Beberapa waktu lalu engkau menyatakan bahwa
“Tuhan sudah mati”. Engkau juga mengucapkan kalimat yang membuat bulu kudukku
merinding, “Anjinghu Akbar.” Aku mendengarnya bukan karena aku berada
dalam satu kelompok diskusi atheisme, yang tiada diskusi lain kecuali
gembar-gembor tentang peniadaan Tuhan. Dan aku bukan juga punya mata-mata hingga
tahu ucapanmu itu. Aku mendengarnya langsung dari orang baik-baik, yang shalat,
yang percaya pada Tuhan, dan percaya jika Tuhan tidak akan bisa mati. Artinya,
perkataanmu itu sudah diketahui publik. Jika sudah demikian, bahasanmu bukan
lagi bahasan private. Bahasanmu sudah menyentuh nilai, norma, etika dan hukum
negara ini dan juga rakyat yang ada di dalamnya. Kata founding father, negara
ini adalah negara yang menyakini adanya Tuhan. Mengutip pancasila sila pertama,
“huwallahu ahad”. Oleh karena itu, jangan salah sangka dan salah paham,
jika tiba-tiba ada yang menuntutmu secara hukum. Ini kan salahmu sendiri. Kamu
memang ingin masuk penjara; makan dan minum gratis, ngga kuliah, bisa juga tidur
sepuasnya. Pokoknya sakarepmu dewe.
Masih ingat ngga?! Aku dulu pernah
menegurmu ketika aku lihat engkau menulis besar-besar pada stand ta’aruf (ospek)
mahasiswa baru IAIN SGD tahun 2003, “Tuhan sama dengan jalangkung”. Aku
bertanya pada mahasiswa lain, “kok bisa begitu?” sambil tanganku menunjuk ke
arah tulisan itu. Lalu mahasiswa itu menjawab, “Ah biasa, Mahasiswa aqfil
(aqidah-filsafat) emang suka gitu.” Terus terang ketika mendengarnya, aku cukup
kaget, heran sekaligus penasaran. Lalu aku bertanya kepadamu, apa maksud tulisan
itu. Engkau menjawab jika “Tuhan” itu hanya skadar “nama”. Yup, just
name!
Mendengar jawabanmu itu aku tidak langsung menunjuk “batang
hidungmu yang pesek”, aku minta izin kepadamu untuk menganalogikan pikiranmu itu
pada hal yang hampir serupa. Sambil tersenyum, engkau mengizinkannya. Aku tahu
engkau begitu antusias dengan pekerjaan yang namanya “diskusi”. Aku harap engkau
tidak akan marah. Engkau tersenyum dan berkata tidak akan marah. Lalu, aku mulai
dengan menghina ayah dan ibumu dengan makian, hinaan dan cemoohan. Kulihat
mukamu merah padam dan engkau berkata, “Ini jelas berbeda”. Kini giliran aku
tersenyum sambil bertanya, “Berbeda apanya? Saya hanya menggunakan logika yang
kamu gunakan, tidak lebih dan tidak kurang. Jika memang Tuhan itu hanya “nama”,
maka ayah dan ibu kamu juga hanya sekadar “nama”. Jika kamu marah orangtuamu
dihina sedemikian rupa, lalu mengapa aku tidak marah ketika Tuhanku di hina,
bukan face to face tapi sudah banyak orang yang tahu.” Setelah mendengar
jawabanku itu, engkau hanya bisa diam seribu bahasa dan berlalu tanpa
pamit.
etahun kemudian (di tahun 2004) pada
acara yang sama, engkau mengulangi kesalahan itu lagi. Pemikiranmu payah, rapuh,
dan tidak ilmiah. Aku bertanya, mengapa? Engkau hanya bisa berdalih dan
mencari-cari alasan yang tidak sesuai dengan tuntunan logika yang sehat,
Perkataan anjinghu akbar bukanlah tanpa makna atau sejenis pelecehan terhadap
Islam. Perkataan itu hanya menggambarkan bagaimana kata Allahu Akbar sering
diartikan sangat formalistik. Engkau mencontohkan, banyak anggota dewan yang
shalatnya khusyu, tapi kelakuannya bejat dengan melakukan KKN, atau perbuatan
buruk lainnya. “Termasuk masalah tulisan yang berada di spanduk. Itu merupakan
pemikiran yang bertujuan untuk memberikan shock therapy kepada mahasiswa untuk
berpikir kritis.” Engkau juga mengatakan bahwa wacana “Tuhan sudah mati” adalah
wacana ilmiah yang wajar-wajar saja. Seperti halnya pemikiran Nietszhe yang
mengungkapkan jika Tuhan sudah mati.
Aku tidak tahu bagaimana engkau
bisa sampai pada kesimpulan seperti itu. Engkau tidak bisa membedakan mana yang
“ilmiah” dan mana yang “tafsiran filosofis”. Atau mungkin saja buku-buku yang
engkau baca mengajarkan bahwa “Tuhan sudah mati” itu ilmiah, dan atau bukan
tafsiran filosofis.
Paul Vitz dalam bukunya Psychology as Religion: The
Cult of Self Worship (1998) mengungkapkan bahwa penolakan terhadap Tuhan dan
agama sering terjadi bukan karena hasil renungan dan penelitian yang sadar. Kamu
tidak percaya kepada agama bukan karena secara ilmiah Anda menemukan agama itu
hanya sekumpulan takhayul. Kamu menolak agama bukan karena alasan rasional,
melainkan faktor psikologis yang tidak Kamu sadari. Nietszhe menolak Tuhan,
seperti diakuinya, bukan karena “pemikiran”, melainkan karena
“naluri”.
Teori Freud bahwa agama itu ilusi tampaknya bulat-bulat
mengambil dari Feurbach. Teori ini tidak punya dasar dalam psikoanalisis. Freud
sendiri mengakuinya dalam surat yang dikirimnya kepada kawannya, Oskar Pfister:
“Marilah kita berterus terang dalam hal ini bahwa pandanganku yang diungkapkan
dalam bukuku, The Future of an Illusion, bukanlah bagian dari teori analitis.
Semua gagasan di sana hanyalah pandangan pribadiku.”
Teori agama Freud
dirumuskan dari “pandangan pribadinya”, lalu Paul Vitz merumuskan teori ateisme
dari pandangan psikoanalisis Freud – dari Oedipus Complex. Ia menggabungkannya
dengan pandangan pribadi Freud tentang proyeksi “pemuasan keinginan”. Di samping
proyeksi tentang agama, sekarang ada proyeksi tentang ateisme.
Di samping
teori ketidaksadaran, Oedipus Complex menjadi konsep sentral psikoanalisis.
Sekali lagi singkat cerita, ketika anak berusia kira-kira 3 tahun anak laki-laki
punya hasrat seksual kepada ibunya. Tetapi, ia berhadapan dengan “pesaing” yang
sangat tangguh, yaitu ayahnya sendiri. Ia ingin menggantikan posisi ayahnya,
tetapi tidak mampu. Ia bercita-cita untuk membunuh ayahnya. (Sebagai keterangan
yang diselipkan dengan cepat, Saphocles dalam drama Oedipus Tyrannus
menceritakan Oedipus yang membunuh ayahnya dan mengawini ibunya). Cerita tentang
yang membunuh ayahnya terdapat dalam berbagai mitos, antara lain, sangkuriang di
dalam legenda orang sunda. Maka, pandangan Freud yang menganggap Tuhan
diciptakan dengan citra bapak, dan agama lahir sebagai cara untuk memuaskan
keinginan untuk mendapat perlindungan bapak, keinginan untuk membunuh ayah dan
menggantikan posisi ayah dengan dirinya, menjadi dasar psikologis
ateisme.
Membunuh ayah “disublimasikan” dengan membunuh Tuhan. Lihatlah,
bagaimana Nietszhe menggambarkan Zarathustra yang berkata: “Gott ist gestorben.
Tuhan sudah mati!” Karena itu, ketika sebagian ilmuwan menyingkirkan Tuhan dari
laboratorium alam semesta, ketika Freud menganggap Tuhan sebagai ilusi, ketika
psikologi mengabaikan agama sama sekali, mereka adalah para Oedipus yang sedang
membunuh ayahnya. Paul Vitz menunjukkan bahwa para ateis – dengan sedikit
kekecualian – adalah orang-orang yang ditinggalkan ayah pada usia dini atau
karena sesuatu hal yang membenci ayahnya itu. Seperti Nietzshe, Freud memandang
ayahnya sebagai bapak yang lemah, pengecut, dan berprilaku seksual yang
menyimpang. Ia membenci ayahnya, dan selanjutnya membenci Tuhan, yang tercipta
berdasarkan citra ayahnya. Psikoanalisis akhirnya membuang Tuhan sebagai sekadar
ilusi kekanak-kanakan.
Psikiater Roger Walsh dan Dean Shapiro sudah
menunjukkan bahwa indeks karya lengkap Freud mengandung lebih empat ratus lema
patologi, tetapi tidak satu lema pun tentang kesehatan. Tidak heran jika P.B.
Medawar menganggap Freudianisme sebagai omong kosong terbesar abad ke 20. Adolph
Grunbaum dan Frederick Crews mengemukakan betapa sedikit yang dapat, secara
rasional dan memang sudah, dibuktikan, kita terima dari pandangan suram Freud
mengenai hakikat manusia. Daniel Goleman, mantan redaktur sains tingkah laku di
New York Times dan penulis buku EQ, pun turut berkomentar, bahwa gambaran Freud
tentang diri manusia merupakan model paling dekat yang dapat diraih peradaban
Barat, dan baginya ini kurang baik. Karena model tersebut lebih pesimistis
ketimbang model-model alternatif yang dikembangkan para psikolog di luar
Universitas (dalam hal ini adalah pandangan psikologi
transpersonal).
Mengenai ketidakilmiahan ateisme sudah saya jelaskan di
atas, sekarang tinggal mengoreksi cara yang engkau pergunakan dalam mengkritik
masyarakat yang korup itu, apakah memang benar cara yang tepat?
Bagi
saya justru apa yang engkau gunakan sama halnya dengan membalas keburukan dengan
keburukan. Sungguh tujuan yang mulia itu tidak bisa hidup kecuali dalam kalbu
yang mulia. Lalu bagaimana mungkin kalbu yang mulia itu akan sanggup menggunakan
cara yang hina? Dan lebih jauh dari itu bagaimana mungkin ia menemukan cara yang
hina itu?
Ketika kita akan mengarungi telaga berlumpur ke tepi sana,
pastilah kita akan mencapai pantai dengan berlumuran lumpur pula. Lumput-lumpur
jalanan itu akan meninggalkan bekas pada kaki kita, dan pada jejak kaki kita.
Begitu pula kalau kita menggunakan cara hina, najis-najis itu akan membekas pada
roh itu dan pada tujuan yang telah kita capai juga.
Pada tahun 1983,
Alexander I. Solzhenitsyn, pemenang hadiah Nobel tahun 1970 untuk bidang
literatur, memberikan pidato di London di mana ia berusaha menjelaskan mengapa
banyak sekali malapetaka buruk yang telah menimpa rakyatnya:
Lebih dari
setengah abad yang lalu, ketika saya masih kecil, saya teringat saat
mendengarkan sejumlah orang-orang tua memberikan penjelasan berikut ini atas
bencana dahsyat yang menimpa Rusia: “Manusia telah melupakan Tuhan; itulah
mengapa semua ini terjadi.”
Sejak saat itu saya menghabiskan hampir 50
tahun untuk menulis tentang sejarah revolusi kami; dalam proses tersebut saya
telah membaca ratusan buku, mengumpukan ratusan kesaksian dari orang-orang, dan
telah menyumbangkan delapan jilid karya saya dalam upaya membersihkan
puing-puing reruntuhan yang tertinggal akibat petaka tersebut. Tapi, jika
sekarang saya di minta untuk mengatakan seringkas mungkin penyebab utama
revolusi yang menghancurkan tersebut, yang menelan sekitar 60 juta rakyat kami,
saya tidak mampu
mengungkapkannya dengan lebih tepat kecuali mengulang
perkataan: “Manusia telah melupakan Tuhan; itulah mengapa semua ini terjadi.”
(Edward E. Ericson, Jr., “Solzhenitsyn - Voice from the Gulag”, Eternity,
October 1985, hal. 23-24).
“Perumpamaan orang-orang yang mengambil
pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah.
Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah ialah rumah laba-laba kalau mereka
mengetahui.” (Qs. 29:41).
Sumbangan Chandra
Anak Cibiru Bandung
http://www.penulis-muda.blogdrive.com/
Artikel ini
disampaikan:
di milis evolusi http://groups.yahoo.com/group/evolusi/
di milis
interdisiplin http://groups.yahoo.com/group/interdisiplin/
dan situs
myquran http://www.myquran.org/index.php
Sabtu, 10 Maret 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar