Pages

Sabtu, 10 Maret 2012

Memahami Liberalisme

Oleh Syamsuddin Arif, Ph.D Tiga hal mencakup paham liberalisme. Pertama kebebasan berfikir, pandangan skeptik dan agnostik. Terakhir manifestasi nifaq. Tidak mau disebut kafir jika sudah tidak committed pada agamanya

Menyusul terbitnya fatwa MUI belum lama ini, terdengar suara-suara sumbang yang mempersoalkan definisi liberalisme. Istilah ‘liberalisme’ berasal dari bahasa Latin, liber, yang artinya ‘bebas’ atau ‘merdeka’. Hingga penghujung abad ke-18 Masehi, istilah ini terkait erat dengan konsep manusia merdeka, bisa semenjak lahir ataupun setelah dibebaskan, yakni mantan budak (freedman).

Dari sinilah muncul istilah ‘liberal arts’ yang berarti ilmu yang berguna bagi dan sepatutnya dimiliki oleh setiap orang merdeka, yaitu arithmetik, geometri, astronomi dan musik (quadrivium) serta grammatika, logika dan rhetorika (trivium).

Di zaman Pencerahan, kaum intelektual dan politisi Eropa menggunakan istilah liberal untuk membedakan diri mereka dari kelompok lain.

Sebagai adjektif, kata ‘liberal’ dipakai untuk menunjuk sikap anti feodal, anti kemapanan, rasional, bebas merdeka (independent), berpikiran luas lagi terbuka (open-minded) dan, oleh karena itu, hebat (magnanimous).

Dalam politik, liberalisme dimaknai sebagai sistem dan kecenderungan yang berlawanan dengan dan menentang ‘mati-matian’ sentralisasi dan absolutisme kekuasaan. Munculnya republik-republik menggantikan kerajaan-kerajaan konon tidak terlepas dari liberalisme ini.

Sementara di bidang ekonomi, liberalisme merujuk pada sistem pasar bebas dimana intervensi pemerintah dalam perekonomian dibatasi –jika tidak dibolehkan sama sekali. Dalam hal ini dan pada batasan tertentu, liberalisme identik dengan kapitalisme.

Di wilayah sosial, liberalisme berarti emansipasi wanita, penyetaraan gender, pupusnya kontrol sosial terhadap individu dan runtuhnya nilai-nilai kekeluargaan.

Biarkan wanita menentukan nasibnya sendiri, sebab tak seorang pun kini berhak dan boleh memaksa ataupun melarangnya untuk melakukan sesuatu.

Sedangkan dalam urusan agama, liberalisme berarti kebebasan menganut, meyakini, dan mengamalkan apa saja, sesuai kecenderungan, kehendak dan selera masing-masing. Bahkan lebih jauh dari itu, liberalisme mereduksi agama menjadi urusan privat.

Artinya, konsep amar ma’ruf maupun nahi munkar bukan saja dinilai tidak relevan, bahkan dianggap bertentangan dengan semangat liberalisme. Asal tidak merugikan pihak lain, orang yang berzina tidak boleh dihukum, apalagi jika dilakukan atas dasar suka sama suka, menurut prinsip ini. Karena menggusur peran agama dan otoritas wahyu dari wilayah politik, ekonomi, maupun sosial, maka tidak salah jika liberalisme dipadankan dengan sekularisme.

Pakar sejarah Barat biasanya menunjuk motto Revolusi Perancis 1789 -kebebasan, kesetaraan, persaudaraan (liberté, égalité, fraternité) sebagai piagam agung (magna charta) liberalisme modern.

Sebagaimana diungkapkan oleh H. Gruber, prinsip liberalisme yang paling mendasar ialah pernyataan bahwa tunduk kepada otoritas -apapun namanya- adalah bertentangan dengan hak asasi, kebebasan dan harga diri manusia –yakni otoritas yang akarnya, aturannya, ukurannya, dan ketetapannya ada di luar dirinya (it is contrary to the natural, innate, and inalienable right and liberty and dignity of man, to subject himself to an authority, the root, rule, measure, and sanction of which is not in himself).

Di sini kita mencium bau sophisme dan relativisme ala falsafah Protagoras yang mengajarkan bahwa “manusia adalah ukuran dari segalanya” – sebuah doktrin yang kemudian dirayakan oleh para penganut nihilisme semacam Nietzsche.

Sebagai anak kandung Humanisme dan Reformasi abad ke-15 dan 16, liberalisme dikembangkan oleh para pemikir dan cendekiawan di Inggris (Locke dan Hume), di Perancis (Rousseau dan Diderot) dan di Jerman (Lessing dan Kant).

Gagasan ini banyak diminati oleh elit terpelajar dan bangsawan yang menyukai kebebasan berpikir tanpa batas. Sebagaimana dinyatakan oleh Germaine de Staël dalam karyanya, Considérations sur les principaux événements de la Révolution française (1818), kaum liberal menuntut kebebasan individu yang seluas-luasnya, menolak klaim pemegang otoritas Tuhan, dan menuntut penghapusan hak-hak istimewa gereja maupun raja.

Pada awalnya, liberalisme berkembang di kalangan Protestant saja. Namun belakangan wabah liberalisme menyebar di kalangan Katholik juga. Tokoh-tokoh Kristen liberal semacam Benjamin Constant antara lain menginginkan agar pola hubungan antara institusi Gereja, pemerintah, dan masyarakat ditinjau ulang dan diatur lagi.

Mereka juga menuntut reformasi terhadap doktrin-doktrin dan disiplin yang dibuat oleh pihak Gereja Katholik di Roma, agar ‘disesuaikan’ dengan semangat zaman yang sedang dan terus berubah, agar sejalan dengan prinsip-prinsip liberal dan tidak bertentangan dengan sains yang meskipun anti-Tuhan namun dianggap benar.

Secara umum, yang dikehendaki ialah kebebasan bagi siapa saja untuk menafsirkan ajaran agama dan kitab sucinya, ketidak-terikatan dengan aturan-aturan maupun keputusan-keputusan yang dikeluarkan pihak Gereja, pengakuan otoritas pemerintah vis-à-vis otoritas Gereja, dan penghapusan sistem kependetaan (clericalism). Inilah yang kemudian dikecam oleh Paus Pius ke-9, Leo ke-13 dan Pius ke-10.

Kecenderungan-kecenderungan seperti ini mereka sebut “modernisme” (Lihat: Jean Reville, Liberal Christianity (London, 1903); Georges Weill, Histoire de Catholicisme libéral en France, 1828-1908 (Paris, 1909); dan Orestes A. Brownson, Conversations on Liberalism and the Church (New York, 1869).

Di dunia Islam virus liberalisme juga berhasil masuk ke kalangan cendekiawan yang konon dianggap sebagai “pembaharu” (mujaddid). Mereka yang menjadi liberal antara lain: Rifa‘ah at-Tahtawi (1801-1873 M), Qasim Amin (1863-1908 M) dan Ali Abdur Raziq (1888-1966 M) dari Mesir, Sayyid Ahmad Khan (1817-1898 M) dari India, Muhammad Iqbal (1877-1938 M).

Di abad keduapuluh muncul pemikir-pemikir yang juga tidak kalah liberal seperti Fazlur Rahman, Mohammed Arkoun, Nasr Hamid Abu Zayd, Mohammed Shahrour dan pengikut-pengikutnya di Indonesia (Lihat: Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age, London, 1962; Leonard Binder, Islamic Liberalism, Chicago, 1988; dan Charles Kurzman, Liberal Islam, New York, 1998; dan Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, Jakarta, 1999).

Pemikiran dan pesan-pesan yang dijual para tokoh liberal itu sebenarnya kurang lebih sama saja. Ajaran Islam harus disesuaikan dengan perkembangan zaman, al-Qur’an dan Hadits mesti dikritisi dan ditafsirkan ulang menggunakan pendekatan historis, hermeneutis dan sebagainya, perlu dilakukan modernisasi dan sekularisasi dalam kehidupan beragama dan bernegara, tunduk pada aturan pergaulan internasional berlandaskan hak asasi manusia, pluralisme dan lain lain-lain.

Pendek kata, meminjam ungkapan Binder, liberalism treats religion as opinion and, therefore tolerates diversity in precisely those realms that traditional belief insists upon without equivocation. Maka wajarlah jika kemudian ia menilai bahwa Islam and liberalism appear to be in contradiction (hlm.2)

Dari uraian ringkas di atas dapat kita simpulkan bahwa paham liberalisme mencakup tiga hal: (1) free thinking; (2) sophisme; dan (3) loose adherence to and free exercise of religion.

Yang pertama berarti kebebasan memikirkan apa saja dan siapa saja. “Berpikir kok dilarang,” ujar mereka. Yang kedua biasanya lebih dikenal dengan istilah ‘sufastha’iyyah’, yakni pandangan-pandangan skeptik, agnostik, dan relativistik.

Sementara yang disebut terakhir tidak lain dan tidak bukan adalah manifestasi nifaq, dimana seseorang tidak mau dikatakan kafir walaupun dirinya sudah tidak committed lagi pada ajaran agama.

*) Penulis adalah peneliti INSISTS di Frankfurt am Main, Jerman. Dimuat di Hidayatullah.com



0 komentar:

Posting Komentar