“Khaalif, tu’raf!”. Nyelenehlah kamu, kamu akan terkenal,
begitu kata pepatah Arab. Ali ra pernah mengatakan, bul maa’a zam-zam
(kencingilah air zam-zam). Kalimat itu yang kini dipakai Aminah Wadud, termasuk
kawan-kawannya di Indonesia!
Pada Hari Jumat, 18 Maret 2005, dunia
Islam dikejutkan oleh sebuah peristiwa di sebuah gereja di
Amerika Serikat. Ketika itu, seorang tokoh Islam Liberal yang dikenal
aktif memperjuangkan kesetaraan gender (gender equality), bernama Prof. Dr.
Aminah Wadud, menjadi imam dan khatib untuk salat
Jumat.
Jama’ahnya berjumlah sekitar 100 orang bercampur laki-laki
dan wanita. Dari gambar-gambar yang disiarkan oleh media massa terlihat shaf
shalat bercampur aduk antara laki-laki dan wanita. Shaf laki-laki dan wanita
sejajar. Disamping itu, muazinnya seorang wanita yang tidak mengenakan jilbab,
tetapi ia ikut salat jumat juga. Para ulama di dunia Islam, seperti Syaikhul
Azhar dan Yusuf Qaradhawi, telah memberikan kritik keras terhadap peristiwa
tersebut. :video
Majma' Al-Fiqhi Al-Islami (MFI), badan internasional
dalam hukum Fiqh Islam, mengecam keras aksi Aminah Wadud, yang merupakan seorang
profesor bidang studi Islam di Virginia Commonhealth University. Lokasi salat
Jumat itu tepatnya di Synod House, gereja Katedral St. John, milik keuskupan di
Manhattan, New York.
MFI yang bernaung di bawah Organisasi Konferensi
Islam (OKI) ini menilai apa yang dilakukan Wadud ini sebagai bid'ah yang
menyesatkan dan musibah. Itu tercermin dengan majunya seorang wanita untuk
pertama kalinya dalam sejarah Islam, menjadi khatib dan imam untuk salat Jumat,
dengan jamaah campuran laki-laki dan wanita, dan dilaksanakan di sebuah
katedral.
Pernyataan resmi yang dikeluarkan MFI, menjelaskan bahwa Wadud
telah melakukan pelanggaran hukum-hukum syariat dari beberapa segi; yaitu
khutbah Jumat oleh wanita, imam wanita atas jamaah pria, jamaah wanita dan pria
yang berdiri sejajar dan berdampingan serta terjadinya ikhtilath (campur baur
antara laki-laki dan wanita) dalam ibadah. Ahli Fiqh Islam sepakat bahwa shalat
Jumat hanya diwajibkan atas kaum laki-laki.
Selain itu, seperti sudah
maklum, posisi wanita dalam salat seharusnya di belakang laki-laki. Berdasarkan
berbagai nash dalam hadits Rasulullah saw, maka MFI memutuskan, bahwa salat
Wadud dan kawan-kawannya tidak memenuhi syarat dan mereka harus menggantinya
dengan shalat Dzuhur.
Tindakan Wadud sudah banyak menuai kecaman dari
berbagai pihak. Tentu, banyak juga yang kagum dan memuji kenekadan Wadud dalam
menentang tradisi yang sudah dianggap mapan selama 1400 tahun lebih. Kabarnya,
di Indonesia sudah ada rencana sebagian kaum wanita untuk mengikuti jejak Wadud.
Wakil Direktur Pusat Kebudayaan Islam di New York, Muhammad Syamsi Ali,
misalnya, juga menyatakan bahwa ibadah Jumat versi Wadud itu tidak sah. Yusuf
Qaradhawi juga mengecam keras tindakan Wadud, dan menegaskan bahwa salat Jumat
versi Wadud itu adalah bid'ah yang munkar.
Begitulah pendapat berbagai
ulama dan lembaga Islam internasional. Kita maklum akan hal itu. Secara
dalil-dalil syar’i, tindakan “Wadud and the gang” memang konyol. Namun, tentu
saja, bagi Wadud dan kawan-kawan, berbagai argumentasi fiqih yang diajukan oleh
para ulama terkemuka itu tidak mereka pedulikan. Sebab, mereka sudah dijejali
dengan paham ‘gender equality’ ala Barat-sekular, bahwa laki-laki dan wanita
harus dipandang sejajar, tidak boleh ada manusia yang diberi status hak istimewa
atas dasar jenis kelamin. Yang menjadi dasar adalah soal kemampuan. Jika wanita
lebih bagus bacaan al-Qurannya, maka ia lebih berhak menjadi imam, dibandingkan
laki-laki yang kurang bagus bacaan imamnya. Kepala rumah tangga tidak didasarkan
pada jenis kelamin --yakni harus laki-laki-- tetapi berdasarkan kemampuannya.
Bisa saja wanita menjadi kepala rumah tangga, jika dia lebih mampu ketimbang
suaminya.
Begitu juga dalam soal khatib, baik khatib Jumat maupun salat
Id. Dasar ideologinya sama: ’gender equality’.
Konsekuensi dari cara
berpikir ini sangat jauh dan akan membongkar sistem metodologi penetapan hukum
Islam. Argumentasi Wadud dan kawan-kawan tidak akan ‘nyambung’ dengan
argumentasi para ulama yang mendasarkan dalilnya kepada kaedah-kaedah dasar
ushul fiqih. Sebab, bagi Wadud Cs, kaedah ushul fiqih itu pun bisa mereka
katakan sebagai hasil rekayasa laki-laki yang diciptakan untuk melestarikan
hegemoni laki-laki atas wanita. Mereka sudah dicekoki paham bahwa fiqih adalah
rekayasa laki-laki. Sebuah buku berjudul “Rekonstruksi Fiqh Perempuan” (1996:9)
menulis kata-kata sebagai berikut: “Konstruksi fiqh yang sarat dengan norma dan
doktrin yang androsentrik di satu sisi dan di sisi lainnya bernuansa
permasalahan zaman tertentu dirasakan menghambat aktualisasi potensi kaum
perempuan dalam arus transformasi.”
Sebagai contoh, jika dikatakan, bahwa
jika wanita bertindak sebagai imam, maka laki-laki di belakangnya akan bisa
terganggu salatnya, maka mereka akan menjawab, bahwa wanita pun juga bisa
tergoda oleh laki-laki. Bukan hanya laki-laki yang bisa tergoda oleh wanita.
Jika dikatakan, bahwa suara azan wanita bisa mengganggu syahwat laki-laki, maka
mereka akan berargumen bahwa suara laki-laki juga bisa membangkitkan syahwat
wanita. Dan seterusnya. Maka, Wadud membuat gebrakan untuk mencampuradukkan
antara laki-laki dan wanita dalam salat Jumat versi dia sendiri. Mungkin gaya
salat seperti ini akan dijadikan model oleh orang-orang yang memang ingin
bercampur aduk antar laki-laki dengan wanita.
Maka, dalam menyikapi
kasus Wadud, sebaiknya kita tidak hanya melihatnya dalam aspek fiqih semata,
tetapi juga aspek worldview (pandangan hidup) dan epistemologi (metodologi
ilmu). Bagaimana Wadud sampai kepada kesimpulan semacam itu. Bahkan, perlu juga
dilihat pada aspek psikologis. Apakah tindakan itu ada kaitannya dengan ‘mental
minder’ yang bisa menjangkiti kaum kulit hitam di AS? Apa untungnya bagi Wadud
melakukan tindakan nyeleneh dan waton suloyo alias WTS (asal beda) dengan kaum
Muslim pada umumnya?
Sebagian orang akan memberi gelar kepada Wadud
sebagai seorang yang 'progressif' (dari bahasa Latin: progredior, artinya: saya
maju kedepan). Sebab, Wadud dinilai berani mendobrak tradisi lama yang sudah
berusia 1400 tahun. Luar biasa! Dia seorang progresif, bukan konservatif, bukan
orthodoks. Bukan orang kuno lagi, tetapi sudah maju ke depan, sudah progressif.
Begitu biasanya julukan yang diberikan kepada orang seperti Aminah Wadud.
Sebenarnya, jika direnungkan lebih mendalam, Aminah Wadud bukan seorang
progressif, tetapi justru dia seorang yang sangat konservatif. Kenapa? Karena
dia sebenarnya telah hanyut dan menghambakan dirinya pada ideologi global yang
sedang dominan (hegemonik) saat ini, yaitu ideologi gender equality. Cara
pandang dia terhadap laki-laki dan wanita adalah cara pandang yang sudah
terhegemoni oleh wacana gender sekular, sudah tidak merdeka lagi sebagai seorang
Muslim. Wadud bukan seorang yang progressif, dalam arti, dia tidak berani
berpikir jauh ke depan, melintasi batas-batas hegemoni ideologi dominan saat
ini, yaitu ideologi gender equality. Ia gagal untuk mengapresiasi hakikat dan
hikmah hukum-hukum Islam yang memang banyak memberikan perbedaan perlakuan
terhadap laki-laki dan wanita.
Karena syariat Islam bersumber kepada
wahyu Ilahi, maka prinsip dasar Islam adalah menekankan kepada keyakinan kepada
keagungan dan keadilan Allah dalam ketentuan-ketentuan hukum-Nya. Allah Maha
Tahu atas makhluk-Nya. Lebih Tahu daripada si makhluk itu sendiri. Bagaimana
pun, laki-laki memang berbeda dengan wanita. Biarkanlah mereka dalam
perbedaannya. Kita lihat, bagaimana cara berpikir Wadud bersifat inkonsisten dan
hanya mencomot bagian-bagian yang dianggap menguntungkan jenisnya (wanita).
Sebagai contoh, Wadud protes karena tidak diperbolehkan menjadi imam dan
khatib salat Jumat. Lalu ia buat ibadah Jumat, versinya sendiri. Ia seperti
ingin menunjukkan, bahwa wanita juga mampu menjadi khatib dan imam Jumat,
seperti halnya laki-laki. Dicarilah ‘dalil-dalil pinggiran’ untuk menjustifikasi
perbuatannya. Ia memprotes pembatasan wanita dalam soal salat Jumat. Tetapi, dia
tidak protes, mengapa wanita tidak boleh melaksanakan salat saat haid atau
nifas. Harusnya, sesuai dengan perkembangan teknologi pengobatan, wanita tidak
perlu lagi dilarang meninggalkan salat ketika haid atau nifas. Bukankah itu
penghinaan kepada kaum wanita, karena wanita dianggap sebagai makhluk yang
lemah? Seolah-olah wanita dianggap berhak beribadah karena haid.
Wadud
harusnya mengajak kaumnya ramai-ramai protes terhadap hal-hal semacam itu dan
mendemonstrasikan keberaniannya untuk masuk masjid dan salat beramai-ramai waktu
mereka sedang haid. Toh, sudah banyak alat-alat yang mampu mencegah tercecernya
darah haid atau nifas ke lantai masjid. Begitu juga, mestinya mereka protes,
dengan larangan wanita untuk puasa waktu haid dan nifas. Dengan menggunakan
hermeneutika yang memasukkan unsur historisitas dan sosio-kultural dalam
analisis teks-teks hukum, mereka bisa beragumen, bahwa dalil-dalil yang melarang
wanita masuk masjid atau salat di waktu haid dan nifas diturunkan di zaman kuno,
ketika manusia belum mampu memproduksi alat pembalut wanita.
Kita bisa
melihat lebih jauh bagaimana konservatifme Wadud dan para aktivis gender dalam
berbagai kasus. Mereka hanya takluk kepada ideologi yang sedang dominan, yang
sedang “ngetrend” di Barat dan dunia global. Mereka tidak berani berpikir jernih
dan melihat jauh ke depan, bagaimana konsep ‘gender equality’ itu sendiri
sebenarnya sebuah konsep yang bermasalah dan perlu dikritisi. Cara pandang
terhadap ‘gender’, konsep hubungan laki-laki dan wanita ala Barat-sekular itulah
yang perlu ditelaah dengan cermat. Sebab, banyak perbedaan antara konsep
‘equality’ Barat dan Islam.
Memang ada sebuah hadits Rasulullah saw yang
menyatakan: “Innama al-nisa’u syaqa’iqu al-rijal.” (Sesungguhnya kaum wanita
adalah setara dengan kaum laki-laki). (HR Abu Dawud dan Nasai). Maksudnya,
secara prinsip, di hadapan Allah, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan
wanita. Mereka akan menerima pahala dari Allah, jika mereka menjalankan perintah
dan larangan Allah. Jadi, dalam pandangan hidup Islam, konsep ‘equality’ dalam
gender mengandung muatan atau dimensi ilahiyah. Maka, dalam pandangan Islam,
martabat wanita yang mengasuh dan mendidik anaknya dengan baik di rumah, tidak
lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki yang berdemo di depan gedung DPR
menolak keputusan pemerintah yang tidak adil dalam menaikkan harga BBM. Allah
tidak menyia-nyiakan amal tiap manusia, baik laki-laki maupun wanita. (QS
an-Nisa:195).
Dimensi ilahiyah dan ukhrawiyah (adanya pahala dan siksa)
inilah yang nihil pada konsepsi “gender equality” Barat-sekular. Maka, kaum
sekular ini melihat aspek-aspek duniawi sebagai standar tinggi dan rendahnya
martabat wanita. Mereka kemudian memandang perlu agar wanita mendapatkan jatah
prosentase tertentu sebagai anggota kabinet, anggota legislatif, dan berbagai
jabatan duniawi lainnya. Sebab, bagi penganut ideologi ini, kedudukan-kedudukan
wanita dalam lapangan duniawi seperti itu, dianggap sebagai kemuliaan bagi
martabat wanita. Islam sendiri sangatlah jelas sikapnya dalam hal-hal seperti
itu.
Islam tidak melarang wanita bekerja. Islam juga mengharuskan wanita
mencari ilmu, sama dengan kewajiban laki-laki. Wanita boleh duduk dalam berbagai
jabatan publik. Untuk menjadi kepada negara (khalifah), memang semua ulama
mazhab bersepakat tidak mengizinkan. Bagi kaum feminis, larangan itu dianggap
penghinaan terhadap wanita.
Sekali lagi, ini menyangkut worldview dan
cara berpikir. Hingga sekarang, di AS saja belum pernah ada seorang wanita yang
menjadi Presiden di sana. Bahkan, anggota parlemen wanita di Iran jauh lebih
banyak dibandingkan dengan di AS. Dalam dunia Katolik, hingga kini, wanita tidak
diizinkan menjadi pastor. Maka, agak aneh, jika katedral di Manhattan itu
mengizinkan Aminah Wadud menjadi imam shalat Jum'at.
Sepanjang sejarah
Islam, kaum Muslim paham, bagaimana konsep ‘kesetaraan’ antara laki-laki dan
wanita diterapkan. Rasulullah saw sendiri sudah menjelaskan dan memberikan
contoh, bagaimana Kaum Muslimin menerapkan konsep itu. Kaum Muslim paham, bahwa
pemberian masa iddah bagi wanita selepas talak, bukanlah penghinaan kepada
wanita --sebagaimana dipahami oleh Siti Musdah Mulia dan kawab-kawan, sehingga
mereka juga mengharuskan laki-laki punya iddah. Hak talak buat laki-laki juga
bukan penistaan martabat bagi wanita. Begitu juga dengan penempatan wanita dalam
saf salat di belakang laki-laki. Ini bukan penghinaan bagi wanita. Yang dinilai
dalam shalat adalah ketepatan syarat dan rukunnya serta kekhusyukan hati.
Sepanjang sejarah Islam, telah lahir ribuan ahli fiqh wanita. Sejumlah
guru para imam mazhab dan ulama hadits, juga wanita. Seorang ahli fiqh wanita
terbesar adalah Aisyah r.a. Pendapat beliau dalam fiqh tidak berbeda dengan
pendapat para sahabat laki-laki. Para ulama Islam --baik laki-laki atau
wanita—sepanjang sejarah, telah memahami konsep ‘equality’ dan ‘iskriminasi’
laki-laki dan wanita dalam Islam.
Mereka tidak memandang penempatan
wanita di shaf belakang laki-laki sebagai satu bentuk penindasan wanita. Jika
saat ini muncul orang-orang seperti Aminah Wadud, Musdah Mulia, dan lain-lain,
kita memahami, bahwa konsep mereka tentang ‘equality’ memang bukan berangkat
dari worldview Islam. Mereka mengadopsi konsep worldview lain yang kemudian
digunakan untuk meneropong Islam. Wajar jika hasilnya amburadul. Lihat saja,
hingga kini Wadud belum menghasilkan sebuah cara pandang keilmuan yang
sistematis dalam metodologi pengambilan (istinbath) hukum Islam. Bisa diduga,
Wadud tidak akan konsisten dengan gagasannya. Kita lihat, apakah setiap hari
Jum’at dia menjalankan ibadah salat Jumat, sesuai dengan gagasannya itu. Mungkin
Profesor satu ini punya pikiran: “Kalau laki-laki bisa khutbah Jum’at, masa saya
tidak bisa? Jadi, ia ingin menunjukkan, bahwa dia juga bisa khutbah dan jadi
imam, seperti laki-laki.
Kalau cara berpikir ‘dendam’ dan ‘iri’ semacam
itu yang digunakan, maka kita siap-siap saja menunggu berbagai kejutan dari
Aminah Wadud, hingga mungkin saja suatu ketika dia juga ingin menunjukkan,
“Kalau laki-laki mampu beristri lebih dari satu, saya juga mampu bersuami lebih
dari satu.”. Untuk mengokohkan citra dirinya sebagai pejuang ‘gender equality’
Wadud dan kawan-kawan bisa mengusulkan agar dunia menghapus semua diskriminasi
antara laki-laki wanita, sehingga tidak ada lagi pembedaan kategori laki-laki
dan wanita dalam bidang olah raga; tidak ada lagi pembedaan toilet laki-laki dan
wanita; tidak ada lagi hak cuti haid dan cuti melahirkan untuk wanita. Sebab,
semua itu adalah bentuk diskriminasi dan pelecehan wanita. Di zaman edan,
hal-hal yang tidak terpikirkan sebelumnya, bisa saja terjadi. Jika Wadud menolak
diskriminasi gender dalam soal ibadah, tetapi menerima diskriminasi gender dalam
bidang olah raga dan ‘pertoiletan’, maka kita patut menelaah dengan cermat,
bahwa kasus salat Jum’at Wadud di Manhattan ini sebenarnya bukan soal fiqih
semata, tetapi lebih kepada masalah pola pikir dan kejiwaan.
Pepatah
Arab menyatakan: “khaalif, tu’raf!”, (nyelenehlah kamu, maka kamu akan
terkenal). Atau, dalam istilah Latin: “esto alius, notus es!” Wallahu a’lam.
(KL, 24 Maret 2005/Hidayatullah.com).
Sabtu, 10 Maret 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar