Pages

Senin, 13 Februari 2012

Fiqih Lintas Agama adalah Talbisul Iblis


Oleh : Irfan S. Awwas Fikih Pluralis yang dikem­bangkan oleh tim penulis Parama­dina dan dikemas dalam buku Fiqih Lintas Agama yang diterbitkan oleh Yayasan Wakaf Para­madina dan The Asia Foundation, merupakan salah satu bentuk kekafiran berpikir. Menyimak isinya yang dengan entengnya mengor­ban­kan prinsip-prinsip Islam untuk berhala kemanu­siaan, jelas sangat berbahaya. Kerangka berpikir liberal yang mendasari opini berpikir para penulis sarat dengan fitnah terhadap umat Islam. Selain itu juga mengun­dang unsur-unsur penghinaan terhadap keyakinan umat beragama. Karena itu pada tanggal 12 Dzulqa’idah 1424 (4 Januari 2004) Majelis Mujahidin melayangkan surat tantangan debat terbuka kepada tim penulis buku Fiqih Lintas Agama.

Pluralisme ber­agama yang dikembangkan dalam buku ini merupakan kerangka berpikir “talbisul-iblis”, yaitu memoles kebatilan dengan dalil-dalil agama atau argumentasi al-haq untuk tujuan kesesatan, sehingga kebatilan itu nampak seolah-olah sebuah kebe­naran.

Mereka memakai dalil-dalil kebenaran untuk tujuan kebatilan. Agama diorien­tasikan untuk kepen­tingan hawa nafsu manusia, sehing­ga ketika manusia merasa kepen­tingannya tidak terwakili oleh agama, maka dia akan melem­parkan agama itu atau bebas untuk pindah agama atau bebas untuk tidak ber­agama sama sekali.

Selain itu, buku Fiqih Lintas Agama ini dapat mengundang salah paham terhadap syariat Islam seperti yang umumnya dilakukan oleh para orientalis dan kaki tangannya. Sebagai­mana yang dilakukan misal­nya oleh Ahmad Amin dan Qosim Amin di Mesir. Dia menulis buku tentang Islam, Akidah dan Syariah.

Kritik terhadap fikih yang dilakukan oleh tim penulis Paramadina dalam buku ini memposisikan mereka yang berbeda pendapat dengan gagasan sesatnya dalam buku ini sebagai orang yang kurang wawasan dan tidak berpikir kemanusiaan.

“Orang-orang yang ingin menjadikan fikih bukan sebagai cara atau alat memahami doktrin agama, melainkan sebagai dogma yang kaku, rigid yang ujung-ujungnya adalah formalisasi Syariat” (hal. 4 alinea 2).

“Dan formalisasi syariat Islam dipandang sebagai kecenderungan orang yang kurang wawasan dan tidak berpikir dalam kerangka kemanusiaan. Mereka men­curigai fikih secara implisit ataupun eksplisit menebarkan kebencian dan kecurigaan terhadap agama lain. Ada beberapa istilah yang selalu dianggap musuh dalam fikih klasik, yaitu “musyrik”, “murtad” dan “kafir”. Apakah Islam memang benar-benar sebagai agama yang menebarkan permusuhan dan kekerasan?” (hal. 2 alinea 2 dan 3).

Untuk membuktikan betapa berbahayanya buku ini dalam hal menyesatkan manusia serta fitnah terhadap Islam, Majelis Mujahidin meminta penjelasan dengan meng­ajukan pertanyaan-perta­nyaan secara kompre­hensif, sebagai upaya klarifikasi terhadap penulis mengenai gagasan yang dalam pan­dangan Majelis Mujahidin merupakan kekafiran berpikir.

Sudah semestinya jika dalam perdebatan ini terbukti argumentasinya lemah, maka harus ada keberanian untuk mohon maaf kepada umat Islam, dan melakukan taubatan nasuha atas kesesatan kerangka berpikir.

0 komentar:

Posting Komentar