Pages

Jumat, 16 Maret 2012

Benarkah Tidak Ada Penunjukan Kepemimpinan Oleh Rasulullah Sebelum Beliau Wafat?

Salah satu pernyataan yang kerap kali dilontarkan oleh para penolak dan penentang ide khilafah sebagai sistem kepemimpinan tunggal di dalam Islam yakni bahwa Rasulullah saw tidak pernah menunjuk secara langsung siapa pengganti beliau ketika beliau wafat, bahkan menjelang akhir hayatnya pun beliau tidak menunjuk siapa yang berhak menggantikan posisi untuk mengurusi umat Islam khususnya, dan seluruh umat manusia pada umumnya.
Pendapat di atas, secara sekilas tampak benar, karena memang tidak ada di dalam catatan sirah nabawiyah yang menyebutkan bahwa Rasulullah pernah menunjuk seseorang sebagai pengganti beliau dalam hal ri’ayah su’unil ummah. Namun juga, pendapat tersebut tidak sepenuhnya benar, atau lebih tepatnya keliru dan salah, karena tidak menunjukan pemahaman akan nash-nash yang ada baik di dalam al qur’an, al hadist juga tidak malakukan kajian mendalam terhadap ijma’ sahabat yang ada seputar imamah/kekhilafahan. Oleh karenanya, selayaknya kita merujuk kepada sirah nabawiyah akan perjuangan dan aktivitas dakwah Rasulullah saw, khusunya ketika sakit dan menjelang wafatnya beliau.
Masa sakit beliau
Dua bulan setelah menunaikan ibadah Haji Wadak (haji terkahir), Nabi mengalami demam. Badannya mulai lemah. Meskipun demikian ia tetap memimpin salat berjama’ah.
Namun setelah merasa sangat lemah, ia menunjuk Abu Bakar menjadi penggantinya sebagai imam shalat. Dalam sirah nabawiyah kita bisa membaca dan melihat bahwa waktu itu ketika Rasulullah saw sakit, Umar kemudian berinisiatif menjadi Imam sholat bagi kaum muslim.
Suara takbir yang diucapkan oleh Umar ketika sholat terdengar oleh Rasulullah. Kemudian Rasulullah mengatakan bahwa “Allah dan kaum muslim tidak menyukai ini, dimana Abu Bakar? Suruhlah dia untuk memimpin sholat berjama’ah kaum muslim”, perintah Rasulullah. Lalu kemudian Abu Bakar kemudian memimpin kaum muslim untuk sholat secara berjama’ah.
Dari fragment di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa ada qarinah atau indikasi bahwa adanya isyarat kepemimpinan oleh Abu Bakar yang akan menggantikan posisi beliau dalam mengurusi umat Islam. Sebagaimana juga yang kita bisa lihat dalam makna hakiki dari salah satu perjalanan Isra’ mikrajnya Rasulullah saw di bulan rajab ketika menjadi Imam bagi semua nabi. Yakni isyarat kepemimpinan untuk seluruh umat manusia, hal ini bisa dipahami dari peristiwa ketika Rasul berada di Masjidil Aqsha, atas kehendak Allah Swt., seluruh nabi mulai Adam a.s hingga Isa a.s dihidupkan.
Beliau sempat berbicara dengan mereka. Di masjid ini Rasulullah menjadi imam shalat jamaah khusus dengan makmum para nabi (Adz Dzahabi, Sirah Nabawiyah, hlm.154). Rasul menjadi imam shalat para nabi yang memimpin umat manusia dengan zaman yang berbeda-beda, suku yang berbeda-beda dan warna kulit yang berbeda-beda pula. Maka ketika Sahabat Rasulullah Abu Bakar as-Shiddik menjadi Imam sholat bagi seluruh kaum muslimin, dan itu merupakan perintah langsung dari Rasulullah saw maka itu menunjukan adanya isyarat kepemimpinan dari beliau kepada Abu Bakar ra.
Bahkan dalam catatan sirah, Rasulullah pernah berpidato dihadapan kaum Anshar dan Muhajirin, yang di dalam pidato itu menunjukan adanya isyarat bahwa kepemimpinan pasca Rasulullah saw adalah dari kalangan suku Quraysi. Dan Abu Bakar merupakan salah satu tokoh dari suku Quraysi.
Bahwa Nabi telah bersabda: ‘Pemimpin adalah dari orang Quraisy,’ maka janganlah kalian bersaingan dengan saudara-saudara kalian kaum Muhajirin dalam anugerah yang dilimpahkan Allah bagi mereka…”
Kemudian, secara ijma’ tidak ada yang mengingkari penunjukan Abu Bakar sebagai khalifah pengganti Rasulullah baik dari kalangan Anshar maupun Muhajirin. Hal ini bisa terlihat bagaimana proses tepilihnya Abu Bakar menjadi khalifah di Bani Saqifah.
“Konferensi Politik” di Saqifah
Ketika Rasulullah saw wafat, para sahabat dari kalangan Anshar berkumpul di Saqifah, mereka membahas siapa yang kan menggantikan posisi Rasulullah saw sebagai pemimpin umat ini. Mereka malah sibuk dengan urusan tersebut dan mendiamkan jenazah Rasulullah saw. Mendengar aktivitas sahabat dari kalangan Anshar tersebut maka sebagian kaum Muhajirin datang ke tempat itu dan terjadi perdebatan siapa yang layak menjadi pengganti Rasulullah saw, dan sebagian sahabat lain dari kalangan Muhajirin berdiam diri.
Tidak ada satupun dari kalangan sahabat baik dari golongan Muhajirin dan Anshar yang menentang aktivitas para sahabat di bani Saqifah tersebut yang berarti menunjukan adanya kesepakatan para sahabat Rasulullah saw, inilah ijma’ sahabat. Dan ijmak sahabat merupakan bagian dari dalil syari’ah.
Mungkin ada pertanyaan, mengapa para sahabat dari kalangan Anshar melakukan semacam musyawarah hanya diantara mereka tanpa melibatkan saudara-saudara mereka dari kalangan Muhajirin? Hal ini bisa dimaklumi karena beberapa kali kaum Anshar merasa ”ditinggalkan”. Salah satu contoh, ketika Rasulullah SAW memberikan ghanimah (harta rampasan) perang Hunain lebih banyak kepada para ”muallaf” Makkah daripada kaum Anshar. Ini membuat kaum Anshar “marah” karena cemburu.
Untunglah, perasaan cemburu itu hilang setelah Rasulullah SAW memberi nasihat. Kata beliau, sengaja ini dilakukan karena iman kaum Anshar lebih kokoh daripada muallaf Makkah.
”Wahai saudara-saudara Anshar, tidakkah kalian rela jika orang-orang itu pulang membawa kambing dan onta sedangkan kalian pulang membawa Rasulullah ke tempat kalian?” Ucapan Rasulullah SAW itu membuat kaum Anshar merasa terharu.
Namun, setelah Rasul wafat, kaum Anshar tidak ingin perlakuan yang bisa membuat cemburu itu terulang. Mereka pun berkumpul. Begitu pentingnya pertemuan itu hingga Sa’ad bin Ubadah, pemimpin kaum Khazraj yang saat itu sedang sakit, diminta hadir.
Dalam pertemuan itu, Sa’ad berpidato di hadapan kaum Anshar. Dia bilang, merekalah yang lebih mulia dibanding Muhajirin karena merekalah yang melindungi Rasulullah SAW selama sepuluh tahun di saat kaum Muhajirin tidak mampu berbuat apa-apa.
Mereka yang hadir pun sependapat dengan Sa’ad. Mereka mengatakan, ”Kami serahkan persoalan ini ke tanganmu. Demi kepentingan kaum Muslim, engkaulah pemimpin kami.”
Abu Bakar, Umar, serta Abu Ubaidah segera pergi menuju Saqifah setelah mendengar kabar bahwa kaum Anshar telah memperbincangkan masalah kepemimpinan.
Begitu datang, Umar berinisiatif hendak berbicara. Namun, Abu Bakar menahannya. Beliau memahami sifat Umar yang keras.
”Sabarlah! Aku yang akan berbicara. Sesudah itu silakan engkau berbicara sesukamu,” kata Abu Bakar.
Abu Bakar kemudian berpidato. Beliau menjelaskan kelebihan kaum Muhajirin. Merekalah yang lebih dahulu beriman dan berjuang bersama Rasulullah SAW. Mereka pula yang menanggung penderitaan karena membelanya, dan mereka termasuk kerabat dan para sahabatnya, sehingga merekalah yang berhak memegang kepemimpinan.
Tapi, di sisi lain, Abu Bakar juga menyebutkan kelebihan Anshar. Mereka telah membela kaum Muhajirin bersama Rasulullah SAW, hingga jika Muhajirin memimpin maka Anshar pun diikut sertakan. ”Kami amir dan tuan-tuan adalah wazir.”
Perkataan Abu Bakar mampu membuat situasi lebih tenang. Mereka pikir, terpilihnya Muhajirin membuat persaingan antara kaum Aus dan Khazraj melemah.
Akan tetapi, semangat mempertahankan Anshar masih ada. Mereka kukuh berpendapat, kaum Anshar lah yang berhak memimpin.
Abu Bakar mengulangi pernyataan sebelumnya: ”Muhajirin amir dan Anshar wazir”
Keadaan kembali memanas setelah Al Hubaib bin al-Munzir bin al-Jamuh mengajak Anshar untuk mempertahankan posisi. Umar, yang sebelumnya menahan diri untuk tidak berbicara, kini ikut berdiri dan berbicara, ”Orang-orang Arab tidak akan mengangkat kalian, jika nabinya bukan dari kalian!” Tak terelakkan, suasana di Saqifah menjadi tegang.
Al Hubaib kemudian berdebat sengit dengan Umar. Hingga Abu Ubaidah yang semula diam, angkat berbicara, ”Wahai saudara-saudara Anshar, kalian adalah pihak yang pertama memberikan bantuan, janganlah menjadi pihak pertama yang mengadakan perombakan.”
Basyir bin Sa’ad, salah satu pemimpin Khazraj, menyambut pernyataan Abu Ubaidah. Dia menyatakan, kaum Anshar tidak memiliki tujuan duniawi, juga tidak berhak untuk menyombongkan diri, sehingga hendaknya mereka jangan bertengkar dengan Muhajirin, karena mereka yang lebih berhak menjadi pemimpin.
Kata-kata Basyir membuat suasana Saqifah tenang kembali. Melihat situasi yang mendukung, Abu Bakar langsung mempersilakan para hadirin untuk memilih Umar bin Al Khattab atau Abu Ubaidah. Majelis kembali gaduh, hingga Umar berinisiatif untuk balik menawarkan bai’at kepada Abu Bakar Ash Siddiq.
Dengan suaranya yang lantang, Umar berkata, ”Abu Bakar! Bentangkan tanganmu! Bukankah Nabi menyuruhmu memimpin kaum Muslimin melaksanakan shalat? Engkaulah penggantinya. Kami akan mengikrarkan orang yang paling disukai Rasulullah SAW di antara kita semua.”
Para sahabat tidak ada satupun yang menolak dipilihnya Abu Bakar ra sebagai khalifah, karena dimata para sahabat beliau memang layak dan pantas untuk menjadi pengganti beliau.
Benarkah Imam Ali Merima Wasiat Kepemimpinan Dari Rasulullah?
Ada juga pihak-pihak yang menolak kepemimpinan Abu Bakar tersebut dengan mengatakan bahwa Rasulullah telah berwasiat kepada Ali tentang kepemimpinan dengan berhujjah kepada hadist yang berbunyi : Rasulullah saw bersabda, “Barang siapa yang menjadikan aku sebagai pemimpinnya, maka inilah Ali sebagai pemimpinnya juga (man kuntu maula hu fa hadza Ali maula hu)”
Dengan berhujjah kepada hadist tersebut sebagian kalangan mengatakan bahwa kekhalifahan Abu Bakar, Umar dan Utsman tidak sah, karena Rasulullah saw telah berwasiat kepada Ali Bin Abi Thalib. Peristiwa bersejarah ini dikenal dengan “hadits ghadir khum” yang mencapai derajat mutawatir.
Hadist di atas memang hadist yang mutawatir, bahkan ada 110 perawi yang tercatat. Al-Amini dalam karya monumentalnya al-Ghadir sebanyak 11 jilid dengan panjang lebar menelusuri sumber-sumber rujukan hadits tersebut.
Namun, persoalannya tidaklah sesederhana itu, perlu melakukan kajian mendalam terhadap asbabul wurud hadist tersebut sehingga tepat dalam penggunaannya.
Adapun yang dimaksud dari hadits : “Man Kuntu Maulahu Fa Aliyyun Maulahu”, maka dalam kitab-kitab sejarah yang ditulis oleh ulama-ulama Ahlussunnah diterangkan sebagai berikut :
Pada tahun 10 H, Rasulullah beserta para sahabat berangkat ke Mekkah untuk melaksanakan ibadah haji dan haji tersebut kemudian dikenal dengan haji Wada’.
Bertepatan dengan itu, rombongan Muslimin yang dikirim oleh Rasulullah ke Yaman sudah meninggalkan Yaman, mereka menuju Mekkah, untuk bergabung dengan Rasulullah. Rombongan tersebut dipimpin oleh Imam Ali bin Abi Thalib.
Begitu rombongan sudah mendekati tempat dimana Rasulullah berada, maka Imam Ali segera meninggalkan rombongannya guna bertemu dan melapor kepada Rasulullah SAW, dan sebagai wakilnya adalah sahabat Buraidah.
Sepeninggal Imam Ali, Buraidah membagi-bagikan pakaian hasil rampasan yang masih tersimpan dalam tempatnya, dengan maksud agar rombongan jika masuk kota (bertemu dengan yang lain) kelihatan rapi dan baik.
Namun begitu Imam Ali kembali menghampiri rombongannya beliau terkejut dan marah, serta memerintahkan agar pakaian-pakaian tersebut dilepaskan dan dikembalikan ke tempatnya. Hal mana karena Imam Ali berpendapat, bahwa yang berhak membagi adalah Rasulullah SAW.
Tindakan Imam Ali tersebut membuat anak buahnya kecewa dan terjadilah perselisihan pendapat. Selanjutnya begitu rombongan sudah sampai ditempat Rasulullah, Buraidah segera menghadap Rasulullah dan menceritakan mengenai kejadian yang dialaminya bersama rombongan dari tindakan Imam Ali. Bahkan dari kesalnya, saat itu Buraidah sampai menjelek-jelekkan Imam Ali di depan Rasulullah SAW.
Mendengar laporan tersebut, Rasulullah agak berubah wajahnya, karena beliau tahu bahwa tindakan Imam Ali tersebut benar.
Kemudian Rasulullah bersabda kepada Buraidah sebagai berikut :
“ Hai Buraidah, apakah saya tidak lebih utama untuk diikuti dan dicintai oleh Mukminin daripada diri mereka sendiri”.
Maka Buraidah menjawab :
“ Benar Yaa Rasulullah”.
Kemudian Rasulullah bersabda :
“ Barangsiapa menganggap aku sebagai pemimpinnya, maka terimalah Ali sebagai pemimpin”.
Yang dimaksud oleh hadits tersebut adalah, apabila Muslimin menganggap Rasulullah sebagai pemimpin mereka, maka Imam Ali harus diterima sebagai pemimpin, sebab yang mengangkat Imam Ali sebagai pemimpin rombongan ke Yaman itu Rasulullah SAW. Karena itu dia harus dicintai dan dibantu serta dipatuhi semua perintahnya.
Demikian maksud dari hadits :“Man Kuntu Maulahu Fa Aliyyun Maulahu”. Sebagaimana yang tertera dalam kitab-kitab yang ditulis oleh ulama-ulama Ahlussunnah Waljamaah (baca kitab Al Bidayatul Hidayah oleh Ibnu Katsir).
Demikianlah, semoga penjelasan sedikit ini mampu menjawab sedikit persoalan seputar penunjukan pengganti Rasulullah saw dalam mengurusi urusan umat, baik kaum muslimim maupun non muslim. Karena khilafah adalah Kebutuhan Dunia, Tuntutan Keimanan dan Janji Agung Allah SWT.
Khilafah : Tuntutan Keimanan
Keimanan kepada Allah mengharuskan keyakinan bahwa tiada yang lebih baik dari pada hukum Allah. Allah berfirman:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? (QS al-Maidah [5]: 50)
Maka keimanan mengharuskan orang beriman untuk hanya menghendaki dan mengambil hukum Allah, dan menjadikannya pemutus semua perkara di dalam kehidupan seperti yang diperintahkan oleh Allah (lihat QS al-Maidah : 48; 49). Kongkretnya adalah dengan menerapkan hukum islam, yaitu syariah islam secara formal untuk mengatur semua aspek kehidupan masyarakat, dalam bingkai sistem sya’i yaitu sistem khilafah yang telah dipelihara dan dijaga oleh generasi islam sejak para sahabat hingga khilafah runtuh pada 28 Rajab 1322 H/4 Maret 1924 M.
Khilafah Janji Agung Allah SWT
Allah SWT berjanji memberikan istikhlaf fi al-ardh kepada umat Islam (QS an-Nur: 55). Istikhlaf fi al-ardh tidak memiliki makna lain selain penganugerahan kekuasaan dan tugas pengaturan urusan manusia di seluruh dunia.
Imam Al-Baidhawi menyatakan: … Layastakhlifannahum artinya: menjadikan mereka para khalifah pengatur bumi yang akan mengatur semua kekuasaan di dalam kekuasaan mereka (Imam al-Baidhawi, Tafsir al-Baydhawi, IV/197).
Imam al-Qurthubi menyatakan: “… Allah akan menjadikan di antara mereka para khalifah (penguasa). Para Sahabat pun bersepakat untuk mengangkat Abu Bakar ra. setelah terjadi diskusi antara kaum Muhajirin dan Anshar di Saqifah Bani Sa’idah…” (Imam al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, I/264).
Ibnu Arabi berkata, “Ayat ini merupakan janji umum dalam masalah nubuwwah, khilafah, tegaknya dakwah dan berlakunya syariah secara umum.” (Imam al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, XII/299-202).
Para mufassir lainnya juga memberikan penjelasan senada. Semua ini menunjukkan bahwa Khilafah Islam merupakan janji Allah yang paling agung bagi kaum Mukmin. Dengan tegaknya Khilafah Islam, agama Allah SWT bisa ditegakkan secara sempurna, dan kerahmatan bagi dunia bisa diwujudkan secara nyata.
Nabi saw juga telah memberikan kabar gembira (bisyarah) bahwa kekuasaan umat Islam yang mencakup seluruh muka bumi. Nabi saw juga memberitakan bahwa era kenabian akan diikuti oleh era Khilafah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah lalu disusul era mulkan ‘adhan (para penguasa lalim) dan berikutnya era mulkan jabriyyatan (para penguasa diktator). Kemudian Nabi bersabda:
« … ثُمَّ تَكُونُ خِلاَفَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ » ثُمَّ سَكَتَ
Selanjutnya datanglah masa Khilafah ‘ala Minhaj al-Nubuwwah (Khilafah yang berjalan di atas manhaj kenabian).” Setelah itu beliau diam (HR Ahmad).
Wallahu A’lam bis showab. []

0 komentar:

Posting Komentar