Disebabkan tindakan Wadud sebagai imam dan khatib, dan ibu Musdah Mulia yang
mempelopori KHI, maka gerakan feminis Internasional menganugerahkan keduanya
sebagai tokoh wanita internasional pada tahun ini. Dari sini, kita melihat
tindakan dan pemikiran para feminis Muslim tidak terlepas dari "mafia
internasional." Sebagaimana Uskup Belo dan Ramos Horta dulu telah mendapatkan
"noble price".
Mari kita fokuskan diskusi mengenai perbuatan Wadud yang
jadi imam sekaligus khatib shalat Jum'at.
Sebelumnya, terima kasih atas
studi awal antum mengenai masalah ini. Bagaimanapun, beberapa persoalan masih
perlu diselesaikan.
Pertama, kita masih belum tahu alasan Wadud
menjadi imam sekaligus khatib shalat Jum'at. Kemungkinan, argumentasi Wadud akan
berkembang biak, membengkak, justru setelah Ia jadi imam dan khatib shalat
Jum'at. Ia memerlukan bukti2 untuk menjustifikasi tindakannya. Komentar Prof.
Taha Jabir dan alasan2 yang antum kemukakan akan menambah bukti
kepadanya.
Bagaimanapun, Wadud belum tentu akan menggunakan pendapat al-
Tabari, Abu Tsaur dan al-Muzani. Sebabnya dia sendiri mengkritik bukan hanya
al-Tabari, namun mayoritas mufassir dan fuqaha karena mendiskrimaniskan wanita.
Oleh sebab itu, berdasarkan karya tafsir al- Tabari, saya menyimpulkan justru
al-Tabari akan menolak pendapat Wadud berkaitan dengan hal2 kewanitaan.
Al-Tabari yang dikritik Wadud digunakan untuk membela Wadud. Terasa
janggal.
Kedua, Jangankan hadits,
seandainyapun ada ayat di dalam al-Qur'an berkaitan dengan isu tersebut, maka
Wadud akan menggunakan "pandangan hidup feminis" untuk menafsirkannya.
Menggunakan "pendekatan feministik" sudah dilakukan Wadud dengan baik, dalam
karyanya Wanita di dalam al-Qur'an (Woman in the Qur'an). Di dalam karya
tersebut, Wadud mengolah ayat-ayat al-Qur'an untuk menjustifikasi pendapatnya.
Masalah yang dihadapi bukan saja "bahan baku." Namun pengolahan "bahan baku"
ayat al-Qur'an atau hadith. Bagi saya, alat untuk mengolah, bukan di dapat dari
tradisi kaum Muslimin. Alat pengolahan itu dimport dari feminis Barat.
Buktinya, selama 1400 tahun dari seluruh wanita Muslimah yang ada di
seluruh Negara di Dunia, dari zaman ke zaman, tidak pandang bulu mazhab fikh,
teologi, bahkan akidah, untuk pertama kalinya baru Wadud, seorang wanita, yang
menjadi Imam dan khatib shalat Jum'at.
Oleh sebab itu, bagi saya, Wadud
telah menjadi wanita yang sangat langka. Apakah "spesis yang sangat langka" akan
membiakkan keturunannya? Apa yang terjadi selama 1400 tahun kepada wanita
Muslimah di seluruh dunia? Apa yang dilakukan oleh para fuqaha lintas mazhab
dari seluruh dunia, dari zaman ke zaman selama 1400 tahun mengenai masalah ini?
Mengapa sebelum ini selama 1400 tahun tidak pernah terjadi? Mengapa Wadud yang
melakukannya, bukan orang lain?
Apa yang melatar belakangi Wadud
melakukan itu? Apa alasannya?
Mengapa dia ingin jadi imam sekaligus khatib?
Ringkasnya, tindakannya itu terkait dengan cara berfikirnya. Kita tidak bisa
menilai hanya shalat dan khutbah Jum'atnya saja, tanpa melihat gagasannya yang
lain (sebagaimana tambahan masalah yang diajukan mas Fahmi). Masalah ini sangat
perlu dilihat secara utuh. Dan kita sama sekali idak dan belum tahu, apalagi
membahas apa alasan Wadud berbuat demikian. Disebabkan tindakan Wadud termasuk
betul-betul baru sama sekali, maka mengkiaskan dengan kadal, shalat tarawih dsb,
tidak tepat.
Ketiga, kita tidak punya sumber primer, hanya
sekunder. Bagaimanapun, sumber sekunder tetap bisa digunakan. Masalahnya, siapa
yang pertama kali membolehkan wanita jadi imam sekaligus khatib dalam shalat
Jum'at? Apakah betul al-Tabari, abu Tsaur dan al- Muzani membolehkan wanita jadi
imam sekaligus khatib dalam shalat Jum'at? Dari tulisan antum, pernyataan
eksplisit al-Tabari, Abu Tsaur dan al-Muzani tidak ada. Selain itu, apakah
al-Tabari, abu Tsaur dan al-Muzani memiliki sumber yang sama dalam menyimpulkan
wanita jadi imam shalat Jum'at? Ataukah al-Muzani menggunakan sumber para
pendahulunya? Apakah betul al-Tabari, abu Tsaur dan al-Muzani membolehkan wanita
jadi iman sekaligus khatib shalat Jum'at? Apa alasan mereka?
Dari mana
Ibn Rushd, ibn Quddamah mendapatkan informasi mengenai bolehnya wanita jadi imam
(khatib shalat jum'at?) Siapa pendahulu mereka? Apakah Ibn Rushd dan ibn
Quddamah mendapatkan informasi yang sama? Apakah Wadud sudah membahas secara
menyeluruh mengenai masalah2 diskusi yang seperti kita lakukan? Berbagai
pertanyaan2 tersebut memerlukan penelitian yang mendalam.
Keempat, disebabkan tidak ada wanita yang jadi imam sekaligus
khatib dalam shalat Jum'at ketika zaman al-Tabari, abu Tsaur dan al-Muzani, maka
tindakan Wadud tidak berdasarkan fakta sejarah. Sejarawan Muslim baik yang
sezaman atau setelah mereka akan merekam jika ada peristiwa-peristiwa seperti
itu karena penting untuk pengetahuan kaum Muslimin. Namun, tidak ada sejarawan
Muslim yang mencatat itu.
Kelima, alasan "timing" bagi saya sangat
lemah. Sebabnya, pada zaman Islam, zaman Rasulullah saw, zaman dimana kondisi
umat Islam kuat, zaman kegemilangan Islam dll, tidak pernah terjadi perbuatan
yang sangat langka itu. Mengapa? Salah satu jawabannya, pendekatan feministik
tidak digunakan oleh para mufassir dan fuqaha..
Keenam, sekalipun
tidak bisa menguraikannya sekarang, saya berpendapat, alasan para jumhur tidak
diredusir hanya kepada dalil yang antum telah sebutkan.
Terakhir, namun
bukan paling akhir, saya mengikuti pendapat para jumhur. Dan saya yakin, para
fuqaha lintas mazhab dari berbagai Negara akan segera mengkritik tindakan Wadud
yang untuk pertama kalinya dalam sejarah Islam menjadi imam dan khatib dalam
shalat Jum'at. Dan Wadud akan dicatat dalam sejarah sebagai tokoh kontroversi.
Bukan untuk dihormati, tapi untuk dikritisi. Bagi saya, terlalu banyak agenda
yang perlu dilakukan Wadud untuk memberdayakan wanita, bukan dengan cara
mencetuskan kontroversi.
Sabtu, 10 Maret 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar