Oleh: Adian Husaini
Kaum Orientalis dan mendirikan pusat-pusat studi Islam. Para ilmuwan
Indonesia berguru ke sana. Pulangnya bukan semakin baik, justru memusuhi Islam.
Sejak Perang Salib berlangsung, ada sebagian tokoh Kristen yang menilai
Perang Salib merupakan cara yang tidak tepat untuk menaklukkan kaum Muslim.
Salah satu tokoh terkenal adalah Peter The Venerable atau Petrus Venerabilis
(1094-1156M). Peter adalah tokoh misionaris Kristen pertama di dunia Islam, yang
merancang bagaimana menaklukkan umat Islam dengan pemikiran, bukan dengan
senjata. Ketika itu, ia seorang kepala Biara Cluny, Perancis – sebuah biara yang
sangat berpengaruh di Eropa Abad Pertengahan.
Sekitar tahun 1141-1142,
Peter mengunjungi Toledo, Spanyol. Di situ ia menghimpun sejumlah cendekiawan
untuk menerjemahkan karya-karya kaum Muslim ke dalam bahasa Latin. Terjemahan
itu akan digunakan sebagai bahan untuk misionaris Kristen terhadap dunia Islam.
Salah satu sukses usaha Peter adalah terjemahan Al-Qur'an dalam bahasa
Latin oleh Robert of Ketton (selesai tahun 1143), yang diberi judul “Liber Legis
Saracenorum quem Alcorant Vocant” (Kitab Hukum Islam yang disebut Al-Qur'an
).
Inilah terjemahan pertama al-Quran dalam bahasa Latin, yang selama
beratus-ratus tahun menjadi rujukan kaum Kristen di Eropa dalam melihat Islam.
Barulah pada tahun 1698, Ludovico Maracci, melakukan kritik terhadap terjemahan
Robert of Ketton dan menerjemahkan Al-Qur'an sekali lagi ke dalam bahasa Latin
dengan judul “Alcorani Textus Receptus”.
Menurut Peter Venerabilis,
pengkajian Islam (Islamic Studies) perlu dilakukan oleh kaum Kristen, agar
mereka dapat “membaptis pemikiran kaum Muslimin”.
Jadi, kaum Muslim bukan
saja perlu dikalahkan dengan ekspedisi militer, melainkan juga harus dikalahkan
dalam pemikiran mereka. Di tengah berkecamuknya Perang Salib, Peter membuat
pernyataan: “… aku menyerangmu, bukan sebagaimana sebagian dari kami
[orang-orang Kristen] sering melakukan, dengan senjata, tetapi dengan kata-kata,
bukan dengan kekuatan, namun dengan pikiran; bukan dengan kebencian, namun
dengan cinta…”
(But I attack you not, as some of us [Christians] often
do, by arms, but by words; not by force, but by reason; not in hatred, but in
love…).
Petrus Venerabilis mengajak orang Islam ke jalan keselamatan
Kristen dengan cara mengalahkan pemikiran Islam. Ia berangkat dari kepercayaan
Kristen bahwa di luar Gereja tidak ada keselamatan (extra ecclesiam nulla
salus).
Islam, menurutnya, adalah sekte kafir terkutuk sekaligus
berbahaya (execrable and noxious heresy), doktrin berbahaya (pestilential
doctrine), ingkar (impious) dan sekte terlaknat (a damnable sect); dan Muhammad
adalah orang jahat (an evil man).
Selain menugaskan para sarjana Kristen
menerjemahkan naskah-naskah bahasa Arab ke dalam bahasa Latin, Peter juga
menulis dua buku yang menyerang pemikiran Islam. Tentang Al-Qur'an Peter
menyatakan, bahwa Al-Quran tidak terlepas dari para setan. Setan telah
mempersiapkan Muhammad, orang yang paling nista, menjadi anti-Kristus. Setan
telah mengirim informan kepada Muhammad, yang memiliki kitab setan (diabolical
scripture). (Riset yang serius tentang Peter Venerabilis ini bisa dibaca dalam
buku Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Studi Al-Qur'an, (Jakarta: GIP,
2005).
Strategi Peter Venerabilis ini kemudian menjadi rujukan kaum
misionaris Kristen terhadap kaum Muslimin. Henry Martyn, tokoh misionaris
berikutnya, juga membuat pernyataan, “Aku datang untuk menemui ummat Islam,
tidak dengan senjata tapi dengan kata-kata, tidak dengan kekuatan tapi dengan
logika, tidak dalam benci tapi dalam cinta.”
Hal senada dikatakan tokoh
misionaris lain, Raymond Lull, “Saya melihat banyak ksatria pergi ke Tanah Suci,
dan berpikir bahwa mereka dapat menguasainya dengan kekuatan senjata, tetapi
pada akhirnya semua hancur sebelum mereka mencapai apa yang mereka pikir bisa
diperoleh.”
Lull mengeluarkan resep: Islam tidak dapat ditaklukkan
dengan darah dan air mata, tetapi dengan cinta kasih dan doa.
Ungkapan
Lull dan Martyn itu ditulis oleh Samuel M Zwemmer, misionaris Kristen terkenal
di Timur Tengah, dalam buku Islam: A Challenge to Faith (1907). Buku yang berisi
resep untuk “menaklukkan” dunia Islam itu disebut Zwemmer sebagai “beberapa
kajian tentang kebutuhan dan kesempatan di dunia para pengikut Muhammad dari
sudut pandang missi Kristen”.
Strategi penaklukan Islam melalui
pemikiran ini kemudian dikembangkan oleh para orientalis Barat. Sebagian dari
mereka memang membawa semangat lama kaum misionaris, sebagian lagi melakukannya
untuk kepentingan penjajahan (kolonialisme) dan sebagian lagi bermotifkan
semata-mata untuk kajian ilmiah.
Kini, setelah beratus-ratus tahun, kaum
Orientalis telah berhasil meraih sukses besar dalam bidang studi Islam. Bukan
saja mereka berhasil mendirikan pusat-pusat studi Islam di Barat dan enerbitkan
ribuan buku tentang Islam, tetapi mereka juga berhasil menghimpun
literatur-literatur Islam dalam jumlah yang sangat besar.
Tidak hanya
sampai di situ, kerja keras mereka pun kemudian membuahkan hasil yang lebih
mengagumkan, yaitu terciptanya kader-kader cendekiawan dan pemikir dari kalangan
Muslim, yang getol sekali mengais-ngais dan membongkar serta menyerang bangunan
pemikiran Islam dan umat Islam.
Apalagi, dengan cara itu, mereka juga
mendapatkan berbagai keuntungan duniawai: popularitas dan berbagai kenyamanan
hidup diuniawi.
Dulu, di zaman penjajahan fisik, para pengkaji Islam
dari kalangan misionaris menjadi bagian dari semangat penjajahan bersemboyan
‘Gold, Gospel, dan Glory’. Mereka mengkaji masalah ketimuran, khususnya Islam,
bukan dalam ruang yang kosong, tetapi menjadi bagian dari proyek untuk
menaklukkan Islam dan dunia Islam.
Kini, di zaman modern, Orientalisme
juga tidak terlepas dari kepentingan Barat dalam mengokohkan hegemoninya. Para
akademisi muslim harusnya sadar akan hal ini. Jika mereka menerima “cinta kasih”
dari Barat berupa bantuan beasiswa untuk meneliti tentang Islam, mereka harusnya
sadar, siapa mereka, dan siapa yang membantu mereka. Untuk apakah semua bantuan
itu diberikan? Seperti halnya utang luar negeri yang dikucurkan kepada
negara-negara berkembang.
Apakah semua utang itu diberikan secara gratis
dan merupakan program amal semata? Tentu tidak demikian. Semua itu ada
tujuannya. Ini bukan untuk bersikap a priori, membabi buta menolak apa pun yang
datang dari Barat.
Karena harus diakui, banyak hal saat ini harus
dipelajari dari Barat, termasuk beberapa bagian dalam studi Islam. Tetapi, semua
itu perlu dilakukan dengan Hati-hati dan sikap kritis.
Para akademisi
Muslim yang tidak berhati-hati dan tidak memiliki ilmu yang memadai, bukan tidak
mungkin akan terjerumus dalam jebakan untuk memecah belah umat Islam, memojokkan
kelompok Islam tertentu yang tidak mau mengikuti pola pikir sekular-liberal
Barat.
Kelompok-kelompok yang ingin bertahan dengan identitas dan
pandangan hidup Islam, dicap dan diberi istilah-istilah yang peyoratif,
merendahkan, dan memojokkan, semisal istilah “radikal”, “fundamentalis”,
“militan”, “eksklusif”, “literalis”, dan sebagainya.
Sebagai contoh, pada bulan Januari 2002, ada seorang dosen
Universitas Islam Negeri Yogyakarta (dulu: IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta),
pernah mewawancarai saya tentang hubungan Islam-Kristen di Indonesia. Namanya
Fatimah Husein.
Wawancara itu dilakukan untuk melengkapi bahan
disertasi doktornya di Melbourne University, Australia. Dalam menyelesaikan
studinya, ia dibiayai oleh berbagai lembaga Australia, antara lain The
Australian Agency for Intenational Development (AusAID).
Tahun 2004
Fatimah menyelesaikan gelar doktornya. Baru-baru ini, ia menerbitkan
disertasinya dengan judul “Muslim-Christian Relations in The New Order
Indonesia:The Exclusivist and Inclusivist Muslims’ Perspectives”.
Ketika wawancara, saya sudah menolak penggunaan kategorisasi “Eksklusif
dan Inklusif” untuk memetakan persepsi kaum Muslim terhadap masalah hubungan
Islam-Kristen di Indonesia. Saya mengajukan istilah “Muslim Komprehensif” dan
“Muslim Reduksionis”. Tapi, Fatimah menolak menggunakan sebutan itu. Ia tetap
berpegang pada kategorisasi yang diajukannya. Akhirnya, ia terjebak ke dalam
kesalahan yang fatal dalam kategorisasi kaum Muslim yang dia teliti.
Sebagai contoh, ia menyebut organisasi-organisasi eksklusivis di
Indonesia adalah Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Komite Indonesia untuk
Solidaritas Dunia Islam (KISDI), Front Pembela Islam (FPI), dan Laskar Jihad.
Orang-orang yang dia cap sebagai eksklusivis diantaranya adalah Husein Umar,
Ahmad Sumargono, Adian Husaini, Habib Rizieq Shihab, dan Ja’far Umar Thalib.
Sedangkan tokoh inklusivis adalah Nurcholish Madjid, Zainun Kamal,
Azyumardi Azra, Budhy Munawar Rahman, dan sebagainya.
Diantara ciri-ciri
kaum eksklusif, menurut dia;
(1) mereka menerapkan model penafsiran
literal terhadap Al-Qur'an dan Sunnah dan berorientasi masa lalu. Karena
menggunakan pendekatan literal, maka ijtihad bukanlah hal yang sentral dalam
kerangka berpikir mereka; (2) mereka berpendapat bahwa keselamatan hanya bisa
dicapai melalui agama Islam. Bagi mereka, Islam adalah agama final yang datang
untuk mengoreksi agama-agama lain. Karena itu mereka menggugat otentisitas Kitab
suci agama lain.
Sedangkan yang dia masukkan sebagai kaum Inklusif,
memiliki ciri-ciri:
(1) Karena mereka memahami Islam sebagai agama yang
berkembang, maka mereka menerapkan metode kontekstual dalam memahami al-Quran
dan Sunnah, melakukan reinterpretasi teks-teks asas dalam Islam, dan ijtihad
beperan sentral dalam pemikiran mereka (2) Kaum Inklusif memandang, Islam adalah
agama terbaik bagi mereka; namun mereka berpendapat bahwa keselamatan di luar
agama Islam adalah hal yang mungkin.
Kategorisasi sang doktor dari
Melbourne tentang Islam Eksklusif dan Islam Inklusif itu jelas-jelas kacau dan
semaunya sendiri. Dia sudah terjebak dalam pola berpikir dikotomis
“literal-kontekstual” dalam metodolgi tafsir Bible. Padahal, tidak mungkin
seorang Muslim dalam berijtihad terlepas dari teks dan sekaligus dari konteks.
Jika dicermati sejumlah tulisan Nurcholish Madjid dan Budhy Munawar
Rahman, mereka sudah masuk kategori Pluralis – yang menyatakan semua agama
sama-sama benar dan sebagai jalan yang sah menuju Tuhan – dan bukan inklusif
lagi.
Menuduh kaum yang disebutnya sebagai ‘Islam eksklusif’ tidak
menjadikan ijtihad sebagai sentral berpikir mereka, adalah tuduhan yang kurang
ajar dan sama sekali tidak ilmiah. Sebaliknya, menyebut pemikiran-pemikiran
Nurcholish Madjid, Azyumardi Azra, Budhy Munawar Rahman sebagai bentuk ijtihad,
juga merupakan cara pandang yang sembrono dan amburadul.
Hingga kini,
orang-orang itu belum menulis satu buku pun tentang metodologi ijtihad, dan
belum layak mendapat gelar “mujtahid”. Hanya karena berpikir sesuai dengan
selera ‘liberal-sekular’ lalu dibilang “berijtihad”.
Selain itu, jika si
doktor itu membaca kembali diskursus tentang “keselamatan” di kalangan para
ulama ushuluddin, maka tidak perlu menulis kriteria seperti itu. “Kebenaran”
Islam dan “keselamatan” pemeluk agama Islam atau non-Islam adalah dua masalah
yang berbeda.
Dalam diskusi tentang “fathrah”, hal ini banyak dibahas.
Tetapi, sejak dulu, para ulama Islam tidak pernah berbeda pendapat bahwa Islam
adalah satu-satunya agama yang benar. MUI sendiri, dalam fatwanya tentang
Pluralisme Agama, menegaskan, bahwa dalam masalah aqidah dan ibadah, umat Islam
wajib bersifat eksklusif.
Secara ilmiah, kategorisasi Islam
eksklusif-Islam Inklusif model dosen UIN Yogya itu kacau-balau. Kategorisasi ini
lebih bisa dimengerti dalam konteks proyek pesanan untuk melakukan stigmatisasi
terhadap kelompok atau orang Muslim tertentu yang tidak disukai oleh ‘sang donor
‘penelitiannya, sehingga diberikanlah cap-cap dan sifat negatif serta peyoratif
kepada kaum Muslim tertentu yang tidak disukainya.
Kita paham dengan
pola kajian Orientalis semacam ini. Sayangnya, mengapa ada ilmuwan dari kalangan
Muslim yang mau melakukan hal semacam ini, dengan imbalan duniawi yang sangat
murah – sekedar beberapa keping dolar dan gelar doktor.
Harusnya, para
cendekiawan yang mendapat kesempatan studi Islam di Barat memanfaatkan
kesempatan itu sebaik-baiknya untuk kepentingan Islam. Bukan malah sebaliknya,
terjebak dalam kerangka pikir Orientalisme untuk menghancurkan Islam.
Na’udzubillah. (Jakarta, 11 November 2005/hidayatullah.com).
Catatan
Akhir Pekan (CAP) Adian Husaini adalah kerjasama Radio Dakta 107 FM dan http://www.hidayatullah.com/
Jumat, 16 Maret 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar