Demam K-Pop mewabah di seantero dunia, termasuk Indonesia. Jutaan
remaja putri, bahkan putra, menggilainya dan menghabiskan sebagian besar
waktu serta ruang pikirnya untuk mengikuti perkembangan terbaru dari
arus kebudayaan pop korea tersebut. Mulai dari menonton drama di TV dan
DVD, mendownload lagu boyband dan girlband di internet, mengikuti gaya
berpakaiannya, hingga (yang sedikit lebih intelek) membaca buku tentang
artis idola mereka. Dari keseluruhan arus itu, para remaja (khususnya
remaja putri) biasanya memilih satu atau lebih artis yang mereka paling
ikuti perkembangannya. Kita biasanya menyebutnya sebagai idola.
Jauh sebelum itu, para remaja putra sudah terlebih dahulu menjadikan
atlet sebagai idola, khususnya atlet sepakbola. Mereka adalah sosok yang
biasanya mengisi tembok kamar, tontonan malam yang membuat begadang,
bahan utama dalam obrolan, situs pertama yang dibuka saat online, hingga
minat utama yang mengisi lebih dari separuh ruang pikir. Ya! Bagi para
remaja itu mereka adalah idola. Meskipun ketika ditanya apa saja yang
dapat mereka ambil dari idola mereka tersebut? Mungkin tak banyak
jawaban yang akan hadir. Bahkan mungkin, jawabannya begitu simpel: hanya
sekadar suka saja. Tak lebih.
Industri Para Idola
Arus modernitas yang berasal dari barat itu membawa banyak hal. Salah
satunya adalah industrialisasi. Sebuh proses produksi dengan prinsip
efisiensi yang ditopang oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Hal ini membuat jumlah produksi semakin banyak dengan jangka waktu yang
semakin cepat. Industrialisasi ini menyebar ke berbagai sektor
kehidupan, termasuk di sektor-sektor yang banyak memproduksi para idola,
seperti seni dan olahraga. Istilah memproduksi saya gunakan karena para
idola itu sebenarnya tidak bisa menjadi idola tanpa adanya dukungan
lingkungan terhadapnya. Dahulu kala, bentuk dukungan itu disampaikan
secara konvensional lewat lisan dan tulisan. Namun kini, dengan bantuan
media massa yang audio-visual, ruang untuk menjadi idola itu pun semakin
terbuka terbuka. Siapa saja bisa menjadi idola, tentunya dengan
kriteria yang ditetapkan oleh produsen para idola. Produsen itu tentu
saja para pemilik modal. Mereka yang sebenarnya menjadikan para idola
ini sebagai salah satu komoditas bisnis mereka dan agen promosi kriteria
modern seorang idola.
Artinya, selain mendapat keuntungan, mereka pun, secara langsung
maupun tidak, mempromosikan kepada masyarakat umum yang di Indonesia
mayoritasnya muslim bahwa begini loh sebenarnya yang disebut idola.
Mereka harus berpenampilan menarik (baca: memamerkan aurat), pandai
berbicara di depan umum (walau seringkali pembicaraannya tak bermutu),
jago bermain sepakbola (walau berzina adalah kesehariannya). Masyarakat
kita dipaksa untuk mengidolai sosok yang sebenarnya hanya sedikit dari
karakter dirinya yang pantas untuk ditiru.
Benarkah Kita Mengidolakan Rasulullah saw?
Meskipun industri para idola terus melaju, tak sedikit pihak yang
melakukan perlawanan atas arus tersebut. Artinya, tidak semua orang mau
begitu saja menerima apa yang disuguhkan oleh media massa dan
perangkat-perangkat pendukung industri idola lainnya. Salah satu pihak
yang melakukan perlawanan tersebut adalah kalangan santri, khususnya di
perkotaan yang merasakan arus ini lebih deras dibanding di pedesaan.
Masalahnya, santri perkotaan ini biasanya adalah remaja-remaja yang baru
saja tercelup oleh nilai-nilai Islam. Mereka hanya mendapatkan
pemahaman Islam lewat halaqoh pekanan, kajian-kajian keilmuan, maupun
bacaan dari buku maupun internet. Yang baru tumbuh dengan baik adalah
komitmen mereka untuk terus mempelajari Islam sambil mempraktekkan dan
mendakwahkannya secara bertahap.
Masalah ini berdampak pada keber-Islam-an mereka yang biasanya masih
bersifat simbolik. Salah satu bentuknya adalah ketika mereka ditanyakan
siapa idola mereka, misalnya dalam acara perkenalan maupun dalam biodata
mereka. Biasanya mereka akan mengatakan maupun menuliskan: Rasulullah
saw, nabi terakhir yang diutus oleh Allah untuk menyempurnakan
Syariat-Nya di dunia dan memang diakui sebagai manusia terbaik, bahkan
oleh kalangan non-muslim seperti Michael Hart. Akan tetapi, ketika coba
ditanya. Sudahkah membaca sirah nabawiyah? Seberapa seringkah membaca
dan mengkaji hadis beliau? Berapakah sunnah beliau yang sudah
dipraktekkan? Sebelum mendengar jawabannya, bersiaplah untuk kecewa.
Bahkan mungkin saja, mereka yang mengaku anak rohis atau aktivis
dakwah itu pun juga mengidolakan artis korea atau atlet sepakbola. Meski
mereka tidak mengakuinya, tetapi jika ternyata ruang pikir mereka lebih
banyak untuk itu, apa mau dikata, fakta yang berbicara. Agak miris
ketika ada yang mengaku mengidolakan Rasulullah saw, tetapi lebih mudah
terbangun di malam hari karena pertandingan Barcelona vs Real Madrid,
daripada karena ingin sholat malam.
Jebakan Penghambaan Idola
Salah satu jebakan yang harus diwaspadai dalam relasi antara idola
dan penggemar adalah jebakan penghambaan. Istilah penghambaan mungkin
terdengar agak berlebihan bagi sebagian orang, tetapi jika para
penggemar telah sampai pada tahap mau melakukan apa saja demi idola
mereka hingga melewati logika rasional dan koridor Syariat Islam, di
sanalah letak jebakan penghambaan itu. Prinsip asasi pertama dalam
ajaran Islam adalah agar setiap manusia hanya menghambakan dirinya pada
Allah SWT saja.
Lalu bagaimana agar kita terhindar dari jebakan penghambaan kepada
selain Allah SWT? Itulah mengapa ada prinsip asasi kedua, yakni agar
setiap manusia mengikuti tata cara penghambaan kepada Allah SWT dari
Rasulullah saw. Manusia terbaik yang ma’sum atau dijamin pasti benar
semua perkataan dan perbuatannya. Hal ini membuat beliau adalah
satu-satunya manusia yang paling aman untuk dijadikan idola. Karena
tidak ada satu pun bagian dari karakter dirinya yang mengandung jebakan
untuk pengambaan lain selain Allah SWT. Semuanya baik, semuanya benar.
Adakah yang lebih aman dan lebih pantas untuk diidolakan selain beliau.
Namun, yang perlu digarisbawahi, kedua prinsip asasi tersebut
fungsinya adalah sebagai landasan dan koridor. Jadi, kedua prinsip asasi
ini sebenarnya tidak melarang kita untuk mengidolakan sosok lain. Asal
kriteria idola kita tersebut adalah sosok yang cukup aman dan patut
ditiru, serta tidak keluar dari koridor syariat. Tentu saja, hal ini
membawa konsekuensi bahwa pengidolaan kita terhadap sosok lain haruslah
merupakan turunan atas pengidolaan kita terhadap Rasulullah saw.
Maka pertanyaan reflektifnya begini: Siapa yang seharusnya lebih
banyak mengisi ruang pikir kita? Menjadi acuan bertindak kita? Menjadi
minat utama dan obrolan keseharian kita? Idola Turunan atau Idola Utama?
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan
yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS Al Ahzab:21)
Wallauhu A’lam bis Showab
Jumat, 16 Maret 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar