Kepedihan kembali menimpa bangsa ini. Rentetan peristiwa yang terjadi
di Indonesia membuat hati kita semakin masgyul: Kesenjangan sosial yang
melebar, mandulnya penegakan hukum, tingginya angka kriminalitas,
sampai siaran televisi yang acap menyudutkan Islam.
Ini diiringi dengan musibah jatuhnya puluhan korban dalam rentetan
kecelakaan. Pelaku korupsi yang masih bebas menggerogoti uang rakyat dan
tidak adanya langkah kongkrit dari pemimpin negara. Hampir-hampir
rakyat putus asa menjalani beban hidup di rezim saat ini. Sengkarut
Republik ini juga dihantam badai korupsi yang menggila.
Mari simak: Dalam rentang delapan tahun, hutang negeri ini meningkat
tajam. Tahun 2004 hutang Indonesia tercatat Rp 1.299,5 triliun. Tahun
2011 naik menjadi Rp 1.803,5 triliun, tahun 2012 diprediksi tembus di
level RP 1.900 triliun! Logikanya, jika hutang kian besar seharusnya
rakyat menjadi makmur. Tapi, apa yang terjadi?
Data yang dilansir Indonesia Corruption Watch, 05 Februari 2012,
menyebut sepanjang tahun 2011 terjadi 436 kasus korupsi dengan jumlah
tersangka 1.053 orang. Kebanyakan pelaku korupsi memiliki latar belakang
PNS. Ironis!
Ironisnya lagi, besarnya hutang justru diimbangi naiknya angka
kemiskinan di Tanah Air. Pemerintah memang mengklaim kemiskinan turun
satu juta jiwa per Maret 2011. Faktanya, saat ini begitu mudah kita
menemui si miskin. Bahkan, dalam tiga tahun terakhir Asian Development
Bank (ADB) mencatat orang miskin di Indonesia bertambah 2,7 juta orang.
Data ini dirilis 2011.
Menurut data itu, tahun 2008 angka kemiskinan di Indonesia mencapai
40,4 juta jiwa. Tahun 2010 melonjak 43,1 juta jiwa. Artinya, orang
miskin di negeri ini jauh lebih banyak dibanding data yang diklaim
pemerintah. Apalagi jika dihitung jumlah si miskin yang tidak terdata
secara resmi.
Tak heran bila tahun 2010 Indonesia menjadi negara terkorup di Asia.
Menurut ICW, semester I tahun 2010 korupsi meningkat 50 % dibanding
periode yang sama tahun sebelumnya. Masih menurut data itu, korupsi
kakap yang nilainya triliunan rupiah mandeg di kepolisian.
Di tengah hutang negara menumpuk, tingginya kemiskinan, penanganan
korupsi yang buram; negeri ini juga dilanda krisis keadilan. Penegakan
hukum kental nuansa tebang pilih. Apalagi Mahkamah Agung belum lama ini
memvonis bersalah Nenek Rasminah.
Wanita renta itu dituding mencuri enam piring milik majikannya.
Rasminah divonis empat bulan 10 hari. Padahal, sebelumnya Pengadilan
Negeri Tangerang memvonis bebas. Simak juga kasus Nenek Minah. Tahun
2009 ia divonis satu bulan 15 hari lantaran mencuri tiga buah kakao yang
hanya senilai Rp2.100.
Lalu, pencurian sandal yang dituduhkan pada seorang pelajar. Ia
divonis bersalah meski dikembalikan ke orangtuanya. Kasus-kasus ini
menggegerkan publik, termasuk ketidakadilan lain yang menimpa masyarakat
kelas bawah.
Jauh berbeda dengan kasus Century, Lapindo, Rekening Gendut Polisi,
dan kasus kakap lainnya; yang sampai saat ini belum ditindaklanjuti
secara serius. Penegakan hukum juga kental membela para “teroris
koruptor” yang divonis ringan, lalu mendapat remisi dan bebas. Ada pula
yang langsung divonis tidak bersalah atau justru belum tersentuh hukum.
Begitu pula dengan kasus yang mendera pejabat partai penguasa.
Angelina Sondakh, Wakil Sekjen Partai Demokrat yang sudah ditetapkan
sebagai tersangka dalam perkara wisma atlet, tapi tak sampai dua pekan
dari penetapannya itu, ia malah ingin dirotasi di Komisi III (Hukum)
yang bersentuhan langsung dengan KPK. Lalu, ada rencana dipindah lagi ke
Komisi VIII (Agama). Sungguh, hal ini telah melecehkan akal sehat dan
hati rakyat.
Di antara sekngkarut kondisi bangsa, pemerintah justru menghambur
uang rakyat. Sebut saja, biaya renovasi istana yang menelan Rp 22,5
miliar. Bahkan dana pembangunan, pengembangan, renovasi serta bangunan
dan barang milik negara di lingkungan Sekretariat Presiden dan
Kemensetneg pada tahun anggaran 2012 mencapai 72, 852 miliar. Pemerintah
juga membeli pesawat kepresidenan jenis Boeing Business Jet seharga
Rp526 miliar.
Ironinya, DPR yang seharusnya mengawasi pemerintah seolah tak mau
kalah. DPR ikut melakukan pemborosan yang sulit dinalar logika.
Misalnya, renovasi toilet sebesar Rp 2 miliar, pembelian mesin fotocopy
seharga Rp 4 miliar, pembelian Toyota Camry seharga Rp 470 juta,
pembangunan lapangan futsal di rumah Jabatan DPR Kalibata Rp 2 miliar,
pembangunan ruang Banggar DPR sebesar Rp 20 miliar; meski furniture
impor diganti dengan lokal.
Ditambah masih mengeluhkan urusan snack yang disediakan dalam rapat
sidang DPR; padahal bukankah urusan negeri masih setumpuk? Mereka juga
membiarkan anggotanya yang terganjal hukum tetap aktif bekerja.
Di lain pihak, anggaran DKI Rp 36 triliun setahun, tidak banyak
merubah kondisi curat marut kemacetan dan perbaikan Ibu Kota. Uang-uang
rakyat yang diperas dari hasil keringat masyarakat, hasilnya tak banyak
dinikmati rakyat. Miris.
Berselancar Di Atas Kejahatan Informasi
Masih banyak lagi rentetan fakta menyayat hati. Semua kepedihan ini
masih dihujam dengan siaran televisi yang tidak mendidik. Tetap
menyiarkan sinetron, menggunjing melalui tayangan gosip, mengajak hidup
konsumtif, dibuai untuk mencapai kesuksesan dengan instan melalui
reality show, dan lainnya.
Apalagi, siaran-siaran dewasa yang dominan di TV turut disaksikan
anak usia sekolah. Ini meracuni. Masyarakat Indonesia seolah diajak
berselancar di atas kejahatan informasi. Dipaksa menelan informasi demi
informasi yang jauh dari nilai edukasi. Patut kah negara berpenduduk
mayoritas Islam melegalkan siaran itu? Kapitalisme mengoyak hati umat.
Dalam sebuah wawancara dengan Sutradara senior Chaerul Umam, ia
mengungkapkan; “Film dan sinetron lebih memprioritaskan keuntungan
finansial dibanding bertanggung jawab terhadap moral bangsa.” Apakah ini
tak jahat? Apakah umat tidak disakiti?
Perasaan umat kian disakiti dengan informasi media massa yang kembali
menyudutkan Islam dalam konteks tragedi FPI: Bagaimana mungkin anggota
FPI yang didzalimi di Kalteng, diancam dibunuh, pesawat yang ditumpangi
diancam dibakar, tapi justru FPI diminta bubar?
Bagaimana mungkin, media massa yang menjunjung tinggi nilai
proposionalitas dalam pemberitaan tapi sangat tendensius dalam
pengkonstruksian berita ihwal FPI? Bagaimana mungkin, kelompok yang
menjual-jual nama Dayak dengan menerobos apron bandara sambil
mengacung-acungi senjata tajam tidak diproses secara hukum?
Padahal, bisa jadi, ini satu-satunya fenomena di dunia dimana bandara
bisa diterobos massa. Bukankah ini bisa membuat citra buruk Indonesia?
Bukankah aksi itu bisa mengancam dicabutnya sertifikasi penerbangan?
Kenapa media massa tidak menyorotnya?
Apalagi kelompok penyerang itu juga membakar tenda Maulid, merusak
rumah tokoh Islam di Kalteng. Apa ini yang disebut kearifan lokal?
Apakah aksi itu bukan tindak kekerasan? Dimana keadilan?
Ketika Logika Sudah Terjungkal
SBY dalam peringatan Maulid mengajak bangsa ini untuk meneladani
sikap Rasulullah. Seorang pemimpin mengajak kebaikan pada rakyatnya tapi
tindakannya jauh dari apa yang dianjurkan. Alih-alih mengikuti sikap
Rasul, mensejahterakan rakyat dan membela Islam yang mayoritas; ia
sendiri masih kerepotan mengurus partainya.
Jika memimpin partai tak sanggup, bagaimana memimpin ratusan juta
rakyat. Jika mengajak meneladani Rasul, mengapa kaum Liberal yang jelas
menodai Islam masih dipelihara, kenapa pula korupsi tetap menggurita. Di
lain pihak, FPI yang mencoba menyelamatkan generasi bangsa dari perusak
moral diminta instrospeksi diri.
Katakanlah FPI memang merusak kaca dan bangunan, tapi JIL merusak
akidah dan moral melalui kebebasan yang diusungnya. Sedangkan koruptor
merusak peradaban. Lebih bahaya mana? Lantas, kenapa pula siaran yang
membodohi masyarakat melalui sinetron dkk tidak diberhentikan? Entah
bagaimana logika berpikir penguasa.
Pada saat besamaan, media tetap menyoroti kekurangan FPI dan tak
pernah mempublish kegiatan positif FPI. Ketimpangan informasi berita FPI
juga tidak dibarengi porsi pemberitaan kekerasan yang dilakukan
kelompok di luar FPI; gerakan sparatis, perusuh di Ambon, misalnya.
Toh, yang dilakukan FPI dipicu karena tidak adanya langkah nyata dari
pemerintah untuk memberangus kemaksiatan. Berbeda dengan motif dan
tujuan sparatis atau perusuh Ambon. Parahnya, kini umat Muslim diberi
label baru: Pihak yang mendukung FPI = pecinta kekerasan. Betapa
tersayatnya hati umat. Padahal sikap tegas beda dengan kekerasan.
Sulit menggambarkan kesedihan tentang sengkarut Republik ini, juga
tentang apa yang menimpa umat Muslimnya dari waktu ke waktu, termasuk
kesedihan karena seringnya ketidak sesuaian penguasa antara ucapan dan
sikapnya. Masih ingat retorika pemberantasan korupsi?
Empat Langkah Penyelamatan Umat
Sebagai penutup, umat perlu melakukan tindakan nyata. Mungkin, umat
Muslim bisa melakukan empat langkah antisipasi untuk membendung bom
informasi penyudutan Islam dan menyelamatkan moral generasi. Langkah ini
kiranya mendesak untuk direalisasikan.
Pertama, merangkul seluruh elemen Muslim di Indonesia untuk
bersatu sambil terus mengkampanyekan stop menonton televisi, minimal
menguranginya.
Kedua, umat Muslim yang memiliki power –finansial, pengaruh,
massa- memotori membuka donasi untuk kebutuhan mendirikan siaran
televisi Islam berskala nasional sembari menyatukan media Islam yang
ada.
Langkah kedua ini bisa dimulai dengan Gerakan Infaq Massal Media.
Mengumpulkan uang umat dari: Infaq di masjid setiap Jumat, melalui infaq
kelompok para pendakwah, para jamaah majlis Habib dan ulama, lembaga
Islam, dan sebagainya. Tahan dulu membangun masjid megah yang sudah
teramat banyak. Hal mendasar, harus dipilih pengelola pembuatan TV
Islam (bukan TV kabel) yang amanah dan dieksekusi dengan perencanaan
matang serta sistematis.
Ketiga, guru-guru di sekolah Islam terus memberi pengetahuan
pada siswanya untuk menghindari televisi dan selalu mendoktrin
pentingnya memilah informasi di media.
Keempat, para aktivis dakwah lebih menggencarkan aksinya
melalui dakwah bil qalam: Secara sederhana, membuat tulisan-tulisan
Islami yang difoto copy atau mencetak Buletin Dakwah. Lalu disebar ke
masjid, rumah-rumah, kampus, sekolah; tempat strategis lain.
Ini dilakukan di banyak titik dengan membuat lembar Islami komunitas.
Secara lebih rumit tapi terlihat lebih rancak; perbanyak Media Islam
Komunitas dan berusaha mengelolanya seprofesional mungkin serta amanah.
Mungkin kah langkah ini dilakukan? Mungkin saja.
Saya membayangkan, setiap pengusaha Muslim bersedia membuat satu
media Islam. Tak perlu muluk mendirikan media besar, awali saja membuat
Media Komunitas Islami. Jika ada 100 pengusaha mau mendirikan media
dakwah komunitas, maka ada 100 media serupa. Indah sekali. Barangkali,
kelak bisa mengalahkan media mainstream. Lalu, membom balik informasi
sampah!
Ayo kita coba lakukan aksi nyata untuk kemaslahatan umat; meski
dengan peran yang hanya secuil. Mari berdoa: Ya Rahman, percepatlah
campur tangan Mu. Mudahkanlah yang sulit bagi kami. Hilangkan dengki di
antara kami. Kokohkanlah persaudaraan ini. Curahkanlah semangat dan
kekuatan kami. Tetapkanlah hati kami untuk berusaha membela dan
meninggikan Islam. Cukup Engkau penolong kami dan hanya Engkaulah
sebaik-baik penolong kami. Amin.
Jumat, 16 Maret 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar