Pages

Jumat, 16 Maret 2012

Bukan Salah FPI, Di Mana Peran Negara?

Penolakan terhadap kegiatan ormas Front Pembela Islam (FPI) belakangan terus mengalir di masyarakat. Sepanjang Februari tercatat, ada beberapa kejadian penolakan terhadap FPI. Pertama, sekelompok masyarakat Dayak, Kalimantan Tengah secara terang-terangan menolak deklarasi FPI Kalimantan Tengah. Kedua, penolakan sejumlah massa “Indonesia Damai Tanpa FPI” yang menggelar demonstrasi di Bunderan Hotel Indonesia. Mereka menyatakan, Indonesia tanpa FPI akan lebih aman. Dalam pandangan mereka FPI sudah meresahkan masyarakat. Untuk itu, sepantasnya FPI dibubarkan karena banyak melanggar hukum dan bertindak seenaknya. Terakhir, Menteri Dalam Negeri menyerukan lampu hijau pembubaran ormas anarkis dan siap mempertmbangkan menarik berkas pendaftaran FPI.
Masyarakat boleh saja menilai FPI brutal, kasar dan banyak melanggar aturan hukum. Tapi kita juga sepantasnya menyadari aksi kekerasan FPI tidak terlepas dari lemahnya peran negara. Sebab selama ini negara gagal mengambil peran menyelesaikan persoalan FPI. Ketika sekarang negara bersikeras mendorong pembubaran FPI. Penulis merasa heran dan ingin bertanya kepada penguasa dan penegak hukum negeri ini.
Pertama jika mempertanyakan aksi FPI banyak melawan aturan hukum. Logika hukum apa yang dipakai? Banyak aksi FPI selama ini adalah bentuk kekecewaan umat Islam akibat masih merebaknya peredaran miras, narkoba dan tempat hiburan malam.
Kehadiran aksi FPI banyak mengarah kepada bagaimana syariat Islam tegak. Ketika banyak pihak menuduh jalan yang dipilih FPI adalah kekerasan, tuduhan itu sebenarnya dapat terbantahkan. Sebab faktanya sebelum melaksanakan aksi, FPI sudah mengirim surat pemberitahuan dan teguran lebih dulu. Sebaliknya, penulis mempertanyakan dimana peran penegak hukum mengatasi berbagai penyakit moral tersebut?
Kedua, mengapa kasus FPI ramai diperbincangkan ketika perhatian masyarakat mengarah kepada kasus korupsi yang membelit partai penguasa. Kecurigaan ini bukan tanpa alasan, Kementerian Dalam Negeri sebagai perwakilan suara pemerintah terkesan menjadikan isu FPI sebagai alat politis untuk dua kepentingan.
Pertama mengalihkan isu korupsi Wisma Atlet yang membelit elit Demokrat seperti Nazaruddin, Anas Urbaningrum dan Angelina Sondakh. Kedua, menjadikan serangan terhadap FPI untuk menjelekkan Islam di Indonesia. Apalagi belakangan pemerintah dipandang masyarakat sudah gagal total menjalankan prinsip kerukunan antar agama di tanah air menyusul adanya bentrokan GKI Yasmin dan kerusuhan berbau Sara di Sidomulyo, Lampung Selatan.
Ketiga, adanya upaya diskriminatif pemerintah terhadap eksistensi ormas Islam khususnya FPI. Belakangan ini banyak kelompok masyarakat meminta pemerintah bertindak tegas terhadap Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Ilegal seperti Greenpeace. Mereka menilai, Greenpeace sebagai bagian konspirasi asing menghancurkan Indonesia. Apalagi diketahui, sumbangan dana Greenpeace banyak bersumber dari negara Barat seperti Belanda dan Inggris. Kemarahan masyarakat semakin bertambah dimana Belanda seenaknya membuang limbah beracun ke Indonesia.
Pembuangan limbah beracun itu sendiri tidak diprotes Greenpeace sehingga kecurigaan masyarakat semakin besar terhadap LSM asing tersebut. Merespons itu, pemerintah belum berani mengeluarkan sikap membekukan dan mengusir Greenpeace dari Indonesia. Jika FPI dinilai ormas anarkis mau dibubarkan, sebaiknya pemerintah membubarkan dan mengusir dulu Greenpeace yang jelas merusak kepentingan nasional dan merugikan negara.
Menyadarkan FPI
Selama ini FPI mengklaim sebagai gerakan yang mengusung amar maruf nahi mungkar. Sebuah gerakan yang dicita-citakan ideal dalam menegakkan syariat Islam di Indonesia. Tapi ironisnya dalam praktek lapangan eksistensi FPI sering identik dengan aksi anarkis. Tidak heran banyak kalangan menolak FPI yang dianggap model dakwahnya tidak sesuai dengan Islam di Indonesia. Apalagi FPI banyak menyerang sosok sentral dalam industri gelap (peredaran miras, narkoba, preman dan tempat hiburan malam) di Indonesia sehingga banyak dibenci kalangan pelaku maksiat.
Akibat aksi FPI yang dianggap menganggu kepentingan industri hiburan malam membuat FPI sering mengalami pembusukan citra. Tapi sesungguhnya, bukan hanya kalangan pelaku maksiat yang merasa terusik. Ada dugaan keterlibatan kelompok liberal sekuler (Jaringan Islam Liberal/JIL) yeng bergerak senyap di balik adanya aksi pembubaran FPI. Apalagi jamak diketahui, organisasi yang sering melemparkan pernyataan meresehkan ini sering merusak pemikiran muslim Indonesia. Mereka sangat berkepentingan menyerukan agenda liberalisasi barat termasuk upaya mendiskreditkan umat Islam.
Dalam merespons pembubaran FPI, tentu bukan sebuah pilihan bijak ketika terus menerus menyalahkan FPI tanpa berusaha memberikan nasehat yang baik. Rasulullah SAW mengatakan agama itu nasehat. Untuk itu alangkah lebih bijak mendahulukan upaya persuasif terhadap segala sepak terjang FPI yang dianggap melawan hukum dan mengganggu ketertiban umum. Kegiatan memberikan nasehat adalah salah satu upaya menyadarkan FPI agar mau merubah pola dakwahnya. FPI juga diminta menerima dengan lapang dada segala masukan dari berbagai pihak.
Kedua, perlu ada perlakuan adil pemerintah terhadap eksistensi ormas Islam. Jika mereka bertindak anarkis, pemakaian jalur hukum adalah penyelesaian yang bijak. Apalagi Indonesia menegaskan hukum sebagai panglima. Maka ketika FPI dianggap melanggar hukum, biarlah mekanisme hukum yang menyelesaikan. Jangan pernah diseret ke jalur politis yang berdampak pada pembusukan citra ormas Islam di tanah air.

0 komentar:

Posting Komentar