Di dalam kajiannya yang mendalam tentang sejarah Alquran, Prof Azami menjawab dengan sangat meyakinkan pendapat-pendapat para orientalis. Ia mengkaji sejarah Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dengan menggunakan pendapat-pendapat dari kalangan sarjana Yahudi dan Kristen. Hasil kajiannya menunjukkan sejarah Perjanjian Lama dan Baru mengandung sejumlah masalah yang sangat mendasar dan mustahil untuk diselesaikan. Melalui karyanya itu, Prof Azami menjawab berbagai permasalahan dan terperinci seputar sejarah Alquran. Ia melacak sejarah Alquran dengan menunjukkan berbagai fakta yang sangat meyakinkan. Ia juga membantah berbagai pendapat para orientalis terkemuka dalam studi Alquran.
Pada 30 Maret 2005 ada sebuah peristiwa penting dalam sejarah pemikiran Islam di Indonesia karena kedatangan seorang ulama dan cendekiawan kaliber internasional, Prof Dr Muhammad Mustafa Azami, guru besar Studi Islam di Universitas Raja Saud, Riyadh.
Ia datang untuk meluncurkan bukunya The History of the Qur'anic Text from Revelation to Compilation: A Comparative Study with the Old and New Testaments, pada 2 April, di Senayan Jakarta.
Buku ini telah diterjemahkan oleh tiga orang doktor dari Universitas Islam Internasional yaitu Dr Sohirin Solihin, Dr Ugi Suharto, Dr Anis Malik Thoha, dan Lili Yuliadi, MA.
Di dalam bukunya yang terbaru ini, Prof Azami membandingkan sejarah Alquran dengan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.
Di dalam kajiannya yang mendalam tentang sejarah Alquran, Prof Azami menjawab dengan sangat meyakinkan pendapat-pendapat para orientalis. Sedikit berbeda dengan para ulama dari Timur Tengah yang lain, Prof Azami dalam karya tersebut menggunakan bukan saja referensi dalam bahasa Arab dan Inggris, tetapi juga bahasa Prancis dan Jerman.
Prof Azami mengkaji sejarah Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dengan menggunakan pendapat-pendapat dari kalangan sarjana Yahudi dan Kristen.
Hasil kajiannya menunjukkan sejarah Perjanjian Lama dan Baru mengandung sejumlah masalah yang sangat mendasar dan mustahil untuk diselesaikan.
Ketika para orientalis mengkaji Alquran, mereka sudah mengasumsikan sebelumnya, sejarah Alquran sama saja dengan sejarah ''kitab suci'' mereka.
Disebabkan kitab suci mereka bermasalah, maka Alquran juga diangggap bermasalah.
BENTENG PERTAHANAN.
Karya Prof Azami yang bernilai ilmiah tinggi ini sangat bermanfaat untuk dijadikan benteng pertahanan dalam menghadapi tantangan pemikiran para orientalis yang bertubi-tubi mengkritik Alquran.
Dengan menggunakan alat biblical criticism sejak abad ke-19, para orientalis telah membuat berbagai teori baru mengenai sejarah Alquran, seperti yang diformulasikan Theodor Noldeke (1836-1930), Friedrich Schwally (1919), Edward Sell (1839-1932), Gotthelf Bergstraesser (1886-1933), Leone Caentani (1869-1935), Otto Pretzl (1893-1941), Hartwig Hirschfeld (1854-1934), Joseph Horovitz (1874-1931), Richard Bell (1876-1953), Alphonse Mingana (1881-1937), Arthur Jeffery (1893-1959), Regis Blachere (1900-1973), John Wansbrough (1928-2002), dan yang masih hidup seperti Andrew Rippin, Harald Motzki dan masih banyak lagi lainnya.
Melalui karyanya, Azami menjawab berbagai permasalahan dan terperinci seputar sejarah Alquran. Ia melacak sejarah Alquran dengan menunjukkan berbagai fakta yang sangat meyakinkan.
Ia juga membantah berbagai pendapat para orientalis terkemuka dalam studi Alquran. Ia menunjukkan kelemahan pendapat Arthur Jeffery yang menyatakan Alquran tidak memuat Al-Fatihah, Al-Nass dan Al-'Alaq karena surah-surah tersebut tidak ada dalam mushaf Abdullah ibn Mas'ud.
Ia juga menunjukkan kelemahan pendapat Arthur Jeffery karena berpendapat mushaf Ubayy ibn Ka'b mengandung dua surah ekstra, dari yang selama ini diketahui kaum Muslimin.
Ia juga menunjukkan ketidakjujuran Alphonse Minggana, yang pernah menjadi guru besar di Universitas Birmingham, Inggris, ketika mengedit varian bacaan.
Dan, ia menunjukkan berbagai kesalahan pemikiran yang dilakukan oleh berbagai orientalis lain seperti Gustav Flugel, Theodor Noldeke dan Gerd R Puin.
Pembahasan mengenai sejarah Alquran muncul menjadi isu dikalangan para orientalis setelah para teolog Kristen dan Yahudi menemukan sejumlah masalah yang sangat mendasar mengenai sejarah Perjanjian Lama dan Baru.
Disebabkan berbagai masalah yang meliputi sejarah Perjanjian Lama dan Baru, maka banyak di kalangan para teolog Kristen dan Yahudi sudah tidak mempercayai lagi jika Kedua Perjanjian tersebut berasal dari Tuhan.
Terlalu banyak campur tangan manusia yang telah merusak teks asli. Oleh sebab itu, Arthur Jeffery berpendapat agama yang memiliki kitab suci akan memiliki masalah dalam sejarah teks (textual history). Sebabnya, tidak ada satupun autografi dari naskah asli dulu yang masih ada. Dengan menggunakan metode-metode penelitian kritis modern (biblical criticism), Jeffery ingin mengedit Alquran secara kritis (a critical editon of the Qur'an). Ia menganalisis sejarah teks Alquran dari zaman Rasulullah SAW sampai tercetaknya teks qiraah. Ia menyimpulkan sebenarnya terdapat berbagai mushaf tandingan (rival codices) terhadap mushaf Uthmani. Pada tahun 1977, John Wansbrough (2002) menerapkan literary/source criticism dan form criticism ke dalam studi Alquran. Wansbrough berpendapat kanonisasi teks Alquran terbentuk pada akhir abad ke-2 Hijrah. Oleh sebab itu, semua hadits yang menyatakan tentang himpunan Alquran harus dianggap sebagai informasi yang tidak dapat dipercaya secara historis. Semua informasi tersebut adalah fiktif yang punya maksud-maksud tertentu. Semua informasi tersebut mungkin dibuat oleh para fuqaha' untuk menjelaskan doktrin-doktrin syariah yang tidak ditemukan di dalam teks, atau mengikut model periwayatan teks orisinal Pantekosta dan kanonisasi Kitab Suci Ibrani. Semua informasi tersebut mengasumsikan sebelumnya wujudnya standar (canon) dan karena itu, tidak bisa lebih dahulu dari abad ke-3 Hijriah. Menurut Wansbrough, untuk menyimpulkan teks yang diterima dan selama ini diyakini oleh kaum Muslimin sebenarnya adalah fiksi yang belakangan yang direkayasa oleh kaum Muslimin. Teks Alquran baru menjadi baku setelah tahun 800 M.
Pemikiran para Orientalis juga mempengaruhi beberapa pemikir Muslim kontemporer seperti Mohammed Arkoun dan Nasr Hamid Abu Zayd. Melacak sejarah Alquran, Mohammed Arkoun sangat menyayangkan jika sarjana Muslim tidak mau mengikuti jejak kaum Yahudi-Kristen. Menurutnya, sarjana Muslim menolak menggunakan metode ilmiah (biblical criticism) karena alasan politis dan psikologis. Politis karena mekanisme demokratis masih belum berlaku. Psikologis karena pandangan muktazilah mengenai kemakhlukan Alquran di dalam waktu gagal. Akibat menolak biblical criticism, maka dalam pandangan Arkoun, studi Alquran sangat ketinggalan dibanding dengan studi Bibel. Ia berpendapat metodologi John Wansbrough memang sesuai dengan apa yang selama ini memang ingin ia kembangkan. Dalam pandangan Arkoun, mushaf 'Uthman tidak lain hanyalah hasil sosial dan budaya masyarakat yang dijadikan ''tak terpikirkan'' disebabkan semata-mata kekuatan dan pemaksaan penguasa resmi. Untuk mengubah ''tak terpikirkan'' (unthinkable) menjadi terpikirkan (thinkable), Arkoun mengusulkan supaya membudayakan pemikiran liberal (free thinking).
Seirama dengan Mohammed Arkoun, Nasr Hamid berpendapat teks Alquran terbentuk dalam realitas dan budaya, selama lebih dari 20 tahun. Oleh sebab itu, Alquran adalah 'produk budaya' (muntaj thaqafi). Ia juga menjadi produsen budaya (muntij li al-thaqafah) karena menjadi teks yang hegemonik dan menjadi rujukan bagi teks yang lain. Disebabkan realitas dan budaya tidak bisa dipisahkan dari bahasa manusia, maka Nasr Hamid juga menganggap Alquran sebagai teks bahasa (nas lughawi). Realitas, budaya, dan bahasa, merupakan fenomena historis dan mempunyai konteks spesifikasinya sendiri. Oleh sebab itu, Alquran adalah teks historis (a historical text). Historisitas teks, realitas, dan budaya sekaligus bahasa, menunjukkan bahwa Alquran adalah teks manusiawi (nas insani). Dengan berpendapat seperti itu, Nasr Hamid menegaskan bahwa teks-teks agama adalah teks-teks bahasa yang bentuknya sama dengan teks-teks yang lain di dalam budaya. Sekalipun asal muasalnya dari Tuhan, namun Nasr Hamid, sebagaimana Schleiermacher, berpendapat studi Alquran tidak memerlukan metode yang khusus. Jika metode khusus dibutuhkan, maka hanya sebagian manusia yang memiliki kemampuan saja yang bisa memahaminya. Manusia biasa akan tertutup untuk memahami teks-teks agama. Nasr Hamid menyalahkan penafsiran yang telah dilakukan oleh mayoritas mufasir yang selalu menafsirkan Alquran dengan muatan metafisis Islam. Dalam pandangan Nasr Hamid, metodologi seperti itu tidak akan melahirkan sikap ilmiah. Dengan menyamakan status Alquran dengan teks-teks yang lain, maka Nasr Hamid menegaskan siapa saja bisa mengkaji Aquran.
Dengan munculnya berbagai macam pemikiran ''baru'' mengenai Alquran, dan kini dikembangkan oleh sebagian kalangan Muslim di Indonesia, maka kehadiran Prof Azami memang sangat penting dan tepat momentum.
Memang namanya belum sepopuler Dr Yusuf Qaradhawi, meskipun sejumlah bukunya juga sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Namun, kajian Azami dalam bidang al-Quran dan hadith sangat strategis dan mendalam.
***
Sumber :
SELAMAT DATANG, PROFESOR AZAMI !.
Adnin Armas.
(kandidat doktor di ISTAC-IIUM Kuala Lumpur Malaysia).
Republika, Jumat, 01 April 2005.
0 komentar:
Posting Komentar