Oleh: Fauzan Al-Anshari
Debat publik menyoal buku “Fikih Lintas Agama” susunan tim penulis Paramadina yang diterbitkan bersama the Asia Foundation (2004) benar-benar terjadi. Debat itu berlangsung di Universitas Islam Negeri Ciputat (15/1/04) selama 3 jam, antara aktivis Majelis Mujahidin (MM) yakni Drs. Mohammad Thalib dan Halawi Makmun, Lc. melawan dua orang wakil tim penulis, yaitu Dr. Zainun Kamal dan Zuhairi Misrawai, Lc. Sayang sekali, Prof. Nurcholish Madjid tidak bisa hadir dengan alasan dia merasa tidak perlu karena bisa diwakili yang lain; sebuah alasan yang sangat arogan dan mencerminkan ketidaksiapan ilmiah menghadapi para penggugat buku tersebut.
Ada empat alasan mengapa MM mengajak debat publik dengan Paramadina. Pertama, pada akhir kata pengantarnya, editor buku mengajak masyarakat luas untuk menguji berbagai gagasan dalam buku ini. Kedua, gagasan dalam buku dimaksud ternyata mengandung distorsi pemikiran yang sangat berbahaya serta pelecehan terhadap akidah Islam.
Para penulisnya telah melakukan manipulasi data, misalnya dengan mengutip pendapat Imam As-Syatibi dalam kitab Muwafaqat mengenai maqasidus-syari’ah namun tujuan yang dimaksudkan tim penulis berlawanan dengan penjelasan di dalam buku aslinya. Ketiga, pluralisme yang dikembangkan dalam buku ini merupakan kerangka berpikir talbisul-iblis, yaitu memoles kebatilan dengan menggunakan dalil-dalil agama untuk tujuan kesesatan, seperti perilaku para pendeta Yahudi dan Nasrani. Keempat, buku ini mengandung salah paham tentang syariat Islam seperti yang umum dilakukan oleh para orientalis dan kaki-tangannya.
Selain itu, tim penulis menuduh orang-orang yang berbeda pendapat dengan gagasan sesatnya itu sebagai “orang yang ingin menjadikan fikih bukan sebagai alat atau cara memahami doktrin agama, melainkan sebagai dogma yang kaku, rigid, yang ujung-ujungnya adalah formalisasi syariat Islam”. (p.4).
Sayang sekali, debat nampaknya ‘tidak begitu nyambung’ karena banyak pertanyaan mendasar dari MM tidak memperoleh jawaban pasti. Wakil MM menyampaikan beberapa pertanyaan, di antaranya soal definisi lintas agama, apakah semua agama punya fikih, apa saja unsur dasar agama, apakah Al-Qur`an itu fikih, apakah formalisasi syariat Islam diskriminatif dan mengundang konflik, apakah formalisasi hukum positif tidak mengundang konflik, apa tujuan sentral agama pluralisme, siapa tuhan mereka, bagaimana cara beribadahnya, apa buktinya Imam Syafi’i sebagai penyebab tidak berkembangnya pemikiran-pemikiran fikih selama kurang lebih 12 abad (p.5), apa maksud semua agama baik dan benar, apa makna syir’ah dan minhaj yang berbeda-beda antar setiap umat, dan sebagainya.
Tim penulis sering berputar-putar dalam menjawab pertanyaan tersebut, bahkan mereka sering melakukan retorika yang keluar dari konteks, lalu kalau tidak bisa menjawab mereka segera membuat slogan: ‘antum rijal wa nahnu rijal’ (anda berpendapat dan kami pun berpendapat) untuk mengakhiri perdebatan, sehingga terkesan asal beda aja. Padahal maksud dilakukannya debat ini adalah untuk ‘mendatangkan dalil-dalil yang shahih, jika gagasan mereka benar’ (QS. Al-Baqarah:111). Kemudian bila argumentasinya kalah kuat, maka hendaknya mengikuti dalil yang lebih kuat (QS. Yunus:35). Sayang, itu semua tidak terjadi.
Pada intinya Tim Paramadina menawarkan –dengan mengabaikan berbagai pertanyaan MM tadi– bahwa untuk meredam konflik antarumat beragama, hendaknya umat Islam tidak memahami fikih secara eksklusif. Karena pemahaman fikih yang eksklusif akan melahirkan kebencian terhadap umat agama lain, seperti sebutan kafir, musyrik, dan murtad. Tawaran ini mengabaikan banyak sekali firman Allah SWT, misalnya kaum musyrik itu membenci Islam (Qs. At-Taubah: 28), orang kafir tidak bisa diajak kepada kebenaran (Qs. Al-Baqarah: 6), dan orang mukmin dilarang murtad (Qs. Al-Ma‘idah: 54).
Kalau ketiga istilah itu dianggap hasil pemahaman fikih yang eksklusif, maka mereka telah menurunkan derajat Al-Qur’an sebagai produk pemikiran manusia, bukan wahyu dari langit. Karena, ketiga istilah itu berasal dari firman Allah SWT, bukan pendapat para Imam mazhab, karena ayatnya sudah jelas (qath’i) sehingga tidak perlu tafsiran dari siapa pun.
Kemudian Paramadina menawarkan teologi inklusif, bahwa semua agama mempunyai tuhan yang sama walau namanya berbeda. Nama tuhan bukanlah masalah asasi, yang penting pengertiannya. Misalnya, orang memanggil tuhannya dengan nama Allah SWT atau Allah atau the God atau siapa saja, yang penting dengan panggilan yang baik. Mereka menyandarkan pendapatnya ini dengan ayat Al-Qur‘an: “Katakan (Muhammad), serulah Dia itu Allah atau al-Rahman, manapun yang kamu seru, bagi-Nyalah nama-nama yang baik...” (Qs. Al-Isra: 110).
Padahal maksud ayat ini adalah nama-nama Allah SWT dalam asmaul-husna, bukan nama Allah seperti disebutkan oleh penganut agama selain Islam. Maka, trinitas –menurut Paramadina– itu hakikatnya tauhid atau menyembah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Anggapan ini jelas bertentangan dengan firman-Nya: “Mereka menjadikan orang-orang alim dan pendeta-pendeta mereka, serta Isa putra Maryam sebagai tuhan-tuhan selain Allah, padahal mereka tidaklah diperintah melainkan agar hanya menyembah Allah SWT; tidak ada tuhan selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (Qs. At-Taubah:31).
Akhirnya, Paramadina juga menawarkan agama pluralisme sebagai derivasi teologi inklusif, bahwa semua agama pada hakikatnya adalah sama, yaitu jalan menuju keselamatan. Perbedaan ritual masing-masing agama hanyalah merupakan syir’ah (jalan) yang berbeda namun tujuannya sama, yakni sorga yang berada di sisi tuhannya. Tawaran ini juga bertentangan dengan banyak firman Allah SWT, misalnya: “Sesungguhnya agama yang diridhai Allah SWT hanyalah Islam...” (Qs. Ali Imran:19) dan “Barangsiapa mencari agama selain Islam, maka tidak akan diterima dan di akhirat akan merugi” (Qs. Ali Imran:85). Pihak Paramadina mengartikan Islam bukan agama yang diturunkan kepada Rasulullah saw sebagai penutup para Nabi dan Rasul, melainkan dalam pengertian yang generik (umum) yaitu ajaran kepatuhan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, semua agama yang tunduk kepada Tuhan berarti Al-Islam, walaupun mereka menolak kerasulan Muhammad SAW.
Dengan perbedaan mendasar ini, dari akar sampai buahnya, maka sudah tak mungkin lagi ada pertemuan pendapat antara MM dan Paramadina.
Sayang sekali, debat itu tidak ditutup dengan mubahalah, misalnya minta kepada Allah SWT agar yang dusta disambar petir dalam waktu tiga hari sehingga lebih jelas siapa yang benar. Yang jelas, menurut SMS yang masuk ke HP saya mengatakan: “Debat ini hanya akan menaikkan gaji (dan popularitas) mereka...”. Wallahu A’lam.
0 komentar:
Posting Komentar