Oleh: Thoriq*
Sering kita mendengar sesumbar para pekerja Jaringan Islam Liberal
yang tersebar di internet, koran-koran 'Jinayat' JIL Terhadap Fiqih dan Fuqaha
atau dalam seminar-seminar yang mereka adakan. Pada intinya mereka selalu
mengklaim sebagai kaum paling terpelajar, intelek, modernis, progresif serta
menjunjung tinggi pengetahuan dan ilmu. Tapi pada kenyataanya jauh panggang
daripada api, sehingga pembaca jangan heran jika mengetahui bahwa ada
pekerja-pekerja JIL menulis atau berbicara ngaco, baik dalam forum-forum atau
media massa, dan hal itu tidak terjadi satu atau dua kali, tapi berulang
kali.
Tentu tulisan ini tidak hendak mengorek-ngorek kesalahan para
pekerja JIL, akan tetapi sebagai sebuah peringatan bagi kaum muslimin agar tidak
langsung menelan mentah-mentah segala informasi yang datang dari mereka. Karena
retorika dan gaya penulisan mereka yang terlihat memukau -banyak menggunakan
istilah arab maupun kontemporer- maka secara sekilas memang terlihat sangat
ilmiyah, akan tetapi jika kita mencermati dengan jeli maka kita bisa saja
terkejut atau bahkan malah tersenyum-senyum sendiri ketika di dalamnya kita
jumpai ada unsur-unsur kebohongan alias ngaco.
Kita semua paham, bahwa
ide-ide mereka yang menyimpang sudah pasti tidak akan terakomodasi oleh fiqih
islam, maka ketika mereka memaksakan diri melewati jalur fiqih akan terlihat
imma membuat-buat kaidah nyleneh dan tidak ilmiyah atau berbohong atas nama
ulama' tertentu atau mengambil pendapat-pendapat lemah dan hadist-hadist dho'if.
Sebagai contoh, lihat tulisan yang berjudul "Argumen Metodologis CLD KHI" yang dipublikasikan di
Kompas, (7/3/2005) yang juga dipublikasikan di website JIL pada tanggal
08/03/2005.
Dalam tulisan tersebut si penulis menilai bahwa ushul fiqih tidak
relevan lagi, sehingga si penulis membuat-buat beberapa kaidah sendiri-yang
menurut penilaian dia-bisa memberikan kemaslahatan, keadilan, kerahmatan, dan
kebijaksanaan.
Kaidah 'ushul fiqih' alternatif yang pertama dipromosikan
si penulis adalah, "al-ibrah bil maqasid la bi alfadz", yang bermakna —kurang
lebih—, yang dijadikan pijakan adalah tujuan bukan lafadz.
Pembaca yang
budiman, dari sini kita tahu bahwa si penulis memang tidak mengerti apa itu
ushul fiqih. Definisi ushul fiqih adalah, ma'rifah dala'il alfiqhi ijmalan wa
kaifiyah al istifadah minha wa hal almustafid (Nihayah as-Sul, Vol I,
muqadimah).
Jadi ada tiga unsur dalam ushul fiqih, pertama, ma'rifah
dala'il fiqhi (pengetahuan tentang dalil-dalil fiqih), kaifiyah al-istifadah
(metodologi penggunaan dalil), dan hal mustafid (kriteria mujtahid).
Dengan difinisi tersebut kita bisa mengetahui, mana yang termasuk ushul
fiqih dan mana yang bukan. Sehingga kita juga paham bahwa kaidah yang diusulkan
penulis tersebut sudah otomatis terkena kick out unsur pertama, karena tujuan
ushul fiqih yang pertama adalah ma'rifah dala'il fiqhi, hal itu mencakup semua
dalil yang disepakati yaitu al-Qur'an, as-Sunnah, ijma' dan qiyas, serta
dalil-dalil yang diperselisihkan seperti istishab dan istikhsan (keterangan
ta'rif secara mendetail bisa dilihat di Ushul Fiqih Universitas Al-Azhar
Cairo).
Sedangkan kaidah si penulis sejak awal malah mengajak untuk
meninggalkan lafadz-lafadz, baik dari al-Qur'an atau as-Sunnah. Walhasil,
semestinya si penulis memahi terlebih dahulu makna ushul fiqih, dan
batasan-batasan definisinya, baru kemudian membuat kaidah, sehingga tidak dia
sampai kecele seperti ini.
Kaidah yang kedua semakin menampakkan
ketidaktahuan si kandidat doktor ini tentang ilmu ushul. Katanya, adalah, jawaz
naskh nushus bi al-mashlahah (boleh me-naskh nash-nash dengan maslahat). Dari
sini si penulis terlihat ingin segera menang tanpa perang alias potong kompas.
Bagaimana dia bisa mengatakan bahwa boleh me-naskh nash al-Qur'an dan as-Sunnah
dengan maslahat? Sedangkan definisi naskh sendiri adalah, bayan assyari'
intiha'i zaman al amal bi hukmin syar'iyin dhohiruhu al dawam wa dzalika bidalil
syar'i muta'akhir 'anhu nuzulan (Ahkam fi Ushuli Al-Ahkam, Vol 4, hal 64).
Yang artinya, penjelasan dari pembuat syari'at (Allah SWT) tentang
habisnya masa pengamalan hukum syar'i yang secara dzahir (bagi kita) tetap
langgeng dan hal itu dengan dalil syar'i yang turun lebih akhir darinya.
Memang ada definisi-definisi lain, tapi semuanya tidak jauh berbeda.
Dari ta'rif yang ada kita bisa menyimpulkan bahwa hukum yang dihapus (mansukh)
adalah hukum syar'i, sedangkan dalil yang menghapus adalah dalil syar'i pula,
yaitu al-Qur'an dan as-Sunnah, maka ijma' dan qiyas tidak bisa me-naskh.
Maka sudah jelas bahwa kaidah si penulis diluar makna naskh, karena
membolehkn naskh tidak dengan dalil syar'i, akan tetapi si penulis sudah
terlanjur potong kompas dengan membuat kaidah, jawaz naskh.
Maka, jika si
penulis ingin agar kaidahnya selamat dari "cacat ilmiyah" dia harus berjuang
mati-matian terlebih dahulu untuk membuat difinisi naskh tersendiri untuk
menampung kaidah hasil temuannya, jangan nebeng definisi dari ilmu ushul fiqih.
Tentu saja untuk ini, si penulis akan tetap berhadapan dengan 'tembok',
karena apa yang telah dia definisikan tetap saja bukan termasuk dalam artian
naskh.
Kaidah selanjutnya adalah, yajuzu tanqih al-nushus bi al-'aql
al-mujtama'. Dalam bahasa si penulis, boleh mengamademen nash-nash dengan
pemikiran masyarakat. Sebetulnya ketiga kaidah ini sama saja intinya, yaitu
mengajak agar kita meninggalkan nash-nash al-Qur'an dan as-Sunnah.
Akan
tetapi dengan kaidah yang ketiga ini akan terlihat betapa sempurna sudah
kejahilan penulis akan ilmu ushul. Mengapa?
Pertama, sebagaimana
yang telah kita bahas di atas, bahwa tujuan ushul fiqh yang pertama adalah untuk
mengetahui dalil-dalil fiqih, hal itu mencakup semua dalil yang disepakati yaitu
al-Qur'an, as-Sunnah, ijma' dan qiyas, serta dalil-dalil yang diperselisihkan
seperti istishab dan istikhsan. Sedangkan si penulis malah hendak menjauhkan
kita dari nash-nash yang ada, maka kaidah ini tidak masuk dalam lingkup ushul
fiqih.
Kedua, yang namanya kaidah itu selalu lahir dari
nash-nash, baik al-Qur'an maupun as-Sunnah, sedangkan kaidah si penulis malah
hendak memvakumkan nash-nash, maka kaidah tersebut juga otomatis tidak termasuk
kaidah fiqhiyah.
Ketiga, jika pemikiran masyarakat memiliki
otoritas untuk mengamanden nash, maka fakta menyebutkan bahwa ada masyarakat
atau bahkan negara yang masih gemar berperang, adapula masyarakat nudis, adapula
masyarakat yang budayanya akrab dengan korupsi, banyak anggota masyarakat yang
suka berzina, banyak anggota masyarakat yang mengkonsumsi narkotika.
Tentu jika kaidah itu diterapkan justru akan menimbulkan kekacauan di
mana-mana. Walhasil, hanya manusia yang tidak memiliki akal sehatlah yang bisa
menerima dan berusaha menerapkan kaidah-kaidah aneh hasil penemuan si penulis
tersebut.
Penulis JIL yang lain juga berkata ngaco di kesempatan yang berbeda,
mari kita lihat tulisan yang dipublikasikan oleh website JIL pada tanggal
16/05/2005, yang berjudul "Salat Bilingual; Haruskah Menjadi Kontroversi?".
Pada paragraf ke delapan si penulis menyatakan, "Jika
kita mengaca sejarah, kita akan melihat perdebatan sengit antara Imam Abu
Hanifah yang berasal dari Parsi dan Imam Syafi’i yang berasal dari Arab
keturunan Quraisy. Imam Syafi’i adalah orang yang sangat kuat berpandangan bahwa
membaca al-Fatihah (dalam salat) dengan menggunakan bahasa Arab merupakan
kewajiban. Orang yang tidak melakukannya, shalatnya tidak sah. Sementara Abu
Hanifah memperbolehkan membaca Al Fatihah dalam bahasa Parsi atau bahasa
non-Arab lainnya, bagi mereka yang tidak menguasai bahasa Arab."
Dari
penggalan artikel di atas ada beberapa hal yang perlu dicermati.
Pertama, si penulis menilai ada perdebatan sengit antara Imam Abu
Hanifah dan Imam Syafi'i.
Kedua, si penulis juga menilai bahwa Imam
Abu Hanifah berasal dari Parsi.
Para pembaca yang budiman, perdebatan
itu tidak pernah terjadi sepanjang sejarah, peristiwa itu hanyalah khurafat
dari si penulis. Kebanyakan dari umat Islam pun mengerti, bahwa Imam Abu
Hanifah wafat tahun 150 H, sedangkan Imam Syafi'i lahir pada tahun 150 H juga di
Gaza Palestina, bertepatan dengan tahun wafatnya Imam Abu Hanifah. Bagaimana
bisa terjadi perdebatan sengit antara keduanya?
Khurafat penulis juga
menyatakan bahwa Imam Abu Hanifah berasal dari Parsi, entah merujuk dari mana si
penulis tersebut? Yang jelas dalam buku-buku sejarah mazhab, kita dapati
keterangan bahwa Imam Abu Hanifah lahir di Kufah (Hidayah al-Thalib ila Al Bahts
fi Fiqhi Al Madzahib, hal 6).
Ada hal lain yang tak kalah memprihatinkan. Feminis Siti Musdah Muliya yang juga dikenal tokoh counter legal
draft Kompilasi Hukum Islam (CLDKHI) dalam sebuah media di bulan September 2005,
sempat mengatakan, bahwa Imam Syafi'i pernah mengatakan dalam kitabnya Al-Umm,
"annikah laisa min al ibadah, wa huwa min al syahawat" (pernikahan bukanlah
termasuk bagian dari ibadah, melainkan bagian dari syahwat).
Dalam
sejarah, Imam Syafi'i tidak pernah mengatakan kalimat seperti itu, baik dalam
Al-Umm maupun dalam karya-karya beliau yang lain.
Bahkan di dalam Al-Umm
beliau sendiri mengatakan: "Jika lelaki menjadi wali atas dirinya sendiri,
begitu juga wanita (janda) aku lebih menyukai agar kedua-kuduanya menikah jika
termasuk dari mereka yang menginginkan pernikahan, karena Allah swt. telah
memerintahkan, meridhoi dan mensunahkannya, serta menjadikan pernikahan itu
sebagai penyebab-penyebab datangnya hal-hal yang bermanfaat." (Al Umm, Vol VI,
373).
Jika perempuan aktivis feminisme itu mengatahui bahwa Imam Syafi'i
tidak pernah berbicara seperti apa yang dia katakan, lantas dia dengan sengaja
menisbatkan perkataan itu kapada beliau, maka feminis itu telah melakukan
tindakan yang amat keji, karena berani memfitnah Imam Syafi'i sekaligus
melakukan pembodohan terhadap umat, na'udzubillahi min dzalik.
Jika
dia tidak tahu bahwa Imam Syafi'i tidak pernah mengatakan perkataan itu lantas
ia berani menisbatkan perkataan itu kepada beliau maka perempuan itu telah
berbicara tentang agama tanpa didasari ilmu, alias asbun. Inilah yang disebut
nashru al-bathil bi al-bathil. Wallahu 'alam bi al showab.
* Penulis
adalah mahasiswa Fakultas Syari'ah Islamiyah Al Azhar Mesir
Jumat, 16 Maret 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar