Pages

Sabtu, 10 Maret 2012

Amina Wadud

Disebabkan tindakan Wadud sebagai imam dan khatib, dan ibu Musdah Mulia yang mempelopori KHI, maka gerakan feminis Internasional menganugerahkan keduanya sebagai tokoh wanita internasional pada tahun ini. Dari sini, kita melihat tindakan dan pemikiran para feminis Muslim tidak terlepas dari "mafia internasional." Sebagaimana Uskup Belo dan Ramos Horta dulu telah mendapatkan "noble price".

Mari kita fokuskan diskusi mengenai perbuatan Wadud yang jadi imam sekaligus khatib shalat Jum'at.

Sebelumnya, terima kasih atas studi awal antum mengenai masalah ini. Bagaimanapun, beberapa persoalan masih perlu diselesaikan.

Pertama, kita masih belum tahu alasan Wadud menjadi imam sekaligus khatib shalat Jum'at. Kemungkinan, argumentasi Wadud akan berkembang biak, membengkak, justru setelah Ia jadi imam dan khatib shalat Jum'at. Ia memerlukan bukti2 untuk menjustifikasi tindakannya. Komentar Prof. Taha Jabir dan alasan2 yang antum kemukakan akan menambah bukti kepadanya.

Bagaimanapun, Wadud belum tentu akan menggunakan pendapat al- Tabari, Abu Tsaur dan al-Muzani. Sebabnya dia sendiri mengkritik bukan hanya al-Tabari, namun mayoritas mufassir dan fuqaha karena mendiskrimaniskan wanita. Oleh sebab itu, berdasarkan karya tafsir al- Tabari, saya menyimpulkan justru al-Tabari akan menolak pendapat Wadud berkaitan dengan hal2 kewanitaan. Al-Tabari yang dikritik Wadud digunakan untuk membela Wadud. Terasa janggal.

Kedua, Jangankan hadits, seandainyapun ada ayat di dalam al-Qur'an berkaitan dengan isu tersebut, maka Wadud akan menggunakan "pandangan hidup feminis" untuk menafsirkannya. Menggunakan "pendekatan feministik" sudah dilakukan Wadud dengan baik, dalam karyanya Wanita di dalam al-Qur'an (Woman in the Qur'an). Di dalam karya tersebut, Wadud mengolah ayat-ayat al-Qur'an untuk menjustifikasi pendapatnya. Masalah yang dihadapi bukan saja "bahan baku." Namun pengolahan "bahan baku" ayat al-Qur'an atau hadith. Bagi saya, alat untuk mengolah, bukan di dapat dari tradisi kaum Muslimin. Alat pengolahan itu dimport dari feminis Barat.

Buktinya, selama 1400 tahun dari seluruh wanita Muslimah yang ada di seluruh Negara di Dunia, dari zaman ke zaman, tidak pandang bulu mazhab fikh, teologi, bahkan akidah, untuk pertama kalinya baru Wadud, seorang wanita, yang menjadi Imam dan khatib shalat Jum'at.

Oleh sebab itu, bagi saya, Wadud telah menjadi wanita yang sangat langka. Apakah "spesis yang sangat langka" akan membiakkan keturunannya? Apa yang terjadi selama 1400 tahun kepada wanita Muslimah di seluruh dunia? Apa yang dilakukan oleh para fuqaha lintas mazhab dari seluruh dunia, dari zaman ke zaman selama 1400 tahun mengenai masalah ini? Mengapa sebelum ini selama 1400 tahun tidak pernah terjadi? Mengapa Wadud yang melakukannya, bukan orang lain?

Apa yang melatar belakangi Wadud melakukan itu? Apa alasannya?
Mengapa dia ingin jadi imam sekaligus khatib? Ringkasnya, tindakannya itu terkait dengan cara berfikirnya. Kita tidak bisa menilai hanya shalat dan khutbah Jum'atnya saja, tanpa melihat gagasannya yang lain (sebagaimana tambahan masalah yang diajukan mas Fahmi). Masalah ini sangat perlu dilihat secara utuh. Dan kita sama sekali idak dan belum tahu, apalagi membahas apa alasan Wadud berbuat demikian. Disebabkan tindakan Wadud termasuk betul-betul baru sama sekali, maka mengkiaskan dengan kadal, shalat tarawih dsb, tidak tepat.

Ketiga, kita tidak punya sumber primer, hanya sekunder. Bagaimanapun, sumber sekunder tetap bisa digunakan. Masalahnya, siapa yang pertama kali membolehkan wanita jadi imam sekaligus khatib dalam shalat Jum'at? Apakah betul al-Tabari, abu Tsaur dan al- Muzani membolehkan wanita jadi imam sekaligus khatib dalam shalat Jum'at? Dari tulisan antum, pernyataan eksplisit al-Tabari, Abu Tsaur dan al-Muzani tidak ada. Selain itu, apakah al-Tabari, abu Tsaur dan al-Muzani memiliki sumber yang sama dalam menyimpulkan wanita jadi imam shalat Jum'at? Ataukah al-Muzani menggunakan sumber para pendahulunya? Apakah betul al-Tabari, abu Tsaur dan al-Muzani membolehkan wanita jadi iman sekaligus khatib shalat Jum'at? Apa alasan mereka?

Dari mana Ibn Rushd, ibn Quddamah mendapatkan informasi mengenai bolehnya wanita jadi imam (khatib shalat jum'at?) Siapa pendahulu mereka? Apakah Ibn Rushd dan ibn Quddamah mendapatkan informasi yang sama? Apakah Wadud sudah membahas secara menyeluruh mengenai masalah2 diskusi yang seperti kita lakukan? Berbagai pertanyaan2 tersebut memerlukan penelitian yang mendalam.

Keempat, disebabkan tidak ada wanita yang jadi imam sekaligus khatib dalam shalat Jum'at ketika zaman al-Tabari, abu Tsaur dan al-Muzani, maka tindakan Wadud tidak berdasarkan fakta sejarah. Sejarawan Muslim baik yang sezaman atau setelah mereka akan merekam jika ada peristiwa-peristiwa seperti itu karena penting untuk pengetahuan kaum Muslimin. Namun, tidak ada sejarawan Muslim yang mencatat itu.

Kelima, alasan "timing" bagi saya sangat lemah. Sebabnya, pada zaman Islam, zaman Rasulullah saw, zaman dimana kondisi umat Islam kuat, zaman kegemilangan Islam dll, tidak pernah terjadi perbuatan yang sangat langka itu. Mengapa? Salah satu jawabannya, pendekatan feministik tidak digunakan oleh para mufassir dan fuqaha..

Keenam, sekalipun tidak bisa menguraikannya sekarang, saya berpendapat, alasan para jumhur tidak diredusir hanya kepada dalil yang antum telah sebutkan.

Terakhir, namun bukan paling akhir, saya mengikuti pendapat para jumhur. Dan saya yakin, para fuqaha lintas mazhab dari berbagai Negara akan segera mengkritik tindakan Wadud yang untuk pertama kalinya dalam sejarah Islam menjadi imam dan khatib dalam shalat Jum'at. Dan Wadud akan dicatat dalam sejarah sebagai tokoh kontroversi. Bukan untuk dihormati, tapi untuk dikritisi. Bagi saya, terlalu banyak agenda yang perlu dilakukan Wadud untuk memberdayakan wanita, bukan dengan cara mencetuskan kontroversi.

0 komentar:

Posting Komentar