Pages

Jumat, 16 Maret 2012

‘Studi Islam’ untuk Kepentingan Siapa ?

Oleh: Adian Husaini
Kaum Orientalis dan mendirikan pusat-pusat studi Islam. Para ilmuwan Indonesia berguru ke sana. Pulangnya bukan semakin baik, justru memusuhi Islam.

Sejak Perang Salib berlangsung, ada sebagian tokoh Kristen yang menilai Perang Salib merupakan cara yang tidak tepat untuk menaklukkan kaum Muslim. Salah satu tokoh terkenal adalah Peter The Venerable atau Petrus Venerabilis (1094-1156M). Peter adalah tokoh misionaris Kristen pertama di dunia Islam, yang merancang bagaimana menaklukkan umat Islam dengan pemikiran, bukan dengan senjata. Ketika itu, ia seorang kepala Biara Cluny, Perancis – sebuah biara yang sangat berpengaruh di Eropa Abad Pertengahan.

Sekitar tahun 1141-1142, Peter mengunjungi Toledo, Spanyol. Di situ ia menghimpun sejumlah cendekiawan untuk menerjemahkan karya-karya kaum Muslim ke dalam bahasa Latin. Terjemahan itu akan digunakan sebagai bahan untuk misionaris Kristen terhadap dunia Islam.

Salah satu sukses usaha Peter adalah terjemahan Al-Qur'an dalam bahasa Latin oleh Robert of Ketton (selesai tahun 1143), yang diberi judul “Liber Legis Saracenorum quem Alcorant Vocant” (Kitab Hukum Islam yang disebut Al-Qur'an ).

Inilah terjemahan pertama al-Quran dalam bahasa Latin, yang selama beratus-ratus tahun menjadi rujukan kaum Kristen di Eropa dalam melihat Islam. Barulah pada tahun 1698, Ludovico Maracci, melakukan kritik terhadap terjemahan Robert of Ketton dan menerjemahkan Al-Qur'an sekali lagi ke dalam bahasa Latin dengan judul “Alcorani Textus Receptus”.

Menurut Peter Venerabilis, pengkajian Islam (Islamic Studies) perlu dilakukan oleh kaum Kristen, agar mereka dapat “membaptis pemikiran kaum Muslimin”.

Jadi, kaum Muslim bukan saja perlu dikalahkan dengan ekspedisi militer, melainkan juga harus dikalahkan dalam pemikiran mereka. Di tengah berkecamuknya Perang Salib, Peter membuat pernyataan: “… aku menyerangmu, bukan sebagaimana sebagian dari kami [orang-orang Kristen] sering melakukan, dengan senjata, tetapi dengan kata-kata, bukan dengan kekuatan, namun dengan pikiran; bukan dengan kebencian, namun dengan cinta…”

(But I attack you not, as some of us [Christians] often do, by arms, but by words; not by force, but by reason; not in hatred, but in love…).

Petrus Venerabilis mengajak orang Islam ke jalan keselamatan Kristen dengan cara mengalahkan pemikiran Islam. Ia berangkat dari kepercayaan Kristen bahwa di luar Gereja tidak ada keselamatan (extra ecclesiam nulla salus).

Islam, menurutnya, adalah sekte kafir terkutuk sekaligus berbahaya (execrable and noxious heresy), doktrin berbahaya (pestilential doctrine), ingkar (impious) dan sekte terlaknat (a damnable sect); dan Muhammad adalah orang jahat (an evil man).

Selain menugaskan para sarjana Kristen menerjemahkan naskah-naskah bahasa Arab ke dalam bahasa Latin, Peter juga menulis dua buku yang menyerang pemikiran Islam. Tentang Al-Qur'an Peter menyatakan, bahwa Al-Quran tidak terlepas dari para setan. Setan telah mempersiapkan Muhammad, orang yang paling nista, menjadi anti-Kristus. Setan telah mengirim informan kepada Muhammad, yang memiliki kitab setan (diabolical scripture). (Riset yang serius tentang Peter Venerabilis ini bisa dibaca dalam buku Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Studi Al-Qur'an, (Jakarta: GIP, 2005).

Strategi Peter Venerabilis ini kemudian menjadi rujukan kaum misionaris Kristen terhadap kaum Muslimin. Henry Martyn, tokoh misionaris berikutnya, juga membuat pernyataan, “Aku datang untuk menemui ummat Islam, tidak dengan senjata tapi dengan kata-kata, tidak dengan kekuatan tapi dengan logika, tidak dalam benci tapi dalam cinta.”

Hal senada dikatakan tokoh misionaris lain, Raymond Lull, “Saya melihat banyak ksatria pergi ke Tanah Suci, dan berpikir bahwa mereka dapat menguasainya dengan kekuatan senjata, tetapi pada akhirnya semua hancur sebelum mereka mencapai apa yang mereka pikir bisa diperoleh.”

Lull mengeluarkan resep: Islam tidak dapat ditaklukkan dengan darah dan air mata, tetapi dengan cinta kasih dan doa.

Ungkapan Lull dan Martyn itu ditulis oleh Samuel M Zwemmer, misionaris Kristen terkenal di Timur Tengah, dalam buku Islam: A Challenge to Faith (1907). Buku yang berisi resep untuk “menaklukkan” dunia Islam itu disebut Zwemmer sebagai “beberapa kajian tentang kebutuhan dan kesempatan di dunia para pengikut Muhammad dari sudut pandang missi Kristen”.

Strategi penaklukan Islam melalui pemikiran ini kemudian dikembangkan oleh para orientalis Barat. Sebagian dari mereka memang membawa semangat lama kaum misionaris, sebagian lagi melakukannya untuk kepentingan penjajahan (kolonialisme) dan sebagian lagi bermotifkan semata-mata untuk kajian ilmiah.

Kini, setelah beratus-ratus tahun, kaum Orientalis telah berhasil meraih sukses besar dalam bidang studi Islam. Bukan saja mereka berhasil mendirikan pusat-pusat studi Islam di Barat dan enerbitkan ribuan buku tentang Islam, tetapi mereka juga berhasil menghimpun literatur-literatur Islam dalam jumlah yang sangat besar.

Tidak hanya sampai di situ, kerja keras mereka pun kemudian membuahkan hasil yang lebih mengagumkan, yaitu terciptanya kader-kader cendekiawan dan pemikir dari kalangan Muslim, yang getol sekali mengais-ngais dan membongkar serta menyerang bangunan pemikiran Islam dan umat Islam.

Apalagi, dengan cara itu, mereka juga mendapatkan berbagai keuntungan duniawai: popularitas dan berbagai kenyamanan hidup diuniawi.

Dulu, di zaman penjajahan fisik, para pengkaji Islam dari kalangan misionaris menjadi bagian dari semangat penjajahan bersemboyan ‘Gold, Gospel, dan Glory’. Mereka mengkaji masalah ketimuran, khususnya Islam, bukan dalam ruang yang kosong, tetapi menjadi bagian dari proyek untuk menaklukkan Islam dan dunia Islam.

Kini, di zaman modern, Orientalisme juga tidak terlepas dari kepentingan Barat dalam mengokohkan hegemoninya. Para akademisi muslim harusnya sadar akan hal ini. Jika mereka menerima “cinta kasih” dari Barat berupa bantuan beasiswa untuk meneliti tentang Islam, mereka harusnya sadar, siapa mereka, dan siapa yang membantu mereka. Untuk apakah semua bantuan itu diberikan? Seperti halnya utang luar negeri yang dikucurkan kepada negara-negara berkembang.

Apakah semua utang itu diberikan secara gratis dan merupakan program amal semata? Tentu tidak demikian. Semua itu ada tujuannya. Ini bukan untuk bersikap a priori, membabi buta menolak apa pun yang datang dari Barat.

Karena harus diakui, banyak hal saat ini harus dipelajari dari Barat, termasuk beberapa bagian dalam studi Islam. Tetapi, semua itu perlu dilakukan dengan Hati-hati dan sikap kritis.

Para akademisi Muslim yang tidak berhati-hati dan tidak memiliki ilmu yang memadai, bukan tidak mungkin akan terjerumus dalam jebakan untuk memecah belah umat Islam, memojokkan kelompok Islam tertentu yang tidak mau mengikuti pola pikir sekular-liberal Barat.

Kelompok-kelompok yang ingin bertahan dengan identitas dan pandangan hidup Islam, dicap dan diberi istilah-istilah yang peyoratif, merendahkan, dan memojokkan, semisal istilah “radikal”, “fundamentalis”, “militan”, “eksklusif”, “literalis”, dan sebagainya.

Sebagai contoh, pada bulan Januari 2002, ada seorang dosen Universitas Islam Negeri Yogyakarta (dulu: IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta), pernah mewawancarai saya tentang hubungan Islam-Kristen di Indonesia. Namanya Fatimah Husein.

Wawancara itu dilakukan untuk melengkapi bahan disertasi doktornya di Melbourne University, Australia. Dalam menyelesaikan studinya, ia dibiayai oleh berbagai lembaga Australia, antara lain The Australian Agency for Intenational Development (AusAID).

Tahun 2004 Fatimah menyelesaikan gelar doktornya. Baru-baru ini, ia menerbitkan disertasinya dengan judul “Muslim-Christian Relations in The New Order Indonesia:The Exclusivist and Inclusivist Muslims’ Perspectives”.

Ketika wawancara, saya sudah menolak penggunaan kategorisasi “Eksklusif dan Inklusif” untuk memetakan persepsi kaum Muslim terhadap masalah hubungan Islam-Kristen di Indonesia. Saya mengajukan istilah “Muslim Komprehensif” dan “Muslim Reduksionis”. Tapi, Fatimah menolak menggunakan sebutan itu. Ia tetap berpegang pada kategorisasi yang diajukannya. Akhirnya, ia terjebak ke dalam kesalahan yang fatal dalam kategorisasi kaum Muslim yang dia teliti.

Sebagai contoh, ia menyebut organisasi-organisasi eksklusivis di Indonesia adalah Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam (KISDI), Front Pembela Islam (FPI), dan Laskar Jihad. Orang-orang yang dia cap sebagai eksklusivis diantaranya adalah Husein Umar, Ahmad Sumargono, Adian Husaini, Habib Rizieq Shihab, dan Ja’far Umar Thalib.

Sedangkan tokoh inklusivis adalah Nurcholish Madjid, Zainun Kamal, Azyumardi Azra, Budhy Munawar Rahman, dan sebagainya.

Diantara ciri-ciri kaum eksklusif, menurut dia;

(1) mereka menerapkan model penafsiran literal terhadap Al-Qur'an dan Sunnah dan berorientasi masa lalu. Karena menggunakan pendekatan literal, maka ijtihad bukanlah hal yang sentral dalam kerangka berpikir mereka; (2) mereka berpendapat bahwa keselamatan hanya bisa dicapai melalui agama Islam. Bagi mereka, Islam adalah agama final yang datang untuk mengoreksi agama-agama lain. Karena itu mereka menggugat otentisitas Kitab suci agama lain.

Sedangkan yang dia masukkan sebagai kaum Inklusif, memiliki ciri-ciri:

(1) Karena mereka memahami Islam sebagai agama yang berkembang, maka mereka menerapkan metode kontekstual dalam memahami al-Quran dan Sunnah, melakukan reinterpretasi teks-teks asas dalam Islam, dan ijtihad beperan sentral dalam pemikiran mereka (2) Kaum Inklusif memandang, Islam adalah agama terbaik bagi mereka; namun mereka berpendapat bahwa keselamatan di luar agama Islam adalah hal yang mungkin.

Kategorisasi sang doktor dari Melbourne tentang Islam Eksklusif dan Islam Inklusif itu jelas-jelas kacau dan semaunya sendiri. Dia sudah terjebak dalam pola berpikir dikotomis “literal-kontekstual” dalam metodolgi tafsir Bible. Padahal, tidak mungkin seorang Muslim dalam berijtihad terlepas dari teks dan sekaligus dari konteks.

Jika dicermati sejumlah tulisan Nurcholish Madjid dan Budhy Munawar Rahman, mereka sudah masuk kategori Pluralis – yang menyatakan semua agama sama-sama benar dan sebagai jalan yang sah menuju Tuhan – dan bukan inklusif lagi.

Menuduh kaum yang disebutnya sebagai ‘Islam eksklusif’ tidak menjadikan ijtihad sebagai sentral berpikir mereka, adalah tuduhan yang kurang ajar dan sama sekali tidak ilmiah. Sebaliknya, menyebut pemikiran-pemikiran Nurcholish Madjid, Azyumardi Azra, Budhy Munawar Rahman sebagai bentuk ijtihad, juga merupakan cara pandang yang sembrono dan amburadul.

Hingga kini, orang-orang itu belum menulis satu buku pun tentang metodologi ijtihad, dan belum layak mendapat gelar “mujtahid”. Hanya karena berpikir sesuai dengan selera ‘liberal-sekular’ lalu dibilang “berijtihad”.

Selain itu, jika si doktor itu membaca kembali diskursus tentang “keselamatan” di kalangan para ulama ushuluddin, maka tidak perlu menulis kriteria seperti itu. “Kebenaran” Islam dan “keselamatan” pemeluk agama Islam atau non-Islam adalah dua masalah yang berbeda.

Dalam diskusi tentang “fathrah”, hal ini banyak dibahas. Tetapi, sejak dulu, para ulama Islam tidak pernah berbeda pendapat bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar. MUI sendiri, dalam fatwanya tentang Pluralisme Agama, menegaskan, bahwa dalam masalah aqidah dan ibadah, umat Islam wajib bersifat eksklusif.

Secara ilmiah, kategorisasi Islam eksklusif-Islam Inklusif model dosen UIN Yogya itu kacau-balau. Kategorisasi ini lebih bisa dimengerti dalam konteks proyek pesanan untuk melakukan stigmatisasi terhadap kelompok atau orang Muslim tertentu yang tidak disukai oleh ‘sang donor ‘penelitiannya, sehingga diberikanlah cap-cap dan sifat negatif serta peyoratif kepada kaum Muslim tertentu yang tidak disukainya.

Kita paham dengan pola kajian Orientalis semacam ini. Sayangnya, mengapa ada ilmuwan dari kalangan Muslim yang mau melakukan hal semacam ini, dengan imbalan duniawi yang sangat murah – sekedar beberapa keping dolar dan gelar doktor.

Harusnya, para cendekiawan yang mendapat kesempatan studi Islam di Barat memanfaatkan kesempatan itu sebaik-baiknya untuk kepentingan Islam. Bukan malah sebaliknya, terjebak dalam kerangka pikir Orientalisme untuk menghancurkan Islam. Na’udzubillah. (Jakarta, 11 November 2005/hidayatullah.com).

Catatan Akhir Pekan (CAP) Adian Husaini adalah kerjasama Radio Dakta 107 FM dan http://www.hidayatullah.com/

0 komentar:

Posting Komentar