Maaf, Anda ingin telanjang di muka umum? Telanjanglah sebebas-bebasnya, tak
perlu sungkan. Telanjang itu katanya simbol kejujuran. Ketika kemunafikan
merajalela, ketelanjangan merupakan pilihan. Simbol perlawanan terhadap berbagai
topeng. Jadilah ketelanjangan sebagai benar, bahkan perlu dipertunjukan di ruang
publik. Telanjang bukan lagi keseronokan, apalagi melanggar moral. Ketelanjangan
bukan lagi sebuah kebugilan fisik, yang mengoyak nilai-nilai luhur kehidupan.
Ketelanjangan itu sebuah estetika yang filosofis.
Demikian logika kaum
seniman dan pendukung ekspresi bebas-nilai beragumentasi soal telanjang tubuh di
muka publik. Ketika karya seni digital menampilkan foto dua artis ternama dalam
keadaan telanjang, yang menuai kritik dan aduan masyarakat yang tak setuju, para
pendukung seni telanjang membela mati-matian. Foto telanjang itu sama sekali
bukan pornografi atau pornoaksi, tetapi sebuah keindahan yang melambangkan
kejujuran. Jadi bukan sesuatu yang porno, baik pornografi maupun pornoaksi.
Soal porno? Tergantung pada orangnya, demikian dalih mereka. Bagi orang
berpikiran ngeres, katanya, foto telanjang itu jadi porno. Bagi penikmat seni
dan mereka yang tidak ngeres, foto atau apa pun karya seni yang ditampilkan itu
menjadi indah. Itu namanya estetika, bukan kepornoan. Bukan keseronokan. Lagian,
kaum agamawan, juga orang awam, mereka tak paham seni. Wong mereka biasa ngaji
kitab kuning, mana tahu cita rasa seni, kecuali seniman yang kiai atau kiai yang
seniman. Seni itu berbeda dari agama dan moral. Seni itu seni, bukan yang lain.
Bagaimana Undang-undang atau agama mau membatasi karya seni yang memiliki norma
sendiri, yang berbeda dari norma hukum dan agama? Begitulah argumen kaum seniman
bebas-nilai.
Maka, ketika RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi digulirkan di
DPR, para seniman dan mereka yang mendukung seni bebas-nilai itu betul-betul
menolaknya. Mula-mula mereka menolaknya karena batasan pornografi dan pornoaksi
tidak jelas. Ada juga yang menerima, tetapi hanya untuk membatasi atau
memberantas tabloid, majalah, surat kabar, dan VCD porno yang seronok dan kini
tengah dirazia polisi di berbagai tempat. Apalagi kalau VCD atau karya seronok
itu hasil bajakan, para seniman itu setuju sekali dengan razia polisi, maklum
karya-karya mereka banyak dibajak. Kalau menyentuh keuntungan bagi
kepentingannya memang gampang sekali setuju, tapi kalau merugikan menolak dengan
keras.
Ketika konsep porno dijelaskan, mereka bergeser lagi ke sisi lain.
Baiklah, pornografi jelas batasannya, tetapi pornoaksi bagaimana? Bagaimana para
penari seni tradisional seperti tari Bali, penduduk asli di pedalaman Papua, apa
mau dikategorikan pornoaksi? Ketika dijelaskan, bahwa hal-hal seperti itu
dimasukkan dalam konteks budaya daerah yang memiliki wilayah aturan sendiri,
para seniman sekuler-liberal itu bergeser lagi. Taruhlah batasan pornografi dan
pornoaksi itu diperjelas, tetapi apa harus ada Undang-Undang? Seni dan
ekspresinya tidak bisa dibatasi oleh apa pun.
Pendukung seni bebas-nilai
bahkan kian bertambah. Sejumlah pihak menolak RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi
dengan logika hubungan rakyat dan negara. Janganlah negara mengatur moral
masyarakat, kata mereka. Biarlah moral itu jadi milik kehidupan orang perorang,
tidak perlu diatur negara.
Dengan berbagai dalih yang hebat dikatakan,
di negara-negara maju seperti di Barat, negara tidak ikut campur dalam urusan
moral maupun agama. Moral dan agama jangan masuk urusan negara, biarlah jadi
milik pribadi manusia, warga negara. Itulah logika kaum sekuler, dengan
pengalaman hubungan agama (Kristen) di Barat. Kelompok ini beberapa waktu yang
silam juga menolak kehadiran Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, yang
memasukan pendidikan agama.
Pemisahan negara dan agama berangkat dari
paradigma Barat, sebagai pilihan paling ekstrem dari trauma buruk hubungan
Gereja dan negara di abad pertengahan. Peradaban modern Barat yang menjadi
rujukan modernitas di seluruh negeri sekaligus mematok pemisahan agama dan
negara. Pola ini dianggap berlaku ideal dan universal untuk seluruh dunia, tanpa
kecuali. Jika ada negara dan komunitas agama yang ingin melembagakan agama atau
mempertautkannya ke dalam negara, dianggap buruk bagi bangunan peradaban modern.
Tidak mengikuti standar kebudayaan Barat yang maju, modern, dan berperadaban
tinggi, sebagai kiblat kejayaan. Tapi ironisnya, ketika negara dalam beberapa
hal menguntungkan, kaum sekularis netral agama dan penganut pemisahan agama dan
negara itu, tidak malu-malu juga meminta campur tangan negara untuk kepentingan
menyalurkan aspirasinya. RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi ditolak karena tidak
jelas batasannya. Setelah dibikin jelas, ditolak pula dengan alasan negara tidak
boleh campur tangan mengurus atau mengatur moral masyarakat. Ditolak pula karena
seni memiliki nalar dan kebebasan sendiri, yang tidak bisa dijerat oleh hukum
negara.
Kita jadi ingat kaum Bani Israil, umat Nabi Musa yang suka
membangkang. Ketika kaum Musa itu ditinggal pergi ke Gunung Tursina, mereka
kembali murtad dan menyembah sapi. Lalu terjadilah sebuah peristiwa pembunuhan.
Si pembunuh malah melaporkan pembunuhan itu ke publik, bahwa ada pembunuhan
entah siapa yang melakukannya. Keadaan jadi anarkis, tak ditemukan siapa
pembunuhnya. Dengan wahyu Tuhan, Musa menyuruh penyembilihan sapi sebagai kata
putus untuk menemukan pembunuhnya. Langkah itu selain sebagai ikhtiar mengakhiri
perselisihan akibat pembunuhan, sekaligus sebagai simbol mendelegitimasi
kemusyrikan kaum Bani Israil yang menyembah sapi.
Tapi apa lacur? Kaum
Bani Israil memang dikenal suka membangkang. Mereka bertanya kepada Musa
alaihissalam. Mula-mula menolak untuk menyembelih sapi, karena takut jadi
ejekan. Setelah diyakinkan Musa, akhirnya mau tapi masih bertanya pula. Tanyakan
kepada Tuhan, sapi betina atau jantan? Sapi betina. Tua apa masih muda? Tidak
tua juga tidak muda. Apa warnanya? Sapi kuning tua, yang menyenangkan setiap
orang yang memandangnya. Kaum Musa itu masih juga bertanya, sapi seperti apa
lagi? Sapi betina yang dikehendaki itu ialah sapi betina berwarna kuning tua,
yang belum pernah dipakai membajak tanah atau mengairi tanaman, tidak cacat,
juga tidak ada belangnya. Nyaris saja mereka mengingkarinya, jika tidak karena
kehabisan logika dan kesabaran Nabi Musa. Selalu bertanya dan mengaburkan logika
agama demi menisbikan dan bahkan menolaknya.
Kita berharap mazhab Bani
Israil tidak semakin meluas di negeri ini. Lebih-lebih yang berkaitan dengan
membangun moral masyarakat dan tegaknya nilai-nilai luhur agama dalam kehidupan
publik. Jika ditarik ke sana ke mari, apa pun bisa direlatifkan, bahkan agama
dan Tuhan sekalipun. Sudah terlalu jauh moralitas di negeri ini kehilangan daya
rekatnya dalam kehidupan individu maupun kolektif. Sudah terlalu meluas dan
menyolok mata pula berbagai bentuk keseronokan dan demoralisasi hadir di ruang
publik kita tanpa rasa sungkan. Kasihan sekali masa depan generasi anak-anak
bangsa di negeri ini. Mereka jadi sasaran empuk dan konsumen murahan dari
berbagai produk keseronokan yang merusak moral dan potensi diri anak negeri. Di
tengah bahana demoralisasi dan keseronokan yang liar seperti itu, ternyata para
seniman dan penganut paham sekuler agama, tidak banyak berbuat selain
asyik-maksyuk dengan dunianya sendiri secara ananiyah.
Biarlah setiap
pilar bergerak untuk memulai membangun karakter bangsa, juga melalui penegakan
moral agama maupun konstitusi negara dan hukum. Memang hukum saja tidak cukup.
Politik saja tidak cukup. Pendidikan formal saja tidak memadai. Negara pun tidak
cukup. Bahkan, jika dinisbikan, upaya setiap agama dan kelompok-kelompok agama
pun tidak cukup untuk membangun moral dan mencegah kerusakan. Tapi jika tidak
dimulai, mau dari mana dan kapan lagi?
Jika semua hal dinisbikan,
jangankan sebuah Undang-Undang, bahkan agama dan Tuhan pun bisa dianggap nihil.
Lalu yang muncul ke permukaan ialah imperium baru yang bernama kebebasan, seni,
dan demokrasi yang mendewakan dirinya sendiri dan tak boleh tersentuh apapun.
Mazhab Bani Israil dengan logika relativisme, anarkisme, dan nihilisme lantas
hadir kembali di alam modern laksana sebuah kekaisaran baru yang penuh gemerlap,
sekaligus berwajah cantik. (RioL/Haedar Nashir )
Jumat, 16 Maret 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar