Penolakan terhadap kegiatan ormas Front Pembela Islam (FPI)
belakangan terus mengalir di masyarakat. Sepanjang Februari tercatat,
ada beberapa kejadian penolakan terhadap FPI. Pertama, sekelompok
masyarakat Dayak, Kalimantan Tengah secara terang-terangan menolak
deklarasi FPI Kalimantan Tengah. Kedua, penolakan sejumlah massa
“Indonesia Damai Tanpa FPI” yang menggelar demonstrasi di Bunderan Hotel
Indonesia. Mereka menyatakan, Indonesia tanpa FPI akan lebih aman.
Dalam pandangan mereka FPI sudah meresahkan masyarakat. Untuk itu,
sepantasnya FPI dibubarkan karena banyak melanggar hukum dan bertindak
seenaknya. Terakhir, Menteri Dalam Negeri menyerukan lampu hijau
pembubaran ormas anarkis dan siap mempertmbangkan menarik berkas
pendaftaran FPI.
Masyarakat boleh saja menilai FPI brutal, kasar dan banyak melanggar
aturan hukum. Tapi kita juga sepantasnya menyadari aksi kekerasan FPI
tidak terlepas dari lemahnya peran negara. Sebab selama ini negara gagal
mengambil peran menyelesaikan persoalan FPI. Ketika sekarang negara
bersikeras mendorong pembubaran FPI. Penulis merasa heran dan ingin
bertanya kepada penguasa dan penegak hukum negeri ini.
Pertama jika mempertanyakan aksi FPI banyak melawan aturan hukum.
Logika hukum apa yang dipakai? Banyak aksi FPI selama ini adalah bentuk
kekecewaan umat Islam akibat masih merebaknya peredaran miras, narkoba
dan tempat hiburan malam.
Kehadiran aksi FPI banyak mengarah kepada bagaimana syariat Islam
tegak. Ketika banyak pihak menuduh jalan yang dipilih FPI adalah
kekerasan, tuduhan itu sebenarnya dapat terbantahkan. Sebab faktanya
sebelum melaksanakan aksi, FPI sudah mengirim surat pemberitahuan dan
teguran lebih dulu. Sebaliknya, penulis mempertanyakan dimana peran
penegak hukum mengatasi berbagai penyakit moral tersebut?
Kedua, mengapa kasus FPI ramai diperbincangkan ketika perhatian
masyarakat mengarah kepada kasus korupsi yang membelit partai penguasa.
Kecurigaan ini bukan tanpa alasan, Kementerian Dalam Negeri sebagai
perwakilan suara pemerintah terkesan menjadikan isu FPI sebagai alat
politis untuk dua kepentingan.
Pertama mengalihkan isu korupsi Wisma Atlet yang membelit elit
Demokrat seperti Nazaruddin, Anas Urbaningrum dan Angelina Sondakh.
Kedua, menjadikan serangan terhadap FPI untuk menjelekkan Islam di
Indonesia. Apalagi belakangan pemerintah dipandang masyarakat sudah
gagal total menjalankan prinsip kerukunan antar agama di tanah air
menyusul adanya bentrokan GKI Yasmin dan kerusuhan berbau Sara di
Sidomulyo, Lampung Selatan.
Ketiga, adanya upaya diskriminatif pemerintah terhadap eksistensi
ormas Islam khususnya FPI. Belakangan ini banyak kelompok masyarakat
meminta pemerintah bertindak tegas terhadap Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM) Ilegal seperti Greenpeace. Mereka menilai, Greenpeace sebagai
bagian konspirasi asing menghancurkan Indonesia. Apalagi diketahui,
sumbangan dana Greenpeace banyak bersumber dari negara Barat seperti
Belanda dan Inggris. Kemarahan masyarakat semakin bertambah dimana
Belanda seenaknya membuang limbah beracun ke Indonesia.
Pembuangan limbah beracun itu sendiri tidak diprotes Greenpeace
sehingga kecurigaan masyarakat semakin besar terhadap LSM asing
tersebut. Merespons itu, pemerintah belum berani mengeluarkan sikap
membekukan dan mengusir Greenpeace dari Indonesia. Jika FPI dinilai
ormas anarkis mau dibubarkan, sebaiknya pemerintah membubarkan dan
mengusir dulu Greenpeace yang jelas merusak kepentingan nasional dan
merugikan negara.
Menyadarkan FPI
Selama ini FPI mengklaim sebagai gerakan yang mengusung amar maruf
nahi mungkar. Sebuah gerakan yang dicita-citakan ideal dalam menegakkan
syariat Islam di Indonesia. Tapi ironisnya dalam praktek lapangan
eksistensi FPI sering identik dengan aksi anarkis. Tidak heran banyak
kalangan menolak FPI yang dianggap model dakwahnya tidak sesuai dengan
Islam di Indonesia. Apalagi FPI banyak menyerang sosok sentral dalam
industri gelap (peredaran miras, narkoba, preman dan tempat hiburan
malam) di Indonesia sehingga banyak dibenci kalangan pelaku maksiat.
Akibat aksi FPI yang dianggap menganggu kepentingan industri hiburan
malam membuat FPI sering mengalami pembusukan citra. Tapi sesungguhnya,
bukan hanya kalangan pelaku maksiat yang merasa terusik. Ada dugaan
keterlibatan kelompok liberal sekuler (Jaringan Islam Liberal/JIL) yeng
bergerak senyap di balik adanya aksi pembubaran FPI. Apalagi jamak
diketahui, organisasi yang sering melemparkan pernyataan meresehkan ini
sering merusak pemikiran muslim Indonesia. Mereka sangat berkepentingan
menyerukan agenda liberalisasi barat termasuk upaya mendiskreditkan umat
Islam.
Dalam merespons pembubaran FPI, tentu bukan sebuah pilihan bijak
ketika terus menerus menyalahkan FPI tanpa berusaha memberikan nasehat
yang baik. Rasulullah SAW mengatakan agama itu nasehat. Untuk itu
alangkah lebih bijak mendahulukan upaya persuasif terhadap segala sepak
terjang FPI yang dianggap melawan hukum dan mengganggu ketertiban umum.
Kegiatan memberikan nasehat adalah salah satu upaya menyadarkan FPI agar
mau merubah pola dakwahnya. FPI juga diminta menerima dengan lapang
dada segala masukan dari berbagai pihak.
Kedua, perlu ada perlakuan adil pemerintah terhadap eksistensi ormas
Islam. Jika mereka bertindak anarkis, pemakaian jalur hukum adalah
penyelesaian yang bijak. Apalagi Indonesia menegaskan hukum sebagai
panglima. Maka ketika FPI dianggap melanggar hukum, biarlah mekanisme
hukum yang menyelesaikan. Jangan pernah diseret ke jalur politis yang
berdampak pada pembusukan citra ormas Islam di tanah air.
Jumat, 16 Maret 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar