Wawancara Hidayatullah dengan Ulil Abshar Abdalla (Koordinator Jaringan Islam
Liberal) Gemerincing dollar di balik program Liberalisasi Islam di
Indonesia sering hanya menjadi gosip. Tapi, tokoh JIL, Ulil Abshar Abdala
mengaku jujur pada Hidayatullah tentang isu itu
Benarkah JIL
didanai oleh The Asia
Foundation? Benar, berapa jumlahnya?
Setiap tahun kami
mendapat sekitar Rp 1,4 milyar. Selain itu, JIL juga mendapatkan dana dari
sumber-sumber domestik, Eropa, dan Amerika. Tapi yang paling besar dari TAF. Tapi dana
itu jauh lebih kecil daripada dana yang diperoleh ormas-ormas Islam lainnya.
Ormas mana?
Selain kami ada juga ormas Islam yang
menerima dana dari TAF program Islam and Civil Society. Mereka itu adalah
Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, IAIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, Universitas Muhammadiyah Solo, dan Departemen Agama.
Dana yang diterima JIL jauh lebih kecil daripada mereka.
Ormas-ormas tersebut dipandang menggulirkan isu yang sejalan
dengan JIL?
Tidak juga, justru bermacam-macam. Ada isu
toleransi, kesetaraan gender, demokrasi, dan pluralisme.
TAF
menjalin kerjasama dengan Yahudi dan CIA. Berarti JIL sesungguhnya menjalankan
agenda mereka?
Ini cara berpikir orang yang dibingkai dalam
kerangka berpikir teori konspirasi. Seolah ada agenda besar yang dipimpin oleh
Amerika Serikat. Perlu Anda tahu bahwa orang-orang kaya, baik Yahudi maupun
non-Yahudi, punya tradisi yang sama, yaitu menyumbangkan sebagian kekayaannya
kepada kegiatan sosial. Mereka akan dibebaskan dari pajak dan memperoleh
reputasi lebih tinggi karena telah berbuat baik untuk masyarakat. Hal ini sangat
menakjubkan dibanding dunia Islam.
Apa yang dilakukan TAF dan
Yahudinya itu tidak akan bermasalah?
Saya tidak keberatan
mendapatkan dana dari Yahudi atau CIA. Memangnya kenapa? Sepanjang mereka tidak
mempengaruhi kebijakan internal organisasi saya dan selama saya tidak
diintervensi, tak masalah buat saya.
Tetapi tentu saja mereka
tidak akan memberi bantuan secara cuma-cuma kan?
Sudah tentu
mereka akan mendanai kegiatan-kegiatan yang punya satu visi dengan mereka. Tidak
mungkin mereka mendanai kegiatan organisasi yang bersifat fanatisme agama. Kami,
seperti JIL, NU, IAIN, Muhamammadiyah, juga tidak mungkin mencetak buku-buku
Wahabi walau diiming-imingi oleh, misalnya, Arab Saudi.
Kami punya
ideologi tertentu, dan kami tidak bisa menerima uang dari orang yang tidak
seideologi dengan kami. Kalau Pemerintah Arab Saudi akan membiayai kegiatan JIL,
fine (baik). Tapi kalau mereka menyuruh saya untuk mengadakan kegiatan yang anti
Islam liberal, anti Islam progresif, menyebarkan Islam yang konservatif, ya saya
tidak mau.
Pendapat Anda seringkali kontroversial dan berbeda
dengan para ulama. Kenapa begitu?
Kontroversi itu bukan tujuan
saya. Kontroversi itu akibat yang tak terelakkan. Saya mengemukakan pendapat
tentang Islam yang berbeda dengan orang banyak. Otomatis, kalau pendapat Anda
berbeda dan perbedaan itu sangat prinsip, yaitu agama, maka sudah tentu akan
menimbulkan kontroversi. Jadi, kontroversi itu akibat, bukan sebab.
Secara jujur saya katakan, pandangan-pandangan saya itulah iman saya
tentang Islam. Saya merasa tenteram dengan pemahaman saya itu.
Kalau boleh tahu, bagaimana dengan kehidupan keagamaan Anda
sehari-hari?
Soal shalat, saya tetap shalat dengan cara seperti
orang Islam yang lain. Soal puasa, saya tetap puasa seperti orang Islam lain.
Karena bagi saya, soal ritual itu sudah selesai. Itu saya anggap bagian dari
agama yang tidak perlu dipersoalkan. Saya merumuskan pandangangan yang liberal
berkaitan dengan hal-hal di luar ritual. Pandangan tentang nikah beda agama,
bagi saya, itu bukan ritual.
Anda setuju dengan pernikahan beda
agama. Bagaimana jika suatu saat pernikahan beda agama itu terjadi pada anak
Anda?
Saya harus menanggung, karena itu pandangan saya. Meskipun
berat. Jadi, kalau saya ditantang seperti itu, secara rasional saya akan
menyatakan boleh. Tetapi secara hati saya tidak mau munafik, saya mengatakan
berat. Tetapi itu manusiawi.
Ada beberapa lembaga yang punya visi
yang sama dengan JIL, seperti Majalah Syir'ah, ICRP, Radio 68H, dan lainnya. Ada
hubungan apa?
Mereka teman seperjuangan kami. Dalam LSM itu ada
yang disebut culture network (budaya jaringan). Jaringan ini bukan hanya di
Indonesia, tapi global. Kami punya teman-teman di luar negeri yang punya visi
yang sama, dan kami saling share (berbagi).* (Ahmad Damanik/Hidayatullah)
|
|
0 komentar:
Posting Komentar