Pages

Sabtu, 10 Maret 2012

Menjawab Islam Liberal [Art. Dawam Rahardjo]

Assalamu'alaykum Wr. Wb.,Artikel saya berikut ini merupakan tanggapan maupun jawaban terhadap salah satu artikel Sdr. Dawam Rahardjo berjudul : Negara Tak Perlu Mengatur Kepercayaan sebagaimana yang dimuat dalam dalam situs Jaringan Islam Liberal.

Artikel ini saya kirim keforum milis MyQuran, dan eramuslim dimana saya aktif pada ketiga milis tersebut dan tidak lupa saya juga mengirimkan tulisan ini kealamat email Sdr. Ulil Abshar Abdhalla dan juga redaksi situs Islam Liberal yang saya temukan dialamat http://islamlib.com/id/kontak.php dengan harapan tulisan ini memang sampai ketujuan sebenarnya.

Sebagai sedikit perkenalan bagi anda yang berada dikomunitas Islam Liberal, nama saya Armansyah dengan latar belakang pendidikan Komputer dan sekarang berdomisili di Palembang. Saya bukan seorang ustadz dan bukan pula santri dari salah satu pesantren manapun, tidak juga berasal dari kalangan organisasi keagamaan semacam NU ataupun Muhammadiyah (yang merupakan basis dari Sdr. Ulil dan Sdr. Dawam), singkatnya saya hanyalah seorang hamba Tuhan yang mempelajari agama "secara otodidak".

Pemahaman saya tidak terikat atau tersekat oleh madzhab manapun dan sekte apapun, saya Muslim yang memandang Islam sebagai sebuah ajaran yang universal atau Islam yang Rahmatan lil'alamin (tetapi maaf, saya tidak setuju istilah Liberal disamakan dengan istilah Universal), lebih jauh anda bisa melihat profile saya pada situs : http://armansyah.swaramuslim.net/biodata.html

Untuk menghemat pembicaraan ... saya akan langsung memulai tanggapan saya ...



Sdr. Dawam Rahardjo menulis :
Kebebasan beragama merupakan hak asasi tiap warganegara Indonesia yang telah dilindungi konstitusi NKRI. Hak sipil tiap anak bangsa itu harus tetap dilindungi oleh negara yang mengaku demokratis. Namun hak asasi yang paling mendasar itu, kini rentan dirampas dengan kekerasan oleh pihak-pihak tertentu. Negara yang demokratis tak boleh membiarkan tren itu berlangsung terus.



Tanggapan Saya :
Anda benar, setiap orang boleh dan memiliki hak dalam menjalankan syariat agama serta keyakinannya secara bebas. Hal ini tidak hanya berlaku bagi tatanan negara yang menurut anda bersifat demokratis akan tetapi memang secara dogmawi pernyataan ini telah diserukan didalam kitab suci oleh Tuhan sendiri. Bahwa Allah mengakui kemajemukan yang ada dalam sebuah masyarakat dan untuk itu tidak ada pemaksaan-pemaksaan tertentu atas suatu keyakinan, apalagi misalnya itu untuk memeluk ajaran Islam. Nabi Muhammad sendiri dalam menyampaikan dakwah senantiasa dengan jalan yang persuasif, beliau tidak mengirimkan armada perang untuk memaksa sebuah negara agar memeluk ajaran Islam sebaliknya beliau hanya mengirimkan delegasi-delegasi damai yang bertugas sebagai pembawa pesannya kepada para pimpinan negara tetangga.

Rujukan ayat-ayat al-Qur'an yang saya maksud adalah : Qs. Huud 11: 118 ; Qs. az-Zukhruf 43: 33 ; Qs. al-Baqarah 2: 256 ; Qs. al-Kaafirun 109:6 dan Qs. al-Hujuraat 49:13

Tapi sayangnya ... ide diberlakukannya Piagam Jakarta yang memuat kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya malah tidak bisa diwujudkan justru dengan alasan konyol kaum kafir.

Sdr. Dawam Rahardjo menulis :
Soal pengertian, orang yang menentang kebebasan beragama terkadang mengatakan bahwa mereka menolak karena kebebasan itu memang ditafsirkan sebagai kebebasan yang sebebas-bebasnya, atau kebebas-bebasan. Padahal yang kita inginkan dari kebebasan tidaklah begitu. Kebebasan selalu diikuti dengan tangung jawab, sehingga menjadi kebebasan yang bertanggung jawab.

Apa itu kebebasan yang bertanggung jawab? Kebebasan yang bertanggung jawab adalah kebebasan yang tidak menimbulkan kerugian atau kecelakaan bagi orang lain, sekaligus menghargai dan melindungi kebebasan orang lain. Itulah yang sesungguhnya bentuk kongkret dari kebebasan yang bertanggungjawab.


Tanggapan Saya :
Secara teori saya setuju dengan apa yang anda maksud sebagai kebebasan yang bertanggung jawab ini. Akan tetapi fakta dilapangan berbicara lebih dari apa yang terdapat didalam teori tadi. Saya berpendapat bahwa tetap harus ada aturan main yang disepakati dalam melakukan kebebasan yang bertanggung jawab tersebut, defenisi yang anda berikan masih terlalu luas dan masih bisa dimulti tafsirkan sehingga membuat pernyataan anda sangat mungkin disalah terjemahkan oleh sebagian orang.


Sdr. Dawam Rahardjo menulis :
Kebebasan beragama menyangkut atau termasuk juga kebebasan untuk tidak beragama. Bersikap atheis boleh saja. H. Agus Salim, seorang pemimpin besar Islam di masa kemerdekaan, pernah mengatakan, orang atheis atau orang tidak beragama tetap punya hak hidup di Indonesia. Jadi mereka punya kekebasan untuk hidup.


Tanggapan Saya :
Masalah hidup atau berdomisili saya rasa setiap orang pada dasarnya berhak untuk menentukan dimana saja dia inginkan, bumi Allah ini terbuka bagi siapapun, entah dia kafir atau muslim, dia atheis atau non-atheis, bukti nyata kita lihat dunia ini sarat dengan berbagai bentuk masyarakat yang berbeda agama, adat-istiadat, keyakinan dan sebagainya ... jika memang bumi ini hanya terbuka bagi orang-orang yang Muslim saja, niscaya orang-orang diluar kelompok ini akan diberangus sejak lama oleh sang empunya bumi itu sendiri, yaitu Allah azza wajalla.

Jadi sekali lagi ini tidak hanya menyangkut Indonesia saja dan tidak pula hanya menyangkut sistem kenegaraan semata ...

Sdr. Dawam Rahardjo menulis :
Tapi di sini, saya tetap membedakan sikap atheis dengan atheisme. Atheisme merupakan paham yang dipropagandakan atau disiarkan ke khalayak. Konsekuensinya adalah sikap anti-agama. Kalau kembali ke konstitusi Indonesia, saya rasa sikap itu akan dilarang karena kita sudah mendasarkan diri pada sila Ketuhanan Yang Maha Esa.

Ketuhanan Yang Maha Esa antara lain berarti tidak membolehkan kebebasan untuk bersikap anti-agama atau tidak suka terhadap agama tertentu seperti yang pernah ada di negara-negara komunis atau sebagian negara Eropa Barat.


Tanggapan Saya :
Sdr. Dawam ... jika kita lihat secara langsung kehidupan ditatanan akar rumput, apa yang disebut sebagai sikap atheis dan atheisme nyaris tidak bisa dibedakan sebagaimana yang anda utarakan diatas. Orang yang atheis pada saat dia mengomentari sesuatu hal pasti akan melakukannya berdasarkan keyakinan atheisnya yang boleh jadi secara tidak langsung dapat menyebar atau merasuk pada pemikiran orang-orang lain yang sebelumnya bukan seorang atheis sehingga orang itu jika terus-terusan bergaul dengan orang yang atheis tadi cepat atau lambat pasti ikut terpengaruh, apalagi jika dia sangat awam dalam beragama.

Karenanya ya saya setuju sekali bila dengan dasar pertimbangan kemaslahatan umat beragama, maka negara kita melarang pemahaman anti-agama tersebut untuk tinggal, hidup serta menyebarkan keyakinannya di Indonesia.

Berbicara masalah konsep Ketuhanan Yang Maha Esa, sebenarnya jika mau jujur, inipun tidak berlaku untuk orang-orang dari ajaran Katolik, Protestan dan sejenisnya yang berpahamkan Tritunggal, sebab konsep mereka jelas bukan lagi bersumber pada Ketuhanan Yang Maha Esa. Disana ada Tuhan Yesus serta Tuhan Roh Kudus yang diklaim juga sebagai Tuhan selain Tuhan Bapa. Dan bagaimanapun hebatnya mereka berusaha menjelaskan atau mendeskripsikan sistem ketuhanan Bapa, Yesus dan Roh Kudus yang menurutnya sangat misterius itu kedalam konsep Ketuhanan Yang Maha Esa dinegara Indonesia ini, mereka sebenarnya tetap tidak memenuhi kualifikasi yang sesungguhnya dari Ketuhanan Yang Maha Esa itu sendiri.

- Panjang lebar masalah ini saya kupas dalam salah satu artikel saya bisa anda akses di http://armansyah.swaramuslim.net/analisa_trinitas.htm

Akan tetapi faktanya ... dinegara yang berkonsep Ketuhanan Yang Maha Esa ini masih bisa tumbuh subur ajaran-ajaran yang justru tidak mengesakan Tuhan, karenanya saya melihat kita sendiripun justru sudah tidak konsekwen dengan konsep tersebut dalam sistem berkenegaraan. Untuk urusan atheis kita memang tegas menggunakan konsep itu namun sebaliknya terhadap keberadaan agama yang bertuhan plural kita malah membuat konsep itu menjadi tumpul dan mencari-cari celah memulti tafsirkannya.


Sdr. Dawam Rahardjo menulis :
Kita tahu, dalam hadis sudah banyak gambaran tekstual tentang segi-segi fisik nabi. Jadi dengan membaca hadis-hadis itu, seorang pelukis sebenarnya bisa melukiskan bentuk orang yang kira-kira mirip dengan gambaran hadis tadi tentang nabi. Tapi kalau nabi digambarkan gendut, padahal di hadis nabi itu digambarkan langsing, itu sudah disinformasi.

Sebab secara logika, nabi tak mungkin gendut, karena dia sehari makan sehari tidak. Kalau berjalan, dia seperti orang yang turun gunung alias cepat. Tidak mungkin orang gemuk bisa jalan cepat. Karena itu, kalau tidak digambarkan seperti itu, mungkin gambar itu bisa dibilang bodoh, tidak punya dasar, atau mungkin diniatkan untuk memberi citra buruk mengenai Nabi Muhammad dan agama yang dibawanya. Itu tidak boleh.



Tanggapan Saya :

Mungkin anda lupa bahwa dalam beberapa hadis, justru perawakan Nabi digambarkan bertubuh gemuk, terutama ditahun-tahun terakhir kehidupan beliau Saw, berikut akan saya tuliskan satu hadis diantaranya :

Dari Ummi Qais binti Mahsun, sesungguhnya Nabi Saw ketika sudah berumur lanjut dan gemuk, ia memakai tongkat dalam sholat, ia bertekan dengannya. - Riwayat Abu Daud

Sumber :
Terjemahan Nailul Authar Jilid 2
Himpunan Hadits-Hadits Hukum
hal 631 Bab : Dimakruhkannya Menganyam jari-jari ...
Diterbitkan oleh PT. Bina Ilmu Jl. Tunjungan 53 E Surabaya, 1993 Telp. 031-40076 / 523214
Terjemahan dari kitab Nailul Authar oleh Asy Syaukani dari kitab al-muntaqa Ibn Taimiyah



Sdr. Dawam Rahardjo menulis :
Apakah seseorang yang puas menjadi atheis boleh mengikrarkan diri sebagai seorang atheis dalam negara Pancasila?

Menurut saya boleh. Di Perancis, Jean Paul Sartre terang-terang menyatakan diri atheis. Di Inggris, Bertrand Russel menyatakan diri agnostik atau setengah atheis. Itu mestinya boleh, asal jangan membuat propaganda kebencian, apalagi penghinaan terhadap suatu agama. Dalam sejarah kesastraan Indonesia, ada seorang yang bernama Suradal. Dia menyatakan diri atheis, sebab di tahun 1950-an para penyair Indonesia masih berada dalam iklim yang cukup bebas dan cukup sekuler. Jadi, mereka berani terang-terangan mengatakan itu.

Tapi dengan berkembangnya kekuatan Islam sebagai mayoritas, banyak orang yang takut menyatakan diri atheis. Sebab kalau bilang tidak bertuhan atau tidak beragama, dia tak akan dapat KTP. Karena itu, banyak yang menyembunyikan atau menyimpan keatheisannya. Mereka tetap menyatakan diri Islam, Budha, Keristen, atau lainnya, sekalipun mereka sesungguhnya tidak percaya pada suatu agama.



Tanggapan Saya :

Pernyataan anda ini menjadi rancu dengan pernyataan anda sebelumnya yang menyebutkan bahwa paham atheis seyogyanya dilarang dinegara kita, sebab bertentangan dengan konsep Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini benar-benar sebuah sikap yang mendua, apalagi dibagian akhir komentar anda ini jelas-jelas anda malah menyebut Islam sebagai alasan orang takut menyatakan diri atheis.

Jelas sangat tidak obyektif dan tidak ada nilai kejujuran didiri anda, sebab fakta negara Indonesia ini meskipun mayoritasnya Islam tetapi sistem hukum yang dianut bukanlah negara agama dan tidak pula menerapkan hukum-hukum Islam dalam konsep bernegara; malah sejarah mencatat setiap kali ada usaha untuk menegakkan syariat Islam bagi para pemeluknya dinegara ini selalu dihalang-halangi bahkan sampai diperangi.

Sekali lagi, saya katakan anda tidak cukup jujur dalam hal ini.
Bukan keberadaan Islam yang menyebabkan orang Atheis takut mengutarakan keatheisannya namun karena memang konstitusi kita, Pancasila kita, UUD45 kita-lah yang mengatur hal ini.



Sdr. Dawam Rahardjo menulis :
Negara harus bersikap netral terhadap semua agama dan tak boleh melarang timbulnya suatu aliran kepercayaan atau agama apapun. Kalau ada suatu kelompok yang misalnya ingin mendirikan agama sendiri, seperti Komunitas Eden, itu tak bisa dilarang oleh negara. Artinya, biar pasar atau masyarakat yang menilai. Kalau agama itu mengajarkan hal yang aneh-aneh, pasti dia akan ditolak oleh masyarakat. Biar masyarakat yang menolak.

Tapi menolaknya hendaklah dengan cara tidak ikut aliran itu saja, bukan dengan melakukan tindak-tindak kekerasan dalam rangka menghukum mereka. Sebab di Qur’an sendiri sudah dikatakan bahwa yang punya hak menghukum keyakinan seseorang kelak hanyalah Tuhan. Hanya Aku yang berhak menghukum, sementara kamu hanya bertugas untuk menyampaikan, memberi kabar. Menghukum adalah urusan-Ku, kata Tuhan.



Tanggapan Saya :

Disinilah letaknya apa yang sudah pernah saya singgung sebelumnya bahwa defenisi kebebasan bertanggung jawab yang anda berikan masih terlalu luas dan masih bisa dimulti tafsirkan termasuk oleh diri anda sendiri.

Dalam membangun sebuah negara, kita tidak bisa menyamakannya dengan konsep menjual barang dagangan dipasar, dimana ada dua atau lebih pedagang yang berjualan barang yang sama dengan berbagai model harga dan statusnya. ; Ada yang jual mahal tapi manis, ada yang jual murah tapi agak masam, ada pula yang berjualan dengan harga terjangkau tetapi manis tidak masampun tidak dan seterusnya.

Dipasar seperti itu, orang bebas saja mau membeli yang mana, pedagang seperti apa, model bagaimana dan lain sebagainya.
Bagi yang dianggap tidak layak mungkin tidak akan dibeli orang dan tentu tidak akan perlu terjadi tindak kekerasan apapun (meski banyak juga kejadian dilapangan orang yang berantem gara-gara merasa tersaingi dagangannya).

Didalam bernegara, jelas harus ada rambu-rambu yang jelas yang mengatur tumbuh kembangnya sebuah ajaran atau agama dinegara tersebut, sebab ini menyangkut orang banyak dan tidak jarang memiliki persinggungan kuat dengan agama-agama lain yang sudah ada. Misalnya ya seperti yang anda katakan itu : komunitas Eden, mereka ini jelas bersinggungan dengan agama Islam yang digunakan sebagai basis awal yang akhirnya diselewengkan dan membuat keresahan dimasyarakat serta secara dogmawi telah menimbulkan kerugian bagi agama Islam dan umatnya.

Ingat, anda pernah mengatakan "Kebebasan yang bertanggung jawab adalah kebebasan yang tidak menimbulkan kerugian atau kecelakaan bagi orang lain, sekaligus menghargai dan melindungi kebebasan orang lain" - lihat kembali tulisan anda tersebut dibagian atas artikel saya ini.

Jelas kehadiran serta sepak terjang komunitas Eden sudah diluar dari batasan kebebasan yang bertanggung jawab sebagaimana anda maksudkan, oleh karenanya tidak usah disalahkan bila terjadi tindakan spontanitas dari masyarakat -terutama umat Islam- yang merasa terganggu dengan keberadaannya, sementara pihak pemerintah bergerak cukup lamban menangani masalah tersebut.

Saya tidak tahu seberapa jauh anda memahami komunitas Eden ini, namun sebagai informasi, saya pernah melakukan Mubahalah dengan Lia Aminuddin diawal berdirinya gerakan mereka yang waktu itu masih memakai nama Salamullah, anda bisa melihat juga analisa lengkap yang saya lakukan terhadap jemaah ini berikut dengan jemaah Ahmadiyah pada situs saya di : http://armansyah.swaramuslim.net/ahmadi_salam.htm



Sdr. Dawam Rahardjo menulis :
Sebab di Qur’an sendiri sudah dikatakan bahwa yang punya hak menghukum keyakinan seseorang kelak hanyalah Tuhan. Hanya Aku yang berhak menghukum, sementara kamu hanya bertugas untuk menyampaikan, memberi kabar. Menghukum adalah urusan-Ku, kata Tuhan.



Tanggapan Saya :

Anda terlalu meliberalkan kontekstual serta sejarah yang berlaku didalam kehidupan beragama dan bernegara, konsep anda semakin terasa kosong dari makna.

Sebab para Nabi dan Rasul itu diutus selain sebagai pembawa kabar dan penyampai wahyu, mereka juga berfungsi sebagai pemimpin dan hakim yang mengatur tata cara berkehidupan didalam masyarakat termasuk dalam hal berkeyakinan. ; Misal anda bisa melihat dalam sejarah turunnya surah 9 at-Taubah ayat 107 dan seterusnya, atau juga kisah bagaimana Nabi memerangi keyakinan terhadap sistem keberhalaan masyarakat dikota Mekkah dan Madinah, memerangi keyakinan yang dikobarkan oleh Musailamah al-Kadzab ... atau misalnya bagaimana juga dengan cara Ibrahim yang menghancurkan berhala yang menjadi kepercayaan atau keyakinan dari kaumnya ... juga Musa alaihissalam yang menghukumi sesat keyakinan yang sudah dikobarkan oleh Samiri ditengah masyarakat.

Maka Kami jadikan yang demikian itu peringatan bagi orang-orang di masa itu dan bagi mereka yang datang kemudian, serta menjadi pelajaran bagi orang-orang yang bertaqwa. -Qs. al-Baqarah 2:66

Dan sesungguhnya Kami telah menurunkan kepada kamu ayat-ayat yang memberi penerangan, dan contoh-contoh dari orang-orang yang terdahulu sebelum kamu dan pelajaran bagi orang-orang yang bertaqwa. -Qs. an-Nuur 24:34

Anda sebagai orang yang ahli dibidang agama, apalagi pernah aktif diorganisasi Muhammadiyah seharusnya bisa lebih tahu dan mengerti mengenai hal ini, tetapi sayang pernyataan yang anda kemukakan malah menunjukkan citra anda sebagai orang yang memang tidak paham dan mengerti agama ... juga bernegara.

Negara adalah keluarga dalam ruang lingkupnya yang luas dan besar, dia punya kepala negara yang berfungsi sebagai Imam atau pemimpin rumah tangga, dan lazimnya didalam keluarga atau negara, tentu ada yang namanya aturan perundang-undangan .... ini salah satu mekanisme hukum agar negara itu tidak labil dan bisa mengayomi kemajemukan yang ada dalam masyarakatnya sehingga tidak timbul kekacauan demi kekacauan.

