Pages

Sabtu, 10 Maret 2012

Islamophobia LSM Perempuan terhadap Formalitas Syariat Islam

Menggembirakan sekaligus menyedihkan. Di satu sisi LSM perempuan kian berkembang dan semakin kritis. Di sisi lain, mereka kebablasan dalam mengekspresikan sikap demokrasinya. Ketika formalisasi Syariat Islam diterapkan secara tidak arif, LSM perempuan langsung mencap "Islam" sebagai sumber masalah. Ujung-ujungnya penolakan Syariat Islam.

sungguh mengejutkan, ketika empat pembicara - semuanya perempuan - yang hadir dalam Seminar Nasional di Jakarta mengurai pelbagai persoalan formalisasi Syariat Islam di daerahnya masing-masing. Busana muslimah dan jilbab yang mereka pakai, memberi kesan religius yang mendalam bahwa mereka menjalankan syariat agamanya dengan baik. Namun, tak dinyana di balik kemasan religiusnya, mereka begitu antipati terhadap Islam. :foto

Lihat saja, bentuk protes yang mereka lakukan seperti mengada-ngada. Entah, mereka terlalu pintar atau sedang mengemban misi tertentu yang bisa jadi pesanan pihak lain. Karenanya, bukan rahasia umum lagi, jika selama ini banyak LSM yang bermunculan didanai oleh jaringan internasional. Sebut saja seperti Asia Foundation, yakni lembaga nonprofit asal Amerika Serikat yang selama ini dikenal sebagai penyuplai dana bagi penerbitan tertentu atau LSM-LSM, termasuk LSM perempuan.

Melihat gerakan "penghancuran" ala Asia Foundation" yang sedemikian halus, hampir tak bisa dibedakan, antara membantu atau mengobok-obok harga diri sebuah bangsa. Pelbagai cara dilakukan gerakan ini untuk melemahkan akidah dan menjungkirbalikkan pemikiran (ghazwa al-fikr) kaum perempuan (muslimah), bukan hanya di kota-kota besar, tapi juga di daerah-daerah yang miskin dengan penerangan.

Sejumlah fenemona dan realitas yang terjadi di masyarakat pun diangkat. Ketika yang muncul praktik "pelanggaran HAM" menurut kaca mata mereka, lantas dibuatlah satu kesimpulan, bahwa ajaran agama ternyata hanya mendiskreditkan kaum perempuan. Agama (Islam) difitnah dan dianggap sebagai sumber masalah. Padahal yang seharusnya dikritisi bukan faktor Islamnya, melainkan individu atau kelompok tertentu yang tak arif dan kaku dalam menerapkan formalisasi Syariat Islam.


Pandangan Feminin Radikal


Apa yang diuraikan dalam Seminar Nasional "Perempuan dalam Arus Formalisasi Syariat Islam ( Belajar dari Tasikmalaya, Garut, Cianjur, dan Banten )" beberapa waktu lalu, tak lain adalah doktrin dan propaganda ngawur LSM Perempuan terhadap masyarakat, dalam hal ini Rahima selaku penyelenggara.

Menurutnya, penerapan syariat Islam di Indonesia pada dasarnya adalah persoalan klasik menyangkut hubungan agama dan politik yang tidak pernah tuntas di negeri ini. "Sejarah mencatat bahwa di semua negara yang menerapkan syariat Islam, hampir selalu diawali dengan kontrol terhadap perempuan. Hal ini dikarenakan bahwa dalam masyarakat Muslim, isu seksualitas kerapkali menjadi isu publik bahkan isu politik. Kebanyakan wacana Islam yang berkembang selalu terobsesi oleh seksualitas perempuan, terutama bagaimana mengatur dan mengontrolnya."

Ungkapnya lagi, "Sebenarnya yang menonjol di permukaan bukanlah "formalisasi Syariat" melainkan 'formalisasi fikih'. Hal ini karena dalam implementasinya, formalisasi syariat justru mengabaikan ajaran yang memuat sejumlah nilai keadilan, kedamaian, keadaban dan kesetaraan."

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Rahima, ada dua persoalan besar yang dihadapi oleh gerakan perempuan di tengah merebaknya upaya formalisasi Syariat Islam di berbagai daerah. Pertama, upaya formalisasi telah memunculkan agenda berupa penyusunan berbagai produk kebijakan lokal yang kurang ramah pada perempuan dengan pemahaman-pemahaman yang bersifat normatif dan tekstualis.

Kedua, pemahaman tekstualis dan penafsiran keagamaan yang bersifat tekstualis itu tidak hanya berada pada wilayah formal (negara) tetapi juga menjadi pegangan sebagian besar tokoh masyarakat di jalur kultural (ulama) yang masili bercorak patriarki. "Oleh karena itu tugas untuk memperkenalkan spirit nilai Islam seperti keadilan, kedamaian, keadaban, dan kesetaraan jauh lebih penting. Syariat Islam perlu diperkenalkan tidak melulu dalam konteks legal formalnya, akan tetapi justru pada nilai-nilai universal yang dibawanya. Dengan pemahaman ini, tampilan wajah Islam yang sangar bisa diubah dengan memperkenalkan esensi Islam sebagai rahmatan lil'alamin."

Syariat Islam, lanjutnya, bukanlah harus selalu berisi kisah-kisah peminggiran hak-hak perempuan. Akan lebih baik kalau semua pihak turut mendukung upaya memperkenalkan hak-hak perempuan dalam Islam. Kita berharap tak ada lagi nantinya teks-teks yang dipakai untuk "merendahkan sesama manusia" dengan baju agama.

Syariat Islam Digugat


Mengapa Tasikmalaya, Garut, Cianjur, dan Banten yang diangkat sebagai objek yang digugat? Karena di keempat wilayah inilah formalisasi Syariat Islam, tak lagi sekedar wacana, tapi direalisasikan.

Di Kabupaten Tasikmalaya umpamanya, LSM Perempuan mempersoalkan Surat Edaran bupati no. 451/SE/04/SOS/2001 tentang upaya peningkatan kualitas keimanan dan ketakwaan. Terutama pada klausul "dianjurkan kepada siswi SD, SLTR SMU/SMK, Lembaga Pendidikan Kursus dan Perguruan Tinggi yang beragama Islam untuk mengenakan pakaian seragam sesuai dengan ketentuan menutup aurat. Prakteknya diakui sebagai kewajiban memakai jilbab. Persoalan ini dianggap kebijakan yang diskriminatif pada kaum perempuan.

Belum lagi, awal tahun 2000-an, pernah terjadi aksi sepiriak dari kelompok "Islam Politik", yakni melakukan sweeping terhadap tempat-tempat hiburan dan razia pekerja seks. Tindakan itu dilakukan atas dua alasan, yakni (1) sejak Perda No. 3 Tahun 2001 ditetapkan, berarti pula telah disahkan Kabupaten memberlakukan Syariat Islam, dan (2) tidak munculnya tokoh-tokoh agama yang moderat, padahal mayoritas jumlahnya.

Menyikapi hal tersebut, muncul beberapa civil society untuk melakukan counter terhadap kebijakan pemda setempat sekaligus penguatan terhadap hak-hak perempuan di Tasikmalaya. Sebut saja seperti ASPER (Aspirasi Perempuan), Cerdas, Nahdina, LKHaM (Lingkar Kajian Agama dan HakAsasi Manusia), PMII dan KOHATI.

Tak berbeda dengan di Garut. Mereka mempersoalkan Surat Edaran Bupati tentang himbauan memakai busana Muslimah bagi seluruh karyawati Pemda Garut Begitu juga dengan Perda No. 6 tahun 2000 tentang kesusilaan. Perda ini sering digunakan untuk sweeping terhadap pekerja seks perempuan dan pembakaran warung-warung yang diindikasikan tempat berkumpulnya lelaki pencari PSK (Pekerja Seks Komersial).

Bagaimana dengan Cianjur? Sama-sama tidak realistisnya. Mereka mempersoalkan Surat Edaran N0.451/277/ASSDA, tanggal 6 September 2001 tentang persiapan Gerakan aparatiir yang berakhlakul karimah dan Gerakan Masyarakat Marhamah. Menurutnya, Gerbang Marhamah telah membidani lahirnya kebijakan yang tidak berpihak pada perempuan, seperti Surat Edaran No. 025/4643/Org yang ditegaskan dengan Surat Edaran 061/2896/Org tertanggal 29 Agustus 2003.

Aturan berjilbab juga diberlakukan bagi siswi dan guru perempuan oleh Kepala Sekolah SMUN 1 Cianjur. Keputusan LPPI (Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Islam) melalui Garis-garis Besar Penyuluhan Gerbang Marhamah, dianggap sebagai suatu kebenaran mutlak atas legitimasi agama dan bila tidak dilaksanakan menjadi dosa. Tentu saja, ini kontra-produktif bagi pemahaman Islam kontekstual, khususnya bagi kaum perempuan.

Gerbang Marhamah lebih berorientasi pada pembinaan akhlakul karimah sebagai prinsip-prinsipnya melalui program keluarga sakinah, aparat yang berakhlakul karimah dan masyarakat marhamah. Akan tetapi, sosialisasi yang dilakukan oleh LPPI dalam buku-buku yang diterbitkannya sebagai panduan bagi PSK, menurutnya merupakan bentuk intervensi negara terhadap kehidupan privat masyarakat Cianjur yang bias gender seperti dalam panduan keluarga sakinah, misalnya : Perempuan shalihah adalah perempuan yang taat kepada suami dan apabila keluar rumah harus didampingi oleh muhrimnya.

Di Banten sama halnya. Mereka menilai pelaksanaaan Syariat Islam di Banten belum membuahkan hasil, karena belum adanya kesepakatan masyarakat dalam format syariat Islam, Pefsoalan yang dihadapi perempuan Banten, antara lain, kaum perempuan Banten kurang berani untuk keluar dari kungkungan tradisi atau kultur, sekalipun dalam realitasnya merugikan dirinya sendiri, apalagi mengatasnamakan agama, seperti totalitas taat kepada suami, banyak anak banyak rezeki, syahid bila mati akibat melahirkan, rela dipoligami, di rumah saja dari sebagainya

Budaya patriarki juga masih kental dan menghegemoni masyarakat Banten, lebih menekankan kewajiban ketimbang memperhatikan hak-hak perempuan. Pengetahuan perempuan Banten masih sangat minim terhadap masalah keadilan gender. Belum lagi penafsiran atau pemahaman yang keliru (bias gender) terhadap teks-teks keagamaan (Al Quran, Hadis, naskah-naskah fiqri), kekerasan terhadap perempuan baik sektor privat maupun masyarakat. Poligami difahami sebagai perintah atau Sunnan Rasul yang sebaiknya dilaksanakan. Bahkan ada ungkapan, "bila ingin menikah dengan kiai ataupun santri maka harus siap dimadu", Maraknya praktek nikah siri, pernikahan dini, tingginya angka kematian ibu, TKW bermasalah, hingga PHK terselubung

Evaluasi Penerapan Syariat Islam


Islam adalah solusi. Tinggal bagaimana menerapkannya secara adil, baik dan benar. Harus diakui penerapan formalisasi Syariat Islam di empat wilayah tersebut masih terbilang kaku dan kurang arif. Sebab itu, kita juga tidak setuju, bila praktik Syariat Islam kemudian menzalimi perempuan. Misalnya saja, peristiwa penggundulan terhadap PSK dan penelanjangan terhadap karyawati yang didapati mencuri.

Kita juga tidak setuju, bila penegak syariat Islam cuma sebatas sweeping dan membakar warung remang-remang tanpa solusi. Setidaknya harus ada upaya untuk mengevalusi penerapan syariat Islam untuk menjadi lebih baik. Misalnya saja, Pemda perlu melibatkan Ormas atau LSM perempuan dalam proses pengambilan kebijakan. Namun, akan menjadi anen bila LSM perempuan menilai niat baik pemda setempat agar kaum perempuan mengenakan jilbab sebagai bentuk kebijakan yang memaksa. Adalah mengada-ada, gugatan terhadap kasus pembubaran lokalisasi secara legal, karena mengakibatkan PSK berceceran di banyak tempat, sehingga tak sedikit orang yang terkena HIV.

Doktrin ngawur itu nampaknya berhasil menghancurkan akal sehat kaum perempuan. Sampai-sampai ada pertanyaan sekaligus statemen nyeleneh dari salah seorang dari LSM perempuan: bagaimana kalau kita sebaiknya mengakui keberadaan PSK, karena mereka secara ekonomi menjadi lebih baik dari sebelumnya. Masya Allah, naudzu billahi min dzalik! (amanahonline)

Adhes SS

0 komentar:

Posting Komentar