Pages

Sabtu, 10 Maret 2012

Surat Untuk Atheis !!

Beberapa waktu lalu engkau menyatakan bahwa “Tuhan sudah mati”. Engkau juga mengucapkan kalimat yang membuat bulu kudukku merinding, “Anjinghu Akbar.” Aku mendengarnya bukan karena aku berada dalam satu kelompok diskusi atheisme, yang tiada diskusi lain kecuali gembar-gembor tentang peniadaan Tuhan. Dan aku bukan juga punya mata-mata hingga tahu ucapanmu itu. Aku mendengarnya langsung dari orang baik-baik, yang shalat, yang percaya pada Tuhan, dan percaya jika Tuhan tidak akan bisa mati. Artinya, perkataanmu itu sudah diketahui publik. Jika sudah demikian, bahasanmu bukan lagi bahasan private. Bahasanmu sudah menyentuh nilai, norma, etika dan hukum negara ini dan juga rakyat yang ada di dalamnya. Kata founding father, negara ini adalah negara yang menyakini adanya Tuhan. Mengutip pancasila sila pertama, “huwallahu ahad”. Oleh karena itu, jangan salah sangka dan salah paham, jika tiba-tiba ada yang menuntutmu secara hukum. Ini kan salahmu sendiri. Kamu memang ingin masuk penjara; makan dan minum gratis, ngga kuliah, bisa juga tidur sepuasnya. Pokoknya sakarepmu dewe.
Masih ingat ngga?! Aku dulu pernah menegurmu ketika aku lihat engkau menulis besar-besar pada stand ta’aruf (ospek) mahasiswa baru IAIN SGD tahun 2003, “Tuhan sama dengan jalangkung”. Aku bertanya pada mahasiswa lain, “kok bisa begitu?” sambil tanganku menunjuk ke arah tulisan itu. Lalu mahasiswa itu menjawab, “Ah biasa, Mahasiswa aqfil (aqidah-filsafat) emang suka gitu.” Terus terang ketika mendengarnya, aku cukup kaget, heran sekaligus penasaran. Lalu aku bertanya kepadamu, apa maksud tulisan itu. Engkau menjawab jika “Tuhan” itu hanya skadar “nama”. Yup, just name!

Mendengar jawabanmu itu aku tidak langsung menunjuk “batang hidungmu yang pesek”, aku minta izin kepadamu untuk menganalogikan pikiranmu itu pada hal yang hampir serupa. Sambil tersenyum, engkau mengizinkannya. Aku tahu engkau begitu antusias dengan pekerjaan yang namanya “diskusi”. Aku harap engkau tidak akan marah. Engkau tersenyum dan berkata tidak akan marah. Lalu, aku mulai dengan menghina ayah dan ibumu dengan makian, hinaan dan cemoohan. Kulihat mukamu merah padam dan engkau berkata, “Ini jelas berbeda”. Kini giliran aku tersenyum sambil bertanya, “Berbeda apanya? Saya hanya menggunakan logika yang kamu gunakan, tidak lebih dan tidak kurang. Jika memang Tuhan itu hanya “nama”, maka ayah dan ibu kamu juga hanya sekadar “nama”. Jika kamu marah orangtuamu dihina sedemikian rupa, lalu mengapa aku tidak marah ketika Tuhanku di hina, bukan face to face tapi sudah banyak orang yang tahu.” Setelah mendengar jawabanku itu, engkau hanya bisa diam seribu bahasa dan berlalu tanpa pamit.
etahun kemudian (di tahun 2004) pada acara yang sama, engkau mengulangi kesalahan itu lagi. Pemikiranmu payah, rapuh, dan tidak ilmiah. Aku bertanya, mengapa? Engkau hanya bisa berdalih dan mencari-cari alasan yang tidak sesuai dengan tuntunan logika yang sehat, Perkataan anjinghu akbar bukanlah tanpa makna atau sejenis pelecehan terhadap Islam. Perkataan itu hanya menggambarkan bagaimana kata Allahu Akbar sering diartikan sangat formalistik. Engkau mencontohkan, banyak anggota dewan yang shalatnya khusyu, tapi kelakuannya bejat dengan melakukan KKN, atau perbuatan buruk lainnya. “Termasuk masalah tulisan yang berada di spanduk. Itu merupakan pemikiran yang bertujuan untuk memberikan shock therapy kepada mahasiswa untuk berpikir kritis.” Engkau juga mengatakan bahwa wacana “Tuhan sudah mati” adalah wacana ilmiah yang wajar-wajar saja. Seperti halnya pemikiran Nietszhe yang mengungkapkan jika Tuhan sudah mati.

Aku tidak tahu bagaimana engkau bisa sampai pada kesimpulan seperti itu. Engkau tidak bisa membedakan mana yang “ilmiah” dan mana yang “tafsiran filosofis”. Atau mungkin saja buku-buku yang engkau baca mengajarkan bahwa “Tuhan sudah mati” itu ilmiah, dan atau bukan tafsiran filosofis.

Paul Vitz dalam bukunya Psychology as Religion: The Cult of Self Worship (1998) mengungkapkan bahwa penolakan terhadap Tuhan dan agama sering terjadi bukan karena hasil renungan dan penelitian yang sadar. Kamu tidak percaya kepada agama bukan karena secara ilmiah Anda menemukan agama itu hanya sekumpulan takhayul. Kamu menolak agama bukan karena alasan rasional, melainkan faktor psikologis yang tidak Kamu sadari. Nietszhe menolak Tuhan, seperti diakuinya, bukan karena “pemikiran”, melainkan karena “naluri”.

Teori Freud bahwa agama itu ilusi tampaknya bulat-bulat mengambil dari Feurbach. Teori ini tidak punya dasar dalam psikoanalisis. Freud sendiri mengakuinya dalam surat yang dikirimnya kepada kawannya, Oskar Pfister: “Marilah kita berterus terang dalam hal ini bahwa pandanganku yang diungkapkan dalam bukuku, The Future of an Illusion, bukanlah bagian dari teori analitis. Semua gagasan di sana hanyalah pandangan pribadiku.”

Teori agama Freud dirumuskan dari “pandangan pribadinya”, lalu Paul Vitz merumuskan teori ateisme dari pandangan psikoanalisis Freud – dari Oedipus Complex. Ia menggabungkannya dengan pandangan pribadi Freud tentang proyeksi “pemuasan keinginan”. Di samping proyeksi tentang agama, sekarang ada proyeksi tentang ateisme.

Di samping teori ketidaksadaran, Oedipus Complex menjadi konsep sentral psikoanalisis. Sekali lagi singkat cerita, ketika anak berusia kira-kira 3 tahun anak laki-laki punya hasrat seksual kepada ibunya. Tetapi, ia berhadapan dengan “pesaing” yang sangat tangguh, yaitu ayahnya sendiri. Ia ingin menggantikan posisi ayahnya, tetapi tidak mampu. Ia bercita-cita untuk membunuh ayahnya. (Sebagai keterangan yang diselipkan dengan cepat, Saphocles dalam drama Oedipus Tyrannus menceritakan Oedipus yang membunuh ayahnya dan mengawini ibunya). Cerita tentang yang membunuh ayahnya terdapat dalam berbagai mitos, antara lain, sangkuriang di dalam legenda orang sunda. Maka, pandangan Freud yang menganggap Tuhan diciptakan dengan citra bapak, dan agama lahir sebagai cara untuk memuaskan keinginan untuk mendapat perlindungan bapak, keinginan untuk membunuh ayah dan menggantikan posisi ayah dengan dirinya, menjadi dasar psikologis ateisme.

Membunuh ayah “disublimasikan” dengan membunuh Tuhan. Lihatlah, bagaimana Nietszhe menggambarkan Zarathustra yang berkata: “Gott ist gestorben. Tuhan sudah mati!” Karena itu, ketika sebagian ilmuwan menyingkirkan Tuhan dari laboratorium alam semesta, ketika Freud menganggap Tuhan sebagai ilusi, ketika psikologi mengabaikan agama sama sekali, mereka adalah para Oedipus yang sedang membunuh ayahnya. Paul Vitz menunjukkan bahwa para ateis – dengan sedikit kekecualian – adalah orang-orang yang ditinggalkan ayah pada usia dini atau karena sesuatu hal yang membenci ayahnya itu. Seperti Nietzshe, Freud memandang ayahnya sebagai bapak yang lemah, pengecut, dan berprilaku seksual yang menyimpang. Ia membenci ayahnya, dan selanjutnya membenci Tuhan, yang tercipta berdasarkan citra ayahnya. Psikoanalisis akhirnya membuang Tuhan sebagai sekadar ilusi kekanak-kanakan.

Psikiater Roger Walsh dan Dean Shapiro sudah menunjukkan bahwa indeks karya lengkap Freud mengandung lebih empat ratus lema patologi, tetapi tidak satu lema pun tentang kesehatan. Tidak heran jika P.B. Medawar menganggap Freudianisme sebagai omong kosong terbesar abad ke 20. Adolph Grunbaum dan Frederick Crews mengemukakan betapa sedikit yang dapat, secara rasional dan memang sudah, dibuktikan, kita terima dari pandangan suram Freud mengenai hakikat manusia. Daniel Goleman, mantan redaktur sains tingkah laku di New York Times dan penulis buku EQ, pun turut berkomentar, bahwa gambaran Freud tentang diri manusia merupakan model paling dekat yang dapat diraih peradaban Barat, dan baginya ini kurang baik. Karena model tersebut lebih pesimistis ketimbang model-model alternatif yang dikembangkan para psikolog di luar Universitas (dalam hal ini adalah pandangan psikologi transpersonal).

Mengenai ketidakilmiahan ateisme sudah saya jelaskan di atas, sekarang tinggal mengoreksi cara yang engkau pergunakan dalam mengkritik masyarakat yang korup itu, apakah memang benar cara yang tepat?

Bagi saya justru apa yang engkau gunakan sama halnya dengan membalas keburukan dengan keburukan. Sungguh tujuan yang mulia itu tidak bisa hidup kecuali dalam kalbu yang mulia. Lalu bagaimana mungkin kalbu yang mulia itu akan sanggup menggunakan cara yang hina? Dan lebih jauh dari itu bagaimana mungkin ia menemukan cara yang hina itu?

Ketika kita akan mengarungi telaga berlumpur ke tepi sana, pastilah kita akan mencapai pantai dengan berlumuran lumpur pula. Lumput-lumpur jalanan itu akan meninggalkan bekas pada kaki kita, dan pada jejak kaki kita. Begitu pula kalau kita menggunakan cara hina, najis-najis itu akan membekas pada roh itu dan pada tujuan yang telah kita capai juga.

Pada tahun 1983, Alexander I. Solzhenitsyn, pemenang hadiah Nobel tahun 1970 untuk bidang literatur, memberikan pidato di London di mana ia berusaha menjelaskan mengapa banyak sekali malapetaka buruk yang telah menimpa rakyatnya:

Lebih dari setengah abad yang lalu, ketika saya masih kecil, saya teringat saat mendengarkan sejumlah orang-orang tua memberikan penjelasan berikut ini atas bencana dahsyat yang menimpa Rusia: “Manusia telah melupakan Tuhan; itulah mengapa semua ini terjadi.”

Sejak saat itu saya menghabiskan hampir 50 tahun untuk menulis tentang sejarah revolusi kami; dalam proses tersebut saya telah membaca ratusan buku, mengumpukan ratusan kesaksian dari orang-orang, dan telah menyumbangkan delapan jilid karya saya dalam upaya membersihkan puing-puing reruntuhan yang tertinggal akibat petaka tersebut. Tapi, jika sekarang saya di minta untuk mengatakan seringkas mungkin penyebab utama revolusi yang menghancurkan tersebut, yang menelan sekitar 60 juta rakyat kami, saya tidak mampu
mengungkapkannya dengan lebih tepat kecuali mengulang perkataan: “Manusia telah melupakan Tuhan; itulah mengapa semua ini terjadi.” (Edward E. Ericson, Jr., “Solzhenitsyn - Voice from the Gulag”, Eternity, October 1985, hal. 23-24).

“Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah ialah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui.” (Qs. 29:41).

Sumbangan Chandra
Anak Cibiru Bandung
http://www.penulis-muda.blogdrive.com/

Artikel ini disampaikan:
di milis evolusi http://groups.yahoo.com/group/evolusi/
di milis interdisiplin http://groups.yahoo.com/group/interdisiplin/
dan situs myquran http://www.myquran.org/index.php

0 komentar:

Posting Komentar