Saat sesuatu itu berkembang dan berubah menjadi kekacauan, adalah tugas kepala negara melalui aparatur atau pembantu-pembantunyalah melakukan tindakan yang tegas termasuk menghukum orang yang menjadi sebab terjadinya kekacauan itu. Dengan demikian negara bisa berdiri dan berdaulat secara penuh, hanya omong kosong saja negara tidak perlu dengan aturan atau perundang-undangan. Ini pemikiran yang keblinger.

Perut saja perlu aturan makan kok ... coba kacaukan pola makan standar ... perut akan berontak dan akan menghukum tubuh misalnya dengan penyakit maagh dan sejenisnya, ini baru contoh paling sederhana.


Sdr. Dawam Rahardjo menulis :
Apakah negara yang mengakui kebebasan beragama perlu mencantumkan agama resmi negara?

Tidak. Negara harus sekuler; mesti memisahkan diri dari agama apapun. Namun, ini tidak berarti negara mesti bermusuhan dengan agama tertentu. Soal sikap negara terhadap agama-agama, memang biasanya bervariasi. Negara yang komunis akan sangat keras terhadap agama dan menganggapnya sesuatu yang negatif bahkan sumber penyakit masyarakat.

Di negara sekuler seperti Perancis, ada pembatasan ekspresi keagamaan di ruang publik dalam rangka menjaga ruang publik dari sentimen-sentimen keagamaan. Tapi di negara-negara lain seperti Kanada, ekspresi keagaman berlangsung bebas. Di Amerika, ekspresi keagaman juga berlangsung bebas, sehingga Amerika terkenal dengan para penghotbah, pastur-pastur atau pendeta-pendeta yang kondang dalam mewarnai wacana publik. Kadang-kadang, pertunjukan seperti itu bahkan sering menjadi entertainment atau hiburan tersendiri.



Tanggapan Saya :

Sebagai orang muslim apalagi berpendidikan tinggi, anda pasti tahu apa itu defenisi agama atau ad-Dien.
Kata agama memang sering dipadankan pengertiannya terhadap Dien, padahal istilah Dien jauh lebih kompleks daripada pengertian a-gama yang berarti sesuatu yang tidak kacau. Ada banyak keharmonisan dialam semesta ini, bahkan banyak pula ajaran-ajaran hasil olah manusia yang tidak mengandung kekacauan didalamnya, tetapi lucunya itu tidak disebut sebagai agama meskipun secara maknawiah sama.

Dien merupakan jalan hidup yang berisikan petunjuk, bimbingan dan tuntunan bagi manusia didalam berproses didunia ini selaku Khalifah Tuhan. Karena itu Dien tidak bisa dilepaskan dari satu titikpun celah kehidupan manusia, baik dalam keadaan beribadah vertikal maupun melakukan tugas fungsionaritasnya sehari-hari termasuk dalam bernegara.

Seorang pekerja kantoran dia tidak bisa melepaskan Dien saat dia sibuk dengan semua urusan kantornya, seorang artis pun tidak bisa menanggalkan Diennya saat sedang berada dipanggung menghibur masyarakat dan sebagainya dan seterusnya, apapun status sosial kita, pekerjaan kita, pemikiran kita semuanya tidak terlepas dari Dien yang sudah diturunkan oleh Allah.

Itulah kenapa didalam Islam tidak ada pemisahan antara "agama" dengan kehidupan, jika ada ulama atau kyai sampai mengatakan adanya pemisahan antara agama dan kehidupan termasuk bernegara, maka orang itu belum pantas untuk disebut seorang ulama Islam, belum pantas dia dipanggil seorang kyai, karena pengetahuan dan wawasan ke-Islamannya masih teramat sangat dangkal sekali, mungkin juga dia sudah terpengaruh budaya barat yang memisahkan gereja dari kehidupan namun tetap saja ucapannya tidak bisa dibenarkan baik secara logika ataupun dari sudut pandang "agama" itu sendiri.

