Senin (29/8), sosok pengasong paham sekuler di Indonesia, Nurcholis Madjid menghembuskan napas terakhir di Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta, setelah menjalani sakit beberapa lama. Sejak operasi cangkok hati, pria yang dikenal sering melontarkan gagasan-gagasan kontroversial ini keluar masuk rumah sakit, hingga datang malaikat maut menjemputnya, 29 Agustus lalu.
Pertanyaannya kemudian, apakah gerakan sekulerisme, pluralisme dan liberalisme yang kini dikenal dengan singkatan SEPILIS, akan “mati” dengan mangkatnya Cak Nur? Atau, bagaimana nasib gerakan SEPILIS pasca wafatnya mantan Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) itu? Adakah “pangeran” yang akan menggantikan posisi Cak Nur dalam “mengecer” paham SEPILIS di Indonesia?
Mati satu tumbuh seribu. Begitu kira-kira bunyi sebuah pepatah klasik. Sebagai sebuah paham, ide, pemikiran atau apalah namanya, gerakan SEPILIS tentu saja sulit untuk musnah. Ia akan tetap hidup sepanjang ada orang yang menjajakannya. Mangkatnya Cak Nur, bagi para pengasong SEPILIS bisa jadi sebuah kehilangan, tapi bisa juga merupakan “berkah” terselubung. Artinya, setelah Cak Nur tiada, mereka akan semakin “nyaman” menyebarkan paham SEPILIS karena tidak lagi merasa berada di bawah bayang-bayang nama besar Cak Nur.
Mungkin karena itu, para pengasong paham SEPILIS tak lagi sungkan-sungkan mengambil tongkat estafet dan memproklamasikan diri sebagai “pewaris sah” Cak Nur. Boleh jadi, atas dasar itu, para “pangeran liberal” bermunculan. Tak beberapa lama setelah Cak Nur meninggal, sebuah situs yang dikelola para pengasong liberal memuat sebuah iklan. Isinya adalah sebuah pernyataan rasa duka cita yang mendalam atas meninggalnya Cak Nur. Tapi yang mencengangkan adalah kalimat yang tertuang di akhir iklan yang hingga kini masih terpampang jelas di situs itu. Selain menyebut mendiang Nurcholis Madjid sebagai “Bapak Pluralisme dan Toleransi” di Indonesia, iklan itu juga menulis, “Semoga kami dapat meneruskan perjuangannya”. Sebuah sikap tegas dan jelas dari kaum liberal untuk tetap akan menjadi pengasong paham SEPILIS di Indonesia.
Luthfie Assyaukanie, salah seorang pentolan Jaringan Islam Liberal (JIL) misalnya, menyatakan bangga dengan Cak Nur dan menyebut dirinya “keturunan” sah dari pemikiran Cak Nur. “Ya, saya dan teman-teman, baik di Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah selalu merasa sebagai anak kandung langsung dari pemikiran Cak Nur. Dalam artian, saya dalam banyak hal sejalan dengan pandangan dan pemikiran dari Cak Nur,” tegasnya, penuh sanjungan terhadap buah pikiran yang dikemukakan Cak Nur selama ini.
Lebih jauh Luthfie berpendapat, konsep-konsep Cak Nur yang ditolak masyarakat sekitar tahun 1970-an, saat ini justru mendapat tanggapan positif masyarakat, terutama para kelompok santri. Kekalahan partai Islam pada Pemilu lalu, tambahnya, menunjukkan kebenaran pemikiran politik Cak Nur tersebut. “Secara langsung maupun tak langsung, itu menunjukkan pengaruh (kebenaran—red) pemikiran Cak Nur,” kata sosok yang pendapat-pendapatnya tidak jarang mengundang kontroversial di kalangan umat itu.
Suatu tindakan bodoh jika ada anak kandung mencaci-maki ayah kandungnya sendiri. Kecuali anak itu sudah kehilangan akal sehatnya. Sangat wajar, selaku “anak kandung” pemikiran Cak Nur, Luthfie memuji “bapak kandung”nya sendiri. Namun apakah lantas benar pendapat yang menyatakan kekalahan partai Islam di pemilu lalu merupakan kebenaran pemikiran Cak Nur di tahun 1970-an?
Apa bukan sebaliknya. Justru karena pemikiran politik Cak Nur yang menyatakan “Islam Yes, Partai Islam No” itulah yang menyebabkan partai-partai Islam kalah telak dengan partai-partai nasionalis di setiap pemilu. Karena pemikiran Cak Nur tersebut, kaum Muslimin menjadi takut memilih partai-partai Islam. Akibatnya, partai-partai Islam semakin tak populer dan semakin dijauhi para konstituennya. Dan ujungnya, partai Islam mengalami kekalahan dalam setiap pemilu.
Sanjungan kepada pemikiran dan perjuangan Cak Nur juga datang dari sejawat Luthfie di Jaringan Islam Liberal, yakni Budhy Munawar-Rahman. Selain menyebut Cak Nur sebagai “Bapak Toleransi” Indonesia, Budhy juga begitu sangat berlebihan menyanjung sosok Rektor Paramadina itu. “Karena itu, istilah ‘guru bangsa’ sudah sangat tepat disematkan kepada Cak Nur. Sebagai guru bangsa, pikiran-pikirannya bisa dibandingkan dengan Soekarno, Hatta, Sjahrir, Agus Salim, Cokroaminoto dan para pejuang Indonesia lainnya,” kata Budhy.
Tak hanya sebagai “Guru Bangsa”, di mata Budhy, Cak Nur adalah sosok intelektual yang berpikir jauh ke depan, melebihi pemikiran orang pada umumnya. Menurutnya, pemikiran-pemikiran Cak Nur menginspirasi banyak orang, terutama para pengambil kebijakan di negeri ini. “Pikiran-pikirannya mungkin bukan untuk saat ini, tapi untuk satu generasi masa depan,” ujarnya.
Meski Budhy menyebut Cak Nur sebagai “Guru Bangsa” dan menyanjung pemikiran Cak Nur yang dinilainya berpikir jauh ke depan, apa lantas sanjungan itu menjadi benar?
Bukankah “Guru Bangsa” adalah sebutan untuk orang bijak yang berpikir integral, baik pada urusan dunia maupun akhirat? Nurcholis Madjid, dengan ide sekulernya, apakah bisa disebut sebagai “Guru Bangsa”?
Konsep teologi pluralis ini, tulisnya, memberikan legitimasi kepada kebenaran semua agama. Bahwa pemeluk agama apa pun layak disebut sebagai orang yang beriman dengan makna orang yang percaya dan menaruh kepercayaan kepada Tuhan. Karena itu, semua adalah bersaudara dalam iman. Luthfie Assyaukanie dan Budhy Munawar-Rahman adalah dua orang yang sudah jelas sikapnya pada gerakan SEPILIS. Di luar mereka, tentu saja masih cukup melimpah. Dan pendapat mereka tak kalah konyolnya dari pemikiran Budhy dan Luthfie. Sebut misalnya Abshar Abdalla, Sumanto al-Qurtuby, Hamid Basyaib, Zainun Kamal dan Siti Musdah Mulia.
Sebagai sebuah fenomena sosial, munculnya para “pangeran” pengasong paham liberal pasca mangkatnya pentolan gerakan SEPILIS, Cak Nur, adalah lumrah adanya. Apalagi, mereka juga perlu pengakuan atas jati diri dan nama mereka sendiri, tanpa harus selalu berada di bawah bayang-bayang nama besar Cak Nur.
“Dari berbagai pendapat dan pikirannya, Cak Nur agak malu-malu menyatakan dirinya sebagai penganut paham pluralis. Tapi para juniornya, seperti Budhy Munawar-Rahman, Ulil Abshar Abdalla dan lainnya tidak pernah malu menyebut dirinya pengikut paham liberal, plural dan sekular,” tegas Adian, cendekiawan muda yang getol membantah setiap pemikiran nyeleneh kaum liberal itu.
Terhadap banyaknya para “pangeran” liberal yang bermunculan pasca mangkatnya Cak Nur, Adian mempunyai prediksi sendiri. Ia memperkirakan ada satu orang yang berpeluang besar menduduki “tahta kerajaan” gerakan SEPILIS, sebagai pengganti Cak Nur. Menurutnya, orang yang akan menggantikan posisi Cak Nur adalah Azyumardi Azra. “Ia mempunyai kans besar menggantikan posisi Cak Nur,” ujar ayah lima orang anak ini.
Sedikitnya ada dua alasan mengapa suami Megawati ini berpendapat seperti itu. Pertama, alasan latar belakang Azyumardi. Ia adalah Rektor UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta yang selama ini dikenal sebagai basis liberalisasi Islam di Indonesia. Kedua, berbagai pikirannya yang cukup nyeleneh selama ini.
Sebagai gerakan, paham SEPILIS memang tidak pernah mati. Bahkan, pasca mangkatnya Cak Nur, kaum pendukung liberal makin bermunculan. Waspada adalah mutlak. Namun umat Islam tidak perlu juga merasa takut, karena dalam lintasan sejarah, ide SEPILIS ini tak pernah laku. Jika memang tidak laku, lantas buat apa repot-repot mendapatkan dan “memasarkan”nya. (SABILI) Rivai Hutapea
0 komentar:
Posting Komentar