Pages

Sabtu, 10 Maret 2012

Islam Menghargai Perempuan

Ada persepsi berkembang, bahwa Islam diskriminatif atas perempuan. Padahal, dalam sejarah Islam tak pernah ada pergesekan antara ajaran Islam yang murni dengan hak-hak perempuan. Islam sepanjang sejarahnya tak pernah menganggap perempuan produk setan, tidak pula dianggap sebagai tangan-tangan kejahatan.

Penyebab utama kesalahan itu karena tak tepat memahami kesetaraan. Seolah-olah “setara” berarti “sama”. Padahal, ada perbedaan antara “kesetaraan” dan “keserupaan (sameness or being identical). Equalitas adalah indah, terpuji, adil dan merata. Tapi sama belum tentu indah, adil dan terpuji. Kesetaraan menyangkut keadilan dan kesesuaian (appropriateness). Tapi sama belum tentu adil dan sesuai. Justru jika dua hal dipaksakan sama akan terjadi ketidakadilan. :video

Semua orang dilahirkan setara. Perbedaan warna kulit, bahasa, suku atau kebangsaan, atau status sosio ekonomi, tak mengganggu konsepsi kesetaraan (equalitas) yang Allah anugerahkan kepada semuanya. Tapi memaksakan kesetaraan dengan kesamaan (sameness) akan memaksa manusia menyamakan warna kulit, bahasa, suku dan kebangsaan maupun status sosio ekonomi lainnya.

Untuk memahami kesetaraan dalam Islam, diperlukan pemahaman menyeluruh dan tidak parsial. Dalam hal ini, hak-hak selalu dikaitkan dengan tugas-tugas dan kewajiban. Sementara tugas-tugas (duties) akan selalu terkait dengan kesesuaian dari mereka yang akan melaksanakan. Dalam dunia apa saja, hak selalau ditentukan kewajiban. Kewajiban ditentukan oleh “kesesuaian” dari pihak-pihak yang terkait.


Wawancara Dengan Syamsyi Ali

Misalnya masalah fungsi reproduksi. Laki-laki dan perempuan terlibat dalam melakukan fungsi dan kewajiban. Hanya akan terjadi keturunan jika terjadi hubungan suami-istri. Tapi, tetap yang bertanggungjawab meneruskan tugas reproduksi adalah kaum ibu. Hingga hari kiamat, walau kaum pria menuntut emansipasi pria untuk hamil, melahirkan dan menyusui, mereka takkan mendapatkan.

Kesetaraan antara pria dan perempuan, menurut al-Qur’an, terjadi seiring dengan penciptaan manusia itu sendiri. Adam dan Hawa diciptakan dari unsur yang sama, yaitu tanah. Ketika Allah menempatkan Adam dan istrinya di surga, keduanya secara setara (equal) diperbolehkan menikmati kesenangan surga, tapi juga keduanya diberi aturan yang sama secara setara (equally) untuk tidak mendekati pohon yang terlarang. Ketika keduanya (equally) tergoda Iblis dan memakan buah terlarang itu, keduanya setara mendapatkan konsekuensi yang sama. Namun ketika keduanya secara sama-sama meminta ampun, keduanya juga secara setara diampuni Allah SWT.

Kesetaraan antara pria dan perempuan dalam ajaran islam adalah kesetaraan yang menyatu dan tak terpisahkan. Ibarat dua sisi mata uang yang tak mungkin terpisahkan, karena hanya akan menghilangkan nilai keduanya. Inilah yang digambarkan dalam kisah Adam. Ia telah menikmati semua kenikmatan surga, tapi ketika belum ada pendamping, maka ia pun kesepian. Bisa dibayangkan, semua bentuk kenikmatan ada di surga, kecuali perempuan. Itupun menjadikan Adam tidak mampu menikmati semua kenikmatan itu.

Kesetaraan antara pria dan perempuan dalam Islam bukanlah kesetaraan semu, yang diciptakan berdasarkan tuntutan hawa nafsu atau lingkungan semata. Kesetaraan yang memang karena tuntutan “fitrah” dan hajat manusiawi. Sebuah kesetaraan sejati tidak terbangun di atas dasar provokasi rekayasa semata.

Walaupun dalam peranan dan fungsi mereka berbeda, tapi dalam apresiasi atau pahala mendapatkan hal yang sama. Bahkan dalam beberapa hal yang seringkali dianggap mengurangi hak-hak perempuan, seperti tidak shalat di saat haid atau nifas, tidak mengurangi pahala sama sekali. Pemahaman ini didasarkan pada realita bahwa yang memerintahkan untuk shalat adalah Allah, dan sebaliknya juga yang memerintahkan untuk tidak shalat pada saatnya adalah juga Allah. Jadi inti pahala sesungguhnya bukan pada melakukan shalat atau tidak, tapi apakah kita mengikuti aturan atau tidak. Orang yang shalat ketika diperintah mendapat pahala, dan orang yang tidak shalat ketika diperintah untuk tidak shalat juga mendapat pahala. Jadi keduanya memiliki peluang yang sama dalam pahala. Dengan demikian, tidak ada kekhawatiran akan adanya diskriminasi dalam pemberian pahala atau apresiasi terhadap kedua belah pihak.
Bahkan, ketika Rasulullah saw diutus, ada perubahan revolusioner yang terjadi. Saat itu, perempuan di seluruh penjuru dunia berada dalam situasi yang sangat menyedihkan. Di saat perempuan tidak memiliki harga diri, yang dapat diwariskan kepada siapa saja sepeninggal suaminya, Rasulullah datang dengan menempatkan mereka pada posisi yang setara dengan kaum pria. Bahkan dalam beberapa indikasi, Rasulullah memberikan tempat lebih kepada kaum perempuan.

Tak heran, jika kemudian Rasulullah saw mendeklarasikan bahwa kecintaan dan penghormatan seorang Muslim harus didedikasikan lebih besar (2/3) kepada kaum ibu ketimbang kaum pria. Ini terungkap ketika ditanya oleh seseorang, “Siapa yang seharusnya saya cintai? “Ibumu…(3 x)” lalu ketika ditanya untuk keempat kalinya, beliau merespon: “Ayahmu!”

Di tengah parasaan minder dan rendah diri jika memelihara anak perempuan, bahkan menjadikan kaum Arab ketika itu mengubur hidup-hidup anak perempuan mereka, Rasulullah saw menyerukan keutamaan memelihara anak-anak perempuan. Bahkan menurut beliau, “Memelihara tiga anak perempuan dengan tanggung jawab hingga dewasa, menjadikan seseorang masuk surga tanpa hisab.” Ketika ditanya bagaimana kalau hanya dua atau satu? Beliau menjawab, “Dia juga akan masuk surga tanpa hisab.” Sungguh ajaran itu menentang arus deras perasaan malu dan hina saat memelihara anak-anak perempuan—di tengah kondisi bayi-bayi perempuan yang baru lahir dikubur hidup-hidup.

Sejak awal ajaran Islam, kaum perempuan selalu memiliki kebebasan berekspresi dan berpendapat. Hal ini dapat dibuktikan dengan kasus-kasus yang terjadi, baik antara Rasulullah dengan kaum perempuan, maupun pemimpin-pemimpin Muslim setelahnya. Tak jarang juga Rasulullah saw meminta pendapat para istrinya dalam banyak urusan publik.

Umar bin Khaththab pernah ditantang seorang perempuan karena keinginannya untuk membatasi mahar kaum perempuan. Sang perempuan dengan tegas berdiri di hadapan khalifah Umar dan berkata, “Mahar adalah hak perempuan dan bukan hak pria. Untuk itu, yang berhak menentukan mahar adalah kaum perempuan”. Pemaparan ini menjelaskan bahwa Islam menghargai perempuan dalam beragam sisi.

*Tulisan ini adalah respon atas kasus perempuan menjadi imam dan khatib shalat Jumat di New York (red).

0 komentar:

Posting Komentar