Saat Dien atau okelah kita sebut saja dengan agama itu mulai dipisah dari kehidupan sosial, maka saat itu juga manusia akan lepas kendali, dia akan berbuat semau-maunya, dia akan korupsi, dia akan menari telanjang, dia akan membunuh, mabuk-mabukan, melakukan seks bebas, menerbitkan majalah Playboy, melegalisasi pornografi plus porno aksi atas nama seni, meledakkan bom dan berbagai tindak kejahatan lainnya, karena dia tidak ada urusan dengan yang namanya agama, baju agama baru dipakai saat ada acara kawinan, sunatan, tahlilan, maulud Nabi, jumatan, lebaran dan seterusnya. Sungguh saya sangat tidak mengerti pola pikir seperti ini, termasuk pola pikir anda Sdr. Dawam Rahardjo.

Intinya agama itu bisa diterapkan dalam semua bentuk kehidupan dan semua status sosial serta kenegaraan, sebab agama tidak melulu mengatur bagaimana cara sholat atau bagaimana cara berdzikir, tetapi juga mengatur bagaimana cara bernegara, mengatur masyarakat dan tatanan nilai yang ada didalamnya. Akhirnya, Dien atau agama adalah bersifat menyeluruh, bersifat totalitas, mencakup semua aspek kehidupan, terimalah dia dengan kaffah, wajarlah dalam bersikap, jangan memecah belahnya, itulah esensi Dien yang sangat mendasar setelah Tauhid.


Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara kaffah, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaithan. Sesungguhnya syaithan itu musuh yang nyata bagimu. Qs. 2 al-Baqarah: 208

Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya.Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada-Nya orang yang mau kembali (kepada-Nya). QS. 42:13


Dalam kasus pemisahan negara dengan agama yang menurut anda lantas hal ini bisa juga diterapkan didalam Islam padahal Machiavelli (1469-1527) saat ia mengeluarkan teori tersebut disebabkan latar belakang kekacauan yang berkecamuk antara gereja dengan negaranya.

Dibarat sana, jangankan dengan negara ... agamapun bahkan harus dipisahkan dengan ilmu teknologi modern, sebab memang agama dianggap berkonfrontasi terhadapnya. Setiap keterangan ilmu yang tidak sepaham dengan gereja segera dibatalkan oleh Kepala Gereja. Itulah yang terjadi pada Astronom Nicholas Copernicus (1507) yang menghidupkan kembali ajaran orang-orang Yunani dijaman purba yang mengatakan bahwa bukan matahari yang berputar mengelilingi bumi sebagaimana ajaran gereja dan tercantum pada Yosua 10:12-13, melainkan bumi yang berputar dan mengedari matahari.

Galileo Gelilei yang membela teori tersebut pada tahun 1633 diancam hukuman bakar seandainya dia tidak mencabut kembali teori tersebut oleh Inkuisisi, yaitu organisasi yang dibentuk oleh gereja Katolik Roma yang menyelidiki ilmu klenik sehingga sikap gereja yang kaku itu telah menimbulkan tuduhan bahwa agama menjadi penghalang bagi kemerdekaan berpikir dan kemajuan ilmu.

Dari keadaan demikian terjadilah berbagai pemberontakan dari dalam.
Pada tahun 1517 terjadi reformasi yang dipelopori oleh Martin Luther sehingga menimbulkan kelompok Protestan.

Pada tahun 1992, yaitu setelah 359 tahun kecaman kepada Galileo dilontarkan oleh pihak gereja, akhirnya gereja Katolik Roma secara resmi mengakui telah melakukan kesalahan terhadap Galileo Gelilei dan Paus Yohanes Paulus II sendiri telah merehabilitasinya.

Rehabilitasi diberikan setelah Paus Paulus menerima hasil studi komisi Akademis Ilmu Pengetahuan Kepausan yang dia bentuk 13 tahun sebelumnya dengan tugas menyelidiki kasus itu. Komisi ini memberitahukan, anggota Inkuisisi yang mengecam Galileo telah berbuat kesalahan. Mereka menetapkan keputusan secara subjektif dan membebankan banyak perasaan sakit pada ilmuwan yang kini dipandang sebagai bapak Fisika Eksperimental itu.

Semuanya ini jika kita mau jujur adalah karena memang kitab yang diyakini suci oleh pihak gereja dan barat itu bukanlah murni wahyu Tuhan lagi, namun bercampur dengan mitos serta intervensi tangan-tangan manusia jahil lainnya sehingga agama dalam kasus mereka memang hanya menimbulkan kekisruhan saja jika disatukan dengan sistem bernegara dan sains modern.

Sejak jaman dahulu ajaran-ajaran pokok agama telah bercampur-aduk dengan keterangan-keterangan tentang mekanisme alam, baik yang bercorak ilmiah rancu [pseudoscientific], mitos maupun yang bersifat legendaris. Intuisi dasar manusia menyatakan bahwa semua kebenaran itu satu dan saling berkaitan satu sama lain karena itu orang mencampur-adukkan semua hal secara sembrono; fakta dicampur-aduk dan dikacaukan begitu saja dengan nilai.

Orang yang meyakini kebenaran suatu agama juga disuruh percaya begitu saja kepada segala macam mitos penciptaan sehingga kebenaran agama tertutup. Sikap menentang para ilmuwan terhadap agama terutama disebabkan oleh adanya perbedaan antara ilmu pengetahuan yang telah teruji mengenai alam dengan mitos-mitos alegorik yang dipaksakan untuk diyakini sebagai [bukti-bukti] kebenaran tertulis mengenai fakta-fakta kosmologis dan historis yang ada.

Fakta bahwa Islam sendiri tidak pernah menuai konfrontasi dengan Sains maupun sistem kenegaraan ... Madinah dijaman pemerintahan Nabi, Abu Bakar dan Umar mungkin bisa kita jadikan parameter sukses pemberlakuan sistem kenegaraan secara Islam.

Jaman keemasan Islam yang berlangsung selama periode Abbasiyah di Baghdad (750-1258) dan Umaiyah di Spanyol (755-1492), tinggal kenangan belaka.

"Pada jaman orang-orang Eropa masih menyelam dalam kebiadaban yang teramat gelap, Baghdad dan Cordova, dua kota raksasa Islam telah menjadi pusat peradaban yang menerangi seluruh dunia dengan cahaya gilang gemilangnya." demikian kata Dr. Gustave Le Bone.

Dalam permulaan abad pertengahan tak satu bangsapun yang lebih besar sumbangannya untuk proses kemajuan manusia selain dari bangsa Arab. Mahasiswa-mahasiswa Arab sudah asyik mempelajari Aristoteles tatkala Karel Agung bersama pembesar-pembesarnya masih asyik belajar menulis namanya. Disekitar abad X, Cordova adalah kota kebudayaan yang ternama di Eropa dengan Konstantinopel dan Baghdad merupakan kota-kota pusat kebudayaan didunia.


Sdr. Dawam Rahardjo menulis :
Ketiga, semua itu tak cukup kalau tidak diikuti dengan tahap dialog, taaruf, atau saling pengertian antar semua orang yang berbeda pendapat dalam suatu agama sekalipun. Sebab, 93% umat beragama di dunia ini menganut agama tertentu karena kebetulan, bukan melalui proses pencarian yang intensif terhadap apa yang dia anggap benar. Begitulah yang dikatakan teolog Jhon Hicks. Terus terang, saya pada mulanya juga termasuk orang yang beragama tanpa proses pencarian sejak awal. Saya berislam karena bapak/ibu saya memang orang Islam, walau di kemudian hari saya meyakini kebenaran Islam.




Tanggapan Saya :

Mungkin untuk yang terakhir ini kita sama, sayapun pada awalnya Islam karena orang tua beragama Islam, tetapi seiring berjalannya waktu dan bertambah dewasanya diri ini, akhirnya saya mencoba menggali dan membuktikan kebenaran keimanan Islam saya hingga menjadi seperti sekarang ini.

Tidak usah heran, saya sangat universal dalam memahami Islam meski menolak keras mempersamakan universal dengan liberal, saya tidak berpaham diatas dogmawi semata, saya juga tidak menganut sistem taklid dalam beragama, doktrin keagamaan buat saya harus bisa diterima oleh semua kalangan dan dengan akal sehat.

Demikian.,
Kurang dan lebih saya minta maaf ... semoga artikel saya ini bisa memberikan pencerahan atau membangkitkan kembali semangat keagamaan anda yang sudah terangkat oleh nilai-nilai liberalisme barat yang ada.



Wassalam.,


Armansyah
http://armansyah.swaramuslim.net/

0 komentar:

Posting Komentar