Oleh: Adian Husaini
Dalam beberapa hari ini, berbagai media massa, cetak maupun
elektronik, memuat dan memberikan komentar seputar pernyataan Menteri Agama RI,
Maftuh Basyuni, yang secara tegas menyatakan, bahwa Ahmadiyah adalah aliran di
luar Islam, dan mempersilakah kaum Ahmadiyah membuat agama baru, di luar Islam.
Secara substansial, pernyataan Menag RI tersebut bukanlah hal baru.
Majlis Tarjih Muhammadiyah, MUI, dan berbagai lembaga Islam internasional sudah
menyatakan hal yang sama. Bahwa, memang Ahmadiyah adalah aliran sesat yang
berada di luar Islam. Fatwa MUI tentang Ahmadiyah tahun 2005, menjadikan
keputusan Majma’ al-Fiqih al-Islami Organisasi Konferensi Islam (OKI), yang
diputuskan tahun 1985. Isinya menyatakan, bahwa Aliran Ahmadiyah yang
mempercayai Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi sesudah Nabi Muhammad dan menerima
wahyu adalah murtad dan keluar dari Islam karena mengingkari ajaran Islam yang
qath’iy, dan disepakati oleh seluruh umat Islam bahwa Muhammad saw sebagai nabi
dan rasul terakhir.
Fatwa MUI tahun 2005 itu menegaskan kembali fatwa
tahun 1980, bahwa Ahmadiyah adalah aliran sesat dan menyesatkan, serta orang
Islam yang mengikutinya adalah murtad. MUI juga meminta agar pemerintah segera
melarang penyebaran paham Ahmadiyah di seluruh Indonesia dan membekukan
organisasinya.
Jadi, apa yang dikatakan oleh Menag Maftuh Basyuni adalah
penegasan dari keputusan berbagai lembaga Islam internasional yang otoritatif di
bidangnya. Yang menjadi nilai lebih adalah bahwa Maftuh Basyuni mengeluarkan
pernyataan itu sebagai Menteri Agama RI.
Maftuh telah melakukan tindakan
yang sangat berani mengungkapkan pemikiran dan keyakinannya sebagai Muslim
tentang aliran Ahmadiyah. Tentu saja, pernyataan Maftuh itu sangat melegakan
kaum Muslim Indonesia.
Tapi, bagi sebagian kalangan lain yang berpikiran
dan berpandangan hidup sekular-liberal, pernyataan Maftuh Basyuni itu bagaikan
petir di siang bolong. Berbagai kecaman, hujatan, dan komentar negatif mengalir
terhadap Maftuh Basyuni. Seperti diketahui, sebelum fatwa MUI tahun 2005 itu
keluar, berbagai pihak sudah mendesak agar MUI mencabut fatwa sebelumnya,
tentang Ahmadiyah.
Misalnya, Aliansi Masyarakat Madani yang menyatakan,
“MUI perlu mencabut semua fatwa yang memandang sesat aliran lain yang berbeda,
karena fatwa tersebut seringkali dijadikan landasan untuk melakukan tindakan
kekerasan dan keresahan." Menurut mereka, fatwa MUI ini bertentangan dengan
prinsip kebebasan berkeyakinan di dalam konstitusi.
Selain itu,
pemerintah juga didesak untuk mencabut surat-surat keputusan atau surat edaran
yang didasarkan pada fatwa MUI tersebut.
Gerakan untuk melegalkan aliran
sesat di Indonesia terus-menerus dilakukan dengan logika kebebasan dan
anti-diskriminasi. Bahkan, DPR RI baru saja meloloskan satu RUU tentang
Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. RUU ini sangat aneh, sebab memasukkan
agama sebagai salah satu unsur dalam kategorisasi etnis.
Seorang atau
siapa pun yang melakukan diskriminasi ras dan etnis bisa dikenai hukuman paling
lama 1 tahun dan atau denda paling banyak Rp 100 juta rupiah. Termasuk dalam
bentuk pelanggaran hak-hak sipil, misalnya, adalah melakukan pelarangan atau
pembatasan terhadap seseorang untuk memilih pasangan hidup dalam perkawinan.
Jadi, jika nanti ada orang tua yang melarang anaknya untuk menikah dengan
pemeluk agama lain, merujuk kepada RUU ini, maka si orang tua itu dapat dikenai
hukuman satu tahun penjara atau denda Rp 100 juta.
Pandangan hidup atau
pola pikir kaum sekular-liberal dalam soal agama ini sangat berbeda dengan cara
orang Muslim dalam melihat agamanya. Islam adalah agama wahyu, sehingga Islam
memiliki batasan yang jelas, mana yang Islam dan mana yang di luar Islam. Sejak
awal, Islam sudah didefinisikan dengan jelas oleh Nabi Muhammad saw. Imam
al-Nawawi dalam Kitab hadits-nya yang terkenal, al-Arba’in al-Nawawiyah,
menyebutkan definisi Islam pada hadits kedua: "Islam adalah bahwasanya engkau
bersaksi bahwa sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah dan bahwa sesungguhnya
Muhammad adalah utusan Allah, engkau menegakkan shalat, menunaikan zakat,
melaksanakan shaum Ramadhan, dan menunaikan ibadah haji ke Baitullah, jika
engkau berkemampuan melaksanakannya." (HR Muslim).
Rukun iman pun sangat
jelas: Iman kepada Allah, kepada Malaikat, kepada Kitab-kitab Allah, kepada para
Nabi, kepada Hari Akhir, dan kepada taqdir Allah.
Semua itu jelas dan
gamblang. Bahwa, Nabi Muhammad saw adalah nabi terakhir, adalah juga hal yang
pokok dan final dalam Islam. Tidak ada nabi lagi sesudah Nabi Muhammad saw.
Inilah masalah pokok dari aliran Ahmadiyah, yakni meyakini Mirza Ghulam
Ahmad sebagai nabi, meskipun ditambahkan, bahwa dia bukan nabi pembawa syariat.
Berarti tingkatannya sama dengan Nabi Isa a.s., yang tidak membawa Syariat baru.
Padahal, dengan meneliti tulisan-tulisan yang kata mereka merupakan
wahyu yang diterima Ghulam Ahmad, terbukti bahwa dia nabi palsu. Masalah ini
sudah berpuluh tahun diteliti dan dibuktikan oleh para cendekiawan dan ulama
Islam seluruh dunia. Akan tetapi, untuk meyakinkan dan menakut-nakuti orang yang
tidak percaya kepadanya, Ghulam Ahmad mengaku menerima wahyu-wahyu yang mengutuk
orang-orang yang mengingkarinya. Misalnya, pengakuannya, : "Dan dari sejumlah
ilham-ilham itu, ada diantaranya yang didalamnya sejumlah ulama yang menentangku
dinamakan Yahudi dan Nasrani." (Mirza Ghulam Ahmad, Hamamat al-Bushra, hal. 19).
Dan katanya lagi, “Maka barangsiapa yang tidak percaya pada wahyu yang
diterima Imam yang dijanjikan (Ghulam Ahmad), maka sungguh ia telah sesat,
sesesat-sesatnya, dan ia akan
mati dalam kematian jahiliyah, dan ia
mengutamakan keraguan atas keyakinan.” (Mirza Ghulam Ahmad, Mawahib al-Rahman,
hal. 38).
Ghulam Ahmad juga mengaku, “dan termasuk diantara tanda-tanda
(kebenaran dakwahku) yang nampak dalam zaman ini ialah matinya orang-orang yang
menentangku dan menyakitiku serta memusuhiku habis-habisan.”
Jadi memang
ada persamaan antara Ahmadiyah dengan Islam, tetapi juga ada perbedaan yang
fundamental.
Cendekiawan Muslim Pakistan, Dr. Moh. Iqbal pernah ditanya
oleh Jawaharlal Nehru mengapa kaum Muslimin bersikap keras untuk memisahkan
Ahmadiyah dari Islam?
Iqbal menjawab: “Ahmadiyah berkeinginan untuk
membentuk dari umat nabi Arabi (Muhammad saw) satu ummat yang baru bagi nabi
Hindi.”
Ketua pemuda Ahmadiyah Abdul Musawir pernah diwawancarai salah
satu situs liberal, dan enyatakan, bahwa Ghulam Ahmad sendiri mengakui, dirinya
tidak ada artinya apa-apa dibandingkan Rasulullah saw. Padahal, Ghulam Ahmad
pernah menyatakan, bahwa: “Dalam wahyu ini Tuhan menyebutkanku Rasul-Nya, karena
sebagaimana sudah dikemukakan dalam Brahin Ahmadiyah, Tuhan Maha Kuasa telah
membuatkan manifestasi dari semua nabi, dan memberiku nama mereka. Aku Adam, aku
Seth, aku Nuh, aku Ibrahim, aku Ishaq, aku Ismail, aku Ya’qub, aku Yusuf, aku
Musa, aku Daud, aku Isa, dan aku adalah penjelmaan sempurna dari Nabi Muhammad
saw, yakni aku adalah Muhammad dan Ahmad sebagai refleksi". (Haqiqatul Wahyi, h.
72). (Majalah Sinar Islam (terbitan Ahmadiyah) edisi 1 Nopember 1985).
Di
era liberalisasi dan kebebasan informasi, Ahmadiyah saat ini menikmati
keuntungan, didukung oleh berbagai kalangan yang menginginkan adanya kebebasan
beragama – apa pun bentuknya.
Tidak boleh seorang dilarang untuk
mengamalkan atau menyiarkan agama atau kepercayaannya. Apa pun bentuknya. Di
dalam agama-agama lain, fenomena semacam itu sudah tidak dapat dibendung lagi.
Apa pun bentuknya, apa pun jenis ajarannya, selama dia mengaku Kristen,
misalnya, tetap harus diakui sebagai Kristen. Mana Kristen yang benar dan mana
Kristen yang salah, masing-masing sekte tidak dapat saling menghakimi dan
menentukan.
Begitu juga di dalam tradisi Hindu, Budha, dan sebagainya.
Inilah salah satu cirri dari ‘evolving religion’ atau ‘historical religion’;
yakni agama yang berkembang dan menyejarah.
Islam saat ini juga
sedang diperlakukan seperti itu. Berbagai kalangan yang mengimani konsep HAM
sekular-Barat, sebagai pedoman hidup dan berpikir, juga melihat Islam dalam
kacamata mereka.
Mereka terheran-heran kepada kaum Muslim yang masih
menyatakan, bahwa Ahmadiyah adalah sesat dan menyesatkan. Kata mereka, tidak
boleh lagi ada yang berhak menyatakan kelompok atau aliran lain yang berbeda
dengan dirinya sebagai aliran sesat atau salah.
Tidak boleh menyatakan
murtad, kafir, atau sejenisnya kepada kelompok di luar itu. Inilah asas
pemikiran relativisme dan pluralisme agama, yang memang sedang melanda dunia,
sebagaimana dikatakan oleh Joseph Runzo, dalam bukunya, Reason, Relativism, and
God, (London: Macmillan Press Ltd, 1986):: “We live in an age of relativism”.
Juga dia katakan:“relativism has become a dominant element in twentieth century
theology”.
Jadi, abad ini memang sedang dihegemoni oleh pemikiran
relativisme, dan sebagai dampaknya, umat Islam juga dipaksa untuk mengikuti
paham itu, sehingga tidak boleh melakukan klaim kebenaran (truth claim) atas
agama dan keyakinannya.
Para penganut relativisme dan konsep HAM
sekular-Barat itu menginginkan agar orang Islam jangan ribut-ribut jika ada
orang yang menyebarkan paham yang berbeda dengan ajaran pokok dalam Islam.
Biarkan saja jika ada orang Islam yang menyebarkan pahamnya, bahwa Lia
Aminuddin adalah nabi. Biarkan saja jika ada yang menyebarkan paham bahwa Mirza
Ghulam Ahmad adalah nabi, dan wajib diimani kenabiannya.
Biarkan saja
jika ada yang mengkampanyekan kepada masyarakat bahwa shalat itu tidak wajib.
Biarkan saja – dan tidak usah ribut-ribut – jika ada yang menyebarkan paham
bahwa salat dalam bahasa apa pun adalah diperbolehkan. Bagi mereka, tidak ada
lagi konsep murtad (keluar dari agama Islam).
Di Barat, sesuai konsep
kebebasan mereka, maka semua itu diperbolehkan. Tidak boleh dilarang, selama
tidak menganggu secara fisik. Tentu saja hal ini sangat jauh berbeda dengan
konsep Islam tentang makna kebebasan itu sendiri. Disamping manusia diberi
kebebasan tertentu, tetapi mereka juga berkewajiban mengamalkan ajaran Islam
dalam al ‘amar ma’ruf nahi munkar’.
Islam memberikan kebebasan kepada
seseorang untuk memilih iman atau kufur. Silakan saja, dan tanggung sendiri
akibatnya. Tetapi, jika seseorang atau satu kelompok menyiarkan pahamnya, bahwa
ajaran yang menyimpang adalah ajaran yang benar, maka itu sudah merupakan
kemunkaran besar, dan wajib bagi kaum Muslimin untuk mencegahnya.
Perspektif keimanan dan tanggung jawab amar ma’ruf nahi munkar ini sama
sekali tidak ada dalam konsep kebebasan HAM sekular yang tidak memiliki dimensi
keakhiratan. Bagi kaum sekular-liberal, tidak ada bedanya antara yang haq dan
yang bathil.
Tidak ada bedanya antara iman dan kufur. Tidak ada bedanya
antara sunnah dan bid’ah. Tidak ada bedanya antara Ahmadiyah dengan Ahlu Sunnah
wal-Jamaah. Bagi mereka masalah iman bukanlah hal penting.
Sebagai
seorang Muslim, di era hegemoni paham relativisme kebenaran dan keimanan,
Menteri Agama Maftuh Basyuni telah menunjukkan teladan dan keberanian menyatakan
pikiran dan keimanannya dalam menyikapi suatu bentuk kebatilan.
Seyogyanya, jika konsisten dengan pikirannya, kaum sekular-liberal juga
harus menghormati keimanan dan keyakinan Menteri Agama. Wallahu a’lam. (Bahrain,
17 Februari 2006).
Catatan Akhir Pekan (CAP) Adian Husaini merupakan
kerjasama antara Radio Dakta 107 FM dan http://www.hidayatullah.com/
Jumat, 16 Maret 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar