Tren baru liberalisme adalah ‘mencaci al-Qur’an’, menghina ulama, tapi
mendewa-dewakan orientalis.
Sebagian pendukung paham sekularisme dan
liberalisme mungkin tidak sadar, bahwa penyebaran paham ini sejatinya bagaikan
membuka sebuah kotak pandora. Saat kotak itu terbuka, maka terjadilah
peristiwa-peristiwa tragis yang susul-menyusul dan berlangsung secara liar,
sulit dikendalikan lagi. Paham ini – yang biasanya berlindung dibalik jargon
“pencerahan” dan “kebebasan berpikir” – menyimpan agenda-agenda dahsyat
berupa penghancuran agama itu sendiri. Liberalisasi yang tanpa kendali telah
terbukti menjadi senjata pemusnah masal buat agama-agama.
Salah satu
wacana yang berkembang pesat dalam tema sekularisasi dan liberalisasi Islam di
Indonesia saat ini adalah tema “dekonstruksi Kitab Suci”. Maka, proyek
liberalisasi Islam tidak akan lengkap jika tidak menyentuh aspek kesucian
al-Quran. Mereka berusaha keras untuk meruntuhkan keyakinan kaum Muslim,
bahwa al-Quran adalah Kalamullah, bahwa al-Quran adalah satu-satunya Kitab Suci
yang suci, yang bebas dari kesalahan. Sebagaimana kita bahas dua pekan lalu,
sekarang sudah banyak orang dari kalangan Muslim sendiri yang bekerja keras
untuk meruntuhkan otentisitas al-Quran sebagai Kitab Suci umat Islam. Ibarat
dalam satu peperangan, para penghujat al-Quran ini laksana menikam kaum Muslimin
dari belakang.
Diantara tulisan-tulisan itu ada yang dikemas halus dan
cukup ilmiah, sehingga tidak mudah bagi kebanyakan kaum Muslim untuk
mengkritiknya. Tapi, ada juga penulis yang menggunakan bahasa yang kasar dan
caci maki terhadap al-Quran, para sahabat, dan para ulama Islam.
Dalam acara bedah buku Prof. Musthafa A’zhami, The History of The
Quranic Text, di Universitas Islam Negeri Jakarta, 12 Mei 2005, saya
menunjukkan beberapa buku yang kini tersebar bebas dan secara terang-terangan
menyerang kesucian al-Quran. Beberapa diantaranya sudah kita ungkap dalam
catatan terdahulu. Ada satu buku lagi berjudul “Lobang Hitam
Agama” (2005) yang secara terbuka mencaci maki al-Quran dan para sahabat Nabi.
Di dalam buku ini tertulis kalimat-kalimat sebagai
berikut:
“Bahkan sesungguhnya hakikat al-Quran bukanlah “teks
verbal” yang terdiri atas 6666 ayat bikinan Usman itu melainkan
gumpalan-gumpalan gagasan.” (hal. 42).
“Al-Quran bagi saya hanyalah
berisi semacam “spirit ketuhanan” yang kemudian dirumuskan redaksinya oleh
Nabi.” (hal. 42).
"Oleh karena itu, Nabi, sahabat, dan pengalaman
komunitas Mekkah dan Madinah (tajribatul madinah wa makkah) pada hakikatnya
adalah “co-author” karena ikut “menciptakan” al-Quran.” (hal.
43).
“Seandainya (sekali lagi seandainya) Pak Harto berkuasa ratusan
tahun, saya yakin Pancasila ini bisa menyaingi al-Quran dalam hal
“keangkerannya” tentunya.” (hal. 64).
“Al-Quran, sehingga menjadi “Kitab
Suci” (sengaja saya pakai tanda kutip) juga tidak lepas dari peran serta
“tangan-tangan gaib” yang bekerja di balik layar maupun diatas panggung politik
kekuasaan untuk memapankan status al-Quran. Dengan kata lain, ada proses
historis yang amat pelik dalam sejarah pembukuan al-Quran hingga teks ini
menjadi sebuah korpus resmi yang diakui secara konsensus oleh semua umat Islam.
Proses otorisasi sepanjang masa terhadap al-Quran menjadikan kitab ini sebuah
scripto sacra yang disanjung, dihormati, diagungkan, disakralkan dan dimitoskan.
Padahal sebagian dari proses otorisasi itu berjalan dan berkelindan dengan
persoalan-persoalan politik yang murni milik Bangsa Arab. Bahkan proses turunnya
ayat-ayat al-Quran sendiri tidak lepas dari “intervensi” Quraisy sebagai suku
mayoritas Arab.” (hal. 65)
“Di sinilah maka tidak terlalu meleset jika
dikatakan, al-Quran, dalam batas tertentu, adalah “perangkap” yang dipasang
bangsa Quraisy (a trap of Quraisy).” (hal. 65).
“Kita tahu, al-Quran yang
dibaca oleh jutaan umat Islam sekarang ini adalah teks hasil kodifikasi untuk
tidak menyebut “kesepakatan terselubung” antara Khalifah Usman (644-656M) dengan
panitia pengumpul yang dipimpin Zaid bin Tsabit, sehingga teks ini disebut
Mushaf Usmani.” (hal. 65).
“Maka, penjelasan mengenai al-Quran sebagai
“Firman Allah” sungguh tidak memadai justru dari sudut pandang internal, yakni
proses kesejarahan terbentuknya teks al-Quran (dari komunikasi lisan ke
komunikasi tulisan) maupun aspek material dari al-Quran sendiri yang dipenuhi
ambivalensi. Karena itu tidak pada tempatnya, jika ia disebut “Kitab Suci” yang
disakralkan, dimitoskan.” (hal. 66)
“Dalam konteks ini, anggapan bahwa
al-Quran itu suci adalah keliru. Kesucian yang dilekatkan pada al-Quran (juga
kitab lain) adalah “kesucian palsu” – pseudo sacra. Tidak ada teks yang secara
ontologis itu suci.” (hal. 67).
“Setiap teks memiliki keterbatasan
sejarah. Karena itu, setiap generasi selalu muncul “agen-agen sejarah” yang
merestorasi sebuah teks. Musa, Jesus, Muhammad Sidharta, Lao Tze, Konfusius,
Zarasthutra, Martin Luther, dan lainnya adalah sebagian kecil dari contoh
agen-agen sejarah yang melakukan restorasi teks. Tapi produk restorasi teks yang
mereka lakukan bukanlah sebuah “resep universal” yang shalih likulli zaman wa
makaan (kompatibel di setiap waktu dan ruang). Mereka tidak hadir di ruang
hampa, mereka datang di tengah-tengah kehidupan manusia yang beragam dengan cita
rasa yang berlainan pula. Jika mereka sudah melakukan restorasi teks atas teks
sebelumnya, maka generasi pasca mereka mestinya melakukan hal yang sama dengan
apa yang telah mereka lakukan: restorasi teks. Berpegang teguh secara utuh
terhadap sebuah teks sama saja dengan berpegangan barang rongsokan yang sudah
usang.” (hal. 70-71).
Begitulah tulisan-tulisan yang terdapat
dalam buku yang terbit di Yogyakarta tersebut. Ajaibnya, buku seperti ini
mendapat pujian berbagai tokoh. Dr. Moeslim Abdurrahman, cendekiawan Muhammadiyah
menulis bahwa buku ini, “perlu dibaca oleh siapa saja yang ingin ber-taqarrub
untuk mencari kebenaran.”
Ahmad Tohari, budayawan, penulis kolom
resonansi di Harian Republika, juga menulis, “Buku ini menawarkan ruang luas
bagi pemahaman agama yang manusiawi karena asas pluralisme yang diusungnya.”
Penulis buku ini juga disebut dibagian awal buku sebagai ‘pemikir muda Indonesia
“paling menonjol” saat ini, terutama dalam bidang sosiologi agama’. Dalam
pengantar buku, seorang Direktur Freedom Institute, menyebutkan, bahwa buku ini
perlu diapresiasi dan disambut dengan baik. Tentu saja, kita patut mengapresiasi
dan menyambut baik semua karya-karya ilmiah yang bermutu tinggi, yang didukung
dengan data-data yang baik dan jujur.
Tetapi, kita juga wajib menguji dan
menilai, apakah memang buku semacam ini merupakan buku ilmiah yang layak
diperhitungkan. Jika ditelaah secara cermat, banyak isi buku ini yang lebih
merupakan khayalan, luapan emosi, dendam, dan kemarahan penulisnya.
Misalnya, di bagian awal bukunya, penulis menyebutkan: “Jika kelak di
akhirat, pertanyaan di atas diajukan kepada Tuhan, mungkin Dia hanya tersenyum
simpul. Sambil menunjukkan surga-Nya yang mahaluas, di sana ternyata telah
menunggu banyak orang, antara lain, Jesus, Muhammad, Sahabat Umar, Ghandi,
Luther, Abu Nawas, Romo Mangun, Bunda Teresa, Udin, Baharudin Lopa, dan
Munir!”
Bukankah cerita seperti ini hanya sebuah khayalan dan fantasi?
Sorga yang sudah dikunjungi si penulis? Lihatlah, juga, dalam memandang
al-Quran, penulis menggunakan nada-nada kecaman keras dan penghinaan kepada
Sayyidina Usman r.a. Padahal, tindakan beliau dalam memprakarsai penghimpunan
al-Quran diakui dan dihormati oleh kaum Muslimin. Semua sahabat Nabi ketika itu
menyetujuinya. Bahkan, Sayyidina Ali r.a. yang memiliki Mushaf pribadi juga
menyatakan: “Demi Allah, dia (Utsman r.a.) tidak melakukan apa-apa dengan Mushaf
tersebut, kecuali dengan persetujuan kami semua.”
Ulama besar Abu ‘Ubayd
juga pernah berkata: “Usaha Utsman (r.a.) mengkodifikasi al-Quran akan tetap dan
sentiasa dijunjung tinggi, karena hal itu merupakan sumbangannya yang paling
besar. Memang dikalangan orang-orang yang menyeleweng ada yang mencelanya, namun
kecacatan merekalah yang tersingkap, dan kelemahan merekalah yang terbongkar.”
Jika memang Mushaf Utsmani terkait dengan rekayasa politik Utsman r.a.
untuk mengokohkan kedudukannya dan kedudukan kaum Quraisy, maka logikanya,
sepeninggal beliau, tentunya akan datang silih berganti penguasa-penguasa yang
membuat Mushaf baru. Sepeninggal Bani Umayyah, mestinya Bani Abbasiyah juga
membuat al-Quran baru. Begitu juga Bani Batimiyah, Bani Utsmaniyah, dan
seterusnya. Tapi, semua ini tidak terjadi dalam sejarah kaum Muslimin. Bagaimana
pun kerasnya pertentangan politik, tidak sampai mereka terpikir untuk membuat
al-Quran baru, menghujat Sayyidina Utsman, apalagi menghinanya.
Ketika
kita mendiskusikan buku Prof. A’zhami yang begitu serius dan berkualitas ilmiah
tinggi, lalu kita membaca buku “Lobang Hitam Agama” ini, tampak dengan jelas,
bagaimana rendahnya kualitas ilmiah buku ini. Entah apa yang menyebabkan penulis
buku ini seperti menyimpan dendam dan kebencian yang begitu besar terhadap
al-Quran dan sahabat Nabi Muhammad saw yang mulia. Padahal, penulis yang alumnus
Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga ini begitu hormat terhadap seorang
orientalis bidang al-Quran bernama Arthur Jeffery, dan mengutip pendapatnya
tanpa kritis. (hal. 65).
Jika dengan Jeffery dia begitu hormat, ternyata
tidak sebaliknya dengan para sahabat, khususnya Sayyidina Utsman. Padahal, sudah
begitu banyak kajian kritis terhadap karya-karya Arthur Jeffery tentang
al-Quran. Prof. A’zhami sendiri dalam bukunya banyak memberikan kritik-kritik
dan membongkar kekeliruan Jeffery. Tetapi, penulis yang dipuji-puji sebagai
pemikir muda yang menonjol ini tidak mempedulikan studi kritis semacam itu, dan
lebih suka melampiaskan hawa nafsunya untuk “menghabisi” Mushaf Usmani.
Kita sebenarnya sangat berharap munculnya pemikir-pemikir muda muslim
yang jujur, ikhlas, tawadhu’, dan serius dalam kajiannya. Jika penulis ini
berpendapat bahwa Rasulullah saw adalah yang menyusun redaksi al-Quran, mestinya
dia menyertakan bukti-buktinya. Bukankah pendapat ini adalah tidak lebih dari
sebuah khayalan?
Berwacana memang tidak dilarang. Tetapi, menyebarkan
pemikiran-pemikiran yang salah, mengandung konsekuensi tanggung jawab yang berat
di akhirat nanti. Karena itu, kita mengingatkan, semoga penulis buku itu
bertobat dan mengaji yang serius dan ikhlas tentang Islam. Sayang sekali jika
potensi akal cerdas yang diberikan oleh Allah SWT justru digunakan untuk
menyesatkan umat manusia. Kasihan dirinya, kasihan orang tuanya yang nantinya
hanya mengharapkan doa dari anak yang shalih, bukan anak yang salah. Jika ada
gagasan baru, sebaiknya gagasan ini didiskusikan secara terbatas, dikaji
mendalam, dikonsultasikan dengan para ulama yang otoritatif dalam keilmuan,
sebelum dilemparkan keluar. Wallahu a’lam. (Jakarta, 13 Mei
2005/Hidayatullah.com)
Sabtu, 10 Maret 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar