Pages

Senin, 13 Februari 2012

Tragedi Aktivis Pluralis



“MAYAT SEORANG AKTIVIS TERLANTAR SETELAH DITOLAK OLEH MASJID, GEREJA, DAN WIHARA.”
“Malangnya nasib mu nak..!” rintih seorang perem-puan tua sambil menggenggam erat sebuah koran lusuh. “Sudahlah bu.. dia bukan anak kita lagi..” seru sebuah suara parau di belakangnya. Seorang lelaki yang nampak lebih tua lalu menghempaskan badan rapuhnya ke kursi di sebelah sang perempuan tua. “Ibu masih ingat kan kisah Nabi Nuh?”, tanya sang suami tenang. “Ketika dia memohon kepada Allah supaya menyela-matkan anaknya yang durhaka, Allah justru berfirman.. itu bukanlah anaknya”, lanjutnya lagi masih dengan suara tenang.

Perempuan tua itu pun mengangguk pelan dan meletakkan koran lusuh itu ke atas meja di hadapannya. Sang suami melirik koran tersebut., “MAYAT SEORANG AKTIFIS TERLANTAR..” dan langsung membuang pandangan ke arah jendela sambil menghembus kan nafas kuat-kuat, seolah ingin menghabiskan seluruh udara di paru-parunya.

*****

“Yang penting bagi saya, beragama itu bukan sekedar basa-basi normatif!” ujar Doni kepada seorang wartawan tabloid Kristen. “Meski keluargaku kental Islamnya, aku tidak takut untuk keluar dari Islam!” tambahnya lagi dan langsung dicatat oleh si wartawan.

Sebagai aktivis, Doni terbiasa menggelar konferensi pers setiap ada kebijakan baru yang diambil oleh Organisasi Mahasiswa Islam yang dipimpinnya. Namun kali ini, Doni menggelar konferensi pers untuk dirinya sendiri yang memutuskan untuk murtad dari agama Islam dan beralih ke Kristen.

Tingkah Doni itu jelas menjadi bahan empuk bagi media-media Kristen. Mereka pun berlomba untuk menjadikan nya headline di media mereka.

“SEORANG PENTOLAN ORGANISASI MAHASISWA ISLAM MEMILIH KRISTEN!” Demikian tulis sebuah tabloid mingguan Kristen.

*****

“Heh, Don... Bangun!” Teriak Aji, teman kost Doni, “Udah shalat Shubuh belum? Udah jam tujuh tuh!”
“Apa? Shalat Shubuh?” Doni menggeliat malas. “Heh, aku sekarang udah Kristen! Ngapain lagi shalat Shubuh? Ngeganggu tidur aja!” jawabnya seadanya.

“Astaghfirullah.. yang be-ner aja Don? Tapi..”

“Ah, udah lah, dari dulu aku emang udah bosen juga kok sama yang namanya shalat!” Belum sempat Aji berkata, Doni langsung menarik kembali selimut lusuhnya hingga menutupi seluruh tubuhnya.

“Don! bangun!” tak lama berselang, teriakan Aji kembali bergema.

“Apa-apaan sih kamu? Kurang jelas ya? Aku udah nggak shalat lagi tau!” tanpa ba-bi-bu Doni langsung memarahi temannya.

“Siapa yang nyuruh shalat? Tuh, ada telepon buat kamu!” Aji balas berteriak, dan langsung pergi meninggalkan Doni.

“Hhh.. siapa sih yang nelepon pagi-pagi begini?” masih menyisakan kantuknya, Doni melangkah gontai ke arah meja telepon.

“Hhuaahmmhh.. Aloo..” sapanya seadanya.

“Doni! Apa benar kamu sudah murtad?” tiba-tiba terdengar suara keras ayahnya.

“Ngng.. ehh.. anu pak..” rasa kantuk pun tak tersisa lagi dari mata Doni. Tidak tahu harus menjawab apa,

“Cepat cabut pernyataan kamu! Dan kamu harus bertaubat dan berikrar lagi dengan kalimah syahadah! Atau.. tidak ada lagi hubungan ayah-anak di antara kita!”

“Tapi pak..” belum sempat Doni berbicara, telepon sudah diputus oleh ayahnya.

“Hhh.. dasar ulama, pikirannya kolot!” Gerutu Doni sambil membanting gagang telepon ke tempatnya.

Sejak saat itu Doni jadi rajin berkunjung ke Gereja besar di pusat kota tempat dia belajar. Pada awalnya dia begitu bersemangat mengikuti aktivitas-aktivitas gereja, tapi itu tidak berlangsung lama. Terdengar di telinganya bahwa ada beberapa pastor di luar negeri ternyata membackingi penguasa korup.

Tidak lebih setengah tahun, Doni pun meninggalkan Kristen dan beralih ke agama Budha. Tapi, itu pun tidak bertahan lama, karena Doni pun akhirnya memutuskan untuk tidak beragama.

Tanpa disadarinya, pengalaman gilanya itu mendapat perhatian serius dari sebuah Lembaga Asing. Menurut pengurus lembaga tersebut, Doni bisa menjadi icon untuk misi mereka, yaitu mensosiali-sasikan kepada umat Islam untuk tidak takut murtad, karena semua agama itu sama.

Karena tergiur oleh iming-iming imbalan besar yang ditawarkan lembaga tersebut, Doni pun melupakan idealisme nya dan bergabung dg mereka.

Hari-hari Doni kemudian disibukkan dengan agenda kampanye Liberalisasi Agama. Tidak hanya lewat seminar-seminar dan tulisan-tulisan di media massa, Doni pun getol melakukan pendekatan ke beberapa mahasiswa junior di kampusnya. Semua itu dilakoni nya sepenuh hati, hingga suatu saat dia bertemu lagi dengan Aji,

Aji, yang ternyata mendapat pesan dari orang tua Doni, tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk menasehati Doni agar kembali ke jalan yang diridhai oleh Allah SWT.

Setelah pertemuan itu, Aji selalu berusaha mengunjungi Doni di apartemen mewah yang dihadiahkan oleh lembaga asing kepadanya. Aji pun menyodorkan berbagai buku keIslaman untuk ditelaah oleh Doni.
Disegarkannya kembali ingatan Doni terhadap ajaran-ajaran Islam yang dulu pernah dipelajarinya, baik di pesantren, maupun di perkuliahan. Bahwa dalam beragama, point yang paling penting adalah masalah Iman. Yaitu meyakini bahwa Allah adalah Tuhan Yang Tunggal, yang dalam Islam diistilahkan sebagai akidah Tauhid. “Aku yakin, kamu lebih mengerti semua itu dari pada aku Don. Kamu kan jurusan Akidah-Filsafat, sementara aku di Muamalah. Jangan filsafatnya aja dong yang kamu pegang, akidahnya kan, lebih utama”. Ujarnya suatu hari kepada Doni.

Sementara itu, doni lebih banyak diam, dan hanya membalas dengan anggukan lemah. Dan nampaknya usaha Aji tidaklah sia-sia. Di relung hati yang paling dalam, Doni merenunggi semua kata-katanya. Hingga suatu hari, Doni mencoba mengajukan pengunduran dirinya dari lembaga yang selama ini mempekerjakannya sebagai simbol liberalis dalam beragama. Tapi apa lacur, entah sudah berapa ratus juta rupiah dana yang dihabiskannya. Dan semua itu harus dikembalikan nya jika ia memang ingin mundur dari lembaga tersebut.

Tak ada jalan lain bagi Doni, dia harus merelakan dirinya untuk terus dijadikan sampel aktivis berakidah pluralis bagi kepentingan lembaga yang begitu berambisi menyesatkan umat Islam, lewat jargon-jargon liberalisasi agama.

Meski hari-hari Doni selanjutnya masih tetap padat dengan agenda kampanye liberalisasi agama, namun batinnya kini bergejolak hebat, berusaha untuk melawan semua yang dilakoninya.

“Aku bisa giilaaaa..!” teriak Doni suatu sore sekembalinya dari memberikan seminar tentang “Akidah Lintas Agama”. Dengan langkah gontai dia menuju kamarnya. Belum sempat dia merebahkan dirinya ke kasur spring bed di hadapannya, tiba-tiba matanya berkunang-kunang, kepalanya terasa sangat berat, dadanya berdegup kencang.

“Aaakhh” kedua tangannya menjambak kuat rambutnya, tubuh kurusnya pun ambruk, berguling-guling di lantai, hingga akhirnya tak bergerak.

Esoknya, hampir seluruh koran yang hobby memuat berita kriminal dan pembunuhan, menampilkan head line yang amat menggetarkan hati Aji dan orang tua Doni di desa..

“MAYAT SEORANG AKTIVIS TERLANTAR SETELAH DITOLAK OLEH MASJID, GEREJA, DAN WIHARA.”
_______________
Oleh: Shahib L Kahfi
Majalah Tablig

0 komentar:

Posting Komentar