Pages

Jumat, 16 Maret 2012

Tragedi Presiden Uzil Bashar Afdhalla

Sinopsis:
Puncak kampanye gerakan yang menyebut dirinya Islam Liberal adalah naiknya Sang Pemimpin ke kursi Presiden Republik Indonesia Raya Serikat. Namun seperti kata pepatah: bila sudah tiba di puncak tak ada lagi arah yang bisa dituju kecuali menurun.

Berbagai kerusakan di tengah masyarakat menjadi saksi sejarah kelam sebuah bangsa. Kampanye panjang aliran pemikiran yang mulanya sekadar memupuk popularitas segelintir orang itu berakhir tragis. Kisah fiksi futuristik ini disusun berdasarkan perkembangan pemikiran keagamaan di masa sekarang, diramu dengan gaya penulisan naskah fenomenal skenario film “Area X” karya sastrawan belia Eliza Vitri Handayani. Selamat menikmati...


Lorong Waktu/Time Tunnel


1912. Sebuah persyarikatan bernama Muhammadiyah dengan missi memurnikan aqidah dan missi sosial untuk ummat Islam didirikan oleh KH Ahmad Dahlan di Yogyakarta.

1926. Berdiri organisasi Nahdlatul Ulama dengan maksud mempertahankan tradisi ahlus-sunnah wal jamaah di kalangan ulama terutama di Jawa yang bermazhab Syafii. Namun juga membawa agenda menahan penyebaran paham Wahabi, paham Islam ‘fundamentalis’ saat itu, yang ditengarai dibawa oleh kader-kader Muhammadiyah.

1937. Para tokoh Muhammadiyah, NU dan ormas-ormas Islam lainnya bergabung dalam Madjelis Islam A’la Indonesia (MIAI). Pada 1943 MIAI berganti nama menjadi Madjelis Sjuro Muslimin Indonesia (Masjumi).

1999. Terjadi pembantaian kaum Muslimin di Ambon oleh Nasrani militan yang berkembang menjadi perang antara kedua belah pihak itu di berbagai wilayah Maluku. Pelanggaran hak asasi manusia yang dialami kaum Muslimin itu membangkitkan solidaritas para mujahidin setanah air antara lain dengan membentuk dan mengirimkan Laskar Jihad ke bumi Maluku.

2001. Berdiri Jaringan Islam Liberal (JIL) dengan niat melawan gerakan Islam ‘fundamentalis’, Islam ‘ekstrimis’, Islam ‘militan’ dan Islam ‘ortodoks’. Menurut pentolan JIL, lawan mereka antara lain Laskar Jihad, Front Pembela Islam, Partai Keadilan serta berbagai kekuatan pendukung penerapan syariat Islam di Indonesia. Didanai oleh Asia Foundation, JIL melakukan kampanye besar-besaran untuk memasyarakatkan paham-pahamnya. Dengan berpedoman ‘kitab suci’ kaum liberalis yang dibawa ‘nabi’ Charles Kurzman, gerakan JIL merumuskan enam agenda besar: anti teokrasi, demokrasi, hak-hak perempuan, hak-hak non-Muslim, kebebasan berfikir dan gagasan tentang kemajuan. Berbagai kalangan yang anti syariat Islam, seperti kalangan nasionalis-sekuler, kalangan non-Muslim serta kalangan pencinta maksiat sangat menyambut gembira pendirian dan sepak terjang JIL.

2002. Ketua PP Muhammadiyah, A Syafii Maarif, bersalaman dengan Ketua PB NU, Hasyim Muzadi, bersepakat melakukan gerakan moral bersama untuk menyelamatkan bangsa dan negara dari ancaman disintegrasi. Mereka juga bersepakat untuk menampilkan Islam yang sejuk, damai dan melindungi, sekaligus mencegah anggapan bahwa Islam di Indonesia menakutkan. Kedua organisasi itu berniat merangkul kelompok Islam ‘radikal’ guna ‘menyatukan persepsi perjuangan’.

2002-2005. Ide-ide JIL disosialisasikan dengan gencar.

2006-2010. Sejumlah hasil sosialisasi mulai nampak, antara lain berupa dekonstruksi syariat Islam. Dengan dalih kesetaraan gender, kaum perempuan dan banci dibolehkan menjadi imam shalat kaum pria. Di kalangan JIL, barisan (shaf) laki-laki ketika shalat tidak lagi terpisah dari barisan perempuan, tetapi mereka berbaur dalam satu barisan. Di sejumlah masjid yang mereka dirikan, aturan baru itu mereka terapkan dengan suka cita.
Para pelaku homoseksual dan lesbian juga kian diterima kalangan JIL dengan memberi fatwa kebolehan menikah sesama pelaku homoseksual, dengan dalih HAM. Kisah tentang azab Allah pada kaum Nabi Luth mereka katakan hanya semacam metafora sejarah.

Menteri Kehakiman menggolkan UU Hukum Warisan yang menyamakan proporsi hak waris laki-laki dan perempuan. UU Perkawinan revisi membela para gadis yang menikah tanpa wali. Para perempuan diberi hak mentalak suami.

2011. Atas desakan Amerika Serikat dan Uni Eropa, Indonesia mengadakan perubahan ketatanegaraan besar-besaran. Indonesia menjadi negara serikat dengan parlemen dua kamar: Dewan Perwakilan Rakyat dan Senat. Aceh dan Papua diberi kesempatan untuk mempersiapkan kemerdekaannya dengan kompensasi pendirian pangkalan AL Amerika Serikat dan Uni Eropa di kedua wilayah itu. TNI yang berkeberatan, tidak berdaya melawan tekanan dua kekuatan itu.

2011-2016. Gerakan JIL mulai menampakkan hasil yang signifikan, yakni semakin banyaknya orang berpindah agama, karena meyakini semua agama hakikatnya sama. Yang terbanyak adalah mereka yang berpindah agama dari Islam ke Kristen dan ke Hindu. Mereka yang berpindah ke agama Kristen beralasan, toh para pentolan JIL banyak yang berguru pada Islamolog dan orientalis Nasrani, kalau begitu sekalian saja beragama sama dengan para guru itu. Lagipula agama Kristen dianggap lebih modern karena dekat dengan Barat yang memegang kekuasaan politik-ekonomi-keuangan-kebudayaan dunia.

Sebagian yang lainnya pindah ke agama Hindu dan Budha karena romantisme sejarah, merindukan kejayaan Nusantara masa lalu di bawah naungan kerajaan Hindu dan Budha. Melihat fenomena dengan demikian para aktivis JIL tidak merasa risau sama sekali, bahkan gembira, karena hal itu membuktikan ‘ajaran ’ pluralisme mereka bahwa semua agama sama, diterima banyak orang.

2017. Gerakan JIL menuai sukses besar, karena dengan referendum yang disponsori Amerika Serikat, Australia, Singapura, Turki dan Israel, Republik Indonesia Serikat resmi menjadi negara sekuler. Kalangan ‘fundamentalis’ Islam yang menentang hasil referendum itu segera mendapat tindakan represif dari militer, karena dianggap merusak proses demokrasi. Perdana Menteri Turki Mehmet Sulaymanoglu datang ke Jakarta untuk memberikan dukungan penuh atas hasil referendum itu. Atas jasa aktivis JIL, Pemerintah nasionalis sekuler yang sedang berkuasa mengangkat para pentolan JIL ke tampuk pemerintahan. Rakyat di Aceh cukup beruntung, karena setahun sebelum referendum itu telah memproklamasikan kemerdekaannya secara sepihak dari Indonesia, menjadi Republik Aceh. Kali ini TNI tidak dapat berbuat banyak, karena rupanya kemerdekaan Aceh disokong Amerika Serikat dan Inggris. Aceh merdeka menjadi bangsa Muslim kesekian yang bergelimang harta tetapi miskin martabat, karena mereka dijebak oleh kepentingan Barat, sebagaimana Arab Saudi dan Brunei.

2018-2025. Gerakan pemurtadan kian menghebat. Di daerah-daerah yang sebelumnya menjadi basis pesantren seperti di Jawa Timur dan Jawa Barat, kalangan Nasrani dan Hindu mulai mendominasi. Masyarakat Tengger mulai turun gunung untuk mengajak masyarakat Jawa Timur kembali ke agama Hindu yang merupakan agama leluhurnya. Di sepanjang jalan utama dari Bojonegoro hingga Banyuwangi semakin banyak muncul pura, bersaingan dengan gereja-gereja. Keprihatinan warga Muslim setempat tetap tidak diindahkan oleh Pemerintah nasionalis sekuler yang didukung kalangan Islam liberal.

2026. Terjadi demo protes besar-besaran kaum Muslimin terhadap pemerintah yang membiarkan terjadinya pemurtadan super massal. Protes itu dijawab oleh Pemerintah dengan mengirimkan tentara yang menumpas kekuatan ‘fundamentalis’ dan ‘ekstrimis’. Menurut Pemerintah, aksi protes kalangan ummat Islam itu bertentangan dengan semangat inklusivitas Islam dan merusak sendi-sendi persatuan bangsa. Gerakan penumpasan ini mendapat dukungan penuh dari AS. Pasukan elit baret hijau dikirim untuk membantu memberantas ‘jaringan teroris internasional’.

“Mereka memang layak ditumpas, karena seperti pernah ayah saya katakan dua puluh empat tahun lalu, para ekstrimis di Indonesia itu memiliki kontak dengan jaringan teroris internasional,” kata Presiden AS, Judas Wolfowitz, putra mantan Wakil Menteri Pertahanan Amerika Paul Wolfowitz yang kemudian sempat juga jadi presiden AS.

Para aktivis gerakan dakwah melawan intervensi Amerika dengan menyingkir ke hutan, menggunakan taktik lama: perang gerilya. Dengan dalih membantu memerangi teroris, sekumpulan Katolik Jesuit membentuk Brigade Jesuit Pembebas. Mereka kemudian membantai kaum Muslimin di berbagai daerah, seperti pernah terjadi di Maluku dan Poso. Pertempuran diawali terjadi di daerah ‘tapal kuda’ Jawa Timur, Madura dan Bali.

0 komentar:

Posting Komentar