Babak baru perkembangan liberalisme pemikiran adalah penghujatan Al-Qur'an.
Seorang dosen IAIN bahkan menulis "Edisi Kritis al-Quran."
Umat
Islam Indonesia sekarang memasuki babak baru yang sangat menentukan masa
depannya. Arus sekularisasi dan liberalisasi yang kini diusung dan
digelindingkan sendiri oleh sejumlah tokoh, kampus, dan organisasi Islam, telah
menemukan bentuknya yang mendekati apa yang terjadi di dunia Kristen. Gagasan
liberalisasi yang ratusan tahun lalu digelindingkan di dunia Yahudi dan Kristen
kini dipaksakan kepada Islam. Maka, apa yang selama ini tidak pernah terpikirkan
oleh umat Islam, sekarang sudah mulai harus dipikirkan. Salah satu isu
penting yang digelindingkan kaum liberal adalah masalah isu otentisitas
al-Quran.
Kaum Liberal – yang menganut paham pluralisme agama –
tampaknya tidak rela, kalau kaum Muslim masih saja mengklaim, hanya agamanya
saja yang benar, dan hanya Kitab Sucinya (al-Quran) saja yang benar. Sesuai
paham pluralisme agama, maka semua agama harus didudukkan pada posisi yang
sejajar, sederajat, tidak boleh ada yang mengklaim lebih tinggi, lebih benar,
atau paling benar sendiri. Begitu juga dengan pemahaman tentang Kitab Suci.
Tidak boleh ada kelompok agama yang mengklaim hanya kitab sucinya saja yang
suci.
Maka, proyek liberalisasi Islam tidak akan lengkap jika tidak
menyentuh aspek kesucian al-Quran. Mereka berusaha keras untuk meruntuhkan
keyakinan kaum Muslim, bahwa al-Quran adalah Kalamullah, bahwa al-Quran adalah
satu-satunya Kitab Suci yang suci, bebas dari kesalahan. Mereka mengabaikan
bukti-bukti al-Quran yang menjelaskan tentang otentisitas al-Quran, dan
kekeliruan dari kitab-kitab agama lain.
Kata seorang yang aktif menjadi
penyebar paham liberal di Indonesia: "Tapi, bagi saya, all scriptures are
miracles, semua kitab suci adalah mukjizat. (Jawa Pos, 11 Jan. 2004).
Jadi, orang tersebut tidak mau mengakui bahwa al-Quran adalah
satu-satunya Mukjizat yang masih tersisa di zaman akhir ini, yang dibawa oleh
Nabi Muhammad saw. Padahal, begitu banyak ayat al-Quran yang menjelaskan tentang
otentisitas al-Quran dan tindakan kaum Yahudi dan Kristen yang telah mengubah
kitab sucinya sendiri, sehingga menurut al-Quran, kitab suci mereka itu sekarang
menjadi tidak suci lagi. Misalnya, Allah SWT berfirman: "Sebagian dari
orang-orang Yahudi mengubah kalimat-kalimat dari tempatnya." (An Nisa:
46)
Juga firman-Nya: "Maka apakah kamu ingin sekali supaya mereka
beriman karena seruanmu, padahal sebagian mereka ada yang mendengar firman
Allah, lalu mengubahnya sesudah mereka memahaminya, sedangkan mereka
mengetahuinya." (al-Baqarah:75)
Dan firman-Nya: "Sungguh celakalah
orang-orang yang menulis al-kitab dengan tangan mereka, lalu mereka katakan:
"Ini adalah dari Allah." (mereka lakukan itu) untuk mencari keuntungan sedikit.
Sungguh celakalah mereka karena aktivitas mereka menulis kitab-kitab (yang
mereka katakan dari Allah itu), dan sungguh celakalah mereka akibat tindakan
mereka. (al-Baqarah:79)
Itulah penjelasan al-Quran tentang
kitab-kitab kaum Yahudi dan Kristen. Semestinya, sebagai orang yang mengaku
Muslim, tentu ayat-ayat al-Quran itu menjadi pegangan hidup dan pedoman
berpikirnya. Sebab, al-Quran adalah landasan utama keimanan seorang Muslim. Jika
tidak mau mengakui kebenaran al-Quran, untuk apa mengaku Muslim! Konsistensi
berpikir semacam ini sangat penting, sehingga tidak memunculkan kerancuan dan
ketidakjujuran dalam beragama. Bagi kaum Kristen yang percaya Injil, tentu akan
menolak al-Quran. Itu sudah normal dan wajar. Aneh, kalau seorang tetap mengaku
Kristen, tetapi pada saat yang sama juga mengaku percaya kepada kenabian
Muhammad saw dan kebenaran al-Quran.
Maka, adalah aneh dan keluar dari
logika normal, kalau ada yang mengaku Muslim tetapi mengingkari kesucian
al-Quran dan sekaligus juga mengimani kesucian kitab-kitab agama lain saat ini,
yang sudah jelas-jelas banyak bagiannya bertentangan dengan al-Quran. Apalagi
menyatakan bahwa semua kitab suci agama-agama lain adalah mukjizat. Sungguh
pernyataan yang tidak masuk akal. Apakah Kitab Suci aliran kebatinan Darmo
Gandul dan Gatholoco juga mukjizat?
Tetapi, rupanya, para penyebar dan
pengasong ide-ide liberalisme di kalangan kaum Muslim, tidak berhenti sampai di
situ. Mereka kini aktif menulis berbagai buku dan artikel yang mencoba
menggoyahkan keyakinan kaum Muslim terhadap kesucian al-Quran. Seorang dosen
Ulumul Quran di satu IAIN di Indonesia menulis satu makalah berjudul "Edisi
Kritis al-Quran", yang isinya menyatakan: "Uraian dalam paragraf-paragraf
berikut mencoba mengungkapkan secara ringkas proses pemantapan teks dan bacaan
al-Qur'an, sembari menegaskan bahwa proses tersebut masih meninggalkan sejumlah
masalah mendasar, baik dalam ortografi teks maupun pemilihan bacaannya, yang
kita warisi dalam mushaf tercetak dewasa ini. Karena itu, tulisan ini juga akan
menggagas bagaimana menyelesaikan itu lewat suatu upaya penyuntingan edisi
kritis al-Qur'an."
Jadi, si dosen itu ingin meyakinkan kepada kita,
bahwa al-Quran kita saat ini masih bermasalah, tidak kritis, sehingga perlu
diedit lagi. Dosen itu pun menulis sebuah buku serius berjudul "Rekonstruksi
Sejarah al-Qur'an" yang juga meragukan keabsahan dan kesempurnaan Mushaf
Utsmani. Dia tulis dalam bukunya (2005:379-381): "Terdapat berbagai laporan
tentang eksistensi bagian-bagian terhentu al-Quran yang tidak direkam secara
tertulis ke dalam mushaf oleh komisi Zayd, dan karena itu menggoyahkan
otentisitas serta integritas kodifikasi Utsman…Dengan demikian, pandangan dunia
tradisional telah melakukan sakralisasi terhadap suatu bentuk tulisan yang
lazimnya dipandang sebagai produk budaya manusia."
Jadi, sekali lagi,
penulis buku itu mencoba meyakinkan bahwa mushaf Utsmani masih bermasalah, dan
tidak layak disucikan. Yang ironis, buku ini diberi kata pengantar oleh Prof.
Dr. Quraish Shihab, tanpa memberikan kritik yang berarti. Dalam pengantarnya,
Quraish menulis, "Kasarnya, ada sejarah yang hilang untuk menjelaskan beberapa
ayat atau susunan ayat al-Quran dari surat al-Fatihah sampai surat al-Nas."
Penulis lain, seorang calon doktor dari satu Universitas di Australia
yang juga rajin mengasongkan paham liberalisme, menulis sebuah catatan:
"Sebagian besar kaum Muslim meyakini bahwa Al-Quran dari halaman pertama hingga
terakhir merupakan kata-kata Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad secara
verbatim, baik kata-katanya (lafdhan) maupun maknanya (ma'nan).
Keyakinan semacam itu sesungguhnya lebih merupakan formulasi dan
angan-angan teologis (al-khayal al-dini) yang dibuat oleh para ulama sebagai
bagian dari formalisasi doktrin-doktrin Islam."
Ada lagi sebuah tesis
master di Universitas Islam Negeri Yogyakarta (Dulu: IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta), yang secara terang-terangan juga menghujat Mushaf Utsmani. Tesis
itu sudah diterbitkan dalam sebuah buku berjudul: "Menggugat Otentisitas
Wahyu Tuhan", dan diberi kata pengantar dua orang doctor dalam bidang studi
Islam, dosen di pascasarjana UIN Yogyakarta. Di dalam buku ini, misalnya, kita
bisa menikmati hujatan terhadap al-Quran seperti kata-kata berikut
ini:
"Setelah kita kembalikan wacana Islam Arab ke dalam dunianya dan
melepaskan diri kita dari hegemoni budaya Arab, kini saatnya, kita melakukan
upaya pencarian pesan Tuhan yang terperangkap dalam Mushaf Utsmani, dengan suatu
metode dan pendekatan baru yang lebih kreatif dan produktif. Tanpa menegasikan
besarnya peran yang dimainkan Mushaf Utsmani dalam mentransformasikan pesan
Tuhan, kita terlebih dulu menempatkan Mushaf Utsmani itu setara dengan teks-teks
lain. Dengan kata lain, Mushaf itu tidak sacral dan absolute, melainkan profan
dan fleksibel. Yang sakral dan absolut hanyalah pesan Tuhan yang terdapat di
dalamnya, yang masih dalam proses pencarian. Karena itu, kini kita
diperkekenankan bermain-main dengan Mushaf tersebut, tanpa ada beban sedikitpun,
beban sakralitas yang melingkupi perasaan dan pikiran kita."
Fenomena
menghujat al-Quran seperti dilakukan oleh para sarjana dari kalangan Muslim
semacam ini adalah fenomena baru dalam sejarah Islam Indonesia. Selama 350 tahun
dijajah Belanda, fenomena semacam ini tidak pernah ada. Hal semacam ini sudah
begitu lumrah dalam tradisi Kristen. Kritik terhadap Bibel sudah menjadi hal
biasa. Mereka sudah mengembangkan satu bidang ilmu yang dikenal dengan nama
"Biblical Criticism".
Tradisi Kristen semacam ini sekarang dibawa masuk
ke dalam tradisi Islam oleh orang-orang dari kalangan Muslim sendiri, yang
terpengaruh oleh tradisi Kristen. Jika kita simak sebuah buku berjudul
"Penafsiran Alkitab dalam Gereja: Komisi Kitab Suci Kepausan" (Yogyakarta:
Kanisius, 2003), tampak bagaimana pengaruh studi Bibel telah merasuk ke dalam
studi al-Quran di perguruan-perguruan tinggi Islam di Indonesia.
Para
penyerang al-Quran sebenarnya hanya menjiplak ide-ide dan bukti-bukti yang
disodorkan oleh para orientalis Yahudi dan Kristen. Bisa jadi, mereka juga
mengambil fakta-fakta yang telah ditulis oleh para ulama Muslim. Tetapi,
dianalisis dalam perspektif sesuai kepentingan orientalis. Jauh sebelumnya, pada
tahun 1927, Alphonse Mingana, pendeta Kristen asal Iraq dan guru besar di
Universitas Birmingham Inggris, sudah mengimbau bahwa "sudah tiba saatnya
sekarang untuk melakukan kritik teks terhadap al-Qur’an sebagaimana telah kita
lakukan terhadap kitab suci Yahudi yang berbahasa Ibrani-Arami dan kitab suci
Kristen yang berbahasa Yunani (The time has surely come to subject the text of
the Kur’an to the same criticism as that to which we subject the Hebrew and
Aramaic of the Jewish Bible, and the Greek of the Christian
scriptures)."
Imbauan pendeta Kristen dan tokoh studi Islam itulah yang
kini diikuti oleh begitu banyak sarjana dari kalangan Muslim. Fenomena
penyerangan terhadap al-Quran ini harusnya menjadi perhatian paling serius oleh
para ulama dan cendekiawan Muslim. Ini adalah bentuk kemungkaran yang sangat
besar. Sebab, mereka telah membongkar satu asas keyakinan kaum Muslim yang
paling asas, yaitu tentang kesucian al-Quran. Mungkin para penghujat al-Quran
itu sedang khilaf. Mungkin ia merasa menemukan sesuatu yang hebat sehingga
merasa dirinya lebih hebat dari para Imam dan ulama Islam terkemuka. Mungkin
juga mereka sekedar iseng, karena motif-motif tertentu. Atau, mungkin juga ia
merasa menemukan kebenaran.
Terlepas dari semua itu, buku-buku atau
artikel yang mereka terbitkan, tidak boleh dibiarkan begitu saja. Cendekiawan
muslim wajib menjawabnya dengan cara-cara ilmiah yang lebih baik dari
karya-karya mereka. Tentu saja ini bukan tugas yang ringan, dan memerlukan biaya
yang sangat besar. Sebab, harus mengumpulkan literatur-literatur yang sangat
banyak. Sayangnya, dalam Kongres Umat Islam yang baru lalu, masalah ini tidak
disentuh. Padahal, masalah ini jauh lebih serius daripada masalah bencana alam,
pornografi, dan sebagainya. Bukankah Rasulullah saw sudah berpesan, jika kita
melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangan, lisan, atau hati. Yang menjadi
problem besar saat ini adalah ketika para cendekiawan Muslim sendiri tidak
paham, bahwa saat ini telah terjadi kemungkaran yang besar semacam ini. Wallahu
a’lam. (Jakarta, 29 April 2005/Hidayatullah.com).
Sabtu, 10 Maret 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar