“bermegah-megahan telah melalaikan kamu. Sampai kamu masuk dalam kubur (AT-TAKATSUR 1-2)
Beberapa hari terakhir kita di suguhkan pemberitaan terkait institusi
Negara yang berlomba-lomba menguras dana rakyat untuk menyediakan
fasilitas dan keperluan lain di lingkup legislative, eksekutif atau
yudikatif. Entah penyakit apa yang menghinggapi ketiga institusi Negara
itu hingga dana puluhan milyar mengalir untuk hal-hal yang seharusnya
bisa ditekan atau bahkan dipangkas habis. Sebagian mencoba melakukan
pembenaran namun sebagian lain coba untuk menghindar.
Ketidakmasukaakalan nominal yang ada seakan menafikan adanya
permainan yang terbungkus dengan rapi hingga pihak-pihak yang berkaitan
saling lempar tanggungjawab. Semua menjadi bungkam seolah mereka adalah
korban dan tak ada yang menjadi tersangka. Proyek-proyek siluman
menjadikan tanda tanya besar bagi rakyat, untuk apa semahal itu ? dan
untuk siapa sisa nominal yang diluar nalar tersebut ?
Pernahkah mereka berfikir bahwa uang sebanyak itu akan dapat
mengalirkan maslahat bagi rakyat yang membutuhkan. Sama sekali tidak ada
urgensi untuk membangun gedung baru, renovasi ruangan serta derivasinya
hingga peneluaran-pengeluaran yang tidak ada kaitannya dengan kinerja
para pengambil kebijakan di negri ini.
Karena sudah jelas bahwa faham kapitalisme adalah akar dan sumber
yang nyata bagi manusia untuk berbuat di luar batas kodrat atau
kemampuannya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak para penguasa yang
terjebak dalam keadaan ini, lihatlah soekarno yang mengangkat dirinya
menjadi presiden seumur hidup atau soeharto yang berkuaa selama 32 tahun
dengan segala wewenangnya untuk mengarahkan atau mengatur republic ini
sedemikian rupa. Atau sekelas fir’aun yang pada awalnya mempersepsikan
dirinya mirip tuhan dan akhirnya terjebak dengan deklarasi yang
menyatakan bahwa “aku adalah tuhan kalian”
Tak bisa di pungkiri juga di era otonomi daerah ini muncul raja raja
kecil yang mulai menunjukan “kekuasaannya” yang terbukti mereka mampu
mengarahkan milyaran APBD baik provinsi maupun kota/kabupaten
kekantong-kantong tak bertuan yang tentunya menambah pundi-pundi
kekayaan segelintir oknum pejabat daerah. Banyak juga yang
berlomba-lomba untuk mempercantik gedung kantor baik kepala daerah, DPRD
atau dinas terkait di masing-masing wilayah. Belum lagi
pembangunan-pembangunan yang tak ada korelasinya dengan peningkatan
kesejahteraan masyarakat setempat. Itulah pembangun formalitas yang tak
jelas orientasinya, hanya sekedar menghabiskan anggaran .
Sesugguhnya akar permasalahan ini berkaitan dengan harta (kekayaan),
tahta(kekuasaan) dan wanita (syahwat). Sering kita temui pejabat di
daerah mengunjungi konsituennya dengan memberikan uang atau menjanjikan
pembangunan di daerah tersebut dengan tujuan agar ia di akui sebagai
pemimpin atau lebih tepatnya penguasa. Ketika kemuliaan dan kehormatan
sang pemimpin ditukar dengan segepok uang, sekantong sembako atau
iming-iming lain yang bersifat materi. Bahkan tak jarang karena haus
kekuasaan banyak yang bertahan di singgasana atau dengan percaya diri
mencalonkan diri kembali seolah muncul sebagai pembaharu tetapi dengan
isi yang sama.
Terlalu luas ruang yang bisa menghipnotis siapa saja yang berada
dalam lingkaran system seperti sekarang ini. Di mana bisikan setan
lebih kencang dari lantunan ayat-ayat Qur’an. Saat visi pembangunan
membaur dengan kepentingan korporat, segelintir pejabat memulai mencari
celah agar terlihat berwibawa, terhormat atau bahkan pantas di sebut
ustad. Gelimang dunia yang fana hanyalah fatamorgana. Nama besar dan
banyak pengikut bukanlah jaminan setiap orang untuk dapat menjadi
teladan atau panutan. Lebih dari itu banyak yang menggunakan harta
sebagai tameng dari jeratan hukum atau bermewah dalam setiap kesempatan
agar sekedar di bilang “wah” namun tak berisi hingga bisa lepas kendali.
Saatnya kita menjadi garda terdepan dalam mengingatkan mereka yag ada
“diatas” sana, bukan lagi meminta untuk mengeluarkan dalih dan alasan
yang selalu sama. Tetapi mencoba merenungi ketika kecintaan terhadap
dunia(wahn) seperti yang pernah dikatakan rosul adalah benar adanya dan
berakibat takut kehilangan “atribut”, takut kehilangan hartanya, takut
kehilangan jabatan dan posisi bahkan takut kehilangan nyawa(mati).
Mungkin saja sebagian beranggapan ini adalah nikmat dari tuhan yang
harus dihambur-hamburkan namun sebagian berpendapat bahwa ini adalah
ujian kehidupan yang harus dituntaskan. Karena setiap titipan akan
dipertanggungjawabkan
“ dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang
diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang
bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak dan
sawah ladang. Itulah kesenagan hidup di dunia, dan di sisi ALLAHlah
tempat kembali yang baik”
Jumat, 16 Maret 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar