Oleh Syamsuddin Arif, Ph.D Tiga hal mencakup paham liberalisme. Pertama kebebasan berfikir,
pandangan skeptik dan agnostik. Terakhir manifestasi nifaq. Tidak mau disebut
kafir jika sudah tidak committed pada agamanya
Menyusul terbitnya fatwa
MUI belum lama ini, terdengar suara-suara sumbang yang mempersoalkan definisi
liberalisme. Istilah ‘liberalisme’ berasal dari bahasa Latin, liber, yang
artinya ‘bebas’ atau ‘merdeka’. Hingga penghujung abad ke-18 Masehi, istilah ini
terkait erat dengan konsep manusia merdeka, bisa semenjak lahir ataupun setelah
dibebaskan, yakni mantan budak (freedman).
Dari sinilah muncul istilah
‘liberal arts’ yang berarti ilmu yang berguna bagi dan sepatutnya dimiliki oleh
setiap orang merdeka, yaitu arithmetik, geometri, astronomi dan musik
(quadrivium) serta grammatika, logika dan rhetorika (trivium).
Di zaman
Pencerahan, kaum intelektual dan politisi Eropa menggunakan istilah liberal
untuk membedakan diri mereka dari kelompok lain.
Sebagai adjektif, kata
‘liberal’ dipakai untuk menunjuk sikap anti feodal, anti kemapanan, rasional,
bebas merdeka (independent), berpikiran luas lagi terbuka (open-minded) dan,
oleh karena itu, hebat (magnanimous).
Dalam politik, liberalisme
dimaknai sebagai sistem dan kecenderungan yang berlawanan dengan dan menentang
‘mati-matian’ sentralisasi dan absolutisme kekuasaan. Munculnya
republik-republik menggantikan kerajaan-kerajaan konon tidak terlepas dari
liberalisme ini.
Sementara di bidang ekonomi, liberalisme merujuk pada
sistem pasar bebas dimana intervensi pemerintah dalam perekonomian dibatasi
–jika tidak dibolehkan sama sekali. Dalam hal ini dan pada batasan tertentu,
liberalisme identik dengan kapitalisme.
Di wilayah sosial, liberalisme
berarti emansipasi wanita, penyetaraan gender, pupusnya kontrol sosial terhadap
individu dan runtuhnya nilai-nilai kekeluargaan.
Biarkan wanita
menentukan nasibnya sendiri, sebab tak seorang pun kini berhak dan boleh memaksa
ataupun melarangnya untuk melakukan sesuatu.
Sedangkan dalam urusan
agama, liberalisme berarti kebebasan menganut, meyakini, dan mengamalkan apa
saja, sesuai kecenderungan, kehendak dan selera masing-masing. Bahkan lebih jauh
dari itu, liberalisme mereduksi agama menjadi urusan privat.
Artinya,
konsep amar ma’ruf maupun nahi munkar bukan saja dinilai tidak relevan, bahkan
dianggap bertentangan dengan semangat liberalisme. Asal tidak merugikan pihak
lain, orang yang berzina tidak boleh dihukum, apalagi jika dilakukan atas dasar
suka sama suka, menurut prinsip ini. Karena menggusur peran agama dan otoritas
wahyu dari wilayah politik, ekonomi, maupun sosial, maka tidak salah jika
liberalisme dipadankan dengan sekularisme.
Pakar sejarah Barat biasanya
menunjuk motto Revolusi Perancis 1789 -kebebasan, kesetaraan, persaudaraan
(liberté, égalité, fraternité) sebagai piagam agung (magna charta) liberalisme
modern.
Sebagaimana diungkapkan oleh H. Gruber, prinsip liberalisme yang
paling mendasar ialah pernyataan bahwa tunduk kepada otoritas -apapun namanya-
adalah bertentangan dengan hak asasi, kebebasan dan harga diri manusia –yakni
otoritas yang akarnya, aturannya, ukurannya, dan ketetapannya ada di luar
dirinya (it is contrary to the natural, innate, and inalienable right and
liberty and dignity of man, to subject himself to an authority, the root, rule,
measure, and sanction of which is not in himself).
Di sini kita mencium
bau sophisme dan relativisme ala falsafah Protagoras yang mengajarkan bahwa
“manusia adalah ukuran dari segalanya” – sebuah doktrin yang kemudian dirayakan
oleh para penganut nihilisme semacam Nietzsche.
Sebagai anak kandung
Humanisme dan Reformasi abad ke-15 dan 16, liberalisme dikembangkan oleh para
pemikir dan cendekiawan di Inggris (Locke dan Hume), di Perancis (Rousseau dan
Diderot) dan di Jerman (Lessing dan Kant).
Gagasan ini banyak diminati
oleh elit terpelajar dan bangsawan yang menyukai kebebasan berpikir tanpa batas.
Sebagaimana dinyatakan oleh Germaine de Staël dalam karyanya, Considérations sur
les principaux événements de la Révolution française (1818), kaum liberal
menuntut kebebasan individu yang seluas-luasnya, menolak klaim pemegang otoritas
Tuhan, dan menuntut penghapusan hak-hak istimewa gereja maupun raja.
Pada awalnya, liberalisme berkembang di kalangan Protestant saja. Namun
belakangan wabah liberalisme menyebar di kalangan Katholik juga. Tokoh-tokoh
Kristen liberal semacam Benjamin Constant antara lain menginginkan agar pola
hubungan antara institusi Gereja, pemerintah, dan masyarakat ditinjau ulang dan
diatur lagi.
Mereka juga menuntut reformasi terhadap doktrin-doktrin dan
disiplin yang dibuat oleh pihak Gereja Katholik di Roma, agar ‘disesuaikan’
dengan semangat zaman yang sedang dan terus berubah, agar sejalan dengan
prinsip-prinsip liberal dan tidak bertentangan dengan sains yang meskipun
anti-Tuhan namun dianggap benar.
Secara umum, yang dikehendaki ialah
kebebasan bagi siapa saja untuk menafsirkan ajaran agama dan kitab sucinya,
ketidak-terikatan dengan aturan-aturan maupun keputusan-keputusan yang
dikeluarkan pihak Gereja, pengakuan otoritas pemerintah vis-à-vis otoritas
Gereja, dan penghapusan sistem kependetaan (clericalism). Inilah yang kemudian
dikecam oleh Paus Pius ke-9, Leo ke-13 dan Pius ke-10.
Kecenderungan-kecenderungan seperti ini mereka sebut “modernisme”
(Lihat: Jean Reville, Liberal Christianity (London, 1903); Georges Weill,
Histoire de Catholicisme libéral en France, 1828-1908 (Paris, 1909); dan Orestes
A. Brownson, Conversations on Liberalism and the Church (New York, 1869).
Di dunia Islam virus liberalisme juga berhasil masuk ke kalangan
cendekiawan yang konon dianggap sebagai “pembaharu” (mujaddid). Mereka yang
menjadi liberal antara lain: Rifa‘ah at-Tahtawi (1801-1873 M), Qasim Amin
(1863-1908 M) dan Ali Abdur Raziq (1888-1966 M) dari Mesir, Sayyid Ahmad Khan
(1817-1898 M) dari India, Muhammad Iqbal (1877-1938 M).
Di abad
keduapuluh muncul pemikir-pemikir yang juga tidak kalah liberal seperti Fazlur
Rahman, Mohammed Arkoun, Nasr Hamid Abu Zayd, Mohammed Shahrour dan
pengikut-pengikutnya di Indonesia (Lihat: Albert Hourani, Arabic Thought in the
Liberal Age, London, 1962; Leonard Binder, Islamic Liberalism, Chicago, 1988;
dan Charles Kurzman, Liberal Islam, New York, 1998; dan Greg Barton, Gagasan
Islam Liberal di Indonesia, Jakarta, 1999).
Pemikiran dan pesan-pesan
yang dijual para tokoh liberal itu sebenarnya kurang lebih sama saja. Ajaran
Islam harus disesuaikan dengan perkembangan zaman, al-Qur’an dan Hadits mesti
dikritisi dan ditafsirkan ulang menggunakan pendekatan historis, hermeneutis dan
sebagainya, perlu dilakukan modernisasi dan sekularisasi dalam kehidupan
beragama dan bernegara, tunduk pada aturan pergaulan internasional berlandaskan
hak asasi manusia, pluralisme dan lain lain-lain.
Pendek kata, meminjam
ungkapan Binder, liberalism treats religion as opinion and, therefore tolerates
diversity in precisely those realms that traditional belief insists upon without
equivocation. Maka wajarlah jika kemudian ia menilai bahwa Islam and liberalism
appear to be in contradiction (hlm.2)
Dari uraian ringkas di atas dapat
kita simpulkan bahwa paham liberalisme mencakup tiga hal: (1) free thinking; (2)
sophisme; dan (3) loose adherence to and free exercise of religion.
Yang
pertama berarti kebebasan memikirkan apa saja dan siapa saja. “Berpikir kok
dilarang,” ujar mereka. Yang kedua biasanya lebih dikenal dengan istilah
‘sufastha’iyyah’, yakni pandangan-pandangan skeptik, agnostik, dan relativistik.
Sementara yang disebut terakhir tidak lain dan tidak bukan adalah
manifestasi nifaq, dimana seseorang tidak mau dikatakan kafir walaupun dirinya
sudah tidak committed lagi pada ajaran agama.
*) Penulis adalah peneliti
INSISTS di Frankfurt am Main, Jerman. Dimuat di Hidayatullah.com
Sabtu, 10 Maret 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar