Dikatakan bahwa: "Tuntutan sebagian Islam radikal terhadap penerapan syariat Islam itu dilandasi oleh keyakinan bahwa syariat Islam akan berfungsi seperti sosok Ratu Adil atau Mesiah. Syariat, misalnya, dipandang sebagai total solution terhadap segala problema yang dihadapi bangsa Indonesia. Gagasan ini, katanya lagi, hanya lahir dari komunitas masyarakat miskin, tersisihkan, dan putus asa yang menunggu-nunggu hadirnya makhluk yang mampu mengangkat derajat hidup mereka."
Pemikiran normatif sekularisme seperti ini muncul dari seorang dosen Muslim, terasa agak aneh. Cara berpikir demikian, pernah berkembang pesat di zaman Lenin dalam wujud pemikiran anti Tuhan dan anti agama (ateis). Leninisme berkeyakinan, tanpa agama kehidupan menjadi lebih cerah. Kebencian pada agama, akhirnya melahirkan halusinasi (membayangkan segala hal buruk) terhadap segala yang berkaitan dengan syariat Allah.
Halusinasi para penentang syariat Islam, bertolak dari pemikiran tentang perlunya memberikan jawaban atas berbagai problema masyarakat modern yang menyangkut kehidupan publik. Terhadap syariat Islam, sayangnya, keinginan itu kemudian dirumuskan dalam bingkai apriori, bahwa ajaran Islam sama sekali tidak menyentuh realitas sosial masyarakat yang sudah berkembang sedemikian pesat. Ajaran Islam dirasakan tidak akan mampu mengantisipasi perkembangan zaman karena sifatnya yang statis dan final dengan selesai turunnya wahyu.
Benarkah mereka yang memandang syariat Islam sebagai total solution merupakan orang-orang yang putus asa, termarginalkan, dan melarat? Meyakini syariat Islam sebagai total solution adalah bagian dari keimanan Islam. Sebab, segala kebaikan yang diajarkan Islam sesuai dengan fitrah manusia. Siapapun yang menerapkan prinsip-prinsip kehidupan Islam, seperti komitmen terhadap janji, jujur, kerja keras, disiplin dan tepat waktu, adil dalam menjalankan kekuasaan, kesediaan menerima kontrol masyarakat dalam menjalankan kepemimpinan negara, dan ramah terhadap orang lain. Dia pasti akan mendapatkan manfaat, baik dia Muslim atau non Islam, di negara Islam maupun sekuler.
Namun demikian, membandingkan antara Muslim yang meyakini syariat Islam sebagai total solution, atau dalam ungkapan Roger Graudy, hillun wahidun lil mustaqbalil alam (solusi tunggal bagi problem dunia kontemporer); dengan Amerika Serikat yang memandang demokrasi sebagai obat mujarab atau Mesiah modern bagi seluruh problem manusia, sebagaimana dikatakan Najib Burhani, jelas tidak relevan. AS kini memperalat demokrasi sebagai alasan pembenaran untuk menjajah bangsa Irak, membunuh ribuan Muslim, memperkosa wanita, dan menghancurkan sejumlah masjid bersejarah. Menyejajarkan demokrasi, sekularisme, dan isme-isme turunannya dengan syariat Islam adalah kriminalitas berpikir, merendahkan martabat Allah, dan menghina Rasulullah SAW.
Demokrasi ataupun sekularisme, bukan saja ideologi yang bersifat man-made, tidak punya nabi dan kitab suci. Tetapi juga, seperti dikatakan Moh Natsir di hadapan sidang pleno Konstituante, 12 November 1957, adalah ideologi la-diniyyah, tanpa agama. Tidak memiliki tujuan hidup, dan kosong dari orientasi ukhrawi. Setinggi-tinggi tujuan hidup manusia yang bisa diberikan demokrasi, paling-paling penghargaan pada mayoritas dan membiarkan tiap golongan masyarakat memanifestasikan diri secara bebas dan merdeka. Sedangkan sekularisme, selain tidak dapat memberikan dasar dan arah bagi kehidupan individu maupun masyarakat, kata beliau, konsepsinya tidak akan melebihi apa yang disebut humanity (perikemanusiaan). Karena itu, berpedoman pada demokrasi atau sekularisme, ibarat menelan makanan yang tercemar, tidak pernah bisa memberikan makanan yang bergizi, bahkan sebaliknya meracuni pikiran dan hati.
Adapun agama Islam, memiliki sumber dan dasar berpijak yang jelas, yaitu Tauhidullah. Tujuannya, mengarahkan manusia supaya selamat hidupnya di dunia dan akhirat. Untuk itu manusia diberi manhajul hayah (pedoman hidup) bernama syariat Islam. Tidak ada satu sudut pun dari areal kehidupan manusia yang tidak diatur dalam Islam. Komitmen Natsir dalam memperjuangkan formalisasi syariat Islam di lembaga negara, terbukti tidak membuatnya terhina, apalagi putus asa. Ia berpulang ke rahmatullah dengan terhormat. Justru, mereka yang menolak syariat Islam adalah orang-orang yang tidak mampu membebaskan diri dari hegemoni Barat. Orang-orang yang mengidap inferiority complex, yang malu melihat wajahnya sendiri, yang biasa mengidentifikasikan dirinya dengan kemauan asing, sehingga takut berkata: "Isyhadu bianna muslimun."
Akibat menolak syariat
"Di antara manusia ada yang mempergunakan kata-kata hampa tanpa ilmu untuk menyesatkan orang dari jalan Allah dan menjadikan jalan Allah itu senda gurau. Mereka akan menderita azab yang menghinakan." (Qs. Lukman, 31: 6).
Manusia yang berperilaku, sebagaimana tersebut di dalam ayat di atas, kini jumlahnya semakin banyak. Secara formal, mereka ada yang beragama Islam, namun dalam praktiknya, mereka justru melakukan hal-hal yang bertentangan dengan agamanya. Mereka menggunakan label demokrasi, hak asasi, liberalis, pluralis, inklusifis, kesetaraan gender, dan sebagainya. Dari komunitas inilah munculnya "fikih lintas agama" yang menyatakan shalat tidak wajib, wanita bukan saja boleh menjadi presiden, bahkan sebagai khatib atau imam shalat di hadapan makmum laki-laki juga sah. Padahal, yang mereka serukan adalah kebatilan, membuat aturan agama tanpa syariat, dan mengakui adanya Tuhan tanpa agama.
Ada pula yang berambisi merevisi sejumlah ayat al-Quran yang dianggapnya diskriminatif terhadap kaum perempuan. Melalui "Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (KHI)" tim pengarus-utamaan gender bentukan Departemen Agama mengusulkan supaya peraktik poligami dilarang, karena eksesnya buruk. Wanita boleh menikahkan dirinya sendiri, membolehkan perkawinan kontrak dengan batas waktu tertentu alias mut'ah. Untungnya, draf ini dibatalkan oleh Menag, Maftuh Basuni. Jika tidak, usulan itu bisa memotivasi masyarakat untuk mengingkari nilai-nilai syariat, dan menjadi alasan legalisasi prostitusi di Indonesia.
Mengapa untuk syariat Islam mereka cenderung berpikir negatif dan tidak demokratis? Ketika sekularisme merasa hebat, dan para penguasa menyingkirkan peran agama dari kekuasaannya, yang terjadi adalah bencana. Musollini dengan fasismenya di Italia, Stalin dan Vladimir Ilyic Ulyanov Lenin dengan komunisme-bolsheviknya di Rusia, Adolf Hitler dengan Nazismenya di Jerman, Sukarno dengan Nasakom, Soeharto dengan asas tunggal Pancasila, Abdurrahman Wahid dengan dekonstruksi syariatnya. Semuanya berakhir tragis. Kekuasaan dan paham yang mereka tinggalkan tidak mewariskan apa pun, selain kerusakan. Rakyat kian miskin akibat keserakahan sebagian orang, moral menjadi rusak karena mengabaikan agama, semakin banyak anak jalanan yang telantar, hubungan sosial hancur, negara berjibun hutang, pelacuran dan perjudian merajalela. Sedangkan korupsi, bagai gurita raksasa memangsa harta negara, akibat tidak adanya rasa tanggung jawab pada Tuhan. Mereka gagal menciptakan kondisi sosial yang adil dan sejahtera.
Di kalangan pemikir Islam yang menentang syariat Islam, akhir hidupnya amat memilukan. Nasib mereka haruslah menjadi pelajaran bagi generasi Islam bahwa, "orang-orang yang menghina syariat Islam, pasti akan dihinakan oleh Allah." (RioL)
Aktivis Majelis Mujahidin Indonesia
Ratu Adil Bernama Syariat Islam
Ahmad Najib Burhani
Ide tentang Ratu Adil umumnya muncul ketika suatu kelompok masyarakat berada dalam kondisi ekonomi dan politik yang menyedihkah dan secara psikologis tak punya lagi harapan untuk bangkit bila hanya dengan menyandarkan pada kekuatan yang ada pada diri mereka sendiri. Menurut Fiona Bowie (The Coming Deliverer, 1997), ide ini merupakan bagian dari ajaran orthodox semua agama. Aktif dan tidaknya ajaran ini sangat bergantung pada tingkat kesengsaraan yang dialami oleh suatu umat.
Ratu Adil biasanya dipersonifikasikan dalam wujud sesosok individu penuh kharisma, dengan kekuatan supranatural dan aura kenabian atau ketuhanan yang mampu menolong umat keluar dari krisis dan penderitaan. Dalam teologi Syiah, dan juga sebagian umat Islam lain, gagasan tentang kedatangan Al-Mahdi al-Muntadzar (yang ditunggu-tunggu) seringkali tumbuh ketika mereka berada dalam situasi dan kondisi yang sangat tak berdaya.
Sebelum Revolusi Iran 1979, harapan akan kehadiran Al-Mahdi pada masyarakat Syiah Iran begitu luas tersebar. Al-Mahdi ini diyakini akan berperan sebagai sosok pembebas umat Islam dari kondisi keterpurukan dan keteraniayaan. Dalam agama Kristen, konsep tentang kehadiran Kristus (Messiah) untuk yang keduakalinya juga memiliki penjabaran yang mirip. Gagasan ini berkembang pada masyarakat miskin, tersisihkan, dan putus asa yang menunggu-nunggu hadirnya makhluk yang mampu mengangkat derajat hidup mereka.
Pada awal abad ke-20, bagi sebagian masyarakat Indonesia, HOS Tjokroaminoto sering dianggap sebagai sosok Ratu Adil. Nama Tjokroaminoto dihubung-hubungkan dengan tokoh yang dinanti-nantikan kehadiranya di tengah rakyat Indonesia yang sengsara, Prabu Heru Tjokro. Menurut pengamatan sejarawan Bernhard Dahm, melejitnya Sarikat Islam (SI) di era Perang Dunia I di antaranya adalah karena demam mesianis ini. Seabad sebelumnya, Pangeran Diponegoro menggunakan gelar Sultan Herutjokro atau Ratu Adil ketika ia memobilisasi para petani dan memimpin Perang Jawa 1825-1830. Presiden pertama Indonesia, Sukarno, oleh para pengikut militannya ketika itu juga sering diangap sebagai pengejawantahan Ratu Adil.
Pergeseran makna
Bila dahulu Ratu Adil atau The Saviour atau The Just King itu selalu identik dengan person atau tokoh, maka wacana yang berkembang pada Islam radikal di Indonesia belakangan ini menunjukkan adanya pergeseran pemaknaan konsep Ratu Adil atau Al-Mahdi. Bila pada tahun-tahun dahulu, umat Islam, terutama di Jawa, selalu mengharap kehadiran Ratu Adil bila mereka tertimpa krisis besar, maka pada krisis multidimensi yang terjadi di Indonesia pada tahun-tahun terakhir dari abad ke-20 yang bekasnya masih terasa hingga saat ini, harapan terhadap munculnya Ratu Adil dalam arti sosok individu mengalami ketergusuran, kalau tidak kepunahan. Harapan yang sering dikemukakan oleh Islam radikal untuk mengatasi krisis di Indonesia adalah sebuah konsep yang bernama syariat Islam.
Berbagai penelitian yang dilakukan baik oleh individu maupun lembaga, seperti penelitian Islam and Peace Building oleh ICIP-JICA (2004), menunjukkan bahwa tuntutan sebagian Islam radikal terhadap penerapan syariat Islam itu dilandasi oleh keyakinan bahwa syariat Islam akan berfungsi seperti sosok Ratu Adil. Jargon-jargon yang ditampilkan dalam melihat peran syariat memperlihatkan bagaimana syariat betul-betul menempati posisi sebagai Messiah. Syariat, misalnya, dipandang sebagai total solution atau obat mujarab terhadap segala problem yang dihadapi oleh bangsa ini. Krisis ekonomi, politik, moral, sosial, dan sebagainya adalah disebabkan karena bangsa ini menerapkan sistem sekular, sistem buatan manusia yang penuh kekurangan. Karena itu, sistem buatan manusia itu harus diganti dengan sistem milik Tuhan yang bernama syariat yang diyakini bersifat sempurna.
Tuntutan penerapan syariat Islam di berbagai daerah di Indonesia belakangan ini adalah sejalan dengan pemikiran bahwa syariat sebagai total solution bagi bangsa Indonesia. Tuntutan yang terjadi di Sulawesi, Sumatra Barat, Madura, Banten, Flores, Sumba, dan Cianjur memang memiliki latar belakang yang beragam, seperti kepentingan politik atau ekonomi. Namun secara umum, di antara pandangan yang sering dikemukakan tentang alasan dari tuntutan ini adalah bahwa syariat Islam akan mampu membawa rakyat di daerah itu menuju kepada keadilan, kedamaian, dan kesejahteraan. Gagasan tentang syariat Islam sebagai perwujudan Ratu Adil ini sebetulnya tidak terlalu jauh bila dibandingkan dengan gagasan tentang demokrasi bagi Amerika Serikat. Sebagaimana kelompok Islam radikal memandang syariat Islam, AS memandang demokrasi sebagai obat mujarab atau Messiah modern bagi seluruh problem manusia.
Demokrasi versus syariat
Demokrasi, menurut Olivier Roy dalam bukunya The Failure of Political Islam (1994), adalah satu-satunya sistem pemerintahan yang diakui dalam skema dunia modern. Demokrasi adalah obat mujarab untuk segala problem kemanusiaan. Demokrasi adalah The Saviour bagi Amerika Serikat, dan karena itu mereka merasa berkewajiban memaksakan sistem ini ke seluruh dunia, seperti yang terjadi di Irak dan Afganistan. Selain demokrasi, tidak ada sistem pemerintahan yang saat ini diakui mampu menawarkan kemajuan dan kesejahteraan bagi umat manusia. Kekuasaan dari sistem ini begitu hegemoniknya sehingga dunia saat ini seakan tertutup terhadap adanya kemungkinan sistem lain.
Seperti umumnya sistem yang hegemonik, ia tentu secara otomatis melahirkan lawan-lawan yang selalu menantang eksistensinya. Bila sebelum tahun 1990-an sistem sosialisme selalu menjadi contender atau tawaran alternatif, maka dalam konteks kekinian sistem syariat sering dianggap oleh berbagai kelompok Islamis sebagai alternatif terhadap demokrasi. Tentu saja, seperti dikemukakan oleh Roy, bila melihat syariat dengan kacamata demokrasi, maka yang akan tampak adalah absence dan lack. Sistem syariat berbeda dari sosialisme yang ketika dihadapkan pada demokrasi memiliki poin-poin perbandingan. Syariat tidak bisa disandingkan dengan demokrasi sebagai sebuah perbandingan. Justru karena kesulitan untuk menyejajarkan itulah maka, barangkali, beberapa aktivis gerakan syariat lantas menawarkannya sebagai challenger dari demokrasi.
Akhirnya, seperti yang dkemukakan oleh Fiona Bowie, sebagai ajaran orthodox dari semua agama (bahkan mungkin semua peradaban), gagasan tentang Ratu Adil itu tidak pernah punah. Dia bisa berbentuk sosok dan juga bisa berupa konsep. Demokrasi, syariat Islam, Marxisme, atau isme-isme lain bisa menjadi Ratu Adil bagi masyarakat yang sedang mengalami keterpinggiran dan tak berdaya. Gagasan Ratu Adil ini akan meredup bila masyarakat hidup pada kondisi yang aman, adil, dan sejahtera. Karena itu, salah satu solusi yang mesti diambil oleh pemerintahan baru di bawah kepemimpinan SB Yudhoyono-Jusuf Kalla untuk mengatasi "hantu" Ratu Adil adalah menciptakan kedamaian, keadilan, dan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia. (rioL)
Laporan : Ahmad Najib Burhani
Dosen di Universitas Paramadina dan Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (Uhamka)
0 komentar:
Posting Komentar