Pernahkan anda melihat pasangan tetangga anda, yang menganut agama yang berbeda
(dalam konteks ini, salah satunya adalah Muslim), menjalani hidup mereka
sehari-hari dengan penuh ketenteraman, saling menghargai, saling mengasihi
selama bertahun-tahun, tidak terdengar adanya konflik yang berarti, jarang
bertengkar, demikian juga dengan anak-anak mereka, dari kecil dididik untuk
tenggang rasa, penuh toleransi dan setelah dewasa diberi kebebasan penuh untuk
memilih keyakinannya sendiri. Anak-anak tersebut tumbuh menjadi seorang penganut
agama yang toleran dan punya kemampuan menghargai kepercayaan lain yang berbeda.
Sedangkan anda sendiri, sekalipun pasangan anda sama-sama penganut Islam,
termasuk kategori taat beribadah, tapi sering terlibat pertengkaran (ukuran
sering atau tidaknya tentu tergantung anda sendiri) sehingga rumah serasa
neraka, punya anak-anak bandel yang shalat wajibnya bolong-bolong. Memang
lumrahnya sebuah rumah tangga, pertengkaran dan kasih sayang, cinta dan marah,
bahagia dan susah, selalu datang silih berganti, tapi ketika anda menengok
tetangga anda, si pasangan beda agama yang rukun, mungkin muncul pertanyaan,
apakah Islam bisa menjamin terciptanya rumah tangga yang berbahagia?? Mengapa
justru pernikahan beda agama terlihat punya potensi untuk menumbuhkan sikap
toleran dan saling menghargai perbedaan..??
Aturan Allah terkait
pernikahan antara Muslim/Muslimat dengan calon pasangan yang mempunyai agama
lain, terdapat dalam Surat Al Baqarah ayat 221 :
221. Dan janganlah
kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita
budak yang mu’min lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu.
Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu’min)
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu’min lebih baik dari orang
musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah
mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil
pelajaran.
Asbabun Nuzul (sebab-sebab turunnnya ayat Al-Qur’an) dari
surat Al Baqarah 221 tersebut diriwayatkan dalam hadist, yaitu ketika seorang
sahabat Abdilah bin Rawahah, datang kepada Rasulullah menceritakan perbuatannya
yang telah memukul hamba perempuannya yang hitam kelam dan jelek karena marah,
dia merasa menyesal dan meminta petunjuk Rasulullah. Rasulullah bertanya :
“Bagaimana keadaan hamba sahaya tersebut..?”, Abdilah menjawab bahwa budaknya
itu seorang muslimah yang ta’at,. Rasulullah kembali berkata :”Wahai Abdilah,
dia itu adalah seorang yang beriman”. Maka Abdilah menimpali :”Demi Zat yang
mengutusmu dengan hak, aku akan memerdekakannya dan menikahinya..”. Peristiwa
tersebut memancing penghinaan dan rasa sinis dari masyarakat, karena menganggap
Abdilah menikahi budaknya yang hina dan jelek. Sehubungan dengan hal tersebut
turunlah wahyu Allah. Seiring dengan itu Nabi Muhammad SAW bersabda :”Janganlah
kamu menikahi wanita karena kecantikannya, sebab kecantikan itu akan sirna.
Janganlah kamu menikahi wanita karena hartanya, karena suatu sa’at harta
tersebut bisa menyesatkan. Nikahilah wanita karena agamanya. Seorang hamba
sahaya yang hitam kelam dan jeles parasnya lebih utama sepanjang dia beriman
kepada Allah”. Bukhari Muslim meriwayatkan hadist :”Wanita dinikahi karena empat
perkara : karena hartanya, keturunannya, kecantikannya dan karena agamanya. Maka
pilihlah yang mempunyai agama, tentu kamu berbahagia”.
Dari Asbabun Nuzul
dan hadist Nabi diatas, terlihat bahwa larangan Allah dan anjuran Rasulullah
untuk tidak menikahi wanita musyrik, bukanlah merupakan larangan yang ditujukan
secara khusus, tapi lebih sebagai pembanding, bahwa dalam ajaran Islam seorang
budak wanita yang beriman dan ta’at, dinilai lebih baik dari pasangan anda yang
musyrik. Sebaliknya bagi wanita muslimah, pernyataan Allah tersebut lebih
ditujukan kepada walinya, bukan kepada orangnya, ini menunjukkan bahwa dalam
menjalankan ajaran ini, pihak wali-lah yang dituntut untuk berperan dalam
menerapkannya. Allah terlihat ‘mengerti betul’ bahwa dalam kasus-kasus
pernikahan beda agama, masalahnya sangat kompleks karena banyak menyangkut soal
perasaan, cinta dan kasih sayang, suatu hal yang pada dasarnya sering diluar
kontrol manusia, makanya secara keseluruhan redaksi ayat itu terkesan bersifat
‘mengingatkan’, dan diakhiri dengan : Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
(perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran,
Allah seolah-olah mau mengatakan : “Inilah perintah-Ku, pikirkanlah
baik-baik..”.
Aturan ini sebenarnya sangat jelas, yaitu memakai kata
‘janganlah’, artinya jangan itu : dilarang, tidak boleh, tidak diizinkan. Namun
ketika sampai kepada penafsiran ‘orang-orang musyrik’ laki-laki dan wanita, maka
muncul perbedaan penafsiran. Umumnya para ulama menyatakan orang musyrik itu
adalah yang beragama selain Islam, sedangkan dipihak ‘sono’ dimotori oleh
pemikir-pemikir Islam penganut liberalisme dan pluralisme, ‘mempertajam’ istilah
orang musyrik ini adalah ‘kaum musyrik yang bersikap memusuhi Islam’ ibaratnya
musyrik Makkah pada waktu ayat tersebut diturunkan, seperti pernyataan dibawah
ini :
Kalaupun ada larangan PBA (Pernikahan Beda Agama), persoalannya
bukan an sich masalah agama. Ada kategori dan variable-variabel sosial yang
terkait dalam penafsiran yang bersifat teologis. Memang, ada ayat yang
mengatakan, “Janganlah menikahi orang-orang musyrik… (lihat, QS. 2: 221, Red).
Dalam bahasa Arab, kosakata al-musyrikât itu menunjuk pada barang atau komunitas
tertentu (al-ma’rifah). Ini bukan nakirah, tapi menunjuk pada komunitas tertentu
yang ditentang. Al-musyrikât itu kategori sosial, bukan hanya persoalan teologi
yang berarti orang yang tidak bertuhan.__Nah, saya kira, orang musyrik yang
disinggung dalam ayat itu merupakan gambaran orang-orang Quraisy Mekkah yang
sangat agitatif terhadap komunitas umat Islam yang saat itu baru terbentuk. Kita
bisa bayangkan, kalau begitu sengit permusuhannya terhadap Islam, bagaimana
mungkin kita akan menjadikannya sebagai pasangan hidup? Isu yang paling mendasar
dari larangan PBA adalah masalah sosial-politik. Hanya saja, ketika yang
berkembang kemudian adalah logika agama, maka konteks sosial-politik munculnya
larangan PBA itu menjadi tenggelam oleh hegemoni cara berpikir teologis (Drs.
Nuryamin Aini, MA: Fakta Empiris Nikah Beda Agama 22/06/2003 http://www.islamlib.com)/
Marilah kita coba memikirkan ajaran Islam secara sederhana saja
bahwa Allah menyampaikan petunjuk-Nya dalam Al-Qur’an bertujuan untuk pedoman
kita dalam menjalani kehidupan, termasuk mengatur hubungan antar manusia. Bisa
saja secara redaksional aturan tersebut ‘direkam’ melalui peristiwa-peristiwa
yang terjadi diseputar Rasulullah, namun ‘bunyi’ aturan tersebut tetaplah
terdengar sama sampai sekarang. Menafsirkan ayat dengan memilah-milahnya
berdasarkan dimensi dan konteks tertentu (seperti kategori sosial dan teologis)
bisa menjadi cara ‘yang terlalu pintar’ dan membuahkan hasil berupa pengertian
yang jauh dari bunyi teksnya. Rasanya ‘lebih aman’ kalau dalam menafsirkan
perintah dan larangan Allah, kita selalu terfokus kepada ‘apa yang sebenarnya
diinginkan Allah’ bukan kepada 'apakah ada peluang atau kemungkinan lain dari
larangan Allah tersebut' sehingga kita bisa mengarahkan nurani dan pikiran kita
untuk menangkapnya secara utuh, dan menutup sebisa mungkin ‘lobang-lobang’
penafsiran yang meragukan. Cara-cara pemilahan aspek terhadap ajaran Allah
mungkin terkesan merupakan sikap yang ‘mengakali’ ajaran-Nya.
Dalam surat
Al Baqarah ayat 221 tersebut dimulai dengan kata : Dan janganlah kamu nikahi
wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Marilah kita tanya Al-Qur’an, apa
maksudnya dengan kata ‘musyrik’ dan apa artinya dengan kata
‘beriman’.
135. Dan mereka berkata: "Hendaklah kamu menjadi penganut
agama Yahudi atau Nasrani, niscaya kamu mendapat petunjuk". Katakanlah: "Tidak,
bahkan (kami mengikuti) agama Ibrahim yang lurus. Dan bukanlah dia (Ibrahim)
dari golongan orang musyrik". (Al Baqarah)
67. Ibrahim bukan seorang
Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang
lurus lagi berserah diri (kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah dia termasuk
golongan orang-orang musyrik." 68. Sesungguhnya orang yang paling dekat kepada
Ibrahim ialah orang-orang yang mengikutinya dan Nabi ini (Muhammad), serta
orang-orang yang beriman (kepada Muhammad), dan Allah adalah Pelindung semua
orang-orang yang beriman. (Ali Imran)
83. Maka apakah mereka mencari
agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nya-lah berserah diri segala
apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya
kepada Allahlah mereka dikembalikan. 84. Katakanlah: "Kami beriman kepada Allah
dan kepada apa yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim,
Isma’il, Ishaq, Ya’qub, dan anak-anaknya, dan apa yang diberikan kepada Musa,
’Isa dan para nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun di
antara mereka dan hanya kepada-Nya-lah kami menyerahkan diri." 85. Barangsiapa
mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama
itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (Ali
Imran)
Secara arti kata, ‘musyrik’ atau ‘syirik’ adalah
‘mempersekutukan sesuatu dengan sesuatu’, jadi seseorang yang percaya adanya
Tuhan selain, atau bersama Allah, dinamakan dengan musyrik, maka seorang
penganut Kristen yang percaya Trinitas, digolongkan sebagai musyrik. Ternyata
para ulama Islam berbeda pendapat dengan istilah ini, karena adanya sebutan
Allah untuk kelompok orang-orang yang telah diturunkan kitab, yaitu Taurat,
Zabur dan Injil, dengan panggilan ‘Ahli Kitab’ dan dalam surat Al Maaidah ayat 5
dinyatakan :
5. Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik.
Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan
makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita
yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita
yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu,
bila kamu telah membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan
maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang
kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya
dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi.
Dalam prakteknya
ditemukan bahwa banyak juga dari sahabat Rasulullah yang melakukan pernikahan
beda agama ini, diantaranya Usman bin Affan yang menikahi wanita Kristen,
sekalipun pada akhirnya istrinya tersebut masuk Islam. Thalhah bin Zubair juga
tercatat menikahi wanita Yahudi.
Namun soal ‘Ahli Kitab’ ini ada baiknya
kita simak ayat-ayat dibawah :
105. Orang-orang kafir dari Ahli Kitab
dan orang-orang musyrik tiada menginginkan diturunkannya sesuatu kebaikan
kepadamu dari Tuhanmu. Dan Allah menentukan siapa yang dikehendaki-Nya (untuk
diberi) rahmat-Nya (kenabian); dan Allah mempunyai karunia yang besar. (Al
Baqarah)
1. Orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik
(mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang
kepada mereka bukti yang nyata, (Al Bayyinah)
Yang menarik adalah
antara kedua ayat tersebut orang musyrik digolongkan kepada ‘orang kafir’, namun
Ahli Kitab mempunyai dua pengertian, yaitu : ‘orang-orang kafir yakni Ahli
Kitab’, menunjukkan bahwa Ahli Kitab adalah orang kafir, dan dalam Al Baqarah
105, ‘orang-orang kafir dari Ahli Kitab’ menunjukkan bahwa tidak semua Ahli
Kitab digolongkan sebagai ‘al kaafiruun’. Ini diterangkan oleh ayat Al-Qur’an
yang lainnya :
110. Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan
untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan
beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi
mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah
orang-orang yang fasik. (Ali Imran)
113. Mereka itu tidak sama; di antara
Ahli Kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah
pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud (sembahyang).
(Ali Imran)
199. Dan sesungguhnya di antara ahli kitab ada orang yang
beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kamu dan yang
diturunkan kepada mereka sedang mereka berendah hati kepada Allah dan mereka
tidak menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit. Mereka memperoleh
pahala di sisi Tuhannya. Sesungguhnya Allah amat cepat perhitungan-Nya. (Ali
Imran)
Jadi apabila Al-Qur’an menyatakan adanya ‘Ahli Kitab yang
bukan kafir’ diindikasikan dengan sikap mereka sesuai apa yang ada dalam ayat
diatas, yaitu ; beriman kepada Allah, berlaku lurus, membaca ayat-ayat Allah,
sembahyang, tidak menukar ayat-ayat Allah, dll. Diluar itu maka Ahli kitab
tersebut termasuk golongan ‘orang kafir’, segolongan dengan orang musyrik.
Ustadz Quraish Shihab dalam Tafsir Al Mishbah mengibaratkan penyebutan dengan
istilah korupsi dan mencuri, Walau substansinya sama, yaitu mengambil sesuatu
yang bukan haknya, namun dalam penggunaannya, korupsi biasanya dilakukan oleh
pegawai kepentingan publik, sedangkan mencuri disematkan kepada yang ‘non
pegawai’.
