Oleh: Abu Jafar Al Samarindi (1)Segala Puji hanyalah milik Allah Pemelihara alam semesta, dan
shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada makhluk-Nya yang
terbaik, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala Alihi wa Ashhabihi ajma’in.
Amma Ba’du :
Kita wajib bersyukur kepada Allah SWT atas anugerah-Nya
yang telah menjadikan kita sebagai muslim yang mengikuti agama Islam. Agama yang
Allah meridhainya sebagai agama bagi seluruh makhluqnya hingga Yaumil Qiyamah.
Dan ketahuilah! bahwa Allah telah memerintahkan kaum Muslimin seluruhnya agar
mereka senantiasa berpegang teguh kepada agama Allah.
Allah berfirman
:
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah
kamu bercerai berai…” QS. Ali Imran (3) : 103
Allah telah
memerintahkan kita mengikuti agama yang haq pada jalan yang lurus (ash-Shirath
al-Mustaqim)! Yang merupakan jalan para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa Sallam semoga Allah meridhai mereka semua.
Oleh karena itu, wajib bagi
kita meyakini bahwa ash-Shirath al-Mustaqim, yang senantiasa kita pinta kepada
Allah di setiap sholat kita, agar Ia menunjuki kita kepada ash-Shirath
al-Mustaqim, dan yang dimaksud adalah al-Qur’an dan as-Sunnah.
Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :
“Aku tinggalkan pada kalian dua
perkara, yang kalian takkan pernah sesat selama kalian berpegang kepada
keduanya, yaitu Kitabullah dan Sunnahku.”
Akhir-akhir ini telah
berkembang dimasyarakat hujatan terhadap Majelis Ulama Indonesia, karena para
ulama tersebut telah mengeluarkan 11 fatwa yang mengingatkan umat Muslim akan
kesesatan ajaran Ahmadiyah dan liberalisme berdasarkan Quran dan hadist.
Hingga hujatan yang tak pantas dilontarkan oleh Ulil Absar Abdalla tokoh liberal
dan pendukung Ahmadiyah terhadap Majelis Ulama Indonesia yang didalamnya
terdapat Syaikh Sahal Mahfudz (Rois Am NU), Ustadz Dien Syamsudin (Ketua PP
Muhammadiyah), Syaikh Omar Shihab dan para ulama lain yang Istiqomah (Semoga
Allah merahmati mereka).
Ulil mengatakan bahwa fatwa-fatwa yang
dikeluarkan adalah konyol dan tolol (detik.com). Astaghfirullahal
adzhiim..
Dengan tak henti-hentinya tokoh-tokoh liberal berupaya
meruntuhkan kepercayaan Umat terhadap ulamanya yang teguh bersandarkan Quran dan
hadist. Salah satu tulisan yang berupaya menyesatkan umat adalah tulisan Abd Moqsith Ghozali aktivis Jaringan Islam Liberal yang
berjudul “ Sesat Menyesatkan”.
Risalah yang penulis sampaikan
ini merupakan bantahan dari tulisan Abd Moqsith Ghozali tersebut sebagai bentuk
nasehat, dengan berupaya menyampaikan sesuai dalil-dalil Quran dan
hadist.
Abd Moqsith berkata :Kosa kata “sesat dan menyesatkan” kian ramai
disuarakan oleh sejumlah aparatur agama di negeri ini, terutama untuk mecap
kelompok dalam umat yang berbeda dengan pandangan
mainstream”
Tanggapan Abu Jafar :
Kalaupun benar yang tuanku
maksud dengan “aparatur agama” adalah ulama. Maka sangat disayangkan ternyata
tuanku abd moqsith tidak pernah membaca alasan dan dalil yang disampaikan para
ulama. Tetapi mengambil tanpa secara ilmiah mengambil kesimpulan bahwa para
ulama menyatakan sesat hanya karena alasan berbeda dengan pandangan mainstream.
Padahal Para ulama walaupun tidak merupakan mainstream tetap akan mengatakan
bahwa yang haq adalah haq dan yang bathil adalah bathil berdasarkan Alquran dan
hadist.[/color]
Abd Moqsith berkata :
Tidak kurang
dari beberapa ulama di MUI Pusat menyatakan bahwa kelompok A, B, C, dan
lain-lain bukan sekedar sesat, tapi bahkan menyesatkan. Tersebutlah ormas-ormas
keagamaan seperti Ahmadiyah dan beberapa lagi yang diputuskan berdasarkan fatwa
MUI sebagai lembaga yang menyebarkan aliran sesat dan menyesatkan. Dien
Syamsuddin, ketua umum PP Muhammadiyah dan sekjen MUI Pusat, menganjurkan agar
kelompok Ahmadiyah membuat agama baru saja jika masih ngotot dengan keyakinannya
bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang nabi.
Beberapa kiai terus
mendorong agar MUI dan PBNU segera mengambil sikap tegas terhadap Jaringan Islam
Liberal (JIL) hanya karena institusi itu mengembangkan tafsir keagamaan yang
kritis-liberal-progresif, menentang oligarki dan otoritarianisme penafsiran
dalam agama.
Tanggapan Abu Jafar :
Tuanku abu Moqsith berupaya
menutupi alasan alasan yang dilontarkan kyai hanya sebatas JIL mengembangkan
tafsir keagamaan yang kritis-liberal-progresif, menentang oligarki dan
otoritarianisme penafsiran dalam agama.
Tuanku Abd. Moqsith ternyata
berusaha menutupi alasan-alasan lain menyangkut perkara akidah. Seperti yang
diungkapkan Dawam Rahardjo pendukung JIL menyatakan “Asas pluralisme dianut
karena berdasarkan realitas, yaitu realitas masyarakat yang majemuk. Dalam
masyarakat yang majemuk itu, otoritas, yaitu negara atau MUI, tidak berhak
menyatakan bahwa agama yang satu benar dan agama yang lain salah atau "sesat dan
menyesatkan" seperti yang dituduhkan kepada Ahmadiyah. Artinya, semua agama
harus dianggap benar, yaitu benar menurut keyakinan pemeluk agama masing-masing.
Sebab, prinsip ini merupakan landasan bagi keadilan, persamaan hak, dan
kerukunan antarumat beragama. Tanpa pandangan pluralis, kerukunan umat beragama
tidak mungkin terjadi”
Dalam konteks ini pendukung JIL menganggap benar
semua agama padahal aqidah Islam meyatakan bahwa Islam adalah satu-satunya agama
yang benar:
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah
Islam” (Ali Imran 19).
“Barangsiapa mencari agama selain dari agama Islam,
maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di
akhirat termasuk orang-orang yang rugi” (Ali Imran 85).
“Untukmulah
agamamu, dan untukkulah agamaku” (Al-Kafirun 6).
Dengan menyatakan
semua agama benar berarti secara tidak langsung menyatakan bahwa orang-orang
yang mengatakan Allah itu ialah Al Masih putera Maryam adalah benar.Padahal
Allah berfirman:
“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata
: ‘Sesungguhnya Allah itu ialah Al Masih putera Maryam.’ Padahal Al Masih
(sendiri) berkata : ‘Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu.’
Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah maka pasti Allah
mengharamkan kepadanya Surga dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi
orang-orang yang dhalim itu seorang penolong pun.” (Al Maidah :
72).
Inilah alasan utama perkara akidah yang coba ditutupi oleh
tuanku Abu Moqsith
Abd. Moqsith berkata :
Selanjutnya
tuanku abu Moqsith melanjutkan “Pertanyaannya, siapa sih yang sebenarnya punya
otoritas atau kewenangan untuk menyatakan bahwa sebuah pandangan disebut sesat
dan menyesatkan. Apakah MUI, NU, Muhammadiyah, atau justru Allah SWT. Di sinilah
saya hendak menegaskan sebuah pendirian bahwa yang memiliki otoritas untuk itu
tidak lain adalah Allah sendiri. Allah lah yang akan memutuskan di akhirat kelak
tentang ajaran-ajaran yang dianggap menyimpang atau tidak. Allah SWT berfirman
di dalam Alquran, inna rabbaka huwa yafshilu baynahum yawmal qiyamah fi ma kanu
fihi yakhtalifun (sesungguhnya Tuhanmu yang akan mengambil kata putus atas
perselisihan yang berlangsung di antara mereka, kelak pada hari kiamat). Di
tempat yang lain, Allah SWT berfirman, inna rabbaka huwa a’lamu biman dhalla ‘an
sabilihi wa huwa a’lamu biman ihtadza (sesungguhnya Tuhanmu adalah yang paling
tahu perihal seseorang yang tersesat dari jalanya dan yang mendapatkan
petunjuk).
Tanggapan Abu Jafar :
Benarlah Allah yang akan
memutuskan kelak dihari kiamat seperti firmanNya dalam Surah As Sajdah (32) :
25 “inna rabbaka huwa yafshilu baynahum yawma alqiyaamati fiimaa kaanuu fiihi
yakhtalifuuna”
“Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang memberikan keputusan di
antara mereka pada hari kiamat tentang apa yang selalu mereka perselisihkan
padanya”.
Tetapi harus diingat bahwa Allah lah yang maha mengetahui
mana orang yang sesat dari jalannya dan mana yang mendapat hidayah. Seperti ayat
yang tuanku Abu Moqsith sitir yang lengkapnya adalah firman Allah dalam surah
An Nahl ayat 16:125 :
“Serulah ke jalan Tuhanmu dengan hikmah kebijaksanaan
dan nasihat pengajaran yang baik, dan berbahasalah dengan mereka (yang engkau
serukan itu)dengan cara yang lebih baik,Sesungguhnya Tuhanmu Dialah jua yang
lebih mengetahui akan orang yang sesat dari jalanNya dan Dialah jua yang lebih
mengetahui akan orang-orang yang mendapat hidayah petunjuk”.
Oleh
karena itu Allah mengutus Rasulullah SAW untuk menunjukkan jalan yang lurus dan
bukan jalan yang sesat. Seperti dalam firmanNya surah Yusuf 108
:
“Katakanlah (Ya Muhammad) : “Inilah jalan (agama)ku. Aku dan
orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan bashirah (ilmu)
aku dan orang-orang yang mengikutiku. Maha Suci Allah dan aku tiada termasuk
orang-orang yang musyrik.”
Sehingga siapa saja yang tidak mengikuti
Rasulullah SAW dan mendurhakainya akan dibiarkan leluasa dalam kesesatannya,
seperti dalam firman Allah Surah AnNisa 115.
“Barangsiapa yang
mendurhakai Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan
jalan orang-orang Mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah
dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam dan Jahannam itu
seburuk-buruknya tempat kembali.”
Oleh karena itu Rasulullah SAW
meninggalkan dua perkara sebagai pegangan agar tidak tersesat yaitu Al Quran dan
Hadist, Rasulullah SAW bersabda :
“Telah kutinggalkan kepada kalian dua
perkara yang bila kalian berpegang-teguh kepada keduanya, maka kalian tidak akan
tersesat untuk selama-lamanya: (ia adalah) Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya.” (Al
Fathul
Kabir,II/27).
Dari hadist tersebut jelaslah siapa saja yang
bersandarkan kepada Al Quran dan hadist maka tidak akan tersesat. Sedangkan yang
jelas-jelas menyelisihi Al Quran dan Hadist akan jelas
kesesatannya.
Dengan bersandar pada Al Quran dan hadist tersebut, maka
para ulama memberikan nasihat mana jalan yang lurus dan mana jalan yang
sesat.
“... Hendaklah kamu menjadi orang-orang Rabbani, karena kamu
selalu mengajarkan Al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya” (Al-Imran
: 79)
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba hambanya
hanyalah Ulama “(QS. Fathir 28)
Rasulullah bersabda : “Ulama adalah
pewaris para nabi” (HR. Ahmad dan At-Tirmidzi dihasankan oleh Al-Hafidz dalam
Fathul Bari).
Dengan demikian maka jelaslah bahwa tugas ulama adalah
memberikan bimbingan dan petunjuk berdasarkan AlQuran dan hadist, sehingga ulama
memiliki kewajiban untuk menunjukkan mana yang sesat dan mana yang haq, mana
yang halal dan mana yang haram.
Dalam penjelasan diatas jelas sekali
bahwa tugas ulama membimbing umat untuk mengetahui mana yang sesat dan mana
jalan yang lurus berdasarkan AlQuran dan Al hadist.
Demikianlah Risalah
ini penulis sampaikan dengan memohon Ridho Allah SWT, Segala kelebihan datangnya
dari Allah dan segala kekurangan berasal dari penulis. Wa billahi
taufiq!
Saudara yang mencintai kalian (majalah
Tabligh)
Footnote:
(1) Kunyah Abihira
Sabtu, 10 Maret 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar