejawen, Kristen dan Yahudi masih mengatakan bahwa tuhan mereka esa, dengan kriteria masing-masing yang berbeda dengan akidah Islam.

Demikian pula dengan kriteria kedua, yang menyata­kan bebas menafsirkan Al-Qur‘an asal tidak berkesim­pulan bahwa Muhammad bukan nabi. Sebab kalangan liberalis pun mengakui kenabian Muhammad, tapi belum final dalam mengajar­kan Islam. (baca: Batasan ­Liberal Membingungkan).

Sayangnya, Yunan tidak menanggapi pendapat Purwanto. Dia hanya berkilah, “Waktu yang diberikan untuk menjawab tidakmencukupi.” Pada bagian akhir seminar, Dr. Yunahar Ilyas Lc MA menyampaikan makalah “Pluralisme Agama dalam Perspektif Islam.” Ditegaskan­nya bahwa sebaiknya, seha­rus­nya dan sebenarnya, Islam itu eksklusif. Alasannya, Allah sendiri telah menjelaskan bahwa Islam itu satu-satunya Agama yang benar, diridhai dan diterima Allah (Ali Imran 19, 85). (baca: Menyoal Pluralisme Agama).

Para pembicara lain dalam seminar yang berusaha menghadang pemikiran liberal adalah Adian Husaini MA Dr Anis Malik Toha, Doktor Ugi Suharto, Dr. Achmad Satori, Nirwan Syafrin MA, Dr Syamsul Anwar, Dr Ahmad Luthfi Fathullah dan Dr Saad Ibrahim MA.

Jika faham liberalisme, pluralisme, inklusivisme dan metode hermeneutika bukan dari Islam dan faham keaga­maan Muhammadiyah, maka tidak ada kata yang tepat untuk mereka, selain “Laisa Minna” (bukan golongan kami).



Malajah Tabligh

0 komentar:

Posting Komentar