Maka kalau dalam Al-Qur’an, Allah menyampaikan ajaran-Nya dan
melarang, artinya jangan adalah jangan, tidak boleh, tidak diizinkan, namun soal
larangan nikah beda agama ini Allah menyampaikannya dengan cara yang ‘unik’,
karena menyangkut soal perasaan dan cinta. Namun marilah kita telaah sedikit
soal cinta dan kasih sayang terhadap pasangan lawan jenis. Islam mengajarkan
bahwa cinta sejati hanya ditujukan kepada Allah, rasa cinta kepada pasangan anda
haruslah dalam rangka karena anda mencintai Allah, anda dilarang untuk mabuk
cinta, karena mabuk cinta akan ‘menomor-duakan’ cinta anda kepada
Allah.
Ketika anda, atau anak perempuan anda, atau anak laki-laki anda
memutuskan untuk menikah dengan pasangannya yang berbeda agama, dan untuk itu
dia sanggup menetang orang tuanya, bahkan kalau perlu menantang seluruh dunia
agar keinginannya tercapai, apa sebenarnya yang melandasi semangatnya itu..??
apa yang menyebabkan dia mempunyai ‘energi yang berlebihan’ tersebut..?? apakah
alasannya : “Oh.. karena saya ini pengikut Islam Liberal yang menghargai
pluralisme..” atau “ karena saya ini pengikut setia Nurcholis Madjid atau Ulil
Abshar Abdalla.., maka saya mau membuktikannya dengan nikah beda agama’, saya
pastikan bukan itu alasannya.., karena Nurcholis Madjid, Ulil atau Pluralisme,
jauh untuk bisa dijadikan landasan sebuah pernikahan beda agama. Satu-sarunya
yang menjadi dasar nikah beda agama adalah adanya rasa cinta terhadap pasangan
anda.
Disinilah andil orang tua sangat menentukan, anak anda harus
dididik dari kecil untuk memiliki sikap yang tepat terhadap rasa cinta, karena
perasaan tersebut ‘datang tanpa Assalamu’alaikum dan pergi tanpa permisi’,
katakanlah kepada anak-anak anda bahwa cinta itu ibaratnya kentut, kalau sudah
datang, susah untuk ditahan, kalaupun anda nekad untuk menahannya, bisa bikin
badan meriang dan keringat dingin, perut kembung dan anda bisa sakit. Namun
kentut jangan ‘dilepas’ disembarangan tempat, anda jangan melepasnya ditengah
pesta karena bisa ‘mengganggu kepentingan umum’, anda bisa segera menyingkir
ketempat sepi, ke kebun atau toilet, itulah tempat yang tepat untuk melepas
kentut. Demikian pula dengan cinta, apabila ‘dilepas’ kepada sasaran yang tidak
tepat, bisa ‘mengganggu kepentingan umum’ karena prinsipnya suatu perkawinan
bukan hanya menyangkut urusan anda berdua saja, tapi semua keluarga anda dan
keluarga pasangan anda terkait di dalamnya. sekalipun mungkin membuat anda
menjadi lega, tapi percayalah…, itu cuma sesaat, karena bisa jadi beberapa waktu
kemudian hasrat cinta itu menghilang dan muncul lagi, dengan sasarang yang
lain..Katakanlah kepada anak anda :”Nak..kalau kamu memang mencintai Allah
dengan segenap jiwa ragamu, apakah mungkin dalam saat yang sama kamu juga
mencintai orang lain yang kemungkinan besar dimurkai Allah karena telah
mempersekutukan-Nya..??”
Tentang perasaan cinta yang seolah-olah ‘tidak
terkendali’, percayalah, Allah mengerti betul apa yang anda rasakan
:
14. Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada
apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari
jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang.
Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik
(surga). (Ali Imran)
Kalau kemudian anda ‘kepincut’ dan kagum dengan
tetangga anda, ‘si pasangan beda agama’ yang hidup rukun dan berbahagia,
ingatlah bahwa :
20. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia
itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah
antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti
hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu
menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di
akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya.
Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu. (Al
Hadiid)
Hidup di dunia ini bukan segala-galanya, Rasulullah
mengajarkan bahwa kita ibarat pengembara yang melakukan perjalanan dengan kapal,
disuatu pulau kita singgah sebentar untuk mengambil bekal melanjutkan
perjalanan. Jangan terpesona dengan kemakmuran dan keindahan pulau tersebut,
ambillah bekal yang cukup dan bermanfaat buat melanjutkan perjalanan. Kemudian
kita harus melanjutkan perjalanan kita ke tujuan yang telah ditentukan Allah,
suka atau tidak suka…
Sabtu, 10 Maret 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar