Menurut UU No. 20 Tahun 2003 Tentang SISDIKNAS, Pendidikan diartikan
sebagai “Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.”
Di bagian terakhir, kita mendapati suatu klausul penting, yakni,
“yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.” Maka,
pendidikan secara luhur dapat kita maknai sebagai salah satu instrumen
pembangun masyarakat, bangsa dan Negara. Oleh sebab itu, kita selalu
mendapati bangsa-bangsa yang maju saat ini adalah bangsa yang selalu
menghargai pendidikan.
Semisal Jepang, ketika kota Hiroshima dan Nagasaki dijatuhi bom atom,
yang pertama kali dibenahi oleh Kaisar Jepang kala itu adalah
pendidikan. Atau Malaysia yang ketika awal kemerdekaannya banyak
‘mengimpor’ guru dari Indonesia. Kini, keduanya menjadi Negara yang
cukup maju.
Namun, permasalahan yang terjadi di negeri ini adalah kurangnya
penghargaan bangsa ini terhadap pendidikan, bahkan seringkali pendidikan
dikambinghitamkan dari suatu permasalahan yang ada.
Mungkin sering kita dengar mengenai kelulusan siswa-siswi dalam Ujian
Nasional yang dipenuhi dengan kecurangan di sana-sini. Lalu, jika ada
yang ketahuan, maka Pemerintah mencelanya sebagai sebuah cela dari
pendidikan. Padahal, Pemerintah sendiri tak paham bagaimana Ujian
Nasional yang menjadi standarisasi kelulusan peserta didik memiliki
berbagai kelemahan.
Lalu, kita juga ingat ketika para media massa menyoroti tawuran yang
merebak di kalangan pelajar, dan salah satu wartawan media massa kala
itu menjadi sasaran kekerasan dari pelajar karena terus menyoroti
sekolah mereka. Waktu itu, media massa seolah sepakat membuat hal ini
menjadi sebuah bagian dari proses pendidikan yang salah pada bangsa ini.
Seolah pendidikan adalah mesin yang mencetak produk gagal yaitu
kekerasan dalam bentuk tawuran, bulliying dan lain sebagainya.
Padahal, media massa tersebut tak paham, bahwa penyebab utama
terjadinya kekerasan dari pelajar adalah karena seringnya media massa
menampilkan berbagai perilaku kekerasan.
Kemudian, ada juga kisah para mahasiswa yang sering berdemo dan
terkadang sering menimbulkan jalanan macet atau bahkan anarkisme.
Sebagian dari bangsa ini menilai pendidikan yang didapat para mahasiswa
itu menghasilkan para mahasiswa yang memiliki pemikiran kritis yang
berujung pada anarkisme tersebut. Padahal, sejatinya, bangsa ini lah
yang jarang sekali mau member ruang untuk pemikiran kritis mereka dan
menindaklanjuti pemikiran kritis mereka yang baik.
Saat merebaknya isu terorisme di kalangan pelajar dan mahasiswa,
kembali, pendidikan keagamaan dipersalahkan karena tidak mampu
membendung perilaku tersebut. Padahal, pendidikan keagamaan tersebut
hanya berlangsung kurang lebih dua jam dalam sepekan di sekolah atau
sekitar dua sks bagi para mahasiswa. Dengan teknis pengajaran yang hanya
menjadikan itu sebagai sebuah pengetahuan yang nantinya akan dinilai
tanpa memperhatikan kepribadian peserta didiknya.
Akhir-akhir ini pun, pendidikan lagi-lagi disalahkan. Merebaknya
berbagai pengungkapan kasus tindak pidana korupsi juga ikut-ikutan
menyalahkan pendidikan sebagai salah satu biang keladi dari permasalahan
korupsi yang terjadi di negeri ini. Beberapa tersangka kasus korupsi
yang merupakan lulusan yang sama dari sebuah Perguruan Tinggi Kedinasan
juga dikait-kaitkan dengan almamaternya dahulu.
Banyak yang menuduh bahwa Perguruan Tinggi tersebut ikut serta
menjadikan para tersangka menjadi koruptor. Pendidikan di Perguruan
Tinggi tersebut disalahkan karena beberapa lulusannya menjadi tersangka
korupsi. Padahal, jumlah lulusan yang menjadi tersangka tak sebanding
dengan lulusannya yang ada puluhan ribu. Lalu, tanpa mengetahui apa yang
diajarkan di Perguruan Tinggi tersebut, banyak yang pada akhirnya
merasa tahu bahwa pendidikan yang diajarkan di Perguruan Tinggi tersebut
adalah pendidikan untuk para koruptor. Sungguh, pemikiran yang tak
jernih.
Rasanya, bangsa ini sampai saat ini belum dewasa dalam menghargai
pendidikan. Bagaimana mungkin bangsa ini akan maju kalau bangsa ini
terus-terusan menyalahkan pendidikan dari berbagai permasalahan yang
ada. Padahal harusnya pendidikan lah yang menyelesaikan berbagai
permasalah yang terjadi di bangsa ini.
Lalu, jangan jadikan carut-marut bangsa ini menjadi alasan untuk
tidak bepikir jernih dan terus-menerus menyalahkan pendidikan. Kini
saatnya kita membenahi pendidikan kita jika memang ada yang salah, bukan
dengan mencela dan menghinanya. Seolah pendidikan kita adalah barang
yang hina. Karena justru hal itulah yang akan menghinakan bangsa ini.
Saatnya bangsa ini dewasa dalam menghargai pendidikan mereka.
Jumat, 16 Maret 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar