Pages

Sabtu, 10 Maret 2012

TAUHID IBLIS

Oleh Irfan S. Awwas
Ketua Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin
Dalam perspektif al-Quran dan Sunnah Rasulullah saw, kunci untuk masuk surga adalah Tauhidullah, mengesakan Allah, dan tidak menyekutukan-Nya dengan apa pun jua, baik dalam hati, lisan maupun amal perbuatan. Surga adalah kebalikan dari neraka yang artinya taman nan indah, tempat seseorang menerima kebahagiaan abadi sebagai balasan atas amal kebajikan yang ia lakukan di dunia. Setiap orang beragama, betapapun jahatnya tentu ingin masuk surga, tetapi tidak semua orang bisa mendapatkan apa yang diinginkan, kecuali mereka yang memahami kunci pembuka surga (miftahul jannah).

Untuk memudahkan pemahaman tentang Tauhid sebagai Miftahul Jannah, para ulama membaginya ke dalam tiga bagian.

Pertama, Tauhid Rububiyah, yaitu keyakinan bahwa Allah SWT sebagai penguasa dan pengatur alam semesta, yang menentukan hidup, mati dan rezeki manusia.
Kedua, Tauhid Asma’ wa Sifat, yaitu meyakini bahwa Allah Maha Mengetahui, Maha Mendengar serta sifat-sifat Allah yang lainnya, yang kita kenal juga dengan Al-Asmaul Husna.
Dan yang ketiga, adalah Tauhid Ulihiyah, yaitu wajib mentaati syariah Islam (Hukmullah), baik berupa perintah maupun larangan, agar manusia selamat hidupnya di dunia dan di akhirat.

Syariah Islam yang dimaksud adalah, “sistem hidup yang digariskan oleh Allah untuk para hamba-Nya yang dibawa oleh Rasulullah, baik berkaitan dengan perilaku lahiriah yang disebut hukum far’i, yang kemudian terhimpun dalam hukum fikih, atau berkenaan dengan seluk beluk kepercayaan yang disebut hukum pokok dan dibahas oleh ilmu kalam,” (Ahmad Hanafi, MA, Pengantar Sejarah Hukum Islam).

Apabila Tauhid dalam implementasinya hanya dibatasi pada Tauhid Rububiyah dan Asma’ wa Sifat saja, dan mengabaikan Tauhid Uluhiyah, yaitu pengamalan Syariah Islam secara kaffah, maka Tauhid seseorang belum sempurna. Ketidaksempurnaan ini, antara lain bisa disebabkan oleh kebodohan, kesombongan atau karena seseorang itu tidak merdeka, berada dalam jajahan atau di bawah pengaruh kekuatan yang besar.

Formulasi Tauhid yang mengabaikan Tauhid Uluhiyah, merupakan pilihan yang diambil secara sadar oleh iblis la’natullah. Iblis percaya dengan Tauhid Rububiyah dan Asma’wa Sifat, tetapi menolak melaksanakan Syari’ah Allah, tatkala dia diperintah Allah untuk bersujud kepada Nabi Adam As.

Dari peristiwa ini kita memperoleh pelajaran antara lain, pertama, iblis menolak melaksanakan aturan Allah, berupa perintah sujud kepada Adam lantaran kesombongan. Superioritasnya seakan tersaingi oleh kehadiran Adam. Kedua, iblis mengoreksi aturan Allah dengan ra’yu (logika), yang terungkap melalui dialog di dalam al-Qur’an surat al-A’raf ayat 12 yaitu:

“Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu aku menyuruhmu? Menjawab iblis: “Aku lebih baik daripadanya. Engkau ciptakan aku dari api, sedang dia Engkau ciptakan dari tanah.”

Pada tahun 80-an, ketika seseorang bertanya pada Cak Nur (Nurcholis Madji-red) tentang pembangkangan iblis ini, Cak Nur merujuk pendapat Ibnu Arabi yang mengatakan bahwa “Iblis kelak akan masuk surga, bahkan di tempat yang tertinggi karena dia tidak mau sujud kecuali kepada Allah saja, dan inilah tauhid yang murni.” Pendapat itu jelas menyesatkan. Karena, bersujud kepada Adam atas perintah Allah bukanlah mempertuhankan Adam.

Fenomena Tauhid Iblis, dewasa ini kian menemukan momentumnya ketika sekulerisme dan liberalisme mendominasi wacana pemikiran sebagian tokoh-tokoh Islam yang dikenal sebagai misionaris sekular.

Para misionaris sekular ini mempropagandakan pemahaman sesat, dan secara sadar mengambil alih peran dan fungsi zionis internasional maupun misionaris Kristen untuk membelokkan kaum muslimin dari jalan lurus dan menyimpangkan mereka dari kebenaran Islam; dengan mengatakan semua agama sama saja, tidak seorang pemeluk agama pun yang berhak mengklaim agamanyalah yang paling benar.

Melalui strategi terminologi, mereka memecah-belah ukhuwah kaum muslimin, dengan melahirkan istilah Islam moderat, yaitu mereka yang menolak formalisasi Syariah islam ke dalam UU negara versus Islam garis keras yang dikategorikan sebagai fundamentalis. Selain itu mereka menumbuhkan sikap apriori kepada al-Qur’an dengan membuat klasifikasi ayat-ayat al-Qur’an, untuk mencoba merevisi wahyu Ilahi menurut versi mereka.

Meluasnya pemikiran yang bersumber dari pemahaman Tauhid versi iblis ini, telah menumbuhkan image yang buruk terhadap Syariah Islam. Di antara tanda-tanda Tauhid iblis yang kini sedang popular adalah:

Mengoreksi aturan hidup yang datang dari Allah, menerima sebagian dan menolak sebagian lainnya sesuai dengan kepentingan hawa nafsunya. Mengoreksi aturan Allah untuk disesuaikan dengan realitas sosial masyarakat, itulah karakteristik iblis yang diwarisi oleh manusia sekular.

Tanda lainnya, adalah mereka menerima informasi dari pemimpin kafir tapi menolak informasi yang datang dari para Nabi Allah, sebagaimana terjadi pada para pengikut Fir’aun (lihat QS An-Naml, 14). Di dalam hati mereka meyakini kebenaran ajaran Nabi Musa, tetapi dengan berbagai alasan dan kepentingan mereka lebih memilih tundak kepada Fir’aun.

Karena itu, dianggap bukan dosa tatkala Ulil Abshar Abdalla, tokoh JIL (Jaringan Islam Liberal) mempublikasikan pendapatnya yang menolak negara berdasar agama, dengan mengatakan: “Kami dapat menerima bentuk negara sekular sebab bisa menampung energi keshalihan dan kemaksiatan sekaligus.”

Sekitar tahun 1988-1989 Ulil pernah menuntut ilmu di LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab), seangkatan dengan Anis Matta Lc. Meski terolong cerdas, namun ia tidak bisa menyelesaikan satu mata kuliah penting yaitu TAUHID. Akibatnya ia tidak lulus, kemudian hengkang ke STT (Sekolah Tinggi Theologi) Driyarkara, dan menjadi murid kesayangan Romo Frans Magnis Suseno.

Jadi sejak lama pemahaman Ulil tentang Tauhid sudah kacau. Sebagaimana tercermin melalui tulisannya di Harian Kompas, 18 November 2002: bahwa jilbab, potong tangan, qishas, rajam tidak wajib diikuti karena itu ekspresi budaya Arab. Kemudian iamenafikan adanya hukum Allah berkenaan dengan hukum pencurian, jual beli, pernikahan, pemerintahan dan sebagainya.

Sesungguhnya kesempurnaan Tauhid seorang muslim adalah apabila dia bersikap tasdiq, meyakini kebenaran segala aturan hidup yang datang dari Allah dan Rasul-Nya.

Kemudian taslim, tunduk serta patuh pada kebenaran itu. Seseorang tidak cukup meyakini suatu kebenaran, tapi harus melaksanakan kebenaran. Itulah yang disebut iman di dalam Islam. Dengan demikian, mimpi tentang Islam yang Rahmatan lil Alamin hanya akan menjadi kenyataan apabila ketiga tauhid tadi diamalkan dalam kehidupan nyata. Wallahu a’lam bis shawab.

Sumber:
Majalah Sabili No. 12 Th. X, 20 Desember 2002 – 2
Januari 2003, hal. 84-85


Tentang Ulil, Gus Dur dan Cak Nur

 Sosok seperti Ulil Abshar Abdalla akan selalu ada sepanjang masa. Begitu juga dengan sosok Gus Dur dan Cak Nur.

Kalau Ulil pernah sekolah di LIPIA kemudian tidak lulus mata kuliah TAUHID, kemudian pindah ke STT Driyarkara, Gus Dur tidaklah demikian. Gus Dur sempat menuntut ilmu di Iraq, namun tidak selesai. Di sana Gus Dur lebih banyak baca novel atau nonton bioskop.

Entah siapa yang memulai, tiba-tiba Gus Dur ketika itu dinobatkan sebagai pembaharu. Bersama (antara lain) Cak Nur ia dijuluki lokomotif pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia. Setidaknya Majalah TEMPO (sebelum dibredel) dan KOMPAS juga SINAR HARAPAN yang gemar memberi gelar tersebut.

Cak Nur setelah menyelesaikan S-1 di Indonesia, kemudian melanjutkan studi ke Timur Tengah (untuk lebih detil bisa ditanyakan ke Ridwan Saidi), tapi juga nggak lulus. Supaya tidak kehilangan muka, Cak Nur lompat ke Chicago, menyelesaikan S-2 hingga S-3.

Menyegarkan pemikiran Islam memang perlu. Tapi upaya itu tidak bisa kita percayakan kepada mereka yang sekolahnya kacau, logikanya kacau, tauhidnya kacau seperti Ulil, Gus Dur dan Cak Nur.

Menyegarkan pemikiran Islam memang perlu. Tapi upaya itu tidak bisa kita percayakan kepada tukang “kawin” atau pakar “ayam India” yang menjadi bagian dari komunitas JIL (Jaringan Iblis Liberal). (Sumbangan Somad Karim)

0 komentar:

Posting Komentar