Pages

Senin, 13 Februari 2012

Inklusivisme Lahir dari Rahim Kristen

Jika dicermati secara seksama, semua agama lahir dan hadir lengkap dengan “klaim kebenaran” (truth-claim)nya, baik secara explisit ataupun implisit. Masalah apakah klaim-klaim kebenaran ini valid atau tidak, rasional atau irasional, that’s another issue. Dengan kata lain, tidak ada agama yang tidak membuat klaim kebe­naran. Hanya saja terdapat perbedaan di antara agama-agama dalam memandang klaim kebenaran ini, antara lain:

Eksklusivisme, yaitu bahwa kebenaran absolut hanya dimiliki suatu agama tertentu secara eksklusif. Klaim ini tidak memberikan alternatif lain apapun. Ia tidak mem­berikan konsesi sedikitpun dan tidak mengenal kompromi. Ia memandang kebenaran (truth) secara hitam-putih. Klaim kebenaran absolut ini secara umum terdapat di setiap agama. Namun ia terrepre­sentasikan secara demonstratif oleh agama-agama semitik: Yudaisme, Kristen dan Islam, yang mana masing-masing saling meng­klaim diri yang paling benar.

Dan klaim eksklu­sivitas dan absolutisme kebe­naran ini kemudian ditopang dengan konsep juridis tentang “keselamatan” (juridical concept of salvation), di mana masing-masing agama tersebut meng­klaim diri sebagai satu-satunya “ruang” soteriologis (soterio­logical space) yang hanya di dalamnya, atau “jalan” soterio­logis (soteriological way) yang hanya melaluinya, manusia dapat mendapatkan kesela­matan (salvation) atau kebe­basan (liberation) atau pencerahan (enlightenment) – suatu hal yang semakin menambah mantap dan kuatnya klaim kebenaran absolut dan eksklusif tersebut.

Yudaisme, dengan doktrin “the chosen people”-nya, hanya mengakui kebenaran, kesalehan, dan keselamatan atas dasar etnisitas yang sangat sempit, yaitu bangsa Yahudi saja; Katolik dengan doktrin “extra ecclesiam nulla salus”-nya dan Protestan dengan doktrin “outside Christianity, no salvation”-nya menentukan status kesalehan dan keselamatan seseorang hanya dengan iman pada pengorbanan Yesus Kristus di atas tiang salib sebagai tebusan dosa warisan (original sin); sementara Islam dengan statemen Allah SWT dalam al-Qur’an: “Innad-dina ‘indallahi al-islam” (Ali Imran 19) dan hanya dengan meniscayakan kepasrahan dan ketundukan total (berislam) kepada Allah SWT sajalah seseorang bisa mendapatkan keselamatan: “wa man yabtaghi ghairal-islami dinan fa lan yuqbala minhu wa huwa fil-akhirati minal-khasirin” (Ali Imran 85).

Inklusivisme, merupa­kan bentuk klaim kebenaran absolut yang lebih longgar. Di satu fihak, inklusivisme masih tetap meyakini bahwa hanya salah satu agama saja yang benar (the truth) secara absolut, tapi, di pihak lain ia mencoba mengakomodasi konsep yuridis keselamatan dan transfor­masinya untuk men­cakup seluruh pengikut agama lain. Inklusi­vis­me ini mendapat­kan ekspresi­­nya yang begitu arti­kulatif dalam pemikiran-pemikiran teologis yang dicoba kembangkan oleh para teolog semisal Karl Rahner dengan teori “Anonymous Christian” (Kristen anonim)-nya, yang kemudian diikuti oleh Gavin D’Costa, dan Raimundo Panikkar dengan ‘the unknown Christ of Hinduism’.

Sejauh yang bisa dilacak, teologi inklusif ini secara artikulatif hanya muncul di lingkungan Kristen dan dalam waktu yang relatif belakangan, sebagai respon, di satu fihak, terhadap teologi pluralis yang mulai merebak pada perte­ngahan kedua dari abad ke-20 yang lalu, dan di lain pihak, terhadap klaim eksklusif yang menurut mereka sudah keting­galan zaman.

Dengan kata lain inklusi­visme ingin meng­ambil sikap tengah-tengah, antara eksklu­si­visme dan pluralisme. Ia ingin tetap memelihara dan mem­per­tahankan doktrin utama Kristen tentang Penebusan Dosa (Atonement) yang dilaku­kan Yesus Kristus namun dengan interpretasi baru yang lebih segar dan seirama dengan nilai-nilai humanisme modern. Yakni, selama atonement tersebut adalah dimak­sud­kan untuk menebus seluruh dosa warisan Adam, maka dengan demikian semua umat manusia sekarang setatusnya terbuka untuk ampu­nan Tuhan, meski­pun mereka mungkin tak pernah mendengar tentang Yesus dan kenapa ia mati disalib, dan meski­pun mereka pengikut resmi agama-agama yang lain. Teologi inilah yang kemudian diadopsi secara resmi oleh Vatikan dan didekla­rasikan dalam Konsili Vatikan II tahun 1962-1965.

Di lingkungan Islam, sebe­tul­nya juga ada upaya serupa. Paling tidak dalam konteks Islam Indonesia pada awal tahun sembilan puluhan dari abad yang lalu, beberapa intelektual muslim kita mulai gemar mengusung jargon “Islam inklusif” dalam berbagai kesem­patan. Namun setelah diteliti secara seksama, kandu­ngan pemikiran yang mereka maksud­kan ternyata lebih dekat, kalau tidak malah serupa, dengan model plura­lisme yang akan dibentangkan berikut ini.

Pluralisme. Wacana ini muncul dan berkembang dalam konfigurasi dan setting sosial-politik tertentu, yakni huma­nisme sekular Barat yang bermuara pada lahirnya tatanan demokrasi liberal yang mana salah satu konstituen dan struktur utamanya adalah pluralisme agama (yang oleh sementara sosiolog diidenti­fikasi sebagai civil religion).

Klaim kebenaran pluralis ini ingin menegaskan bahwa semua agama, yang teistik maupun non-teistik, dapat dianggap sebagai “ruang-ruang” soteriologis (soterio­logical spaces) yang di dalamnya, atau “jalan-jalan” soteriologis (soteriological ways) yang melaluinya, manusia bisa mendapatkan keselamatan/kebebasan/pencerahan. Semuanya valid, karena pada dasarnya semua­nya sama-sama merupakan bentuk-bentuk respon otentik yang berbeda dan beragam terhadap Hakikat ketuhanan (the Real) yang sama dan transenden.

Klaim pluralisme ini sangat “problematik” dan membawa implikasi yang luar biasa berbahaya bagi manusia dan kehidupan relijius dan spiritual­nya. Kenyataan ini pada akhirnya telah mengan­tar­kan gagasan pluralisme agama pada sebuah posisi yang sangat sulit untuk bisa men­jawab pertanyaan yang sangat krusial, yaitu apakah gagasan ini benar-benar mampu memberi­kan solusi yang ramah terhadap konflik-konflik antar agama, sebagaimana yang diklaim oleh para penggagas dan penganjurnya, atau malah sejatinya lebih merupakan problem baru dalam fenomena pluralitas keagamaan?

Maka tidaklah terlalu mengherankan jika kemudian pemahaman ini, di satu pihak, menggiring pada sebuah kesimpulan akan persamaan semua agama secara penuh tanpa ada yang lebih superior dan benar daripada yang lain. Sebuah kesimpulan yang justru mengantarkan para penggagas dan penganjur paham ini, khususnya yang beragama Kristen, pada posisi yang amat dilematis ketika dihadapkan pada sebuah pertanyaan: apakah Kristen sama persis dengan agama-agama primitif dan pagan yang kanibalistik?

Dan di pihak lain, klaim ini telah melakukan pereduksian yang demikian dahsyat sehing­ga mengkerangkeng agama hanya boleh berope­rasi di wilayah spiritual manusia yang sangat sempit dan private –hubungan manusia dengan tuhannya atau the ultimate. Namun sebuah pertanyaan krusial yang segera menyusul adalah apakah hubungan pribadi dengan sesuatu yang sakral dan metafisikal ini mempengaruhi dan mem­bentuk perilaku manusia baik dalam kehidupan individual maupun sosialnya atau tidak? Pertanyaan yang tentu saja tak mungkin bisa dijawab mereka kecuali mengiyakan atau mengukuhkannya.

Di samping itu, terminologi “pluralisme” di Barat dewasa ini, artinya telah mengalami perkembangan, atau tepatnya: perubahan, yang sangat fundamental sehingga hampir sama persis, atau sama dan sebangun dengan “demo­krasi”, yakni penegasan tentang kebebasan, toleransi persamaan (equality) dan koeksistensi. Namun, konsep Barat modern yang secara teoretis sangat aggun dan toleran ini, pada dataran praktis cenderung menunjuk­kan perilaku sebaliknya, yakni intoleran, menyatroni dan memberangus karakter dan HAM orang/kelompok lain. Sebab realitasnya, kata Prof Muhammad Imarah, “Barat telah memaksa yang lain untuk mengikutinya secara kultur maupun pemikiran… dan untuk melepaskan sejarah, kultur dan referensi keaga­maan dan intelektual mereka masing-masing.”3 Dengan kata lain, Barat tidak ingin “to let the others to be really other” (membiarkan yang lain menjadi dirinya sendiri).


Islam dan Klaim Kebenaran Agama


Masalah hubungan Islam dengan agama-agama lain beserta klaim-klaim kebena­ran­nya secara teologis sudah selesai, settled, dan final. Allah sendiri yang telah menun­tas­kan masalah ini sejak awal lewat wahyu-Nya, Al-Qur’an. Oleh karenanya, tak selayak­nya seorang Muslim meng­ingkari hal ini, sebab Al-Qur’an adalah merupakan otoritas keagamaan yang tertinggi, di mana teks-teksnya tak pernah berubah (dan berkat jaminan Allah SWT, tak akan pernah berubah sampai Hari Kiamat), begitu juga gramatika bahasa Arabnya.

Oleh karena masalah hubungan antar agama ini secara teologis sudah tuntas dan final, maka inilah agaknya yang menjadi alasan kenapa perbincangan para ulama klasik kita mengenai masalah ini lebih banyak terdapat di dalam pembahasan-pemba­hasan fiqhiyyah daripada ilmu kalam atau teologi Islam.

Dengan demikian, terdapat perbedaan mendasar antara Islam dan teori-teori pluralisme agama dalam hal pendekatan metodologis terhadap isu dan fenomena pluralitas agama. Islam memandangnya sebagai hakikat ontologis yang genuine yang tidak mungkin dinafikan atau dinihilkan, sementara teori-teori pluralis melihatnya sebagai keragaman yang hanya terjadi pada level manifestasi eksternal yang superfisial –dan oleh karena­nya tidak hakiki atau tidak genuine. Perbedaan metodo­logis ini pada gilirannya menggiring pada perbedaan dalam menetukan solusinya. Islam menawarkan solusi praktis sosiologis– oleh karena­nya lebih bersifat fiqhiyyah, sementara teori-teori pluralis memberikan solusi teologis epistemologis.

Sebagaimana yang dite­gas­kan di atas, Islam meman­dang perbedaan dan kera­gaman agama ini sebagai suatu hakikat ontologis (haqiqah wujudiyah/kauniyah) dan sunnatullah, dan oleh karenanya genuine. Termasuk di dalamnya adalah truth-claim (klaim kebenaran) yang absolut dan eksklusif yang mana tanpanya jati diri dan identitas sebuah agama menjadi kabur, tak jelas, atau hilang sama sekali.

Dengan kata lain, Islam memperlakukan agama-agama lain sebagaimana adanya (as the way they are) dan membiarkan mereka untuk menjadi diri mereka sendiri, tanpa reduksi dan manipulasi. Apapun kondisi­nya, klaim kebenaran agama harus diapresiasi, tidak boleh disimplifikasikan, atau direlatifkan, apalagi dinafikan atau dinegasikan.

Kesimpulannya, klaim kebenaran (truth-claim) bagi agama adalah sesuatu yang alami atau natural. Lebih dari itu, ia merupa­kan esensi jati-diri sebuah agama.

0 komentar:

Posting Komentar